Anda di halaman 1dari 5

Gangguan Penghidu

Nurfajryanti Ramli,

I. Pendahuluan

Hidung merupakan organ yang penting, yang merupakan salah satu organ pelindung

tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai

beberapa fungsi yaitu sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat

digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi

bicara.1

Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius, sangat erat hubungannya

dengan indra pngecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena seringkali kedua

sensoris ini bekerja bersama-sama. Macam-macam gangguan penghidu adalah hiposmia,

anosmia, parosmia, kakosmia.2

II. Epidemiologi

Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita

gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian

yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah

mengalami penurunan ketajaman pembauan.3


III. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1 : Regio neuroepitel olfaktorius.

IV. Gangguan penghidu

Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Gangguan penghidu

dapat berupa:

a. Hiposmia

Hiposmia adalah bila daya penghidu berkurang, hiposmia dapat disebabkan oleh

obstruksi hidung, seperti pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis atrofi,

hipertrofi konka, deviasi septum, polip, tumor. Dapat juga terjadi pada beberapa

penyakit sistemis, misalnya diabetes, gagal ginjal dan gagal hati, serta pemakaian obat
anti histamine, dekongestan, antibiotika, antimetabolik, anti peradangan, dan

antitiroid.

b. Anosmia

Anosmia adalah suatu keadaan dimana daya penghidu hilang. Anosmia dapat

timbul akibat trauma di daerah frontal atau oksipital. Selain itu anosmia dapat juga

terjadi setelah infeksi virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma dan akibat proses

degenerasi pada orang tua.

c. Parosmia

Parosmia adalah suatu keadaan bila sensasi penghidu berubah. Parosmia biasanya

disebabkan karena adanya trauma.

d. Kakosmia

Kakosmia adalah suatu keadaan dimana terjadinya halusinasi bau. Kakosmia

dapat timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis,. Mungkin juga terdapat pada

kelainan psikologik, seperti rendah diri, atau kelainan psikiatrik depresi dan psikosis
V. Penyebab gangguan penghidu

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan transpor odoran,
gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang
sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris
disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas
atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus
olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif, atau tumor
intrakranial.

Penyakit yang sering menyebabkan


gangguan penghidu adalah trauma kepala, infeksi saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal.
A. Trauma kepala
11,14,18-21
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan
pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung. Adanya trauma menyebabkan hematom pada mukosa
hidung, atau luka pada epitel olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan
kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan trauma
kepala terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.
11,14,18

B. Infeksi saluran nafas atas Infeksi saluran nafas atas yang sering
menyebabkan gangguan penghidu yaitu common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan

langsung pada epitel olfaktorius atau jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel

reseptor olfaktorius. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas

VI.
Daftar pustaka

1. Snell, R.2006. anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta,

2006: Hal 767-771

2. Keith, L.2013. anatomi Klinis Dasar. Jakarta, 2013; Hal 368-377

3. Ilyas, S. 2009. Kedaruratan dalam ilmu penyakit mata. Jakarta: BP FK UI 2009: Hal

11-141

4. Dorlan, WA. 2008. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta 2008

5. Ilyas, S. 2008. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: BP FK UI.

6. Tanto, C. 2014. Kapita selekta kedokteran. Edisi I. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta .

: Hal 399

7. Olver, J. 2009. At a glance Oftalmologi. Penerbit Erlangga. Hal 56-57

8. Vaughan, D.G. Oftalmologi umum. Edisi 14, Cetakan II, Widya Medika, Jakarta, 2000

: Hal 17-20

9. James, B. 2005. Lecture notes on oftalmologi. Edisi 9. Penerbit Erlangga. Hal 48-49

10. Tanto, C. 2014. Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta

. : Hal 50-67

Anda mungkin juga menyukai