PAI
Kontemporer
Halaqah dan Ilmu
Islam dan Ilmu Pengetahuan
pengetahuan
IBNU
KHALDUN. Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang
BAPAK diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap
SOSIOLOGI ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka
ISLAM dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat
ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh
Islam dan Ilmu
dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak
Pengetahuan akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Islam Di
Indonesia Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam
Islam Indonesia pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin
Kontemporer intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara
dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta
ISLAM KLASIK “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme”
DAN KAJIAN menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya
ISLAM DI penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan
MASA DEPAN bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Islamisasi dan
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan
Pembaharuan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu
Teori dan Praktek pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim.
di Perguruan Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil
Tinggi - Bahagian bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan
1 modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu
yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada
Jamiat Kheir : usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran
Pembaharu pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan
Pendidikan Islam ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya,
Di Indonesia khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Jurnal Pemikiran
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan
Islam
pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat
Kawasan dan beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk
Wawasan Studi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat
Islam sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha
Kebudayaan Islam mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern
karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa
dalam AL-Quran dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
Konsep penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya
Pendidikan Islam rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
dan Matlamat
Megaproyek Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana
besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan
Islamisasi sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad
Peradaban Syed ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan
Naquib Al-Attas antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan
pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya
pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada
nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih
kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan
tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-
an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.
Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting
di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak
tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil
(1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam
pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut
para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama
dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan.
Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela
Syumayyil.
Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science
in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu
Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930),
diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis
dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama
mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-
putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari
Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan
Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa
dasawarsa terakhir.
Salah seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l.
1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah
pecah Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang
pertama. Namun sesungguhnya, sebelumnya ia adalah seorang
ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran,
pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam umumnya,
yaitu bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak
bertentangan dengan Islam, tetapi justru diperlukan untuk membuat
masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan
penegasan bahwa yang tak bertentangan dengan Islam adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam
dianggap sebagai jalan penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan
ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal terpenting
yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap
setia kepada agamanya, dan pada saat yang sama mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Abdus Salam
Seorang tokoh dunia Islam yang harus disebut secara khusus adalah
Abdus Salam (1926-1996), seorang fisikiwan asal Pakistan, karena
dialah praktisi ilmuwan Muslim terpenting di abad ini. Sebagai ilmuwan,
ia adalah satu-satunya Muslim yang mendapat penghargaan Nobel
(pada 1979 di bidang fisika). Namun, nilai penting Abdus Salam
melampaui penguasaannya atas perkembangan mutakhir fisika
kontemporer.
Selain itu, dalam salah satu tulisannya Salam juga menunjukkan bahwa
peradaban Islam menyumbang cukup banyak dalam kelahiran ilmu
pengetahuan modern. Metode eksperimental yang menjadi esensi ilmu
pengetahuan modern dikembangkan pertama kali oleh al-Biruni dan Ibn
al-Haytsam. Dengan ini semua Salam ingin memberikan landasan untuk
penerimaan ilmu pengetahuan modern di kalangan masyarakat Muslim.
Dari sini ia beranjak ke gagasannya yang lebih penting. Yaitu, bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim adalah
mutlak, baik ditinjau dari segi ajaran Islam, dari fakta bahwa Muslim
sempat menjadi pelopor pengembangan ilmu pengetahuan, juga fakta
betapa terbelakangnya Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan yang
telah menjadi fondasi bagi tegaknya peradaban modern.
Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada
beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan
penggunaan kata “ilmu pengetahuan” atau “sains”, “islamisasi”, dan kata
Islamic dalam Islamic science.
Ada dua hal yang penting dicatat di sini. Pertama, proses islamisasi
dikenakan secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu itu sendiri.
Kedua, program ini amat pragmatis, dalam artian benar-benar
berorientasi kepada kebutuhan untuk menerapkannya dalam
masyarakat Muslim. Hal yang kedua ini diterjemahkannya melalui IIIT
(International Institute of Islamic Thought; Lembaga Internasional Untuk
Pemikiran Islam) dalam sosialisasi kurikulum universitas yang dihasilkan
oleh proyek tersebut.
Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar (l. 1951) adalah doktor di bidang fisika asal Pakistan ,
yang dibesarkan di Inggris. Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin
menulis di beberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai
koresponden Nature, ia pernah berkeliling ke beberapa negara Muslim
untuk meneliti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana ,
sedangkan tulisan- tulisan awalnya tentang ilmu pengetahuan Islam
dipublikasikannya di New Scientist – salah satu di antaranya bahkan
pernah menjadi laporan utama majalah bergengsi itu.
Lalu seperti apa bentuk praktis ilmu pengetahuan Islam? Sardar tak
pernah mengemukakannya secara lugas. Mungkin ini memang tak
berada dalam lingkup pemikirannya. Namun dalam tingkat pandangan
dunia dan epistemologi pun ia berhenti dalam pembahasan beberapa
nilai-nilai Islam, seperti tauhid, khilafah, halal-haram. Bagi kelompok
yang pesismis terhadap wujudnya ilmu pengetahuan Islam, ini tak jauh
berbeda dari sekadar menambahkan etika Islam dalam penerapan ilmu
pengetahuan modern, atau memberikan tafsir islami terhadap temuan-
temuannya – dan bukan rekonstruksi radikal atas ilmu pengetahuan
modern. Sardar sendiri menyebutkan bahwa “model ilmu pengetahuan
Islam itu masih membutuhkan kerja lebih lanjut yang amat banyak.”
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan
Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah
berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan
Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social
Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam).
Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke
dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial,
seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat
gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam
lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai
menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara
Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi
gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.
Ada sebuah fenomena penting lainnya berhubungan dengan hal ini. Jika
dapat dipisahkan antara dunia akademis dan aktivisme, maka "gerakan"
tersebut bisa dikatakan berlangsung lebih dalam konteks aktivisme
Islam - setidaknya dari sudut pandang dunia kajian Islam (Islamic
studies) yang berkembang amat pesat di Barat pada abad ke-20 ini.
Sardar, meskipun mendapat gelar doktornya di bidang fisika, lebih
dikenal sebagai "wartawan" - sebuah sebutan peyoratif di lingkaran
akademis. Faruqi pada awalnya memang lebih dikenal sebagai aktivis
nasionalis Arab. Sementara Nasr dikenal baik di lingkungan akademis,
tetapi lebih sebagai seorang sejarawan ilmu pengetahuan - yang teori-
teorinya mengenai ilmu pengetahuan Islam mendapat banyak kritik
karena terlalu kental dengan pernyataan-pernyataan apriori tentang sifat
ilmu pengetahuan Islam. Di lingkungan akademis Barat, Naquib al-Attas
pun tak dikenal sebagai pemrakarsa gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan, tetapi lebih sebagai sejarawan dengan spesialisasi
sejarah Islam di Kepulauan Melayu.
Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada
pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini
mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling
penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa
ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah
pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang
bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam
teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam
lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk
tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan
adalah alat, bukan tujuan.
Dua gagasan yang serupa dan dapat mewakili spektrum gagasan yang
menolak islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam adalah Fazlur
Rahman (1919-1988) dan Pervez Hoodbhoy (l. 1950). Rahman adalah
sarjana Muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Qur'an, sementara
Hoodbhoy adalah doktor di bidang fisika nuklir yang mendapatkan gelar
doktornya dari MIT. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana
ilmu pengetahuan Islam, keduanya memang tak menonjol. Rahman
hanya menulis dua artikel singkat tentang masalah ini (Arabia, 1986,
dan AJISS, 1988). Hoodbhoy menulis sebuah entri tentang ilmu
pengetahuan dan Islam dalam The Oxford Encyclopaedia of the Modern
Islamic World, (Ensiklopedi Oxford tentang Dunia Islam Modern, ed.
John Esposito, 1995) dan satu buku, Islam and Science, Religious
Orthodoy and the Battle for Rationality (Ortodoksi Keagamaan dan
Perjuangan demi Kerasionalan, 1992) - yang sempat memancing
polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangan-pandangan
mereka cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.
Yang pertama adalah Fazlur Rahman. Sarjana asal Pakistan yang amat
diakui di lingkungan akademis Barat ini pernah secara khusus
memberikan tanggapannya terhadap gagasan islamisasi ilmu. Meskipun
tanggapan ini tak terlalu rinci dibandingkan dengan apa yang telah
berlangsung dalam wacana islamisasi, pandangannya tetap layak
diikuti, karena ia mewakili satu arus yang cukup banyak pengikutnya.
Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman ini adalah
bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya
dibicarakan dalam konteks "aktivisme Islam" itu ke dalam kerangka
perdebatan teoretis yang lebih besar. Yaitu, tentang bagaimana
seharusnya Muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang
diturunkan dari al-Qur'an secara absah. Termasuk di sini adalah
penciptaan kriteria untuk menilai sejauh mana keislaman tradisi Islam
sendiri. Ini adalah persoalan metodologi membaca al-Qur'an dalam
konteks pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi Muslim. Dan
memang inilah obsesi terpenting Rahman yang tampak dalam karya-
karya utamanya.
Salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan
menandai munculnya wacana islamisasi ilmu adalah "Diskusi Panel
Epistemologi Islam", di Masjid Istiqlal, 23 November 1985 . Seperti
tampak dalam makalah-makalahnya, kata "epistemologi" dalam tema
diskusi panel tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya
dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami daripada
sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Varian
pandangan yang muncul dalam diskusi itu pun berada dalam kerangka
wacana islamisasi ilmu yang telah berkembang di luar.
Di antara yang sedikit ini, Ahmad Baiquni menulis Islam dan Ilmu
Pengetahuan Modern (1983). Pandangan Baiquni - seorang fisikawan -
mirip dengan Abdus Salam. Bagi Baiquni, berbicara tentang Islam dan
ilmu pengetahuan berarti menunjukkan kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an
dengan temuan ilmu pengetahuan kontemporer. Ia, di antaranya,
menunjukkan bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang
memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.
Lalu, pada Juni 1996, bersama dengan lembaga itu dan IIIT, B.J.
Habibie (l. 1936) - sebagai ketua ICMI yang giat mengembangkan
teknologi tinggi di Indonesia - melakukan penandatangan kesepakatan
pembentukan forum bersama untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan
sumberdaya manusia di depan Ka'bah, Mekah. Forum yang bernama
International Islamic Forum for Science, Technology and Human
Resources Development, (IFTIHAR, Forum Islam Antarbangsa untuk
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia) itu pada 6-8
Desember 1996 mengadakan konferensi pertamanya di Jakarta .
Konferensi yang diikuti 400 peserta dari 50 negara itu menunjuk Habibie
sebagai ketuanya, dan melahirkan rancangan aksi yang disebut
Deklarasi Jakarta. Terselenggaranya konperensi ini sendiri tak bisa
dilepaskan dari figur Habibie - sebagai ketua ICMI dan Menteri Riset
dan Teknologi - yang melahirkan slogan "iptek dan imtak" (ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan iman dan takwa)".
Satu hal penting yang dapat disimpulkan dari seluruh perkembangan ini
adalah bahwa kecenderungan wacana tentang Islam dan ilmu
pengetahuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan miniatur dari
wacana serupa yang muncul di luar. Ini berkaitan baik dengan tahap-
tahap perkembangan wacana itu, maupun dengan adanya spektrum
pandangan-pandangan yang semuanya mendapatkan wakilnya di sini.
DAFTAR PUSTAKA
Faruqi, M.H., Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile,
Impact International, Januari 1997.
Ghulsyani, Mahdi, The Holy Qur'an and the Sciences of Nature, Islamic
Propagation Organization, Tehran , 1986. (terj. Filsafat Sains Menurut
Al-Quran, Mizan, Bandung , 1988.
______, The Need for Sacred Science, State University of New York
Press, 1993.
<!--[if !supportEmptyParas]–>
Comments