Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks dari tahun ke tahun insidennya semakin meningkat meskipun skrining pap-smear secara teratur telah
dilakukan oleh sebagian wanita. Kanker menjadi masalah kesehatan serius baik di negara maju maupun berkembang.
Kanker serviks merupakan penyebab nomor dua kematian wanita di seluruh dunia dan nomor satu di negara berkembang.
Kanker merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia dan menyumbang 7,6 juta kematian, sehingga jumlah
kematian yang disebabkan kanker mencapai 13% dari semua kematian (WHO, 2008). menunjukan bahwa kasus-kasus
kanker serviks semakin meningkat di seluruh dunia, dimana diperkirakan 10 juta kasus baru pertahun dan akan meningkat
akan menjadi 15 juta kasus pada tahun 2020. Sampai saat ini, insiden kanker serviks dalam hal morbiditas dan mortalitas
belum menunjukan hasil penurunan yang signifikan.
Kanker serviks merupakan penyakit kanker pada perempuan yang menimbulkan kematian yang terbanyak akibat
penyakit kanker terutama di negara berkembang. Diperkirakan dijumpai kanker serviks baru sebanyak 500.000 orang di
seluruh dunia dan sebagian besar terjadi di negara berkembang. Salah satu penyebabnya adalah karena infeksi Human
Papiloma Virus (HPV) yang merangsang perubahan prilaku sel epitel serviks. Dalam perkembangan kemajuan di bidang
biologi molekuler dan epidemiologi tentang hpv. Kanker serviks disebabkan oleh virus Hpv . Banyak penelitian dengan
studi kasus control dan kohort didapatkan resiko relative (RR) hubungan antara infeksi hPV dan kanker serviks antara 20-
70. Infekesi hPV merupakan infeksi menular seksual yang utama pada populasi. Dan estimasi terjangkit sekitar 14-20%
pada Negara-negara di eropa sampai 70% disebabkan oleh infeksi hPV tipe 16 dan 18. Infeksi hPV memiliki prevalensi
yang tinggi pada kelompok orang muda, sementara kanker serviks baru timbul setelah usia 30 tahunan atau lebih. Jenis
kanker tertinggi pada pasien rawat inap di rumah sakit seluruh Indonesia tahun 2010 adalah kanker payudara (28,7%),
disusul kanker leher rahim (12,8%).
Di Indonesia, kanker perlahan mulai menggeser posisi serangan jantung sebagai penyebab utama kematian. Data
dari Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan kanker berada pada posisi keempat penyebab kematian akibat
penyakit non-infeksi, setelah serangan jantung, stroke, dan diabetes mellitus. Naiknya posisi kanker sebagai penyebab
kematian adalah akibat tingginya jumlah kasus baru kanker yang datang pada stadium lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kanker adalah sel tubuh yang mengalami mutasi (perubahan) dan tumbuh tidak terkendali serta membelah lebih
cepat dibandingkan dengan sel normal. Sel kanker tidak mati setelah usianya cukup, melainkan tumbuh terus dan bersifat
invasif sehingga sel normal tubuh dapat terdesak atau malah mati.(buletin penyakit kanker 2015). Kanker serviks
merupakan penyakit keganasan yang terjadi pada leher rahim. Kanker serviks sering ini disebut juga dengan kanker leher
rahim atau kanker mulut rahim dimulai pada lapisan serviks. Leher rahim (serviks) adalah bagian bawah uterus (rahim).
Rahim memiliki dua bagian. Bagian atas, disebut tubuh rahim, adalah tempat bayi tumbuh. Leher rahim di bagian bawah,
menghubungkan tubuh rahim ke vagina, atau disebut juga jalan lahir (Bosch et.al,2012).

Gambar 1 : kanker serviks


2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus. Data ini didapatkan dari registrasi
kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per
tahun insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar 200.000
kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang
berkembang. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara global dalam segi angka
kejadian (urutan ke urutan ke-6 di negara kurang berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian
(menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan
tertinggi di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker
serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%.
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100
kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks. Kejadian kanker serviks akan sangat
mempengaruhi hidup dari penderitanya dan keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan
kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang
pencegahan dan deteksi dini sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat. (panduan penatalaksanaan kanker
serviks,kementrian Negara republic Indonesia)
2.3 Etiologi
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papiloma Virus (HPV), Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang
sudah dapat teridentifikasi HPV yang 40 diantaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe virus HPV
yang beresiko tinggi 16, 18 , 31,33, 52 dan 58 termasuk dalam mukostropik dan dihubungkan dengan karsinoma serviks.
Kebanyakan kasus karsinoma serviks disebabkan oleh hpv tipe 16 dan 18.
2.4 Faktor Resiko
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :

1. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka semakin
meningkat risiko terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker serviks pada usia lanjut merupakan
gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin
melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
2. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual
dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun.
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya
dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput
kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas.
Jadi, seorang wanita yang
3. Menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat
kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bias berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker
selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak
dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat
menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa
tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan.
4. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan
memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak dan tidak terkendali sehingga
menjadi kanker.
5. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun
deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.
6. Wanita yang merokok. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang,
baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak
jumlah nikotin yang dikonsumsinya bias menyebabkan kanker leher rahim. Risiko wanita perokok terkena 4-13
kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok.
7. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko
terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga
wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
8. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan
yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak)
termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker serviks. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan,
maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka
tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker
serviks.
9. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka
lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat
meningkatkan risiko kanker serviks karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh
hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara
kanker serviks dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap
risiko kanker serviks masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004)
dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan
pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan
nilai p > 0,05.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Klasifikasi berdasarkan histopatologi
b) Klasifikasi berdasarkan sitology serviks
c) Klasifikasi berdasarkan stadium klinis
a. Klasifikasi berdasarkan histopatologi
- CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal lebih kurang setengahnya. Berdasarkan
pada kehamilan dari dysplasia yang dibatasi pada dasar ketiga dari lapisan servix atau epithelium ini
dipertimbangkan sebagai low grade lesion.
- CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya , dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi
(high grade lesion). Ia merujuk pada perubahan sel dysplasia yang dibatasi pada dasar dua pertiga dari jaringan
pelapis (dahulu disebut dysplasia sedang atau moderet)
- CIN 3, Perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel adalah luka derajat tinggi (high grade lesion). Ia merujuk
pada perubahan-perubahan prakanker pada sel yang mencakup lebih besar dari dua pertiga dari ketebalan
pelapis servix, termasuk luka luka ketebalan penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan carcinoma
yang parah ditempat asal.

b. klasifikasi berdasarkan terminology dari sitology serviks


-ASCUS (Atypical Saquamous Cell Change OF Undetermined Significance) kata squamous menggambarkan
sel-sel yang tipis dan rata yang terletak pada permukaan dari servix. Satu dari dua pilihan ditambah pada akhir dari
ASC.ASC USC yang berarti undertermined significance atau ASC-H, yang berarti tidak dapat menidiadakan HSIL
- LSIL(Low Grade Squamous intraepithelial Lesion) berarti perubahan karakteristik dari dysplasia ringan diamati
pada sel-sel servical
- HSIL (Haight Grade Suamous Intraepithelial Lesion) merujuk pada fakta bahwa sel dengan derajat yang parah
dari dysplasia terlihat

Jenis histopatologis pada kanker serviks jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu
90% merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa
terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang
tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari selsel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat
seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma
terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus
(Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
a. Skuamous carcinoma Keratinizing Large cell non keratinizing Small cell non keratinizing Verrucous
b. Adeno carcinoma Endocervical Endometroid (adenocanthoma) Clear cell - paramesonephric Clear
cell - mesonephric Serous Intestinal
c. Mixed carcinoma Adenosquamous Mucoepidermoid Glossy cell Adenoid cystic
d. Undifferentiated carcinoma
e. Carcinoma tumor
f. Malignant melanoma
g. Maliganant non-epithelial tumors Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma
Lymphoma
C. Klasifikasi Berdasarkan Stadium Klinis
Stadium kanker serviks menurut FIGO 2000
Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intraepitethelial
Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran di korpus
uteri di abaikan)
Stadium IA Invasi kanker ke stroma hanya dapat di diagnose secara
mikroskopik. Lesi yang dapat di lihat secara makroskopik
walau dengan invasi yang superfisialis yang dikelompokkan
pada stadium IB
I AI Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih 3,0 mm dan
lebar horizontal lesi tidak lebih dari 7 mm
I A2 Invasi ke stroma lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan
perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm
Stadium I B Lesi yang tampak terbatas pada serviks atau secara
mikroskopisnya lesi lebih luas dari I A2
I B1 Lesi yang tampak tidak lebih dari 4 cm dari diameter
terbesar
I B2 Lesi yang tampak lebih dari 4cm dari diameter terbesar
Stadium II Tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi belum
mengenai dinding panggul atau sepertiga distal/bawah
vagina
II A Tanpa invasi ke parametrium
II B Sudah menginvasi ke parametrium
Stadium III Tumor telah meluas ke dinding panggul atau mengenai
sepertiga bawah vagina dan/atau menyebabkan
hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal
III A Tumor telah meluas ke sepertiga bawah vagina dan tidak
invasi ke parametrium tidak sampai dinding panggul
III B Tumor telah meluas ke dinding panggul dan/atau
menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal
Stadium IV Tumor meluas keluar organ reproduksi
IV A Tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih aatau rectum
dan atau keluar dari rongga panggul minor
IV B Metastasis jauh penyakit mikroinvasif ; infasi stroma
dengan kedalaman 3 mm atau kurang dari membrane basalis
epitel tanpa invasi kerongga pembuluh limfe / darah atau
melekat dengan lesi kanker serviks

Staging karsinoma seviks merunut pada sistem klasifikasi dari FIGO (Federation of Gyenaecologic and Obstetrics)
tahun 2000 dilihat berdasarkan lokasi tumor primer, ukuran besar tumor, dan adanya penyebaran keganasan (table 2.1)
oleh Sulaini (2006) dalam Sarwono (2006). Staging ini dibuat untuk mempermudah perencanaan terapi yang efektif dan
optimal bagi pasien dan memperkirakan prognosis pasien.
2.6 Patofisiologi
Patofisiologi kanker serviks Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah
menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif
biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya
invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen
pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor
supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya
transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang
terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua
perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 - 35%. Bentuk
ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi
karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif
adalah 3 20 tahun. Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang
perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya
akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7
10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan
adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat
berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona
transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki,
menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998;
Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup
alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame
(ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi
E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus
baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi
imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan
ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA
virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2
rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker
serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type
sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau
mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-
30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena
itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker
maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada
kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada
kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker
serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan
parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor
menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah
paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni,
1997)

2.7 Maninfestasi Klinis


Gejala klinis kanker serviks Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai
dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama
akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.
Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma
serviks (75 - 80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala
berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau
perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang
keluar berbentuk mukoid. Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada tahap
lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya
iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut
Baird (1991) tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau
pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna
merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai
kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran
sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel abnormal di
bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual
dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker
serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang
air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 1997). 2.1.7 Diagnosis kanker serviks Stadium klinik
seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang
lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi,
kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan Xray
untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan
biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi,
arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik
untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif

2.8 diagnosis
Tes pap pada saat ini merupakan alat skrining yang diandalkan. Lima puluh persen pasien baru kanker sserviks
tidak pernah melakukan paps smear. Paps smear direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktifitas seksual atau setelah
menikah. Setelah 3 kali pmeriksaan paps smear tiap tahun, interval pemeriksaan dapat lebih lama (tiap tiga tahun sekali).
Bagi perempuan yang beresiko tinggi (infeksi HPV, HIV, kehidupan seksual yang beresiko) dianjurkan pemeriksaan paps
smear setiap tahun. Pemastian diagnose dilakukan dengan biopsy serviks. Diagnose kanker serviks melalui pemeriksaan
klinis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologis, termasuk evaluasi kelenjar getah bening, pemeriksaan panggul
dan pemeriksaan rektal. Biopsi serviks merupakan cara diagnosa pasti dari kanker serviks sedangkan paps smear atau kuret
endoserviks merupakan pemeriksaan yan gkurang adekuat. Pemeriksaan radiologi berupa foto paru-paru, pielografi
intravena atau CT-scan merupakan pemeriksaan penunjang untuk melihat perluasan penyakit, serta menyingkirkan adanya
obstruksi ureter. Pemeriksaan laboratium klinik berupa pemeriksaan darah tepi, test fungsi ginjal dan test fungsi hati
diperlukan untuk mengevaluasi fungsi organ serta menentukan jenis pengobatan yang akan diberikan.

2.8 Pap Smear


2.8.1. Definisi Pap Smear
Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan
pada epitel serviks atau porsio (displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi, Irwanto,
Sulistyanto, 2008).
Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah
mikroskop. Pap Smear merupakan tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi
kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Diananda, 2009).
Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa dilakukan setiap saat, kecuali pada saat haid
(Dalimartha, 2004).
Pap Smear pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, namun mulai populer
sejak tahun 1943 (Purwoto & Nuranna, 2002).
2.1.2. Manfaat Pap Smear
Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah
keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih murah dan mudah
(Dalimartha, 2004).
Pap Smear mampu mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga lesi dapat ditemukan saat terapi masih mungkin
bersifat kuratif (Crum, Lester, & Cotran, 2007).
Manfaat Pap Smear secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut (Manuaba, 2005):
a. Diagnosis dini keganasan
Pap Smear berguna dalam mendeteksi dini kanker serviks, kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan
mungkin keganasan ovarium.
b. Perawatan ikutan dari keganasan
Pap Smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah mendapat kemoterapi dan radiasai.
c. Interpretasi hormonal wanita
Pap Smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas
kehamilan, dan menentukan kemungkunan keguguran pada hamil muda.
d. Menentukan proses peradangan
Pap Smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai infeksi bakteri dan jamur.
2.1.3. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear
American Cancer Society (2009) merekomendasikan semua wanita sebaiknya memulai skrining 3 tahun setelah pertama
kali aktif secara seksual. Pap Smear dilakukan setiap tahun. Wanita yang berusia 30 tahun atau lebih dengan hasil tes Pap
Smear normal sebanyak tiga kali, melakukan tes kembali setiap 2-3 tahun, kecuali wanita dengan risiko tinggi harus
melakukan tes setiap tahun. Universitas Sumatera Utara
Selain itu wanita yang telah mendapat histerektomi total tidak dianjurkan melakukan tes Pap Smear lagi. Namun pada
wanita yang telah menjalani histerektomi tanpa pengangkatan serviks tetap perlu melakukan tes Pap atau skrining lainnya
sesuai rekomendasi di atas.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1989) dalam Feig (2001), merekomendasikan setiap
wanita menjalani Pap Smear setelah usia 18 yahun atau setelah aktif secara seksual. Bila tiga hasil Pap Smear dan satu
pemeriksaan fisik pelvik normal, interval skrining dapat diperpanjang, kecuali pada wanita yang memiliki partner seksual
lebih dari satu.
Pap Smear tidak dilakukan pada saat menstruasi. Waktu yang paling tepat melakukan Pap Smear adalah 10-20 hari setelah
hari pertama haid terakhir. Pada pasien yang menderita peradangan berat pemeriksaan ditunda sampai pengobatan tuntas.
Dua hari sebelum dilakukan tes, pasien dilarang mencuci atau menggunakan pengobatan melalui vagina. Hal ini
dikarenakan obat tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Wanita tersebut juga dilarang melakukan hubungan
seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap Smear (Bhambhani, 1996).
2.1.4. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear
Menurut Soepardiman (2002), Manuaba (2005), dan Rasjidi (2008), prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah:
1. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek yang telah
diberi label atau tanda, dan alkohol 95%.
2. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
3. Pasang spekulum sehingga tampak jelas vagina bagian atas, forniks posterior, serviks uterus, dan kanalis servikalis.
Universitas Sumatera Utara
4. Periksa serviks apakah normal atau tidak.
5. Spatula dengan ujung pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam 12 dan diputar 360 searah jarum
jam.
6. Sediaan yang telah didapat, dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi tanda dengan membentuk sudut 45
satu kali usapan.
7. Celupkan kaca objek ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
8. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam wadah transpor dan dikirim ke ahli patologi anatomi.
2.1.5. Interpretasi Hasil Pap Smear
Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical
Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda.
Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Saviano, 1993), yaitu:
a. Kelas I : tidak ada sel abnormal.
b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi
adanya keganasan.
c. Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan
sampai sedang.
d. Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
e. Kelas V : keganasan.
Universitas Sumatera Utara
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika Serikat (Tierner & Whooley, 2002). Pada
sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Semar terdiri dari (Feig, 2001):
a. CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari sepertiga lapisan epitelium.
b. CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.
c. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan sampai ke basement membrane
dari epitelium.
Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat
ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001. Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002):
1. Sel skuamosa
a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)
c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
d. Squamous Cells Carcinoma
2. Sel glandular
a. Atypical Endocervical Cells
b. Atypical Endometrial Cells
c. Atypical Glandular Cells
d. Adenokarsinoma Endoservikal In situ
e. Adenokarsinoma Endoserviks
Universitas Sumatera Utara
f. Adenokarsinoma Endometrium
g. Adenokarsinoma Ekstrauterin
h. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)

.Pemeriksaan DNA HPV Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Paps smear untuk wanita
dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Paps smear negatif disertai DNA HPV
yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk
wanita dengan umur diatas 30 tahun Universitas Sumatera Utara karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan
waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai
65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual
tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian
lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan
terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 3. Biopsi Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker.
Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak
memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan
yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah
yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997). 4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa
pembesar) Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien
dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam
mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997). 5. Tes Schiller Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan
yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen.
Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada
glikogen ( Prayetni, 1997). 6. Radiologi a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran
pelvik atau peroartik limfe. Universitas Sumatera Utara b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker
serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi
direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP),
enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk
menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999)
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah menjadi kanker invasif, gejalan yang paling umum
adalah perdarahan (contact bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan.
Pada stadium lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut bagian bawah karena desakan tumor di
daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi sesuai
dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks
dan bone scan , CT scan atau MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi
dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan
sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena
3
itu pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini tidak berubah bila kemudian ada
penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah.
DIAGNOSIS BANDING7
1. Adenokarsinoma Endometrial

2. Polip Endoservikal

3. Chlamydia trachomatis atau Infeksi menular seksual lainnya pada wanita dengan:

Keluhan perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis

Serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama setelah berhubungan seksual).

TATALAKSANA
Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya
manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini
dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program,
yaitu bila didapatkan
temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi.
Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the
Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),

dilakukan LEEP dan observasi 1 tahun.


HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi 6 bulan

Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut
ditujukan untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan
digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.
a. Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks
dengan metode pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan
gas N2O atau CO2. Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi
elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular.
b. Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada
zona transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk
menentukan tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.

c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan
dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat
dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.

d. Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu
tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang gelombang
10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari
mukosa serviks menguap karena cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya. Volume
jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran.
Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan fertilitas.
Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.
Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B)
Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan
Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fer tilitas dipertahankan.
Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan Brakhiterapi
Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan :
1. Operatif.

Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.


(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas
tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna
dilanjutkan dengan brakhiterapi.
2. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan :
1. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk
dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa tumor primer dan
mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk
dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
Stadium IIB
Pilihan :
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)

2. Radiasi (Rekomendasi B)

3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)

Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi.


4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam penelitian)

Stadium III A III B


1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)

2. Radiasi (Rekomendasi B)

Stadium IIIB dengan CKD


1. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan

2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau

3. Radiasi

Stadium IV A tanpa CKD


1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih dahulu dilakukan
kolostomi, dilanjutkan :
2. Kemoradiasi Paliatif, atau

3. Radiasi Paliatif

Stadium IV A dengan CKD, IVB


1. Paliatif

2. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat dipertimbangkan.

PROGNOSIS12
Angka kesintasan 5 tahun, berdasarkan AJCC tahun 201012 adalah sebagai berikut.

Stadium Kesintasan
5 tahun
0 93%
I 93%
IA 80%
IIA 63%
IIB 58%
IIIA 35%
IIIB 32%
IVA 16%
IVB 15%

Prognosis kanker serviks Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk
tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif,
stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini,
beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan
histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat
diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya,
5-years survival rate untuk stadium I lebih Universitas Sumatera Utara dari 90%, untuk
stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%
(Geene,1998; Kenneth, 2000). 1. Stadium 0 100 % penderita dalam stadium ini akan
sembuh. 2. Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua
wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%.
Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita
dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi
menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-
years survival rate sebesar 70-90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60
sampai 65%. 4. Stadium 3 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%. 5.
Stadium 4 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%. 6. Stadium 5 Pada
stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%.

Anda mungkin juga menyukai

  • Flora Normal PDF
    Flora Normal PDF
    Dokumen23 halaman
    Flora Normal PDF
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Referat Rhinosinusitis Rsud Langsa
    Referat Rhinosinusitis Rsud Langsa
    Dokumen30 halaman
    Referat Rhinosinusitis Rsud Langsa
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Heg
    Heg
    Dokumen23 halaman
    Heg
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Heg
    Lapsus Heg
    Dokumen23 halaman
    Lapsus Heg
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Farmakologi Keracunan
    Farmakologi Keracunan
    Dokumen59 halaman
    Farmakologi Keracunan
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Kulit
    Penyakit Kulit
    Dokumen35 halaman
    Penyakit Kulit
    andre
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Anestesi
    Lapkas Anestesi
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Anestesi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Hiv
    Hiv
    Dokumen25 halaman
    Hiv
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Keracunan Insektisida
    Keracunan Insektisida
    Dokumen6 halaman
    Keracunan Insektisida
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Tinea Capitis
    Tinea Capitis
    Dokumen18 halaman
    Tinea Capitis
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi Dalam Kehamilan
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Dokumen24 halaman
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Ver Rsud Langsa
    Ver Rsud Langsa
    Dokumen6 halaman
    Ver Rsud Langsa
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Buletin Kanker PDF
    Buletin Kanker PDF
    Dokumen44 halaman
    Buletin Kanker PDF
    Zahra Shnta
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Anestesi
    Lapkas Anestesi
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Anestesi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengatar Anestesi
    Kata Pengatar Anestesi
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengatar Anestesi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Menstruasi
    Menstruasi
    Dokumen21 halaman
    Menstruasi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Tinea Capitis
    Tinea Capitis
    Dokumen18 halaman
    Tinea Capitis
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Dokumen32 halaman
    Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Interna SIROSIS
    Lapkas Interna SIROSIS
    Dokumen32 halaman
    Lapkas Interna SIROSIS
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Buletin Kanker PDF
    Buletin Kanker PDF
    Dokumen44 halaman
    Buletin Kanker PDF
    Zahra Shnta
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen31 halaman
    Presentation 1
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen9 halaman
    Presentation 1
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen35 halaman
    Presentation 1
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Dokumen32 halaman
    Lapkas Interna Teori Ni Dah
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat
  • Anamnes Is
    Anamnes Is
    Dokumen5 halaman
    Anamnes Is
    Viachi Akemi Adm
    Belum ada peringkat