Anda di halaman 1dari 31

Makalah

PAI

 Makalah PAI Islam dan Ilmu Pengetahuan


 Fenomena Islam


Kontemporer
Halaqah dan Ilmu
Islam dan Ilmu Pengetahuan
pengetahuan
 IBNU
KHALDUN. Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang
BAPAK diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap
SOSIOLOGI ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka
ISLAM dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat
ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh
 Islam dan Ilmu
dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak
Pengetahuan akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
 Islam Di
Indonesia Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam
 Islam Indonesia pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin
Kontemporer intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara
dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta
 ISLAM KLASIK “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme”
DAN KAJIAN menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya
ISLAM DI penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan
MASA DEPAN bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
 Islamisasi dan
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan
Pembaharuan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu
Teori dan Praktek pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim.
di Perguruan Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil
Tinggi - Bahagian bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan
1 modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu
yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada
 Jamiat Kheir : usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran
Pembaharu pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan
Pendidikan Islam ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya,
Di Indonesia khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
 Jurnal Pemikiran
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan
Islam
pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat
 Kawasan dan beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk
Wawasan Studi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat
Islam sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha
 Kebudayaan Islam mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern
karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa
dalam AL-Quran dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
 Konsep penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya
Pendidikan Islam rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
dan Matlamat
 Megaproyek Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana
besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan
Islamisasi sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad
Peradaban Syed ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan
Naquib Al-Attas antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan
pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya
pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada
nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih
kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan
tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-
an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.

Wacana Pertama: Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu


Pengetahuan

Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan


nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki
Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia
Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian
peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan
jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh
kemajuan teknologi militer Barat.
 Melacak Akar
Sejarah Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran
Pendidikan Surau penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh
 Menggabungkan penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah
Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di
Sistem Pendidikan Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya
Modern... [Agama menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa
dan Pendidikan] Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik
 Pesantren dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa
 Sistem Pendidikan untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di
beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya
klasik pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.
 sistem pendidkan
modern Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer
 TANTANGAN Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran
UMAT ISLAM ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah
dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika
KONTEMPORE Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki
R DAN dengan gagasan sekularismenya.
SOLUSINYA
 Sitemap Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari
Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim
memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban
Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini
masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.

Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab

Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh


Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di
Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme
Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak
melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun,
gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus
mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan
kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.

Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi


Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan
dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar
dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama
Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu
anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan
pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran.
Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam
menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap
taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu
pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama
mandek.

Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan


Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu
Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid
Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara
Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid
Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa
asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk
mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah,
ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal
Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di
Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.

Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu


pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti
penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam
beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan
keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar
memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat
untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan
menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk
menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti
Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar
kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik
Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah
baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.

Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang


sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai
dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela
gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan
modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai
perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang
meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu
pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan
yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.

Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting
di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak
tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil
(1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam
pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut
para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama
dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan.
Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela
Syumayyil.
Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science
in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu
Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930),
diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis
dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama
mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-
putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari
Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan
Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa
dasawarsa terakhir.

Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau


“sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab
adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus
dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini
tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid
Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin,
menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi
tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu
pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak
menolaknya.

Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim.


Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu
pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan,
hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir
yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan
seperti ini tak cukup memuaskan mereka.

India: Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal

Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling


menonjol yang menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim. Seperti
halnya dengan al-Afghani, ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu
pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh dari al-Afghani ia melihat
adanya “kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Di antara “kekuatan pembebas” itu adalah penjelasan
peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat fisik-materiil.
Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul dan
cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama,
Ahmad Khan merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan
melenyapkan unsur supranatural – yang “tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia
amat serius dengan upayanya ini, hingga menciptakan sendiri metode
penafsiran al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi baru” yang memiliki
karakter “ilmiah”.

Generasi setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad


Iqbal (1877-1938), salah seorang Muslim pertama di anak benua India
yang sempat mengkaji pemikiran Barat modern dan mempunyai akses
yang mendalam pada tradisi intelektual Islam. Kedua hal inilah yang
muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of Religious Thought
in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam)
diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction
(pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar.
Reconstruction berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan
Islam dalam bahasa modern, untuk konsumsi generasi baru Muslim
yang telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu
pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun
berarti bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan
tersebut.

Kepeduliannya sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena


keduanya menghadapi masalah yang sama. Tetapi sementara Sir
Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan menunjukkan
kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern,
hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam – Iqbal bergerak lebih
jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai
alat, tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.

Ia menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan


ilmu pengetahuan tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya
menyangkut penemuan mutakhir ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan
adalah sebentuk ibadah. Karena itulah sampai tingkat tertentu, ilmu
pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan agama, yakni
pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik – yang
menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam
revolusi intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal
perkembangan filsafat Islam – adalah serupa dengan ruh yang
melahirkan ilmu pengetahuan modern. Namun, meskipun bertujuan
sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan
tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu yang
memiliki struktur itu.

Untuk itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu


menjelaskan gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati.
Sementara ilmu pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang
bertentangan dengan kecenderungan banyak ilmuwan modern, tak
dapat menciptakan teori yang selengkapnya menggambarkan realitas.
Ini karena ilmu pengetahuan adalah “kumpulan pandangan yang
sepotong-sepotong tentang realitas.”

Tak berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori


fisika mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan
ilmuwan seperti Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk
mendapat gambaran utuh tentang realitas. Tujuan akhirnya,
membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan ilmu
pengetahuan tentang realitas alam.

Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu


yang asing bagi Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu
manusia”. Artinya, ilmu pengetahuan adalah universal dan milik umat
manusia. Semua masyarakat memiliki sumbangannya masing-masing.
Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki tujuan yang sama,
dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban Barat,
Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi
“peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari
Eropa. Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia
, dan India . Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim
berbeda dengan mereka membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat
dipertahankan. Hal yang sama seharusnya terjadi saat ini.

Meski beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi


suatu epistemologi Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat
menciptakan suatu “ilmu pengetahuan Islam”, yang menjadi
kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.

Iran : Dari Bazargan Hingga Soroush

Sebagaimana di banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan


Jamaluddin al-Afghani cukup berpengaruh di Iran . Dalam hal respons
terhadap kemodernan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, gagasan-gagasan al-Afghani digemakan kembali oleh
beberapa pemikir Muslim Iran.

Salah seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l.
1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah
pecah Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang
pertama. Namun sesungguhnya, sebelumnya ia adalah seorang
ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran,
pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam umumnya,
yaitu bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak
bertentangan dengan Islam, tetapi justru diperlukan untuk membuat
masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan
penegasan bahwa yang tak bertentangan dengan Islam adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam
dianggap sebagai jalan penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan
ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal terpenting
yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap
setia kepada agamanya, dan pada saat yang sama mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Periode berikutnya ditandai dengan munculnya Ali Syari’ati (1933-1977)


dan Murtadha Mutahhari (1920-1979). Keduanya adalah pemikir
terpenting Iran di zaman modern. Sebagai ideolog, tema terpenting
Syari’ati adalah “kembali ke jati diri yang sebenarnya,” sementara
Mutahhari, sebagai seorang mullah yang cukup akrab dengan berbagai
pemikiran Barat modern, berusaha secara sistematis membangun
pandangan dunia Islam. Gagasan keduanya tak terkesan bersifat
apologetis terhadap perkembangan modern, namun sikapnya terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat di sekitar
penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan
memiliki wilayahnya masing-masing.

Perbedaan mereka dari para pemikir Muslim apologetis pada periode


sebelumnya adalah bahwa pembedaan mereka membedakan ilmu
pengetahuan sebagai instrumen dengan “saintisme” atau ilmu
pengetahuan sebagai ideologi atau pandangan dunia. Dengan
argumen-argumen yang cukup kuat, dan mengambil manfaat dari kritik-
kritik pemikir Barat sendiri terhadap “saintisme”, mereka berusaha
menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dikembangkan
sebagai instrumen untuk mencapai tujuan Islam. Dari sudut pandang ini,
Mutahhari mengajukan ketaksetujuannya terhadap pembagian ilmu-ilmu
keagamaan dan non-keagamaan. Baginya, sejauh suatu ilmu –
termasuk ilmu pengetahuan modern – dikembangkan untuk tujuan
kesejahteraan masyarakat Islam, maka disebut ilmu keagamaan. Di sini
muncul gagasan yang serupa dengan Iqbal, bahwa pengkajian ilmu
pengetahuan dapat menjadi sebentuk ibadah.

Setelah Revolusi Islam 1979, tuntutan-tuntutan praktis muncul dan


pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi relatif bergeser
dari pembacaraan teoretis tentang hubungan agama dengan ilmu
pengetahuan menjadi sejauh mana alih ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan negara pascarevolusi itu.
Namun yang pertama tak hilang sama sekali, bahkan hingga tingkat
tertentu menjadi latar belakang untuk yang kedua.

Salah seorang pemikir terpenting Iran di masa ini yang memiliki


perhatian besar terhadap masalah ilmu pengetahuan modern adalah
Abdulkarim Surush (lahir 1945). Sebelum kembali ke Iran setelah
Revolusi Islam, Surush secara khusus mempelajari filsafat ilmu
pengetahuan di Inggris. Dalam banyak hal gagasannya adalah
kelanjutan dari gagasan Syari’ati dan Mutahhari. Namun latar belakang
akademisnya dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan memperkayanya
dengan beberapa detil aspek ilmu pengetahuan modern, dan dengan
demikian mempertajam gagasannya.

Gagasan terpenting Surush, yang dikemukakannya dalam bahasa


filsafat kontemporer, adalah pembedaan yang populer antara fakta dan
nilai, dan antara tujuan dan cara. Ini membawanya pada pembedaan
fundamental antara hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan (teori ilmu
pengetahuan dan teknologi) dengan ilmu pengetahuan yang diajukan
sebagai alternatif pandangan dunia. Menafikan pembedaan itu berati
menurunkan nilai dari fakta, apa yang seharusnya dari apa yang terjadi,
atau, etika dari ilmu pengetahuan. Contoh yang dibahasnya secara
mendalam adalah teori evolusi Darwin . Ia menerima penjelasan Darwin
tentang evolusi material yang terjadi pada makhluk hidup, namun
menolak evolusi sebagai prinsip etika perkembangan masyarakat.

Setelah pembedaan, yang mesti dilakukan adalah pemilihan. Bagi


Surush, “Barat” bukanlah sebuah totalitas yang unik. Beberapa bagian
dari peradaban Barat dapat diambil, tanpa harus menerima bagian-
bagian lainnya. Ilmu pengetahuan dapat dialihkan tanpa harus menjadi
sekuler.

Dalam prakteknya, gagasan yang berkesinambungan mulai dari


Bazargan hingga Surush ini secara tak langsung diterjemahkan dalam
kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi Republik Islam Iran. Meski
sempat mendapat tentangan dari sebagian kecil ulama, pandangan
yang umum diterima adalah bahwa negara membutuhkan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, dan bahwa keduanya dapat
diimpor dan lalu dikembangkan sendiri di dalam negeri, tanpa harus
mengingkari ajaran Islam. Karena, ilmu pengetahuan berfungsi lebih
sebagai instrumen untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sekali
lagi, pandangan instrumentalis mendapat tempat di sini.

Abdus Salam

Seorang tokoh dunia Islam yang harus disebut secara khusus adalah
Abdus Salam (1926-1996), seorang fisikiwan asal Pakistan, karena
dialah praktisi ilmuwan Muslim terpenting di abad ini. Sebagai ilmuwan,
ia adalah satu-satunya Muslim yang mendapat penghargaan Nobel
(pada 1979 di bidang fisika). Namun, nilai penting Abdus Salam
melampaui penguasaannya atas perkembangan mutakhir fisika
kontemporer.

Salam amat dikenal sebagai pejuang ilmu pengetahuan, tak hanya di


dunia Islam, namun di dunia ketiga umumnya. Sejarah hidupnya sendiri
mengajarkan kepadanya betapa riset murni di bidang ilmu pengetahuan
belum mendapat tempat dalam kesadaran akademis. Karena itulah ia
terpaksa pindah, dan lalu bermukim di Eropa, yang memberinya tempat
untuk terus menghidupkan ilmunya. Kesempatan inilah yang
membawanya menjadi pemenang Nobel (bersama Steven Weinberg
dan Lee Glashow).

Keprihatinannya atas nasib ilmu pengetahuan di dunia ketiga


diungkapkannya dalam pendirian dua lembaga penting, yaitu
International Centre for Theoretical Physics (Pusat Internasional bagi
Fisika Teoritis) dan Third World Academy of Science (Akademi Dunia
Ketiga untuk Ilmu Pengetahuan), di Italia. Dengan mengadakan
lokakarya dan seminar rutin yang membahas perkembangan mutakhir
ilmu pengetahuan, kedua lembaga ini telah memberikan peluang
kepada banyak ilmuwan dunia ketiga – banyak di antaranya Muslim –
untuk terus mengembangkan ilmunya, hingga kini.

Di luar bidang fisika, gagasan yang terus-menerus dikemukakannya


adalah tentang mutlak perlunya dunia ketiga mengembangkan riset ilmu
pengetahuan murni, untuk mengatasi keterbelakangannya dibanding
negara-negara maju. Gagasan lainnya berkaitan dengan hubungan ilmu
pengetahuan dengan agama, khususnya Islam.

Fakta bahwa Muslim seperti Salam memperoleh Nobel bersama dua


fisikawan lainnya – yang non-Muslim – sering diajukan oleh sebagian
pemikir Muslim sebagai isyarat netralitas ilmu pengetahuan: bahwa dua
orang dari latar belakang nilai-nilai agama yang berbeda dapat bekerja
sama untuk menghasilkan satu teori fisika. Salam sendiri, jelas
mendukung gagasan netralitas ilmu pengetahuan.

Ia sering mengungkapkan keyakinannya bahwa kerjanya dalam ilmu


pengetahuan memiliki landasan normatif yang cukup kuat dalam al-
Qur’an. Beberapa artikel pendek yang ditulisnya mengangkat tema tak
adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan iman,
khususnya Islam. Dengan penguasaannya atas teori-teori astro-fisika
mutakhir ia bahkan berusaha menunjukkan kesesuaian ilmu
pengetahuan dengan agama dalam, misalnya, pandangan tentang asal
usul alam semesta. Melalui agama kita telah lama tahu bahwa semesta
diciptakan dari ketiadaan, dan ilmu pengetahuan kontemporer
memberikan verifikasi empiris atas pandangan ini.

Yang juga cukup menarik, dalam argumennya ia sempat pula menyebut


ahli bedah Perancis Maurice Bucaille. Melalui kajiannya dalam bidang
kedokteran, dalam karya utamanya, La Bible, le Coran et la science
(Alkitab, Al-Qur’an, dan Ilmu Pengetahuan) diterbitkan tahun 1976, yang
telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa Islam (Arab, Persia, Turki,
Urdu dan Indonesia), Bucaille mengajukan premis serupa, bahwa tak
ada satu ayat pun dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan temuan
ilmu pengetahuan. Rujukan kepada Bucaille menegaskan sikap Salam
terhadap ilmu pengetahuan modern. Ia melampaui pandangan seorang
instrumentalis dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat
mencapai kebenaran. Tak cuma itu, kebenaran itu tak bertentangan
bahkan memverifikasi kebenaran wahyu.

Selain itu, dalam salah satu tulisannya Salam juga menunjukkan bahwa
peradaban Islam menyumbang cukup banyak dalam kelahiran ilmu
pengetahuan modern. Metode eksperimental yang menjadi esensi ilmu
pengetahuan modern dikembangkan pertama kali oleh al-Biruni dan Ibn
al-Haytsam. Dengan ini semua Salam ingin memberikan landasan untuk
penerimaan ilmu pengetahuan modern di kalangan masyarakat Muslim.
Dari sini ia beranjak ke gagasannya yang lebih penting. Yaitu, bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim adalah
mutlak, baik ditinjau dari segi ajaran Islam, dari fakta bahwa Muslim
sempat menjadi pelopor pengembangan ilmu pengetahuan, juga fakta
betapa terbelakangnya Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan yang
telah menjadi fondasi bagi tegaknya peradaban modern.

Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Para pemikir dalam wacana pertama tentang ilmu pengetahuan dan


Islam yang disebut di atas umumnya tak menaruh perhatian serius pada
pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun
filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad
ke-19 – dan inilah salah satu ciri pembeda dengan para pemikir pada
wacana kedua. Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin
hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara
langsung di Eropa.

Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum


tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn
Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang telah
berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan.
Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea for A Deeper
Study of Muslim Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam
Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara
tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara
serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai
itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran
para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah
mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang
revolusioner.

Saat ini, kerja beberapa dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip


kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu
telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang bagaimana
“ilmu pengetahuan” – yang berdasarkan temuan-temuan itu
pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di
peradaban Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan –
berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan modern pertama
adalah karya monumental George Sarton, Introduction to the History of
Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun 1927.
Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang
dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn
Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai,
Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan
Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa
Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta
karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.

Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa


terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di
masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke dalam
bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah ilmu
pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk
memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.

Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa


karya cemerlang – sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-
jurnal ilmiah – baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu
kini telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika
perkembangan “ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual Islam;
tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya
ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam
diselesaikan; dan sebagainya.

Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin


Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I.
Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas
Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang
dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain,
khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli
Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban
non-Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku
tentang sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang
perkembangan matematika, dan banyak lagi lainnya.

Selain pengkajian atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula


muncul kajian sistematis tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan
dalam peradaban Islam. Salah satu persoalan yang amat mendapat
perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis tersebut
masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu
pengetahuan. Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih
luas, tentu akan menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan
tentang upaya pembangkitan kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Wacana Baru: Islamisasi Ilmu pengetahuan

Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an,


berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan,
dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam)
atau Islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa
yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya ada cukup
beragam (kelompok) pemikir Muslim yang memaknai istilah ini dengan
berbeda-beda – dan tak jarang terdapat pertentangan di antara ragam
pendapat itu.

Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada
beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan
penggunaan kata “ilmu pengetahuan” atau “sains”, “islamisasi”, dan kata
Islamic dalam Islamic science.

Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa


seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern
kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di
atas, sebetulnya ini telah mulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tak
efektifnya usaha mengejar ketertinggalan Muslim dari Barat di masa-
masa sebelumnya telah mengkristal menjadi “gerakan” dengan orientasi
baru ini. Pada beberapa kelompok, kedua istilah baru ini, Islamic
science dan Islamization of knowledge nyatanya tampak hanya sekadar
menjadi baju baru dari usaha yang telah dilakukan beberapa pemikir di
masa-masa sebelumnya – terkadang dengan lebih efektif.

Istilah “sains” (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas


dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa
abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling
unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan
cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang
melatarbelakangi kebiasaan bahasa Inggris modern – berbeda dengan
kebanyakan bahasa lain – untuk membedakan science, sebagai istilah
yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “eksakta” (“pasti”), dari
berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Itulah sebabnya berkembang istilah seperti Islamic science
dan terjemahan science dan Islamic science oleh sejumlah orang
Indonesia dan Malaysia dengan “sains” dan “sains Islam”. Namun,
karena istilah “sains” merupakan alih istilah dari bahasa Inggris, dan alih
peristilahan yang berdasarkan suatu pembedaan antara cabang ilmu
pengetahuan yang “eksakta” dan yang “kurang eksakta”, yang telah
sering dipermasalahkan, artikel ini lebih menggunakan istilah “ilmu
pengetahuan” daripada “sains”. Perlu ditambahkan bahwa wacana
“islamisasi ilmu” dan “ilmu pengetahuan islam” terpusat pada ilmu
pengetahuan alam, walaupun tidak terbatas padanya.

Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu


pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tak terkecuali
Muslim. Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha
mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara
menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun,
sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut “islamisasi” ilmu
pengetahuan atau pengembangan “ilmu pengetahuan Islam”. Para
penggagas ilmu pengetahuan Islam atau islamisasi memulai
argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai.
Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan
tentang ilmu pengetahuan. Maka wajar pula jika serangan terhadap
gagasan ini biasanya berupa upaya mempertahankan premis penting
itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim praktisi ilmu pengetahuan
seperti Abdus Salam.

Jelas bahwa “ilmu pengetahuan Islam” adalah sebuah istilah modern.


Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik,
termasuk dalam masa yang disebut “Zaman Keemasan” Islam. Bahkan,
bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika
kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada
tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton
dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut
sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika
dengan dukungan penguasa, para ilmuwan Muslim (dan, sebagian
kecilnya, non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang
ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan
adanya upaya-upaya “islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh
terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu
pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena islamisasi
dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.

Jadi, di sini istilah “Islam(i)” digunakan untuk menyebut dua hal


sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana
istilah “modern”, “abad pertengahan”, “klasik” atau “Yunani” digunakan;
yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna
ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu
pengetahuan modern dan Islam.

Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru


ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail
Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika
keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan Eropa dan
terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang
berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam
berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh
pertama abad ke-20 ini.

Syed Hossein Nasr

Tokoh pertama yang mesti disebut dalam membicarakan wacana baru


tentang ilmu pengetahuan dan Islam itu adalah Seyyed Hossein Nasr (l.
1933). Lahir di Iran, ia melanjutkan pendidikan tingginya di
Massachusetts Institute of Technology (MIT) di bidang Fisika, dan
kemudian di Harvard University, di bidang sejarah ilmu pengetahuan.
Dialah salah seorang yang pertama kali menulis buku sejarah ilmu
pengetahuan di zaman Islam (Science and Civilization in Islam [Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam], 1968) secara cukup
komprehensif, meskipun mengundang banyak kritik, terutama dari
kalangan orientalis pengkaji sejarah ilmu pengetahuan.

Nasr menggunakan istilah “ilmu pengetahuan Islam” sebagai sistem


ilmu pengetahuan yang secara amat kental disusupi oleh metafisika
Islam. Namun semangat tingginya sebagai seorang tradisionalis
menjadikan apa yang ada dalam sejarah sebagai model ideal bagi “ilmu
pengetahuan Islam”, yang baginya masih hidup hingga kini dan mesti
dilestarikan. Secara eksplisit ia menyatakan bahwa jika ia menyebut
“ilmu pengetahuan Islam” dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
Islam masih hidup hingga kini, maka yang dimaksudkannya adalah
suatu sistem ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman jaya
peradaban Islam, dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn Sina, Al-Biruni,
Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya.

Pengertian ilmu pengetahuan pada Nasr berbeda amat jauh dengan


ilmu pengetahuan sebagaimana yang lazim dipahami kini. Sebagai
contoh, ia biasa menggunakan istilah scientia sacra (sacred science,
ilmu sakral) untuk menunjukkan bahwa seharusnya aspek kearifan jauh
lebih penting dalam ilmu pengetahuan daripada aspek teknologinya,
yang menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern. Ia tampaknya
secara sengaja bertahan menggunakan kata “ilmu pengetahuan” justru
untuk menunjukkan betapa jauhnya ilmu pengetahuan modern kini telah
menyimpang dari apa yang sesungguhnya disebut ilmu pengetahuan
pada mulanya.

Lebih jauh, ia kerap mengkritik keras kaum modernis, yang muncul


sejak akhir abad ke-19, yang berusaha merekonstruksi pemikiran Islam
agar sesuai dengan zaman modern. Menurutnya, kaum modernis itu
justru telah mendistorsi tradisi intelektual Islam, semata-mata agar
tampak tak “tertinggal” dibanding negara-negara Barat, padahal, di balik
“kemajuan” dunia modern itu, ada kemunduran yang amat nyata,
terutama dalam bidang spiritual. Distorsi besar lain adalah
penerjemahan kata ‘ilm yang khas Islam menjadi science dalam makna
modernnya. Istilah science untuk menyebut ilmu-ilmu eksperimental,
dan sebagai pembeda dari filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, baru
muncul pada abad ke-19. Sementara ‘ilm, yang mensyaratkan kepastian
(certainty), mencakup beragam jenis ilmu dan beragam metode
pencapaiannya.

Sebagai seorang tradisionalis Nasr memandang perkembangan


teknologi modern yang pesat dengan pesimis. Ia terutama menyoroti
kerusakan lingkungan, yang terjadi mengerikan dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini. Sumber ini semua adalah teknologi yang
dirancang semata-mata dengan memperhatikan nilai-nilai dunia modern
– seperti efisiensi, efektivitas, nilai ekonomis – tanpa memperhatikan
kebutuhan manusia, jasmaniah maupun ruhaniah, dan tanpa
memperhatikan hubungan ruhaniah antara manusia dengan bumi dan
makhluk-makhluk lainnya.

Dalam karyanya yang lebih belakangan, seperti Knowledge and The


Sacred (Pengetahuan dan yang Sakral) terbit tahun 1989 dan The Need
for Sacred Science (Kebutuhan akan Ilmu Pengetahuan Sakral) terbit
tahun 1993, selalu muncul kembali tema keprihatinannya terhadap
kenyataan betapa sulitnya manusia modern mengapresiasi hal-hal yang
sakral (the sacred). Dalam karya itu terungkap pula harapannya untuk
membangkitkan kembali scientia sacra. Dalam hal ini ia bergerak cukup
jauh hingga, misalnya, mempertimbangkan kembali alkemi, yang
dimaknainya bukan sebagai pendahulu ilmu kimia dalam tahapnya yang
masih amat tradisional (bersifat mistis), namun sebagai semacam jalan
ruhaniah yang dipilih para ilmuwan itu. Sementara cabang ilmu
pengetahuan seperti botani, misalnya, dimaknai sebagai “kajian atas
sifat-sifat batin tanaman, termasuk makna spiritual dan simbolisnya
dalam kosmos.” Dalam semua hal di atas – baik kritiknya terhadap
kemodernan maupun mistisisme sebagai jalan keluarnya – Nasr amat
dipengaruhi dua tokoh terbesar filsafat perenial di zaman ini, yaitu Rene
Guenon dan Frithjof Schuon.

Dalam membicarakan sejarah ilmu pengetahuan Islam, kecenderungan


mistis ini juga tampak amat kuat. Nasr memandang bahwa ada satu
semangat yang selalu hadir dalam perkembangan beragam cabang ilmu
pengetahuan dalam Islam, yaitu keyakinan pada tauhid (khususnya
dalam penafsiran mistisnya). Karyanya yang terutama ditujukan untuk
menunjukkan hal ini adalah An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines. Conceptions of Nature and Methods Used for its study by the
Ikhwan al-Safa, al-Biruni, and Ibn Sina. (Pengantar Doktrin-doktrin
Kosmologis Islam. Pandangan Alam dan Metode yang Digunakan untuk
Mengkajinya Ikhwan al-Safa, al-Biruni, dan Ibn Sina, 1964) dan Science
and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam
Islam, 1968), yang berasal dari disertasi doktornya di Harvard. Karya
tersebut sebenarnya termasuk dalam disiplin sejarah ilmu pengetahuan,
namun amat kental diwarnai (atau ditafsirkan dengan menggunakan)
gagasan metafisis-mistis – dan karenanya mendapat kritik tajam dari
beberapa sejarawan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu
pengetahuan saat ini di dunia Islam boleh dikatakan mundur dengan
ukuran apa pun, tetapi sebagai gagasan ilmu pengetahuan Islam selalu
hidup, dan inilah yang tampaknya diharapkan kebangkitannya oleh
Nasr.

Mesti dicatat, bahwa ketika Nasr menyebut “ilmu pengetahuan Islam”,


itu masih dalam kerangka scientia sacra. Dan dalam kerangka ini,
penafsiran mistis-filosofis tentang alam amat mendominasi. Tak cuma
itu, dalam bidang matematika sekalipun, ia tampaknya memberikan
penekanan yang berlebih pada aspek mistisnya – yang telah ada sejak
zaman Yunani. Karena itu, sering kali memang tak tampak perbedaan
yang jelas antara mistisisme dan ilmu pengetahuan.

Bersama dengan makin menyebarnya filsafat perennial, pandangan


Nasr kini juga dianut banyak pemikir Muslim kontemporer. Ini terutama
tampak menonjol di Malaysia, di mana beberapa pemikir muda yang
pernah belajar di bawah bimbingannya di AS membentuk semacam
kelompok yang menghidupkan diskusi mengenai paham filsafat
perennial ini dalam banyak aspeknya.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Tokoh penting lain yang harus disebutkan di sini adalah Syed


Muhammad Naquib al-Attas, ilmuwan Malaysia kelahiran Indonesia .
Latar belakang akademis al-Attas adalah kajian sastra dan sejarah
Melayu. Namun pemikirannya, dalam bidang sejarah pun, nyaris tak
pernah lepas dari pembahasan metafisis atas Islam. Dan salah satu isu
terpenting dari metafisika Islam adalah posisi ilmu dan persoalan
epistemologi.

Al-Attas melihat bahwa dalam sejarahnya metafisika Islam telah


terumuskan dengan baik. Tujuan metafisika adalah penemuan
kebenaran. Dan kebenaran tak seharusnya berubah-ubah, karena jika
demikian tak lagi dapat disebut kebenaran, tetapi hanya dugaan.
Karenanya, sekali suatu metafisika, yang bertujuan menemukan
kebenaran, terumuskan dengan memadai, tugas berikutnya bukanlah
mencari kebenaran, namun mempertahankannya. Tantangannya di sini
adalah dalam soal pengungkapan metafisika itu dalam bahasa zaman
yang terus berubah, baik karena soal masa maupun tempat. Ia melihat,
metafisika Islam ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim, dan
pada kenyataannya memang telah tersebar ke seluruh wilayah dunia
Islam. Di wilayah Melayu, yang menjadi sasaran konsentrasi kajian
sejarah al-Attas, metafisika ini pun dalam sejarahnya telah berhasil
diungkapkan dengan baik oleh para ulamanya, khususnya Nuruddin al-
Raniri (w. 1658) dan Hamzah Fansuri (sekitar akhir abad ke-16).
Karenanya, kajian analitis al-Attas atas karya-karya kedua ulama ini,
misalnya, sekaligus dapat menjadi medium penjabaran metafisika Islam
itu.

Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada


tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang
sama dengan metafisika. Karenanya ilmu pengetahuan mesti
bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi itu. Maka tak
mengherankan jika kajian-kajian al-Attas tentang dua tokoh ulama
Melayu di atas berakhir dengan dan memiliki implikasi-implikasi teoretis
bagi suatu filsafat ilmu pengetahuan yang islami. Al-Attas memang lebih
kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan yang islami daripada
“ilmu pengetahuan Islam”. Istilah “islamisasi” pun digunakannya secara
terbatas, untuk diterapkan secara parsial atas temuan-temuan ilmu
pengetahuan kontemporer – meskipun pada mulanya dialah yang
pertama kali menggunakan istilah ini dalam maknanya yang dipahami
kini.

Bagi al-Attas, pembicaraan tentang ilmu pengetahuan Islam


kontemporer atau islamisasi ilmu pengetahuan hanyalah merupakan
satu bagian dari agenda permasalahan umat Islam yang lebih besar. Ia
melihat masalah terbesar umat Islam saat ini adalah “masalah ilmu”;
dan banyak masalah lainnya adalah akibat dari masalah ini. Karenanya
yang pertama kali diupayakannya adalah menggali konsep `ilm dari al-
Qur’an maupun sumber-sumber klasik Islam. Dengan cara ini, konsep
ilmu tersebut akan betul-betul autentik, dan baru dari sini kita dapat
berbicara tentang ilmu pengetahuan modern – apakah itu tentang upaya
islamisasi atas ilmu pengetahuan modern, ataupun sekadar adopsi, jika
memang tak ada keberatan penting. Sementara itu, upaya islamisasi
disiplin-disiplin ilmu secara khusus mengandung bahaya bahwa konsep-
konsep Islam itu justru akan ditundukkan oleh konsep-konsep yang ada
dalam disiplin-disiplin itu.

Mengenai ilmu pengetahuan modern, pendirian al-Attas relatif jauh lebih


terbuka dibanding beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap
islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan
teori-teori ilmu pengetahuan tertentu. Ini karena sampai tingkat tertentu,
temuan ilmu pengetahuan, misalnya teori gravitasi Newton, adalah
bebas nilai. Bagaimana dengan pandangan dunia mekanistis yang
mendasarinya? Baginya, ketika sampai pada masalah pandangan
dunia, tak perlu mencarinya dalam ilmu pengetahuan. Dalam hierarki
ilmu-ilmu dalam Islam, pandangan dunia diperoleh dari sumber selain
ilmu pengetahuan, dan dengan metode yang berbeda dari metode ilmu
pengetahuan. Karena itu, baginya dalam Islam tidak akan terjadi
semacam revolusi ala Copernicus, yang sempat menggusarkan Gereja
Kristen. Di satu sisi, hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan – yang banyak
dikritik sebagai sumber krisis global saat ini – dapat segera diadopsi
dengan melengkapinya dengan etika. Di sisi lain, menyangkut
epistemologi, posisi ilmu pengetahuan modern sebagai sumber
pencapaian kebenaran yang paling berwibawa ditolak mentah-mentah.

Yang terutama dikritiknya dalam filsafat ilmu pengetahuan modern


adalah pandangannya mengenai sumber-sumber ilmu – yang tak
mengakui adanya sumber kebenaran mutlak seperti al-Qur’an dan
otoritas – dan metodenya. Sebagai contoh, jika wahyu tak pernah diakui
sebagai sumber ilmu, bagaimana mungkin agama dapat hidup? Untuk
ini mungkin ada jawaban bahwa bagaimana pun ilmu pengetahuan tak
perlu berurusan dengan masalah-masalah yang sifatnya sudah non-
empiris. Namun pada kenyataannya ilmu pengetahuan dianggap
sebagai cabang ilmu yang paling berwibawa, dan filsafat modern sudah
tak mampu lagi mengatasi ilmu pengetahuan sehingga filsafat menjadi
sekadar penafsir temuan-temuan ilmu pengetahuan.

Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh


dengan menunjukkan secara terinci dasar-dasar penciptaan
epistemologi Islam, yang terutama didasarkan pada capaian-capaian
filosof Muslim terdahulu. Ini terutama dibahasnya dalam karya
terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam ( Mukadimah bagi
Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asas-asas metafisika
dan epistemologi Islam dengan bersandar pada temuan para filosof
Muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan
kepada individu-individu Muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup
dihayati, maka islamisasi tak menjadi persoalan lagi, karena akan terjadi
secara otomatis melalui diri individu-individu itu. Jadi, “lokus” islamisasi
bukanlah displin-disiplin ilmu, namun individu-individu ilmuwannya.
Karena itu pula al-Attas memberikan prioritas yang amat tinggi pada
pendidikan.

Isma’il Raji al-Faruqi


Pada awalnya Isma’il Raji’ al-Faruqi (1921-1986) – yang meninggalkan
tanah kelahirannya, Palestina, setelah negara Israel didirikan (1948) –
adalah seorang nasionalis Arab yang banyak menulis tentang agama
Yahudi dan perbandingan agama. Hingga kini pun, seperti tampak pada
banyak artikel di buku, jurnal, ataupun ensiklopedi, yang membahas
tentang sumbangan pemikirannya, ia lebih dikenal sebagai seorang
pemikir dalam disiplin kajian agama. Karya-karya terpentingnya di sini
adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak
Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and
Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan,
1982), dan Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis
Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought
and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan,
1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian agama.

Bukunya yang khusus membahas Islamisasi ilmu adalah Islamization of


Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982), dan, sebelumnya, artikel “Islamizing
the Social Sciences” (Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial, 1979). Di buku itu
ia secara terinci menggambarkan proyek islamisasi ilmunya, hingga ke
rincian langkah-langkah praktisnya.

Al-Faruqi sampai pada kesimpulan tentang perlunya islamisasi setelah


menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, politik, ekonomi, dan
budaya, Muslim terpinggirkan, kalah oleh dominasi Barat. Inti masalah
ini, menurutnya, adalah sistem pendidikan yang mengasingkan Muslim
dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang
seharusnya menjadi sumber kebanggaannya.

Solusinya, dengan demikian, adalah membenahi sistem pendidikan.


Sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama (madrasah)
dan ilmu non-agama (sekolah, universitas) mesti dipadukan kembali.
Pada tingkat ini pun Faruqi sudah mulai membayangkan langkah praktis
apa yang mesti dilakukan. Ia membayangkan, universitas-universitas di
dunia Islam mestinya cukup banyak memberikan pengajaran tentang
peradaban Islam. Tujuannya, memunculkan kembali identitas pelajar
Muslim.

Selain itu, ada masalah lain. Di universitas negara-negara Muslim, para


mahasiswa Muslim diajar capaian-capaian dan persoalan-persoalan
non-Muslim, diajari dengan menggunakan buku non-Muslim, untuk
mengembangkan cabang ilmu non-Muslim. “Pemuda Muslim dibaratkan
oleh dosen-dosen Muslim di universitas-universitas Muslim,” tulis al-
Faruqi. Di sinilah letak pentingnya islamisasi ilmu. Sampai di sini al-
Faruqi menjelaskan arti islamisasi pada tingkat konkretnya sebagai
berikut: “islamisasi ilmu adalah islamisasi disiplin-disiplin ilmu, atau
tepatnya, memproduksi buku-buku teks universitas yang telah dibentuk
kembali menuruti visi Islam, dalam sekitar dua puluh disiplin.”
Kesederhanaan dan bayangan langkah akhir yang tampak sudah amat
jelas dan praktis itu jelas mendukung penerimaan banyak orang
terhadap gagasan islamisasi itu.

Selanjutnya, secara terinci proyek islamisasi ilmunya dijabarkan dalam


12 langkah praktis. Pada garis besarnya, program itu diawali dengan
dua usaha yang berjalan paralel. Yaitu, penyerapan ilmu-ilmu yang
berkembang di Barat, dan pengembangan suatu sistem konseptual
yang bersumber pada nilai-nilai dan tradisi keilmuan Islam, sebagai
dasar pengembangan ilmu-ilmu yang dibutuhkan Muslim dan kriteria
seleksi bagi ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Setelah kedua prasyarat
ini dikuasai, yang mesti dilakukan adalah mensintesiskannya. Yaitu,
mengembangkan suatu ilmu islami yang merupakan hasil islamisasi
ilmu-ilmu modern plus pengembangannya lebih lanjut dalam matriks
konseptual islami itu. Kerja berikutnya adalah penyebaran hasil-hasil
upaya itu ke seluruh dunia Islam.

Ada dua hal yang penting dicatat di sini. Pertama, proses islamisasi
dikenakan secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu itu sendiri.
Kedua, program ini amat pragmatis, dalam artian benar-benar
berorientasi kepada kebutuhan untuk menerapkannya dalam
masyarakat Muslim. Hal yang kedua ini diterjemahkannya melalui IIIT
(International Institute of Islamic Thought; Lembaga Internasional Untuk
Pemikiran Islam) dalam sosialisasi kurikulum universitas yang dihasilkan
oleh proyek tersebut.

Namun, program yang terkesan sederhana itu, nyatanya tampak


menjadi rumit ketika orang harus berhadapan dengan disiplin-disiplin
ilmu yang akan diislamisasinya. Apa artinya “membentuk kembali” isi
buku teks agar menjadi sesuai dengan visi Islam? Pada beberapa
kasus, seperti ditunjukkan oleh beberapa publikasi IIIT, ini bisa berarti
hal yang tampak amat tak berarti. Misalnya, menulis “Bismillah” di awal
buku teks itu.

Bagaimanapun, dakwah islamisasi al-Faruqi benar-benar mendapat


pengikut yang amat banyak. Puluhan buku yang telah diterbitkan IIIT
telah mulai mencoba mengambil satu demi satu disiplin yang
dikembangkan di Barat dan, dengan segala cara dan daya cipta
pelakunya, melakukan islamisasi atasnya.

Ziauddin Sardar

Ziauddin Sardar (l. 1951) adalah doktor di bidang fisika asal Pakistan ,
yang dibesarkan di Inggris. Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin
menulis di beberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai
koresponden Nature, ia pernah berkeliling ke beberapa negara Muslim
untuk meneliti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana ,
sedangkan tulisan- tulisan awalnya tentang ilmu pengetahuan Islam
dipublikasikannya di New Scientist – salah satu di antaranya bahkan
pernah menjadi laporan utama majalah bergengsi itu.

Sardar menekankan pembahasannya pada penciptaan suatu ilmu


pengetahuan Islam kontemporer, yaitu sistem ilmu pengetahuan yang
sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam. Dibanding Nasr,
misalnya, ia tak terlalu menaruh perhatian pada sistem ilmu
pengetahuan yang secara aktual dikembangkan pada “Zaman
Keemasan” Islam.

Di samping menganjurkan penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam


kontemporer, Sardar juga amat keras mengkritik kelompok-kelompok
lain yang tak sejalan dengannya. Ia mengkritik kelompok Muslim yang
merasa bahwa dampak negatif ilmu pengetahuan modern dapat diatasi
dengan menambahkan etika Islam. Argumen ini menurutnya tak sah,
karena dampak ilmu pengetahuan modern juga menyangkut soal
kognitif, sehingga perumusan epistemologi Islam juga amat diperlukan.
Kelompok lain yang dikritiknya dengan amat keras adalah kelompok
yang disebutnya mengembangkan “Bucaillisme” yang diambil dari nama
Maurice Bucaille, yang buku-bukunya tentang kesesuaian al-Qur’an
dengan temuan kedokteran modern menjadi best-seller di negara-
negara Muslim. Praktik seperti ini menurutnya justru amat berbahaya,
karena teori-teori ilmu pengetahuan dapat berubah setiap saat,
sementara al-Qur’an tak boleh berubah. Dengan kata lain, kesesuaian
itu tak dapat menjadi argumen bagi kebenaran al-Qur’an – sesuatu yang
justru diupayakan Bucaille dan banyak sarjana Muslim lain. (hlm…
dalam artikel “Pemikiran Islam Pasca-1945)

Dalam mengemukakan argumen-argumennya mengenai ilmu


pengetahuan Islam, Sardar selalu memulai dengan kritik-kritik amat
keras terhadap ilmu pengetahuan modern. Berbeda dengan Nasr yang
menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisionalis, Sardar dengan
amat baik memanfaatkan kritik-kritik dari kalangan filsuf dan sejarawan
ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmentalist (pecinta
lingkungan), bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak sejak
tahun 1960-an. Kritik-kritiknya ini biasanya berujung pada pernyataan
ketaknetralan ilmu pengetahuan modern, dan besarnya pengaruh
budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan itu, serta dalam
dampak-dampaknya.

Secara lugas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argumen


tentang perlunya ilmu pengetahuan islami. Pertama, bahwa dalam
sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu
pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban Islam pun
dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang
unik; ketiga, ilmu pengetahuan Barat bersifat destruktif terhadap umat
manusia, hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan Barat tak
dapat memenuhi kebutuhan material, kultural, dan spiritual masyarakat
Muslim. Di titik inilah Sardar masuk untuk menawarkan alternatif Islam.
Konsekuensi logis yang dapat ditarik dari kritik-kritiknya itu, adalah
bahwa yang diperlukan kini adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan
– hingga ke tingkat epistemologi dan pandangan dunianya – untuk diisi
dengan nilai-nilai Islam, agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam,
yang lebih sesuai dengan kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah Muslim.
Dalam bahasanya sendiri, ini adalah upaya “kontemporerisasi ilmu
pengetahuan islam”.

Pembicaraan Sardar tentang ilmu pengetahuan Islam ditempatkan


dalam konteks upaya pembangunan kembali peradaban Islam dalam
segala aspeknya. Pandangan Sardar terhadap peradaban bersifat
struktural. Di pusat peradaban ada pandangan dunia, yang tercermin
dalam syariah dan epistemologi Islam yang merupakan sumber nilai-
nilai bagi seluruh aspek peradaban. Ungkapan eksternal dari keduanya
adalah subsistem-subsistem peradaban, seperti politik, ekonomi, juga
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, baginya, berbicara
tentang peradaban Islam harus dimulai dari pembicaraan tentang
pandangan dunia dan epistemologi itu.

Di sisi lain, hal ini berarti bahwa jika ia menginginkan perubahan


mendasar dalam sistem ilmu pengetahuan yang sedang berlaku di
dunia ini, itu berarti perubahan hingga ke masalah pandangan dunia,
yaitu suatu tatanan konseptual yang dapat berfungsi (workable) dalam
melahirkan sistem-sistem sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan,
dan sebagainya. Malangnya, Sardar melihat hingga kini pandangan
dunia Islam yang diinginkannya itu belum terumuskan. Ia sendiri tak
pernah beranjak cukup jauh dari sekadar menyarankan perlunya
pembangunan kembali peradaban Islam dengan formula teoretis yang
ditawarkannya. Dalam hal ilmu pengetahuan, ia tak pernah beranjak
cukup jauh dari ideal-ideal “ilmu pengetahuan Islam kontemporer”-nya.

Dalam buku terakhirnya, Exploration in Islamic Science (Penyelidikan


Dalam Ilmu Pengetahuan, 1989), Sardar menyebut dirinya dan
beberapa rekannya (di antaranya, Munawar Ahmad Anees, Meryl Wynn
Davies, dan S. Parvez Mansoor) yang sama-sama bercita-cita
menciptakan ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai kelompok
Ijmali (kata yang maknanya bernuansa keindahan, sintesis, dan
keseluruhan). Pada awalnya, kelompok ini bergabung dalam majalah
bulanan Afkar/Inquiry (terbit di Inggris), yang dikhususkan untuk
membahas isu-isu peradaban Islam, khususnya yang menyangkut ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Exploration bisa dianggap sebagai karya konklusif Sardar yang memuat


seluruh perkembangan gagasannya – dengan beberapa argumen dan
dukungan data historis baru – tentang ilmu pengetahuan Islam. Tak
kurang dari separuh bukunya merupakan usaha memetakan posisi
beberapa pemikir Muslim ternama tentang masalah ilmu pengetahuan
dan Islam. Di antaranya ia menyebut adanya kecenderungan
“Bucaillisme” yang disebut di atas, lalu mazhab Nasr yang amat kental
didominasi perspektif mistisisme, kelompok mayoritas Muslim yang
menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu netral dan bebas nilai
sehingga agenda utamanya adalah bagaimana mengejar ketertinggalan
Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua
kelompok ini dikritiknya dengan amat keras. Alternatifnya adalah
gagasan Sardar dan kelompok Ijmali.

Ilmu pengetahuan Islam kontemporer diajukan Sardar sebagai alternatif


terhadap ilmu pengetahuan Barat, tak cuma bagi masyarakat Muslim,
tetapi juga sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan yang dapat
memperbaiki dan mengubah secara radikal sistem ilmu pengetahuan
yang wujud saat ini, yang telah terbukti membawa dampak-dampak
negatif luar biasa bagi alam, masyarakat, dan psikologi manusia modern
secara global.

Ada delapan tingkat kerja yang diajukannya untuk membangun kembali


ilmu pengetahuan Islam: perumusan kembali epistemologi Islam,
penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru, kajian analitis
terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi Islam, penyusunan
kebijakan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim, penelitian
empiris, pembangunan lembaga-lembaga riset, pemaduan sistem ini
dalam sistem pendidikan, dan penyebaran kesadaran akan masalah-
masalah ilmu pengetahuan dalam masyarakat.

Lalu seperti apa bentuk praktis ilmu pengetahuan Islam? Sardar tak
pernah mengemukakannya secara lugas. Mungkin ini memang tak
berada dalam lingkup pemikirannya. Namun dalam tingkat pandangan
dunia dan epistemologi pun ia berhenti dalam pembahasan beberapa
nilai-nilai Islam, seperti tauhid, khilafah, halal-haram. Bagi kelompok
yang pesismis terhadap wujudnya ilmu pengetahuan Islam, ini tak jauh
berbeda dari sekadar menambahkan etika Islam dalam penerapan ilmu
pengetahuan modern, atau memberikan tafsir islami terhadap temuan-
temuannya – dan bukan rekonstruksi radikal atas ilmu pengetahuan
modern. Sardar sendiri menyebutkan bahwa “model ilmu pengetahuan
Islam itu masih membutuhkan kerja lebih lanjut yang amat banyak.”
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan

Gagasan-gagasan para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu


pengetahuan atau penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam di atas
dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu “gerakan”. Ini karena
meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan
terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya
masing-masing, untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan
gagasan tersebut pada tingkat praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka
dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas jika dilihat bahwa gagasan-
gagasan Iqbal – secemerlang apa pun gagasannya, dibandingkan
dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun – tinggal sebagai
gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat
meneruskan cita-citanya.

Syed Hosein Nasr, misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal


yang mengembangkan gagasannya, mempunyai banyak murid yang
aktif menulis mengembangkan perspektif tradisionalisnya di beberapa
negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid terpenting Nasr adalah
Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master dalam bidang
matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple
University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya
terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan
ILmu Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang
sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas
Ilmu pengetahuan, Universiti Malaya.

Ziauddin Sardar dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual


Islam melalui majalah Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini
secara amat gencar mengupas satu demi satu bidang-bidang ilmu
pengetahuan – di antaranya biologi, masalah lingkungan, juga
antropologi – dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam
kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun
(1984-1987), sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam
menampilkan gagasan-gagasan baru itu. Setelah itu, para penyumbang
utamanya lebih banyak menerbitkan buku.

Salah seorang tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad


Anees, seorang doktor di bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang
biologi modern tak hanya berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah
menukik hingga ke beberapa masalah praktis. Di sini ia juga melihat
implikasinya pada fikih Islam. Selain artikel-artikel yang ditulisnya di
Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku, Islam and the Biological
Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees ada Meryl
Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk diterapkan
dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi Islam
yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal).
Lalu ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif
Islam atas lingkungan dan ilmu politik kontemporer.

Di luar lingkup gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah


jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Aligarh, India, Journal of
Islamic Science (Majalah Ilmu Pengetahuan Islam). Jurnal ini
sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian masalah-masalah di
seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal ini mirip
dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis
yang radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik
terhadap ilmu pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan
ilmu pengetahuan Islam sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang
berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal penting di lingkungan
akademis.

Pada 1981, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus


untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek
islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought, IIIT (Lembaga
Internasional Untuk Pemikiran Islam) . Mendahului pembentukan IIIT
adalah penyelenggaraan konferensi tentang islamisasi ilmu di Swiss
pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association of Muslim
Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah
Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim),
sebuah organisasi Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-
Faruqi sebagai salah seorang pendirinya (-> artikel “Minoritas Muslim
pada Abad ke-20). Konperensi tentang islamisasi ilmu ini berlanjut
dengan konperensi kedua ( Islamabad , 1983), ketiga (Kuala Lumpur,
1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini berbasis di
Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak
berkembang amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama
disebabkan oleh kuatnya pengaruh IIIT di Universiti Islam Antarbangsa
(International Islamic University, IIU) Malaysia .

Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah
berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan
Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social
Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam).
Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke
dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial,
seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.

Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat
gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam
lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai
menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara
Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi
gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.

Di Malaysia, selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi


ilmu versi IIIT, ada pula International Institute of Islamic Thought and
Civilization, ISTAC (Lembaga Internasiona untuk Pemikiran dan
Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987. ISTAC didirikan sebagai
perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang berdasarkan
konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun
sebelum lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan
menarik banyak dosen dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia
Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal pemikiran Islam, Al-Shajarah,
diterbitkan ISTAC.

ISTAC juga menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya,


terutama dalam bidang pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini
menerbitkan sebuah buku tentang ilmu pengetahuan Islam (Islamic
Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan Islam, Menuju Suatu
Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal Turki yang
belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di
ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas
tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya
mendefinisikan ilmu pengetahuan Islam secara tajam.

Dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat -


untuk mendatangkan dosen-dosen dari negara-negara Muslim,
memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset - ISTAC
tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-
Attas, sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi
teoretis bagi proyek islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih
menekankan pada pengembangan landasan teoretis yang terutama
menyangkut metafisika dan epistemologi ini daripada melakukan upaya
islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu.

Ada sebuah fenomena penting lainnya berhubungan dengan hal ini. Jika
dapat dipisahkan antara dunia akademis dan aktivisme, maka "gerakan"
tersebut bisa dikatakan berlangsung lebih dalam konteks aktivisme
Islam - setidaknya dari sudut pandang dunia kajian Islam (Islamic
studies) yang berkembang amat pesat di Barat pada abad ke-20 ini.
Sardar, meskipun mendapat gelar doktornya di bidang fisika, lebih
dikenal sebagai "wartawan" - sebuah sebutan peyoratif di lingkaran
akademis. Faruqi pada awalnya memang lebih dikenal sebagai aktivis
nasionalis Arab. Sementara Nasr dikenal baik di lingkungan akademis,
tetapi lebih sebagai seorang sejarawan ilmu pengetahuan - yang teori-
teorinya mengenai ilmu pengetahuan Islam mendapat banyak kritik
karena terlalu kental dengan pernyataan-pernyataan apriori tentang sifat
ilmu pengetahuan Islam. Di lingkungan akademis Barat, Naquib al-Attas
pun tak dikenal sebagai pemrakarsa gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan, tetapi lebih sebagai sejarawan dengan spesialisasi
sejarah Islam di Kepulauan Melayu.

Akibatnya, hingga kini gagasan-gagasan itu tak banyak dibicarakan di


lingkungan akademis di luar dunia Islam. Ini sama sekali tak lalu harus
berarti para penggagas ide tersebut tak memberikan sumbangan
konseptual dalam wilayah kajian Islam. Tetapi, kepentingan
pengembangan gagasan ini memang lebih ditujukan untuk
pengembangan masyarakat Muslim, daripada semata-mata untuk
kepentingan akademis kajian Islam.

Meskipun demikian, mesti pula dicatat bahwa wacana islamisasi ilmu


pengetahuan atau ilmu pengetahuan Islam ini berlangsung terutama
dalam bahasa Inggris. (IIIT menerbitkan cukup banyak buku dalam
bahasa Arab, namun buku-buku terpentingnya lebih awal terbit dalam
bahasa Inggris.) Kenyataan ini menunjukkan satu hal lain: bahwa
sebagian amat besar, kalau tidak semua, penggagas ide tersebut
pernah mendapatkan pendidikan di "negara-negara sekuler" Amerika
atau Eropa, sehingga cukup terekspos dengan nilai-nilai dari apa yang
sering mereka sebut "peradaban Barat". Sebuah kenyataan lain yang
ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa gagasan ini merupakan sesuatu
yang "baru" dalam sejarah intelektual Islam, sedemikian hingga
beberapa terminologi baru dalam bahasa Inggris harus diciptakan,
sementara penerjemahannya ke dalam bahasa Arab - yaitu, bahasa
intelektual Islam - sering kali terasa ganjil. Penerjemahan "ilmu
pengetahuan Islam" atau "islamisasi ilmu" ke dalam bahasa Arab
nyatanya menjadi problematis.

Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu

Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada
pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini
mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling
penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa
ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah
pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang
bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam
teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam
lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk
tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan
adalah alat, bukan tujuan.

Dua gagasan yang serupa dan dapat mewakili spektrum gagasan yang
menolak islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam adalah Fazlur
Rahman (1919-1988) dan Pervez Hoodbhoy (l. 1950). Rahman adalah
sarjana Muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Qur'an, sementara
Hoodbhoy adalah doktor di bidang fisika nuklir yang mendapatkan gelar
doktornya dari MIT. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana
ilmu pengetahuan Islam, keduanya memang tak menonjol. Rahman
hanya menulis dua artikel singkat tentang masalah ini (Arabia, 1986,
dan AJISS, 1988). Hoodbhoy menulis sebuah entri tentang ilmu
pengetahuan dan Islam dalam The Oxford Encyclopaedia of the Modern
Islamic World, (Ensiklopedi Oxford tentang Dunia Islam Modern, ed.
John Esposito, 1995) dan satu buku, Islam and Science, Religious
Orthodoy and the Battle for Rationality (Ortodoksi Keagamaan dan
Perjuangan demi Kerasionalan, 1992) - yang sempat memancing
polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangan-pandangan
mereka cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.

Yang pertama adalah Fazlur Rahman. Sarjana asal Pakistan yang amat
diakui di lingkungan akademis Barat ini pernah secara khusus
memberikan tanggapannya terhadap gagasan islamisasi ilmu. Meskipun
tanggapan ini tak terlalu rinci dibandingkan dengan apa yang telah
berlangsung dalam wacana islamisasi, pandangannya tetap layak
diikuti, karena ia mewakili satu arus yang cukup banyak pengikutnya.

Menulis untuk majalah Arabia di awal tahun 1986 ia mengkritik Ziauddin


Sardar yang menurutnya sama sekali tak akrab dengan tradisi
intelektual Islam masa lampau. Rancangan sistematis al-Faruqi
mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu dianggapnya terlalu
mekanistis. Dan meskipun keduanya mengkritik Barat dengan amat
keras, mereka tampaknya justru tak dapat melepaskan diri dari Barat.
Sardar mengutip kritik Barat terhadap ilmu pengetahuan Barat, bahkan
definisi Barat mengenai ilmu. Sementara Faruqi, dalam urutan langkah-
langkah programnya, tampak lebih mementingkan penguasaan ilmu
pengetahuan Barat, yang mesti lebih dulu digarap, daripada tradisi
Islam sendiri. Nasr dan al-Attas dilihatnya hanya akrab dengan bagian-
bagian tertentu dari tradisi intelektual Islam.

Dalam AJISS (1988), terbitan IIIT, ia menuliskan tanggapannya lebih


jauh. Dengan tegas Rahman menulis: "Apa pun yang mengekspos
sesuatu yang baru pada pikiran adalah ilmu. Ilmu itu sendiri tidaklah
buruk tetapi penyalahgunaannya yang buruk." Dan persoalan baik buruk
adalah persoalan moral. Sebagai contoh adalah sihir, yang dikutuk oleh
al-Qur'an, namun dikategorikan sebagai ilmu.

Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuwan Muslim menyerap amat


banyak unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Di kalangan
ilmuwan Muslim, ada banyak temuan yang berkaitan dengan masalah
keimanan yang mendasar, dan beberapa di antaranya saling
bertentangan. Persoalannya kemudian adalah menguji kesesuaian
temuan-temuan itu dengan ajaran al-Qur'an. Bagi Rahman, sebetulnya
inilah yang merupakan tugas mendesak. Setelah ini, dengan kriteria
yang sama, yaitu al-Qur'an, tradisi intelektual Barat juga harus dinilai.
Dan kerja ini bukanlah kerja mekanis. Istilah "islamisasi" bagi Rahman
mengesankan sifat mekanis ini. Karena seakan-akan dalam
mengahadapi berbagai ilmu yang datang dari Barat - misalnya, teori-
teori Durkheim dan Weber - kita akan duduk begitu saja dan
mengislamisasikannya. Ini tak mengarah pada penciptaan ilmu yang
kreatif.

Jadi, sebetulnya Rahman tak sepenuhnya menentang gagasan ini,


namun lebih menentang beberapa varian dari gagasan ini yang
memang terkesan bersifat mekanis. Ini, misalnya, tampak dalam
program 12 langkah Ismail Faruqi. Sementara gagasan bahwa sebagian
tubuh ilmu pengetahuan tak sesuai dengan Islam diakuinya. Tetapi
persoalannya juga lalu tak hanya ilmu yang datang dari Barat, namun
dalam tradisi Islam sendiri tak tertutup kemungkinan adanya teori-teori
yang tak sesuai dengan Islam.

Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman ini adalah
bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya
dibicarakan dalam konteks "aktivisme Islam" itu ke dalam kerangka
perdebatan teoretis yang lebih besar. Yaitu, tentang bagaimana
seharusnya Muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang
diturunkan dari al-Qur'an secara absah. Termasuk di sini adalah
penciptaan kriteria untuk menilai sejauh mana keislaman tradisi Islam
sendiri. Ini adalah persoalan metodologi membaca al-Qur'an dalam
konteks pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi Muslim. Dan
memang inilah obsesi terpenting Rahman yang tampak dalam karya-
karya utamanya.

Kritik Pervez Hoodbhoy bertumpu pada pandangan instrumentalis yang


sama dengan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu
pengetahuan sebagai landasannya. Serupa juga dengan Rahman, ia
sebenarnya lebih mengarahkan kritiknya pada beberapa varian dalam
wacana islamisasi ilmu, yang terutama diwakili oleh Faruqi dan Sardar.
Di beberapa tempat lain, gagasan "ilmu pengetahuan Islam" yang
dikritiknya pun sebetulnya terbatas pada upaya seperti yang dilakukan
Maurice Bucaille - yang oleh Sardar pun dikritik amat keras.

Hoodbhoy mempertanyakan kebermaknaan istilah "ilmu pengetahuan


Islam" sendiri. Menurutnya, harus dilakukan pembedaa antara ilmu
pengetahuan yang dipraktikkan Muslim - saat ini maupun di zaman
keemasan Islam - dengan konsep "ilmu pengetahuan Islam" yang
dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam. Konsep "ilmu
pengetahuan Islam" dapat dinafikan kebermaknaannya setidaknya
dengan tiga alasan.

Pertama, bahwa setelah beberapa dasawarsa dibincangkan, hingga kini


belum ada yang bisa disebut ilmu pengetahuan Islam, dan tak ada satu
pun instrumen yang diciptakan atau eksperimen yang berhasil
dibuktikan oleh upaya ini. Kedua, bahwa ilmu pengetahuan tak pernah
dibangun atas dasar seperangkat keyakinan. Apapun keyakinan -
filosofis ataupun religius - seorang ilmuwan, teori ilmu pengetahuan
akhirnya harus dibuktikan dengan prosedur normal ilmu pengetahuan,
yaitu, percobaan dan pengujian. Terakhir, hingga kini belum tercapai
kesepakatan tentang apa yang dimaksud "ilmu pengetahuan Islam".
Yang ada adalah polemik tak berkesudahan selama puluhan tahun
terakhir.

Di samping itu, Hoodbhoy juga mengajukan data-data historis bahwa,


ketika masalah keyakinan religius dibawa-bawa dalam praktek ilmu
pengetahuan, maka yang kerap terjadi adalah eksekusi ilmuwan oleh
kaum agamawan ortodoks. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam
dan islamisasi dipandangnya sebagai mewakili kaum ortodoks zaman
ini, yang dikhawatirkan justru menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan, sebagaimana telah terjadi dalam sejarah Kristen maupun
sejarah Islam yang lebih awal.

Agenda Hoodbhoy jelas: bagaimana memperkuat infrastruktur di


negara-negara Muslim agar riset dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi maju pesat. Pembicaraan teoretis tentang suatu ilmu
pengetahuan yang didasari oleh nilai-nilai Islam adalah pembicaraan
yang salah arah, dan justru mengalihkan perhatian Muslim dari agenda
yang sesungguhnya.

Bagi para pendukung islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam,


argumen-argumen Hoodbhoy mungkin dapat dijawab dengan mudah.
Gagasan para pendukung alih ilmu pengetahuan dan teknologi Barat
yang mayoritas berpandangan instrumentalis mungkin juga mudah
dipahami. Namun, hingga waktu yang cukup lama, penerimaan yang
luas atas gagasan mereka memang tampaknya akhirnya bergantung
pada sejauh mana gagasan-gagasan abstrak tentang ilmu pengetahuan
Islam dapat juga menjawab masalah praktis dan mendesak yang
tampak menyolok di depan mata: ketertinggalan Muslim. Jika didesak
hingga ke titik ini, rata-rata jawaban mereka adalah bahwa situasi saat
ini, yaitu keadaan terlanjurnya umat Islam hidup dalam lingkungan ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat, memang tak dapat dihindari.
Sebelum konsep komprehensif tentang ilmu pengetahuan Islam
terumuskan dengan baik, maka yang bisa dilakukan adalah
memperkecil dampaknya, dengan cara menggunakan etika sebagai
kriteria pemilihan unit-unit ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan
dikembangkan.

Kecenderungan Wacana Islam dan Ilmu Pengetahuan di Indonesia

Di Indonesia, pembicaraan tentang Islam dan ilmu pengetahuan tampak


sejalan dengan - dan, sebagian besarnya, mengikuti - apa yang
berkembang di kalangan pemikir Muslim dunia umumnya. Hingga
dasawarsa 1980-an, tulisan-tulisan tentang Islam dan ilmu
pengetahuan, yang amat langka, terutama berkaitan dengan
sumbangan Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern,
sejarah tokoh-tokoh ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam, ataupun
kesejajaran ajaran Islam dengan temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Di
sini kita bisa menyebut, misalnya, karya S.I. Poeradisastra yang paling
menonjol, Sumbangan Islam untuk Ilmu Pengetahuan (1981) dan
beberapa buku Soedewo P.K. yang menulis tentang teori-teori mutakhir
ilmu pengetahuan dan kesesuaiannya dengan tauhid dan al-Quran. Di
masanya, pada tahun 1960-an, karya-karya Soedewo dapat dikatakan
maju. Mungkin karena Soedewo berasal dari lingkungan Ahmadiyah, ia
menjadi tak cukup menonjol, bukunya juga tak tersebar luas.

Diskursus tentang masalah ini tampak lebih menonjol ketika


kecenderungan wacana "islamisasi ilmu" berkembang di luar. Dimulai
pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, pembicaraan tentang
islamisasi ilmu cukup mendominasi dan mencapai klimaksnya pada
akhir dasawarsa itu.

Salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan
menandai munculnya wacana islamisasi ilmu adalah "Diskusi Panel
Epistemologi Islam", di Masjid Istiqlal, 23 November 1985 . Seperti
tampak dalam makalah-makalahnya, kata "epistemologi" dalam tema
diskusi panel tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya
dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami daripada
sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Varian
pandangan yang muncul dalam diskusi itu pun berada dalam kerangka
wacana islamisasi ilmu yang telah berkembang di luar.

Pandangan yang kontra, misalnya, muncul dari Harun Nasution, yang


menulis makalah berjudul "Etika Ilmu pengetahuan dalam Islam". Inilah
sebuah tema penting dalam wacana islamisasi ilmu, yang kerap
diajukan sebagai alternatif dari upaya mengislamkan ilmu pengetahuan.
Kalimat pertama dalam makalah Harun Nasution adalah penjelasan
posisinya secara amat tegas, bahwa tak ada yang dinamakan
epistemologi Islam, karena ilmu pengetahuan adalah netral. Yang
penting dicatat di sini, untuk menunjukkan bahwa diskusi itu ada dalam
wacana islamisasi ilmu, adalah kalimat berikutnya yang menyatakan
ketakpercayaan pada gagasan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu-ilmu.

Sementara itu, makalah-makalah A.M. Saefuddin, Armahedi Mahzar,


Miska M. Amien, dan Jalaluddin Rakhmat, berusaha menggali unsur-
unsur epistemologi Islam dengan visi penciptaan suatu ilmu
pengetahuan islami. Unsur-unsur tersebut, antara lain, adalah prinsip-
prinsip metafisis yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara
memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu, dan tujuan pencarian ilmu.

Selain dalam banyak seminar, hingga pada akhir dasawarsa 1980-an,


isu islamisasi ilmu amat sering muncul dalam beberapa jurnal
keislaman. Yang penting dicatat di sini adalah Ulumul Qur'an, yang
pada edisi-edisi awalnya sempat menurunkan isu ini sebagai tema
utamanya. Pada saat yang sama, dalam ruang lingkup yang lebih kecil,
buletin 24-halaman Salman, yang diterbitkan oleh sekelompok
mahasiswa di masjid Salman-ITB, sempat secara amat gencar
membahas isu ini. Sementara dalam Ulumul Qur'an spektrum pro-
kontra mengenai gagasan ini terwakili, Salman tampak hanya mewakili
gagasan-gagasan yang muncul dalam Afkar-Inquiry (yaitu, "kelompok
Ijmali"). Ulumul Qur'an, diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF), mencerminkan hangatnya perdebatan mengenai isu ini,
hingga setidaknya tahun 1993. Sebagai jurnal kajian Islam dengan tiras
terbesar, Ulumul Qur'an dapat dikatakan mewakili arus utama
perbincangan intelektual Muslim. LSAF sendiri cukup banyak
mensponsori berbagai diskusi, termasuk "Diskusi Panel Epistemologi
Islam" di atas. Beberapa penulis yang muncul di UQ sempat
mengemukakan pandangannya yang cukup komprehensif seperti,
misalnya, Hana Djumhana Bustaman, yang mengembangkan psikologi
islami.

Buku-buku yang diterbitkan mengenai isu ini di Indonesia , nyaris


semuanya merupakan terjemahan. Dan hampir semua buku utama dari
berbagai varian pandangan telah diterjemahkan. Dari penulis Indonesia
sendiri, hanya sedikit nama yang dapat disebutkan. Sebagian besar dari
mereka menulis di jurnal atau majalah keislaman, dan hanya amat
sedikit yang menulis buku khusus mengenai masalah ini.

Di antara yang sedikit ini, Ahmad Baiquni menulis Islam dan Ilmu
Pengetahuan Modern (1983). Pandangan Baiquni - seorang fisikawan -
mirip dengan Abdus Salam. Bagi Baiquni, berbicara tentang Islam dan
ilmu pengetahuan berarti menunjukkan kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an
dengan temuan ilmu pengetahuan kontemporer. Ia, di antaranya,
menunjukkan bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang
memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.

Tokoh-tokoh lain yang dapat disebut di sini adalah Jalaluddin Rakhmat,


Dawam Rahardjo, dan Armahedi Mahzar. Keakraban Rakhmat dengan
metodologi penelitian membuahkan beberapa artikel yang konsisten
(dimuat sebagai salah satu bab dalam bukunya Islam Alternatif) tentang
Islam dan ilmu pengetahuan. Ia menekankan pada proses pencarian
ilmu - mulai dari pilihan isu hingga penerapannya. Dalam setiap tahap
proses itu, ajaran Islam - sebagai pranggapan metafisis maupun
pertimbangan etis - dapat ambil bagian. Hasil dari proses pencarian ilmu
yang tiap tahapnya diwarnai Islam ini adalah ilmu yang islami.

Sementara itu, Armahedi Mahzar jauh sebelumnya telah dikenal lewat


bukunya Integralisme. Dengan apa yang disebutnya sebagai
"pendekatan integralis", Armahedi berusaha menunjukkan lapis-lapis
struktur ilmu pengetahuan dan di mana Islam dapat masuk untuk
mewarnai lapis-lapis itu. Dengan latar belakang fisikanya, ia juga kerap
menunjukkan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan kontemporer
dengan pandangan Islam di tingkat metafisika. Ini sejalan dengan
munculnya literatur-literatur ilmu pengetahuan kontemporer yang
diilhami oleh pengamatan akan adanya kesejajaran temuan ilmu
pengetahuan, khususnya fisika, dengan pandangan tradisional
(termasuk agama) yang holistis tentang alam semesta.

Populernya mazhab tradisionalisme (perenialisme) yang digagas Syed


Hossein Nasr dan kawan-kawan di Indonesia pada sekitar 1994 dan
1995 ikut mewarnai wacana tentang Islam dan ilmu pengetahuan. Di
sini yang banyak dibincangkan adalah pandangan holistis tentang alam
semesta.

Setelah perbincangan tentang tema ini tampak melemah selama


beberapa tahun di awal 1990-an, pada Agustus 1994 diadakan seminar
internasional tentang Islam dan ilmu pengetahuan di IAIN Sunan
Gunung Djati, Bandung dengan sponsor Lembaga Mukjizat Al-Qur'an,
yang berada di bawah Rabithah 'Alam Islami (Liga Dunia Islam), yang
berpusat di Mekah. Sesuai dengan nama lembaga sponsor itu,
penekanan seminar itu adalah pada pengungkapan kesesuaian temuan
ilmu pengetahuan modern dengan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dianggap
sebagai mukjizat.

Lalu, pada Juni 1996, bersama dengan lembaga itu dan IIIT, B.J.
Habibie (l. 1936) - sebagai ketua ICMI yang giat mengembangkan
teknologi tinggi di Indonesia - melakukan penandatangan kesepakatan
pembentukan forum bersama untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan
sumberdaya manusia di depan Ka'bah, Mekah. Forum yang bernama
International Islamic Forum for Science, Technology and Human
Resources Development, (IFTIHAR, Forum Islam Antarbangsa untuk
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia) itu pada 6-8
Desember 1996 mengadakan konferensi pertamanya di Jakarta .
Konferensi yang diikuti 400 peserta dari 50 negara itu menunjuk Habibie
sebagai ketuanya, dan melahirkan rancangan aksi yang disebut
Deklarasi Jakarta. Terselenggaranya konperensi ini sendiri tak bisa
dilepaskan dari figur Habibie - sebagai ketua ICMI dan Menteri Riset
dan Teknologi - yang melahirkan slogan "iptek dan imtak" (ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan iman dan takwa)".

Majalah Islam yang berbasis di London Impact International menjadikan


peristiwa ini sebagai laporan utamanya, dengan judul "Science and The
Muslim World, Breaking the Self-Exile" (Januari 1997). Seperti ditulis di
situ, dari segi jumlah dan keragaman pesertanya, konferensi ini bisa
disejajarkan dengan Konferensi Internasional Pertama tentang
Pendidikan Islam di Mekah pada 1977. Masih dibutuhkan beberapa
waktu sebelum arah dan efektivitas forum ini bisa dinilai. Namun melihat
isi rancangan aksi tersebut dan dipilihnya Habibie sebagai ketua, telah
tampak bahwa forum ini akan lebih pragmatis, dan mengikuti gagasan
Abdus Salam dalam melakukan pemerataan ilmu pengetahuan dan
teknologi di dunia Islam daripada terlibat dalam pembicaraan teoretis
tentang pembentukan ilmu-ilmu Islami.

Dua minggu setelah konferensi internasional itu (23-24 Desember), di


Universitas Islam '45 (Unisma), Bekasi, dalam lingkup yang lebih kecil
diadakan seminar internasional lain bertema islamisasi ilmu. Seminar ini
merupakan bagian dari rangkaian "The South-East Asian Region
Seminars on the Islamization of Knowledge" dengan fokus Indonesia ,
yang diadakan IIIT untuk memasyarakatkan gagasan islamisasi ilmu
versi lembaga itu. Banyak buku terbitan IIIT juga telah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia . Sementara dari pihak Indonesia , penyelenggara
seminar itu adalah M. Dawam Rahardjo, sebagai Rektor Unisma dan
Ketua LSAF. Sejak awal berdirinya, Dawam juga menjabat sebagai
Pemimpin Redaksi Ulumul Qur'an.

Satu hal penting yang dapat disimpulkan dari seluruh perkembangan ini
adalah bahwa kecenderungan wacana tentang Islam dan ilmu
pengetahuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan miniatur dari
wacana serupa yang muncul di luar. Ini berkaitan baik dengan tahap-
tahap perkembangan wacana itu, maupun dengan adanya spektrum
pandangan-pandangan yang semuanya mendapatkan wakilnya di sini.

Penulis: Zainal Abidin Bagir ( 19/05/1997 )

Editor: J. H. Meuleman ( 05/09/1997 )

Input koreksi dari TA ( 17/07/1998 )

DAFTAR PUSTAKA

Abaza, Mona, Some Reflections on The Question of Islam and Social


Sciences in the Contemporary Muslim World, Social Compass, vol.2,
No.40, 1993, hlm. 301-321.

Acikgenc, Alparslan, Islamic Science, Towards A Definition,


International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur ,
1996.

Anees, Munawar Ahmad, Islam and the Biological Futures, Ethics,


Gender and Technology, Mansell. London , 1989 (terj. Islam dan Masa
Depan Biologis, Penerbit Mizan, 1991).

Al-Attas, Syed M. Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam,


International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur,
1995. (Bab berjudul "Islam and Philosophy of Science" telah
diterjemahkan: Islam dan Filsafat Sains, Penerbit Mizan, 1995).

________, Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future,


Mansell, London , 1985 (pertama kali terbit pada 1978, terj. Islam dan
Sekularisme, Pustaka Salman, 1981).

Baiquni, Ahmad, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka


Salman.

Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essays on the History and


Philosophy of Islamic Science, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur , 1991.
(terj. Tauhid dan Sains, Pustaka Hidayah, 1994).

Barzinji, Jamal, History of the Islamization of Knowledge, makalah pada


International Seminar-Workshop on Islamization of Knowledge",
Universitas Islam '45, Bekasi, 23-24 Desember 1996.

Bucaille, Maurice, La Bible, le Coran et la science. Les ecritures saintes


examinèès á la lumiére des connaissances modernes. Segher, Paris,
1976.

Davies, Meryl Wynn, Knowing One Another, Toward an Islamic


Anthropology, Mansell, London , 1988.

al-Faruqi, Islamization of Knowledge, International Institute of Islamic


Thought, Washington D.C. , 1982. (terj. Islamisasi Pengetahuan,
Pustaka Salman, 1984).

Faruqi, M.H., Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile,
Impact International, Januari 1997.

Ghulsyani, Mahdi, The Holy Qur'an and the Sciences of Nature, Islamic
Propagation Organization, Tehran , 1986. (terj. Filsafat Sains Menurut
Al-Quran, Mizan, Bandung , 1988.

al-Hassan, Ahmad Y., dan Donald R. Hill, Islamic Technology: an


Illustrated History, Unesco dan The Press Syndicate of the University of
Cambridge , Cambridge , 1986 (terj. Teknologi dalam Sejarah Islam,
Penerbit Mizan, 1993)

Hoodbhoy, Pervez, "Science", The Oxford Encyclopedia of the Modern


Islamic World, ed. John Esposito, vol.4, Oxford University Press, hlm.
13-18.

________________, Islam and Science, Religious Orthodoxy and the


Battle for Rationality, S. Abdul Majeed & Co., Kuala Lumpur , 1992 (terj.
Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Penerbit Mizan, 1996).

Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam


(Edisi baru dan dengan anotasi), Institute of Islamic Culture , Lahore ,
1986 (pertama kali terbit pada 1930. terj. Membangun Kembali Pikiran
Agama dalam Islam, Tintamas, Jakarta , 1966).

Iqbal, Muhammad, A Plea for Deeper Study of Muslim Scientists,


Islamic Culture, vol. III, April 1929, hlm. 201-209.

Keddie, N.R., An Islamic Response to Imperialism: Political and


Religious Writings of Sayyid Jamaluddin al-Afghani, University of
California Press , 1983.

Mahdi, Muhsin, Religious Belief and Scientific Belief, The American


Journal of Islamic Social Sciences, vol. 11, No.2, 1994, hlm. 245-259.

Makalah-Makalah pada Diskusi Panel Epistemologi Islam, Masjid


Istiqlal, Jakarta , 23 November 1985 .

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Harvard


University Press, Cambridge , 1968. (terj. Sains dan Peradaban dalam
Islam, Pustaka Salman, 1986.

______, The Need for Sacred Science, State University of New York
Press, 1993.

Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan


Modern, Girimukti Pasaka, 1981.

Rahman, Fazlur, Islamization of Knowledge: A Response, The American


Journal of Islamic Social Science, 1(5), 1988.

_____. Islam: A Year of Steady Development, Arabia , Januari 1986.

Rajaee, Farhang, Islam and Modernity: The Reconstruction of an


Alternative Shi'ite Islamic Worldview in Iran, Fundamentalisms and
Society, Reclaiming the Sciences, the Family, and Education,
(Fundamentalisms Project vol.2) ed. Martin E. Marty and R. Scott
Appleby, University of Chicago Press, Chicago & London, 1993, hlm.
103-125.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung , 1986

Sabra, A.I., The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek


Science in Medieval Islam: A Preliminary Survey, History of Science,
vol. 25, 1987, hlm. 1-21.

Saefuddin, A.M., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,


Penerbit Mizan, Bandung , 1987.

Salam, Abdus, The Future of Science in Islamic Countries, makalah


untuk Islamic Summit, Kuwait, 1987.

______, Ideal and Realities, Selected Essays, Scientific Publishing Co.,


1984.

Sardar, Ziauddin, Exploration in Islamic Science, Mansell, London &


New York , 1989.

______, Science, Technology and Development in the Muslim World,


Croom Helm, London , 1977.

Sarton, George, Introduction to the History of Sciences, 3 jilid, The


Williams & Wilkins Company, Baltimore, 1927-48.

Sayili, Aydin, The Causes of the Decline of Scientific Work in Islam,


Appendix II dari The Observatory in Islam, and Its Place in the General
History of Observatory, Turk Tarik Kurumu, Basimevi, Ankara, 1988.

Sezgin, Fuat, Geschichte des Arabischen Schrifftums, E.J. Brill, Leiden ,


1967.

Tibi, Bassam, The Worldview of Sunni Arab Fundamentalists: Attitudes


toward Modern Science and Technology, Fundamentalisms and
Society, Reclaiming the Sciences, the Family, and Education,
(Fundamentalisms Project vol.2) ed. Martin E. Marty and R. Scott
Appleby, University of Chicago Press, Chicago & London, 1993, hlm.
73-1

<!--[if !supportEmptyParas]–>

from → Biografi Hukama & Arifin, Falsafah, Hikmah, Ibrah


Sejarah, Islam & Sciences

 
Comments

Sign in|Recent Site Activity|Report Abuse|Print Page|Powered By Google Sites

Anda mungkin juga menyukai