Anda di halaman 1dari 3

Telah banyak diketahui bahwa garam menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari

terutama garam dapur. Garam merupakan salah satu bahan pangan yang paling dibutuhkan di
semua lapisan masyarakat. Akan tetapi faktanya Indonesia mengimpor garam dalam jumlah
yang besar. Produksi garam lokal belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam dalam
negeri yang memaksa pemerintah untk mengimpor garam dari negara lain. Ini sangat
berbanding terbalik dengan negara Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai
terpanjang ke-4 didunia yang belum mampu memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Ironis
sekali memang.
Kebijakan Impor garam yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengakibatkan
dampak yang buruk terhadap petani garam Indonesia. Tujuan impor yang awalnya memenuhi
kebutuhan dalam negeri yang tidak dapat diperoleh di dalam negeri. Namun, seiring
berjalannya waktu, tujuan yang ditetapkan tersebut tidak terealisasi sesuai dengan rencana.
Kebijakan tersebut justru membawa dampak negatif bagi masyarakat Indonesia, terutama
petani garam Indonesia. Banyak petani tidak dapat bertahan dengan pilihan usahanya, bahkan
ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah menekuni mata pencaharian lain. Problem
yang dihadapi petani garam yang tampak kepermukaan, antara lain mengenai harga, mutu
garam yang sangat rendah, sampai membanjirnya garam impor (Ningsih, 2011).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-
DAG/PER/9/2005, harga garam KP1 (kualitas teratas) adalah Rp. 200.000,- per ton, yang
artinya garam rakyat yang kualitas bagus hanya dihargai Rp. 200,-/kg. Harga garam kategori
KP2 adalah Rp. 150.000,00 per ton, atau Rp. 150,00/kg. Dan harga garam KP3 adalah Rp.
80.000,00 per ton, atau hanya dihargai Rp. 80,00/kg. Bahkan untuk garam KP3 tidak
diberlakukan lagi karena pabrik tidak mau menerima garam kualitas rendah dari petani.
Pemerintah yang seharusnya menjadi tempat mereka untuk meminta perlindungan, tetapi
kenyataannya pemerintah menetapkan impor garam dan ketentuan harga yang sangat rendah.
Ketetapan pemerintah mengenai harga garam yang sangat rendah ini, tentu saja akan
mengakibatkan penurunan pendapatan petani garam Indonesia (Ningsih, 2011). Hal ini
disebabkan oleh pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan
penerapan sila keempat yaitu pengambilan kebijakan dengan musyawarah mufakat.
Untuk menganalisis kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah, tentu hal
utama yang harus diperhatikan adalah pengambilan kebijakan dan peraturan yang diterapkan.
Memang tidak dapat dipungkiri setiap pengambilan suatu kebijakn untuk dijadikan peraturan
pada suatu negara khususnya Indonesia terjadi pertarungan antara kelompok-kelompok baik
pemerintah maupun pihak oposisi. Jika dikaitkan dengan sila keempat hal tersebut tidak
sesuai dengan sila keempat karena tidak melalui musyawarah mufakat.
Impor garam banyak dikritik oleh sejumlah kalangan karena dianggap melibatkan
kepentingan korporasi yang akan mematikan industri garam lokal dan mencabut pencaharian
para petani garam. Hal menarik yang patut diperhatikan adalah tidak ada sinkronitas antara
data yang disajikan oleh kementerian-kementerian terkait. Secara stratistik tidak ada
kesesuaian antara data-data yang disajikan terkait kemampuan produksi garam lokal. Angka
yang tertera ini tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya kebijakan impor
garam yang seharusnya didasarkan pada alokasi kebutuhan garam lokal juga tidak
mempunyai kejelasan (Marzaman, 2013).
Terkait impor tersebut, pemerintah yang mengimpor garam dari Australia
mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya produksi garam lokal memang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harus impor. Hal ini terutama disebabkan
beberapa hal antara lain keterbatasan teknologi dan kondisi alam. Di Australia contohnya,
telah ada teknologi yang dapat menyuling air laut sehingga bisa memperoleh garam dengan
kualitas baik. Di samping itu musim hujan juga memengaruhi tingkat penurunan produksi
garam yang sangat drastis. Iklim dengan curah hujan yang besar sangat tidak kondusif dalam
pengolahan garam yang sangat membutuhkan sinar matahari. Untuk itu walaupun perairan
Indonesia sangat luas, tetapi pengolahan garam yang masih sangat tradisional pada
kenyatannya menjadi penghambat efisiensi, kualitas dan kuantitas produksi garam lokal.
Akan tetapi jika melihat alasan yang dikatakan oleh pemerintah yaitu mengenai teknologi
pengolahan garam di Indonesia, sejauh mana langkah pemerintah mengembangkannya.
(Marzaman, 2013).
Sebenernya ada beberapa hal yang harus dievaluasi dari kebijakan pemerintah
mengimpor garam yaitu harus terdapat kejelasan mengenai kapasitas produksi dalam negeri
dan sinergitas antara semua lembaga pemerintah yang terkait. Hal ini guna mengetahui
kondisi garam domestik dan besar kuota garam yang dapat diimpor. Kemudian selanjutnya
adalah harus ada keterlibatan perwakilan petani garam dalam pengambilan kebijakan impor
garam tersebut, hal ini sangat sesuai dengan sila keempat pancasila yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan perwakilan. Hal ini diharapkan nantinya kebijakan yang
diambil mampu berpihak ke masyarakat. Ketiga adalah, jika memang pemerintah harus
mengimpor garam sebaiknya diiringi juga dengan upaya perbaikan dan pengembangan
teknologi pengolahan garam. Hal tersebut dilakukan agar impor garam yang dilakukan
pemerintah Indonesia tidak menjadi ketergantungan. Hal yang tidak kalah penting adalah
pemerintah perlu memperhatikan waktu mengimpor garam yaitu jauh ketika masa musim
panen garam di Indonesia karena ketika pemerintah mengimpor saat panen raya garam akan
berdampak pada turunnya harga garam di pasaran yang mengakibatkan menurunnya tingkat
pendapatan petani garam dan yang menjadi korban jika hal tersebut terjadi adalah masyarakat
Indonesia itu sendiri.
Sesuai dengan sila keempat pancasila yang patut menjadi saran bagi pengambil
kebijakan terkait impor garam yaitu diperlukannya partisipasi aktif dari semua pihak agar
kebijakan yang diambil dapat pro kepada masyarakat dan dengan musyawrah mufakat. Selain
itu juga diperlukan pengawasan dan pengawalan kembali dalam proses pengambilan
kebijakan dan pada proses penerapannya.

Anda mungkin juga menyukai