Bab Iii
Bab Iii
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih
belum jelas.3
Klasifikasi :
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu
Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis dan sangat erat hubungannya
dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan.
10
kandung empedu, batu di saluran empedu, atau merupakan salah satu komplikasi
penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus.1
11
Laboratorium
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstrahepatik.
Leukositosis
Peningkatan enzim-enzim hati (SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan
bilirubin)
Peninggian transaminase dan fosfatase alkali
Radiologi
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radioopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu
bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk
kolesistitis akut.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan
sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstrahepatik. Nilai kepekaan
dan ketepatan USG mencapai 90-95%.
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
99nTc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG
tapi teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral
atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.
CT Scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG.
12
Kolangiografi transhepatik perkutaneous: Pembedahan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila
ikterik ada).
MRI
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil dari pemeriksaan
tertentu.
Pemeriksaan USG bisa membantu memperkuat adanya batu empedu dalam
kandung empedu dan bisa menunjukkan penebalan pada dinding kandung empedu,
dan cairan peradangan disekitar empedu. ERCP (endoscopic retrograd
cholangiopancreatography) juga dapat dilakukan untuk melihat anatomi saluran
empedu, sekaligus untuk mengangkat batu apabila memungkinkan.
Diagnosis yang paling akurat diperoleh dari pemeriksaan skintigrafi
hepatobilier, yang memberikan gambaran dari hati, saluran empedu, kandung
empedu dan bagian atas usus halus.1
13
lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu
dan bayi.
3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet
ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian
antibiotic pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis,
kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup
memadai untuk mematiakan kuman-kuman yang umum terdapat kolesistitis akut
seperti E.Coli, Strep.faecalis dan klabisella.
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan
membaik tanpa tindakan bedah. Ali bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbulnya ganggren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan,
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebara
infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan
bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini
sudah sering dilakukan di pusat-pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini
hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi. Konversi ke tindakan
kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak
oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan
luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering
dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan
kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi
laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa
14
nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik,
memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien.1
3.7 Komplikasi
Kolesistitis kronik
Ganggren/empiema kandung empedu
Perforasi kandung empedu
Fistula
Peritonitis umum
Abese hati
3.8 Prognosis
Penyembuhan total didapatkan pada 85% kasus, sekalipan kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi rekuren, maksimal 30% akan rekuren dalam 3 bulan kedepan. Pada 50%
kasus dengan serangan akut akan membaik tanpa operasi dan 20% kasus
memerlukan tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang buruk.5
15