Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang


menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok
adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke
jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa cedera.

Syok dapat dibagi menjadi tiga tahap yang makin lama semakin berat :
Tahap I, Syok terkompensasi (non-progresif), yaitu tahap terjadinya respon
kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran lebih lanjut;
Tahap II, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan
kemunduran fungsi organ; dan
Tahap III, refrakter, (atau irreversibel), yaitu tahap saat kerusakan sel yang hebat
tidak dapat lagi dihindari yang pada akhirnya menuju kematian.
Konsep dasar yang mengatur perfusi aliran darah ke jaringan adalah sebagai
berikut :
Tekanan arteri rata-rata (MAP) = Curah jantung (CO) x Tahanan perifer total
(TPR). Normal MAP = 70-140 mmHg.
Tekanan arteri rata-rata adalah tekanan yang mendorong darah ke jaringan.
Akan tetapi perfusi jaringan dapat memburuk meskipun tekanan arteri normal,
yaitu jika curah jantung tidak memadai atau jika tahanan terhadap aliran darah
tinggi. Sebagian besar syok ditandai oleh curah jantung yang rendah dan tahanan
perifer yang tinggi. Namun syok juga dapat terjadi pada curah jantung yang normal
atau bahkan meningkat jika tahanan perifer total menurun dengan cepat ( seperti
pada vasodilatasi akut) dan peningkatan curah jantung tidak seimbang untuk
mempertahankan tekanan perfusi yang memadai.
Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang dapat digolongkan sesuai
empat mekanisme etiologi dasarnya :
1. Mekanisme kardiogenik
2. Mekanisme obstruktif
3. Perubahan dalam volume sirkulasi
4. Perubahan dalam distribusi sirkulasi.

1
Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa
mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok
dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan.

Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui


kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan
langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi
pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan.
Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di
atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem
saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada
pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

2
Syok kardiogenik adalah gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh
ketidakmampuan jantung untuk memberikan asupan darah yang adekuat kepada
jaringan untuk memenuhi kebutuhan basal. Syok kardiogenik merupakan suatu
kondisi hipotensi persisten dan hipoperfusi jaringan akibat kegagalan fungsi jantung
dengan volume intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang memadai.
Dengan kata lain pada syok kardiogenik terjadi penurunan curah jantung sistemik
yang dapat mengakibatkan hipoksemia jaringan dalam kondisi volume intravaskular
yang cukup (Califf & Bengston, 2008).
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai sindrom klinik akibat gagal perfusi
yang disebabkan oleh gangguan fungsi jantung; ditandai dengan nadi lemah,
penurunan tekanan rerata arteri (MAP) <65 mmHg, peningkatan LVEDP ( >18
mmHg), dan penurunan curah jantung (CO <3,2 L/menit). Tidak ada definisi yang
jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai
dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau
berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan
pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali
per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas
antara sindrom curah jantung rendah dengan syok kardiogenik. (PERKI, 2016)
2.2 Etiologi
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok
kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan
dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan
irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade
jantung, kelainan katub atau sekat jantung. (PERKI, 2016)
Masalahnya yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk
berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung.
Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal:

a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien.

b. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri
dan kapiler-kapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh
jaringan, sistem vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan

3
mengalirkan kembali ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang maka
dapat terjadi syok.

c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah


kecil, yaitu arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh
darah perifer meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi
vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat
mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada
pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke
jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun.

Syok kardiogenik biasanya disebabkan oleh sindrom koroner akut dan


komplikasi mekanik yang ditimbulkannya (seperti ruptur chordae, rupture septum
interventrikular (IVS), dan rupturdinding ventrikel), kelainan katup jantung, dan
gagal jantung yang berat pada gangguan miokard lainnya..

Penyakit - penyakit yang menyebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain:


a. Kontusio miokard
b. Tamponade jantung
c. Pneumotoraks tension
d. Luka tembus jantung
e. Infark miokard

2.3. Patofisiologi

Syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokard akut biasanya


terjadi bila kerusakan otot jantung lebih besar dari 40%,bisa juga terjadi infark baru
pada infark lama. Karena kerusakan iskemik dan nekrosis berjalan progresif, maka
terjadi perburukan hemodinamik yang berkembang dalam waktu beberapa jam dan
biasa sampai beberapa hari sejak mulainya tanda-tanda infark miokard akut.
Penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan
meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
menyebabkan kongesti paru dan edema. Dengan menurunnya tekanan arteri
sistemik, maka terjadi perangsangan baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus.
Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan reflex vasokonstriksi, takikardi, dan

4
peningkatan kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan
tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai dengan hukum Starling
melalui retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas pada syok
kardiogenik akan memulai respons kompensatorik, yang meningkatkan beban akhir
dan beban awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan
meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap
miokardium justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokardium. Aliran darah koroner yang tidak memadai (terbukti dengan
adanya infark) menyebabkan meningkatnya ketidakseimbangan antara kebutuhan
dan suplai oksigen terhadap miokardium. Gangguan miokardium juga terjadi akibat
iskemik dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan
miokardium. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, syok menjadi
makin berkembang hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengenai
setiap sistem organ penting.
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung melebihi jaringan lain seperti kulit, otot, dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan
cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung pada ketersediaan
oksigen dan nutrisi, tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang memiliki kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika MAP turun
hingga <60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tersebut berperan dalam respon autonom
tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil

5
kali volume sekuncup dan dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun
memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang
mati dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme yang bukan memperbaiki nutrisi sel tetapi menyebabkan depresi
jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian terapi cairan
pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi
antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida
dan media kontras angiografi. Secara fisiologis, ginjal mengatasi hipoperfusi
dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal
berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi
glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopressin
bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.

2.4. Manifestasi Klinis

2.4.1. Sistem Kardiovaskuler

Gangguan sirkulasi: perifer pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian


vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
Nadi cepat dan halus.
Tekanan pdarah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena
adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume
sirkulasi darah.

Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
CVP rendah. Normalnya 8-12 cmH2O.

6
2.4.2 Sistem Respirasi

Pernapasan cepat dan dangkal.

2.4.3 Sistem saraf pusat

Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar.
Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien
memang karena kesakitan.

2.4.4 Sistem Saluran Cerna


Bisa terjadi mual dan muntah.

2.4.5 Sistem Saluran Kemih

Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa


adalah 60 ml/jam (0,5 - 1 ml/kgbb/jam).

2.5 Diagnosa

Hipotensi sistemik dengan nilai sistol <90mmHg sering dipakai menjadi


dasar diagnosis. Penurunan tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar
katekolamin yang mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi
klinis yang dapat ditemukan sebagai tanda hipoperfusi sistemik adalah hipotensi,
tanda-tanda gangguan perfusi jaringan (oliguria, cyanosis, akral dingin, perubahan
status mental), dan syok yang tidak membaik setelah koreksi faktor nonkardiak
seperti kondisi hipovolemik, hipoksia, dan asidosis.
Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan dengan adanya tekanan darah sistolik
90mmHg selama 30 dimana:
Tidak responsif dengan pemberian cairan saja (fluid challenge),
Merupakan suatu komplikasi akibat disfungsi jantung, atau
Terdapat tanda-tanda hipoperfusi jaringan (oliguria, cyanosis, akral dingin,
perubahan status mental)
Peningkatan rasio oksigen arteri-vena >5,5 ml/dl, penurunan indeks kardiak
<2,2L/menit/m2 ,dan peningkatan tekanan kapiler pulmonum di atrium kiri
(tekanan Baji paru/ PCWP) >18 mmHg (Idrus A, 2006)
Selain itu dipertimbangkan pula definisi berikut:

7
Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90mmHg dalam 1 jam
setelah pemberian obat inotropik, dan
Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi tidak memenuhi
kriteria syok selain kardiogenik.
Penegakan diagnosis juga membutuhkan suatu kemampuan tenaga medis
untuk segera tanggap terhadap adanya gangguan hemodinamik pada pasien
penyakit jantung. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang harus
harus dilakukan dengan cepat dan tepat agar terapi dapat segera diberikan secara
adekuat.
Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infak miokard akut datang dengan keluhan nyeri dada
tipikal yang akut, dan kemudian sudah memiliki riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut,
biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark
tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala
tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop,
sinkop, atau merasakan akibat berkurangnya perfusi jaringan ke sistim saraf
pusat (Cuculich and Kates, 2009).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah
sistolik yang menurun hingga < 90 mmHg, bahkan dapat turun hingga
<80mmHg pada pasienyang tidak memperoleh penatalaksanaan yang adekuat.
Denyut jantung cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi simpatis,
demikian pula dengan frekuensi pernapaasan yang meningkat sebagai akibat
kongesti di paru (Menon and Hotchman, 2013).
Pasien dengan syok kardiogenik memperlihatkan tanda-tanda hipotensi,
vasokonstriksi perifer (akral dingin), nadi lemah dan cepat, oliguria hingga
anuria, sampai dengan perubahan status mental. Pada pemeriksaan jantung,
akan didapatkan suara jantung yang jauh dengan S3 dan S4. Kita harus
waspada terhadap munculnya murmur sistolik yang mengindikasikan adanya
defek septum ventrikel (VSD) atau ruptur muskulus papillaris. Selain tanda-

8
tanda tersebut distensi vena jugular juga sering tampak (Cuculich and Kates,
2009)
Pemeriksaan thoraks akan menunjukkan adanya rhonki. Kongesti paru
sangat kecil kemungkinannya terjadi pada pasien dengan infark ventrikel kanan
atau pasien dengan keadaan hipovolemik.
Terjadi peningkatan distensi vena-vena dileher seperti vena jugularis. Letak
impuls apikal dapat bergeser pada dilatasi kardiomiopati. Intensitas bunyi
jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade jantung.
Dapat terdengar Irama gallop yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri
yang bermakna. Sedangkan pada kondisi regurgutasi mitral atau defek septum
ventrikel, bunyi murmur yang timbul akan sangat membantu dokter pemeriksa
untuk menentukan kelaina mekanik yang ada (Cuculich and Kates, 2009).
Pasien dengan gagal jantung kanan yang berat akan menunjukkan beberapa
tanda-tanda antara lain pembesaan hepar dan pulsasi di liver akibat regurgitasi
trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yang sulit diatasi.
Pulsasi arteri diekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan edema
perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan akral dingin
menunjukkan terjadinya penurunan perfusi jaringan (Menon and Hotchman,
2013).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada syok kardiogenik memperlihatkan adanya
hipoksia, peningkatan kreatinin dan asam laktat. Foto rontgen thorax dapat
memperlihatkan gambaran kongesti pulmonal. Pemeriksaan penunjang yang
sering dipergunakan dalam membantu diagnosis antara lain,
a. Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG dapat membantu untuk menentukan terjadinya syok
kardiogenik. Misalnya pada infark miokard akut akan terlihat
gambarannya dari rekaman tersebut. Demikian pula bila lokasi infark
terjadi pada ventrikel kanan maka akan terlihat proses di sandapan jantung
sebelah kanan (misalnya elevasi T di sandapan V4R). Begitu pula bila
gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok
kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung
tersebut (Cuculich and Kates, 2009).

9
b. Foto Rontgen Dada
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti
paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi
komplikasi defek septum ventrikel atau regurgutasi mitral akibat infark
miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak
disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali.
Gambaran kongesti paru jarang terlihat pada pada gagal ventrikel kanan
atau keadaan hipovolemik.

c. Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non invasif ini sangat banyak membantu dalam
mendiagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini
relatif cepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di tempat tidur
pasien. Informasi yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah penilaian
fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi
katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan
deteksi adanya shunt/pirai (misalnya pada defek spetum ventrikel
dengan left to the right shunt), efusi perikardial atau tamponade.
d. Pemantauan Hemodinamik
Penggunaan kateter Swan Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal
dan pulmonal capillary wedge pressure sangat berguna, khususnya untuk
memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta sebagai
indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien dengan syok kardiogenik
akibat kegagalan ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan
PCWP. Apabila PCWP mencapai >18mmHG pada pasien dengan ingfark
miokard akut, maka dapat ditentukan bahwa volume intravaskular pasien
tersebut cukup adekuat. Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan atau
hipovolemia yang berat akan menunjukkan PCWP yang normal atau
rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan
perhitungan afterloas (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload
sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload akan

10
menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan menghasilkan
penurunan curah jantung (Cuculich and Kates, 2009).
e. Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada
saat pemasangan kateter Swanganz yang juga dapat mendeteksi adanya
defek septum ventrikel. Bila terdapat pirai yang kaya akan oksigen dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari vena cava
dan arteri pulmonal.

2.6. Penanganan Syok Kardiogenik

Dalam kondisi syok, resusitasi dan usaha suportif harus diberikan segera,
bersamaan dengan penegakan diagnosis. Volume pengisian ventrikel kiri harus
dioptimalkan, dan apabila tidak terdapat tanda-tanda kongesti paru, pemberian
cairan sekurang-kurangnya 250ml dapat dilakukan dalam 10 menit. Oksigenasi
adekuat sangatlah penting. Intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika
ditemukan gangguan difusi oksigen. Hipotensi yang terus berlangsung akan
memicu kegagalan otot pernapasan dan hal ini dapat dicegah dengan pemberian
ventilasi mekanis (Idrus A, 2006).
Prognosis pasien dengan syok kardiogenik tergolong buruk, karena secara
definisi tidak terlihat adanya kelainan metabolit, hemodinamik, humoral, ataupun
masalah infeksi yang dapat dikoreksi untuk memperbaiki fungsi sirkulasi.
Terapi farmakologis pasien dengan syok kardiogenik berperan penting
dalam manajemen klinis. Diuretik, agen inotropik, dan obat-obatan vasodilator
memiliki tempat tersendiri bagi pasien dengan curah jantung yang rendah dan syok
kardiogenik akibat infark miokard. Diuretik seperti furosemide dapat digunakan
untuk meredakan gejala kongesti pulmonal namun tidak efektif untuk mengatasi
hipotensi maupun hipoperfusi organ. Ditambah lagi apabila terdapat keadaan
kegagalan ginjal, maka diuretik sama sekali tidak efektif.
Agen inotropik yang palin efektif dan direkomendasikan adalah golongan
amine simpatomimetik, seperti dopamin dan dobutamin, yang memiliki efek pada
beberapa variabel penting syok kardiogenik, seperti kondisi intropik dan
kronotropik positif, kebutuhan oksigen miokard, tekanan pengisian ventrikel kiri,
dan tonus vaskular perifer. Semua agen inotropik memiliki kemungkinan

11
memperberat iskemia miokard karena dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard dalam kondisi kurangnya suplai oksigen dari arteri. Agen vasodilator
(phentolamin, nitroprusid, dan nitrogliserin) digunakan pada kondisi akibat
komplikasi mekanis seperti regurgutasi mitral atau ruptur septum ventriel (Rude
RE,1983).
Pada pasien dengan gangguan perfusi jaringan namun volume intravaskular
adekuat, obat-obatan inotropik dan vasopresor harus diberikan segera. Dobutamin
merupakan pilihan yang paling utama dibanding amine simpatomimetik meskipun
terjadi hipotensi. Obat ini menambah aliran darah diastol menuju pembuluh koroner
dan pembuluh darah kolateral pada area iskemik sambil meningkatkan
kontraktilitas miokard, meningkatkan curah jantung, serta menurunkan tekanan
pengisian ventrikel kiri.
Ketika hipotensi memberat dan hipoperfusi jaringan terjadi, obat pilihan
adalah dopamin karena dibutuhkan vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan
perfusi organ-organ vital. Norepinefrin digunakan apabila terdapat hipotensi berat
untuk meningkatkan tekanan darah sementara usaha resusitasi lain dimulai (Idrus
A, 2006).
Dengan mengasumsikan gagal jantung kiri sebagai penyebab syok
kardiogenik (sistol <90mmHg, cardiac index <2.2 L/minute/m2), maka
penatalaksanaan yang dianjurkan antara lain:
2.6.1 Tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ selama diakukan terapi
definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) yang adekuat untuk
mencegah kecacatan neurologis dan gangguan ginjal.
1. Oksigenasi
Saturasi oksigen perlu dipertahankan hingga diatas 90% jika
memungkinkan. Intubasi dapat dilakukan, namun harus tetap waspada
terhadap hipotensi akibat sedasi dan penurunan pengisian jantung dengan
ventilasi tekanan positif.
2. Cairan Intravena
Target tekanan baji paru atau pulmonary capillary wedge pressure
(PCWP) adalah 18mmHg. Pasien dengan PCWP rendah lebih baik diberikan
hidrasi lambat. Pasien dengan edema pulmonal atau peningkatan PCWP

12
terbaik dilakukan diuresis dengan menggunakan furosemid intravena dengan
memonitor tanda-tanda hipotensi.
3. Inotropik dan vasopressor
Jika tekanan darah sistol <70mmHg, mulai pemberian norephineprin
0,01-3mcg/kgBB/menit hingga tercapat MAP 70mmHg. Jika tekanan darah
sistole 70-90 mmHg, mulai pemberian dopamin 2-20 mcg/kgBB/menit
dengan dosis maksimal 50mcg/kgBB/menit. Dopamin meningkatkan cardiac
output dan aliran darah ginjal (renal blood flow) melalui reseptor spesifik
beta-dopamin. Pada dosis 5-20mcg/kgBB/menit, dopamin memberikan efek
efek vasokonstriksi karena stimulasi alfa adrenergik. Dengan tekanan darah
sistol 70-90mmHg tanpa adanya tanda-tanda syok, dobutamin adalah agen
yang dipilih. Dobutamin dimulai dengan dosis 2-20mcg/kgBB/menit dengan
dosis maksimal 40mcg/kgBB/menit (AHA,2008).

Overgaard and Zavick, Inotropes and Vasopressor in Cardiovaskular Disease, 2008

2.6.2 Menentukan Anatomi Koroner Secara Dini dan Revaskularisasi


Hal ini merupakan langkah penting dalam tata laksana syok kardiogenik
yang berasal dari kegagalan jantung yang predominan. Pasien di Rumah sakit
perifer harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman.
Hipotensi diatasi dengan IABP. Syok berkaitan dengan gangguan pembuluh darah

13
seperti penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas
hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi circumfleksa
atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada kondisi tanpa
infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia, infark miokard
sebelumnya atau kardiomiopati (Menon and Hotchman, 2013).
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan
modalitas terapi secepatnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat
revaskularisasi (perkutan ataupun surgikal) atau terapi farmakologis pada pasien
dengan syok kardiogenik. Studi mengenai syok kardiogenik menunjukkan pasien
yang mengalami syok kardiogenik dalam 36 jam infark miokard dibandingkan
dengan revaskularisasi sebagai tatalaksana agresif. Walaupun tidak terdapat
penurunan mortalitas dalam 30 hari, namun penurunan mortalitas secara signifikan
terlihat dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun. Pasien muda (<75 tahun)
memberikan respon yang baik terhadap revaskularisasi sedangkan pasien lebih tua
lebih berespon baik terhadap terapi farmakologis (Cuculich and Kates, 2009).
Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasikan
pemasangan IABP (Intra Aortic Balloon Pump) secara dini pada pasien syok
kardiogenik sebagai terapi agresif. Intra aortic balloon pump (IABP) menurunkan
afterload dan meningkatkan tekanan diastol untuk memperbaiki curah jantung dan
perfusi koroner. Pada beberapa penelitian, IABP menurunkan angka kematian bila
digunakan dalam usaha revaskularisasi (Cuculich and Kates, 2009).
Target utama dalam pencegahan syok adalah usaha untuk mengurangi
proporsi pasien dengan presentasi STEMI yang tidak menerima terapi reperfusi.
Reperfusi awal yang dikatakan berhasil adalah perfusi yang adekuat sepanjang
vaskular yang menyempit selama proses nekrosis dan menurunkan risiko terjadinya
syok pada pasien yang rentan. Dalam usaha menangani syok kardiogenik, perlu
dilakukan pula upaya monitor kondisi dan perbaikan pasien. Tanda klinis yang perlu
diperhatikan antara lain status mental, produksi urin, dan oksigenasi arteri atau
vena. Selain itu juga perlu dimonitor tekanan darah, detak jantung, nilai kateter PA,
serum kreatinin, dan enzim-enzim hati (Idrus A, 2006).

14
15
BAB III
KESIMPULAN

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi


jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung. Dapat didiagnosa dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis di dapat pasien mengeluh sesak nafas dan rasa nyeri daerah torak,
dari pemeriksaan fisik didapat adanya tanda-tanda syok seperti gangguan
sirkulasi perifer pucat, ekstremitas dingin, nadi cepat dan halus tekanan darah
rendah, vena perifer kolaps, serta dari pemeriksaan penunjang dijumpainya
adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama
jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung,
kelainan katub atau sekat jantung dan CVP rendah.
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan
mengenal gejala-gejala syok, mengetahui dan mengantisipasi penyebab syok
serta efektivitas dan efisiensi kerja pada saat/menit-menit pertama penderita
mengalami syok.
Penanganan pertama dalam menangani syok adalah:
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3. Berikan oksigen 6 liter/menit
4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa
sungkup (Ambu bag) atau ETT.
5. Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi,
tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). Hindari
kelebihan cairan karena akan membebani jantung.

6. Lanjutkan dengan pemberian obat-obatan yang membantu kontraktilitas


jantung dengan tujuan agar curah jantung meningkat sehingga aliran ke
perifer cukup. Pemberian Dopamin 2,5-15 g/kgbb/menit dapat
meningkatkan kekuatan dan kecepatan kontraksi jantung serta
meningkatkan aliran darah ginjal.

16
Dalam pemberian obat, perlu di perhatikan farmakodinamik, farmakokinetik,
indikasi, kontra indikasi, interaksi obat, efek samping dan hal-hal yang perlu di
perhatikan dalam pemberian obat

DAFTAR PUSTAKA
De Backer D, Biston P, Devriendt J, et al. Comparison of dopamine and
norepinephrine in the treatment of shock. N Engl J Med 2010; 362:779.
Hottz, Eugenio et al, 2011. Platelets in Dengue Infection. Drug Discovery Today:
Disease Mechanisme. Vol 8 No 1-2

17
Idrus Alwi, 2006. Syok Kardiogenik dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam, editor Aru
W Sudoyo et al, 2006. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Jeger RV, Radovanovic D, Hunziker PR, et al. Ten-year trends in the incidence and
treatment of cardiogenic shock. Ann Intern Med 2008; 149:618
Kurukularatne et al, 2011. When less is More: Can We Abandon Prophylactic
Platelet Transfusion in Dengue Fever?. Ann Acad Med Singapore
2011;40:539-545
Menon and Hotchman, 2002. Management of Cardiogenic Shock Complicating
acute Myocardial Infarction.Heart 2013; 88 531-537
Overgaard and Dzavick, 2008.Inotropes and Vasopressor in Cardiovascular
Disease. Circulation-AHA 118:1047-1056
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan
Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. 2016. Hal.
18-20.
Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving
outcomes. Circulation 2008; 117:686.
Richard et al, 1983. Combined hemodynamic effects of dopamine and dobutamine
in cardiogenic shock. AHA journal circulation 67 no3.
Rude RE, 1983. Pharmacologic Support in Cardiogenik Shock. Pubmed,10,35-49
Wollters Kluwer. Prognosis and treatment of cardigenik shock complicating acute
myocardial infark. http://www.uptodate.com/contents/prognosis-and-
treatment-of-cardiogenic-shock-complicating-acute-myocardial-infarction.
diunduh pada 14 Juni 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai