Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PATALOGI ANATOMI

EDEMA

DISUSUN OLEH :
SELA ANDELA
PO.71.20.4.14.041

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI D.IV KEPERWATAN
2017

1
A.Edema
Pada umumnya edema berarti meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan
ekstravaskuler disertai dengan penimbuan cairan ini dalam sela-sela jaringan dan rongga
serosa. Dapat bersifat setempat atau umum. Edema bersifat umum dinamakan edema
anasarka, yang menimbulkan pembengkakan berat jaringan bawah kulit. Edema yang terjadi
pada rongga serosa tubuh diberi nama sesuai tempat yang bersangkutan.1Dalam rongga
pericard misalnya normal terdapat 5-25 ml cairan. Selain itu, bergantung pada lokasinya
pengumpulan cairan dalam rongga tubuh yang berbeda diberi sebutan yang beragam, seperti :
a. Hydrothorax
b. Hydropericardium
c. Hydroperitoneum atau Ascites
Dengan anasarca dimaksudkan edema umum dengan penimbunan cairan dalam
jaringan subcutis dan rongga tubuh. Juga disebut dropsy. Penimbunan cairan dalam sel sering
dinamai cellular edema. Istilah ini kurang tepat dan sebaiknya dinamai cellular hyrdation
atau hydropic change.
Edema adalah suatu kelebihan cairan dalam jaringan. Normalnya cairan di dorong
kedalam ruang jaringan oleh kekuatan tekanan darah pada arterial berakhir pada kapiler. Pada
ujung vena kapiler, tekanan darah turun dan protein plasma menggunakan tekanan osmotik
yang menarik kembali cairan. Saluran getah bening mengalirkan semua kelebihan cairan.
Jenis edema terdiri dari edema pitting dan non pitting. Pitting edema dapat ditunjukan
dengan menggunakan tekanan pada area yang membengkak dengan menekan kulit dengan
jari tangan. Jika tekanan menyebabkan lekukan yang bertahan untuk beberapa waktu setelah
pelepasan dari tekanan,edema dirujuk sebagai pitting edema.1
Pada non-pitting edema, yang biasanya mempengaruhi tungkai-tungkai (legs) atau lengan-
lengan, penekanan pada kulit tidak berakibat pada lekukan yang dalam. Non-pitting edema
dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu dari sistim lymphatic seperti lymphedema,
dimana gangguan dari sirkulasi lymphatic yang mungkin terjadi setelah operasi mastectomy,
lymph node, atau congenitally. 1

Penyebab edema secara umum terjadi jika :

1. Peningkatan tekanan hidrostatik


Penyakit jantung kongestif

2
2. Penurunan tekanan onkotik plasma
Sindrom nefrotik
Sirosis hepatis
Protein energi malnutrisi
3. Obstruksi saluran limfe
Filariasis
4. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler
Reaksi peradangan
5. Retensi air dan natrium
Gagal ginjal

B.Etiologi
1. Tekanan daerah kapiler yang meninggi (hydrostatic pressure)
Tekanan darah dalam kapiler bergantung kepada :
a. Tonus arteriol
b. Kebebasan aliran darah dalam vena
c. Sikap tubuh (posture)
d. Temperatur dan beberapa faktor lain.
Tekanan ini merupakan daya untuk menginfiltrasi cairan melalui dinding kapiler.
Tekanan ini biasanya meningkat bila tekanan dalam vena meningkat. Bila tekanan ini lebih
besar daripada tekanan osmotik yang menarik air dari jaringan maka mengakibatkan edema.
Edema akibat tekanan kapiler yang meninggi dapat terjadi pada :
Kongesti Pasif (Passive Congestion)
Akibat obstruksi mekanik pada vena, menyebabkan tekanan darah vena meningkat,
misalnya dapat terjadi pada vena iliaca akibat uterus yang membesar pada kehamilan. Dalam
hal ini edema terjadi pada tungkai.
Edema Kardial
Terjadi oleh karena tekanan vena meningkat akibat sirkulasi darah terganggu karena
payah jantung (left heart failure). Edema ini bersifat sistemik, tetapi yang paling nyata
terkena ialah bagian-bagian paling bawah (dependent part), yaitu kaki pada penderita yang
masih dapat berjalan dan rongga-rongga viscera serta serosa pada penderita yang berbaring
terus.

3
Obstruksi Portal
Pada penyakit cirrhosis hepatitis tekanan dalam vena portae meningkat sehingga
megakibatkan cairan dalam rongga peritoneum, yaitu terjadi ascites.

Edema Postural
Pada orang yang berdiri terus menerus untuk waktu yang lama, terjadi edema pada kaki
dan pergelangan kaki. Edema ini tidak terjadi bila orang bergerak aktif, misanya berjalan-
jalan karena aktivitas otot ikut membantu aliran dalam pembuluh limpe.

2. Tekanan Osmotik Koloid :


Tekanan osmotik koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali sehingga tidak
dapat melawan tekanan osmotik koloid yang terdapat dalam darah. Tetapi pada beberapa
keadaan tertentu jumlah protein pada jaringan dapat meninggi, misalnya bila permeabelitas
kapiler bertambah. Dalam hal ini maka tekanan osmotik jaringan dapat menimbulkan edema.
Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension).
Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang
seperti kelopak mata dan alat kelamin luar, tekanan sangat rendah, karena itu pada tempat
tersebut mudah timbul edema.

3. Retensi Natrium dan Air:


Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam air kemih lebih kecil dari pada yang
masuk (intake), karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni
menyebabkan air ditahan sehingga jumlah air ekstraseluler, baik yang intravaskuler maupun
yang interstisial bertambah akibatnya jadi edema.
Edema akibat retensi natrium bersifat ekstrarenal (dipengaruhi oleh saraf) dapat juga
disebabkan oleh hormon lain. Pada penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH,
testosteron, progesteron, atau estrogen sering terjadi edema sedikit atau banyak.

4. Obstruksi Limpatik
Cairan tubuh sebenarnya berasal dari plasma darah dan hasil metabolisme sel.
Sebagian cairan interstisium dengan zat-zat yang melarut akan diserap lagi melalui
dinding kapiler darah masuk kedalam saluran darah
Sebagian lain, yang mengandung sejumlah protein masuk kedalam saluran limpe.

4
Jumlah limpe yang akan mengalir dapat diperbanyak bila :
Tekanan vena meningkat
Dipijat
Pergerakan pasif yang bertambah banyak
Permeabilitas endotel kapiler bertambah

Selama outflow limpe dari daerah terjamin baik, maka tidak akan terjadi penimbunan
cairan dan edema. Apabila terjadi gangguan aliran limpe pada suatu daerah, maka cairan
jaringan akan tertimbun, dinamai limpedema.
Limpedema misalnya sering terjadi akibat mastektomi radikal untuk mengeluarkan suatu
tumor ganas payudara.
Edema juga dapat terjadi akibat tumor ganas menyebuk atau menginfiltrasi kelenjar dan
saluran limpe.
Saluran dan kelenjar inguinal yang meradang akibat infestasi filaria dapat menyebabkan
edema pada scrotum. Scrotum dan tungkai sangat membesar dan sering
dinamai elephantiasis.
Obstruksi saluran limpe dalam thorax oleh tumor menyebabkan gangguan pengaliran
(drainage) limpe pada daerah thorax dan menimbulkan penimbunan cairan dalam
rongga pleura dan rongga peritoneum, sehingga terjadi hydrothorax dan ascites.
Bila akibat obstruksi, tekanan menjadi sedemikian tinggi hingga ductus thoracicus
robek, maka cairan limpe yang banyak mengandung lemak masuk kedalam rongga thorax,
dinamai chylothorax atau masuk kedalam rongga peritoneum dinamai chyloperitoneum.

5. Permeabilitas Kapiler yang bertambah :


Endotel kapiler merupakan suatu membran semipermeabel yang dapat dilalui oleh air
dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau
terbatas. Tekanan osmotik darah lebih besar daripada limpe. Daya atau kesanggupan
permeabilitas ini bergantung kepada substansi semen (cement substance) yang mengikat sel-
sel endotel tersebut. Pada beberapa keadaan tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang
bekerja terhadap endotal, permeabilitas bertambah.
Akibatnya ialah protein plasma keluar dari kapiler, sehingga tekanan osmotik koloid
darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstisium bertambah. Hal ini

5
menyebabkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema.
Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada :
~ Infeksi berat
~ Reaksi anafilaktik
~ Keracunan akibat obat-obatan atau zat kimiawi
~ Anoxia yang terjadi akibat berbagai keracunan
~ Tekanan vena yang meningkat akibat payah jantung
~ Kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria
~ Retensi natrium dan air pada penyakit ginjal tertentu
Edema setempat sering terjadi akibat bertambahnya permeabilitas kapiler disebabkan
oleh radang. Pembengkakan kulit setempat sering terjadi akibat :
~ Reaksi alergi
~ Gigitan atau sengatan serangga
~ Luka besar
~ Infeksi atau akibat terkena zat-zat kimiawi yang tajam seperti soda bakar atau asam-asam
keras.
Edema angioneurotik ialah edema setempat yang sering timbul dalam waktu yang
singkat tanpa sebab yang jelas. Sering terjadi pada anggota tubuh akibat lergi atau neurogen.

6. Berkurangnya Protein Plasma :


Protein plasma yang berkurang mengakibatkan tekanan osmotik koloid menurun.
Sebagian besar tekanan osmotik ini diselenggarakan oleh albumin. Biasanya edema akan
timbul bila kadar albumin lebih rendah dari 2 gram per 100 ml. Suatu contoh edema akibat
kekurangan albumin ialah edema nefrotik. Hal ini terjadi akibat penyakit ginjal, sehingga
albumin seolah-olah bocor dan keluar melalui ginjal dalam jumlah besar.
Akibatnya ialah hipoalbuminemi dan pembalikan perbandingan albumin-globulin.
Kejadian ini sering ditemukan pada keadaan yang dinamai sindrom nefrotik, yaitu penyakit
ginjal dengan ciri-ciri : Edema, proteinuria terutama albumin, hipoalbuminemi, hiperlipemi
khususnya hipercholesterolemi, lipiduria.
Edema akibat berkurangnya protein juga dapat terjadi pada kelaparan dan gizi buruk.
Hipoproteinemi dapat terjadi pula pada penderita penyakit hati, oleh karena sintesis
protein terganggu. Oleh karena itu edema sering sangat nyata pada penderita cirrhosis
hepatis.

6
C.Patofisiologi

1. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler

Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler dapat disebabkan oleh peningkatan volume


darah di mikrovaskuler yang mengakibatkan peningkatan aliran aktif darah ke mikrovaskuler
(hiperemia), seperti yang terjadi pada peradangan akut. Peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskuler juga dapat terjadi akibat dari akumulasi pasif darah (kongesti), hal ini sering
disebabkan oleh kegagalan jantung atau kompresi dari vena lokal atau terjadi obstruksi.
Peningkatan volume mikrovaskuler dan adanya tekanan menyebabkan peningkatan filtrasi
dan mengurangi atau bahkan terjadi penyerapan cairan kembali ke pembuluh darah. Ketika
peningkatan tekanan hidrostatik mempengaruhi sebagian dari mikrovaskuler lokal, peristiwa
ini disebut dengan edema lokal. Pada kasus gagal jantung, kongesti dapat meningkatkan
tekanan hidrostatik pada sistem vena portal (gagal jantung kanan) yang dapat mengakibatkan
terjadinya asites, sedangkan pada sistem vena pulmonary (gagal jantung kiri) menyebabkan
edema paru-paru dan apabila terjadi peningkatan hidrostatik pada kedua sistem vena (gagal
jantung umum) akan menyebabkan terjadinya edema umum. Edema umum dapat
mengakibatkan penurunan volume sirkulasi plasma yang dapat mengaktifkan berbagai
pengaturan volume respon dari kompensasi. Volume plasma meningkat melalui retensi
natrium disebabkan oleh aktivasi jalur renin-angiotensin-aldosteron dan retensi air dimediasi
oleh pelepasan hormon antidiuretik (ADH) diikuti dengan aktivasi volume intravaskuler dan
reseptor tekanan. Hasil dari volume intravaskuler yang berlebihan semakin mempersulit
pergerakan distribusi cairan yang diikuti dengan terjadinya gagal jantung.2

2. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler


Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler biasanya berkaitan dengan reaksi awal dari
mikrovaskuler terhadap peradangan (inflamasi) atau rangsangan immunologis. Rangsangan
ini menginduksi pelepasan mediator lokal yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas secara langsung disebabkan oleh
mediator seperti histamin, bradikinin, leukotrien, dan substansi P yang menyebabkan
kontraksi sel endotel dan pelebaran gap (celah) interendothelial. Selanjutnya, pelepasan
sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (INF), dan y-interferon
menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal dalam sel endotel yang mengakibatkan retraksi
(penarikan kembali) sel endotel dan pelebaran celah interendothelial yang lebih persisten.

7
Pergerakan cairan intravaskular melalui celah-celah ini ke interstitium menyebabkan
terjadinya edema lokal yang dapat mencairkan agen inflamasi akut. Reaksi ini berakhir
dengan terjadinya edema lokal dan akan kembali normal apabila rangsangan yang terjadi
mulai berkurang. Namun, sebagian besar kasus dapat berlajut mengakibatkan kebocoran
protein plasma dan emigrasi leukosit sebagai awal dari pembentukan eksudat inflamasi akut.2

3. Penurunan tekanan osmotik intravaskuler

Penurunan tekanan osmotik intravaskuler biasanya terjadi karena penurunan konsentrasi


plasma protein terutama albumin (hipoalbuminemia). Hipoalbuminemia dapat mengurangi
tekanan osmotik koloid intravaskuler yang mengakibatkan terjadinya peningkatan filtrasi
cairan dan penurunan absorbsi (penyerapan) yang puncaknya mengakibatkan terjadinya
edema. Hipoalbuminemia dapat terjadi karena penurunan produksi albumin oleh hati atau
terjadi kehilangan plasma yang berlebihan. Penurunan produksi hepatik paling sering terjadi
karena kekurangan protein yang memadai untuk jalur sintesis sebagai akibat dari kekurangan
gizi atau malabsorbsi usus terhadap protein serta penyakit pada hati yang berat dengan
terjadinya penurunan massa hepatosit atau gangguan fungsi hepatosit yang dapat
menyebabkan kekurangan produksi albumin. Kehilangan albumin dari plasma dapat terjadi
pada penyakit gastrointestinal yang ditandai dengan kehilangan darah yang parah seperti pada
infeksi yang disebabkan oleh parasit. Pada penyakit ginjal, dimana glomerulus dan/atau
fungsi tubular terganggu dapat mengakibatkan hilangnya albumin bersama urin. Eksudasi
plasma yang menyertai luka bakar merupakan penyebab yang jarang menyebabkan
kehilangan albumin.2

4.Obstruksi aliran limfatik

Obstruksi aliran limfatik dapat mengurangi kemampuan sistem limfatik untuk mengeliminasi
kelebihan cairan yang biasanya terakumulasi dalam interstitium selama pertukaran cairan
antar plasma dan interstitium. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada pembuluh limfe oleh
tumor atau pembengkakan inflamasi, penyempitan pembuluh limfe akibat fibrosis atau
penyumbatan internal pembuluh limfe oleh trombus. Edema terjadi akibat dari kerusakan
kemampuan limfatik dan terlokalisir pada daerah yang terkena dampak akibat gangguan pada
pembuluh limfe.2

8
5. Retensi natrium dan air
Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari pada yang masuk
(intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni
menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan
interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema. Retensi natrium dan air dapat diakibatkan
oleh factor hormonal (penigkatan aldosteron pada cirrhosis hepatis dan sindrom nefrotik dan
pada penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH, testosteron, progesteron atau
estrogen).2

Edema Paru Akut

Edema paru akut adalah akumulasi cairan pada jaringan interstitial paru yang disebabkan oleh
ketidak seimbangan antar tekanan hidrostatik dan onkotik didalam pembuluh darah kapiler
paru Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak)
atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia dan jaringan sekitar.
Edema paru akut dapat terjadi akibt kelainan pada jantung serta gangguan organ lain diluar
jantung.1

Etiologi

Edema paru aku timbul sebagai manifestasi klinis dari suatu gagal jantung akut ataupun
dijumpai pada pasien gagal jantung kongestif yang mengalami eksaserbasi dengan faktor
pencetus seperti infark miokard, anemia, obat-obatan, diet yang banyak mengandung air dan
garam , hipertensi , aritmia , tirotoksikosis , infeksi , endokarditis , gagal ginjal maupun
kehamilan.1

9
Pembagian Edema Paru Akut

1. Edema paru non-kardiogenik

Pada edema paru non kardiogenik, jarang sekali di jumpai peningkatan tekanan pembuluh
darah kapiler di paru kecuali pada keadaan overload cairan pada keadaan gagal ginjal akut.
Edema non kardiologik memperlihatkan adanya perubahan permeabilitas alveolar-kapiler
membrane seperti pada Acute Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ), serta kelainan sistem
limfatik seperti limphangitic carcinomatosis. edema non kardiogenik juga dapat terjadi pada
penyakit hati kronik , sindrom nefrotik , dan protein losing enteropathy.Mekanisme
terjadinya edema paru non kardiogenik pada beberapa keadaan masih belum dapat diketahui
secara pasif , seperti terjadinya edema paru overdosis narkotika atau edema paru neurogenik.1

2. Edema paru kardiogenik

Edema paru akibar kardiogenik dapat terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Gambaran klinis sangat bergantung pada lama dan besarnya peningkatan tekanan
intravaskuler, edema pada alveolus dan saluran napas dapat dijumpai dengan klinis edema
paru yang berat jika peningkatan tekanan intravaskuler terjadi terus menerus. 1

Patofisiologi Edema Paru Akut

Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):

1. Ketidakseimbangan Starling Force

a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis

Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi
tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan
nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas
aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1)
tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3)
peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga
disebut edema paru overperfusi).1

b. Penurunan tekanan onkotik plasma

Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan
kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan

10
menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas
cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler
dan limfatik.

c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial

Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang
sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks
dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema
biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan
penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan edema paru re-
ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan
negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi
akhir (misalnya pada asma bronkhial).

2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress


Syndrome).

Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar.
Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru
akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Straling Force

Pneumonia (bakteri, virus, parasit)


Terisap toksin (NO, asap)

3. Insuffisiensi sistem limfe


Karsinomatosis, limfangitis
Limfangitis fibrotik (siilikosis)

4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya


High altitude pulmonary edema
Edema paru neurogenik
Overdosis obat narkotik
Emboli paru
Eklamsia

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:

11
1. Membran kapiler alveoli

Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke
alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran
cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid
dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan
bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik

Q(iv-int) = Kf [(Piv - Pint) df (IIiv IIint)]

Keterangan:

Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial


Piv = Tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = Tekanan hidrostatik interstitial
IIiv = Tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint = Tekanan osmotik koloid interstitial
df = Kefisien refleksi protein
Kf = Kondukstan hidraulik

2. Sistem limfatik

Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan
perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik
tersebut

berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan
terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan
mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar
yang dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema
interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.1

12
Patofisiologi Edema Paru Akut Kardiogenik

Patofisiologi edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan ( fluid exchange
) yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler ( mikrovaskular). Sejumlah volume
cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler pembuluh darah ,
bercampur dengan cairan interstisium disekitarnya , dan kemudian diabsorsi kembali kembali
kedalam pembuluh, proses seperti ini disebut sebagai bulk flow karena berbagai konstituen
cairan berpindah bersama-sama sebagai satu kesatuan.

Bulk flowterjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid antara
plasma dengan cairan interstitial. Secara umum ada empat gaya yang mempengaruhi
perpindahan cairan nenembus dinding kapiler yaitu : 1) Tekanan darah kapiler merupakan
tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan ke luar kapiler menuju cairan
interstisium; 2) tekanan osmotic koloid plasma ( onkotik ) merupakan suatu gaya yang
disebabkan dispersi koloid protein-protein plasma dan mendorong pergerakan cairan yang
kedalam kapiler, dalam keadaan normal protein plasma tetap dipertahankan berada didalam
plasma dan tidak masuk kedalam cairan interstitial sehingga adanya perbedaan konsetrasi
antara plasma dan interstitium; 3) tekanan hidrostatik cairan interstitial merupakan tekanan
cairan yang bekerja dibagian luar dinding kapiler oleh cairan interstitial. Tekanan ini
cenderung mendorong cairan masuk ke dalam kapiler; 4) Tekanan osmotic koloid cairan
interstitial merupakan gaya lain yag dalam keadaan normal tidak banyak berperan dalam
perpindahan cairan melalui kapiler.1,8

Pada jaringan paru yang normal, cairan dan protein merembes melalui celah sempit ( gap )
diantara celah-celah endotel kapiler paru ,dan dengan adanya anyaman epitel yang sangat
rapat pada kapiler tersebut, maka perpindahan protein berukuran besar dapat di batasi, serta
dipertahankan tetap berada didalam plasma.pada keadaan ini cairan beserta zat terlarut
lainnya yang difiltrasi dari sirkulasi menuju jariangan interstitial alveolar, tidak akan
memasuki alveoli karena epiteli alveolar juga memiliki tautan antara sel yang sangat rapat.
Selanjutnya, filtrasi yang memasuki celah interstitial alveolar akan mengalir kea rah
proksimal menuju celah peribronchovaskuar. Pada jaringan paru yang normal, seluruh filtrasi
tersebut akan dialirkan kelmbali menuju sirkulasi sistemik melalui sistem limfe. Tekanan
hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru, diperkirakan berbanding lurus
dengan selisih antara tekanan hidrostatik kapiler paru dengan gradient tekanan onkotik
protein.1,8

13
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang di filtrasi melebihi clearance capability sistem
limfe., keadaan ini sering dijumpai pada keadaan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
oleh karena meningkatnya tekanan pada pembuluh darah pulmonalis. Peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler pulmoner secara cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular dan ini merupakan karakteristik utama suatu acute cardiogenic
edema atau volume overload edema.

Pada edema paru kardiogenik , peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah kapiler
paru umum nya disebabkan oleh karena oleh penigkatan vena pulmonalis sebagai akibat
peningkatan left ventricular end- diastolic pressure and left atrial pressure. Peningkatan
minimal ( mild ) tekanan pada atrium kiri ( 18-25 mmHg) akan menyebabkan edema pada
perimicrovaskular serta perimicrovascular interstitial space. Dengan peningkatan tekanan
pada atrium kiri yang lebih > 25mmHg cairan akan menembus lapisan epitel paru dan
mengisi seluruh alveoli dengan cairan rendah protein.1,8

Hal yang berbeda didapatkan pada keadaan edema pau nonkardiogenik , adanya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan ingtravascular keluar menuju
interstitial paru serta air space. Pada edema paru nonkardiogenik akan dijumpai cairan
edema yang lebih tinggi protein karena membrane pembuluh darah yang lebih permeable
dapat melewati protein-protein plasma. Total jumlah netto akumulasi cairan edema paru
ditentukan oleh kesimbangan antara laju filtrasi cairan kedalam paru dengan laju pengeluaran
dan penyerapan cairan edema dari intestisial serta air space.1,8

Diagnosis

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa


kemiripan.

Anamnesis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit
jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut
kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.
Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-
batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam.1

14
Pemeriksaan fisik

Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah
bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot
bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan
negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang
berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan
jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral
dingin dengan sianosis 1

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal,
elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I)
dan Brain Natriuretic Peptide(BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan
sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar
BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung,
kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan
efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% . Richard dkk melaporkan bahwa
nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure. Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan
pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan
gagal jantung dari penyakit lainnya.3

Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan
vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat
edema interstisial atau alveolar. Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-
Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan
80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai

15
adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada
posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan.9

Garis kerley A merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus
yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral.
Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak
dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis
kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk
melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).

Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema
paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak
akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.9

Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010). Pemeriksaan EKG bisa normal
atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru.
Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi
ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas,
dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau
peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin.1

16
Edema dan ascites
Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk menahan
garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam
jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat
ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. (Pitting
edema merujuk pada fakta bahwa menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu
pergelangan atau kaki dengan edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang
berlangsung untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk
dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam
rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut
ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang
meningkat.

Pemeriksaan Diagnostik

a. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati,


b. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang mungkin sebagai
faktor predisposisi.
c. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
d. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi system vena portal,
e. Pemeriksaan Laboratorium :

Bilirubin serum, AST(SGOT)/ALT(SPGT),LDH, Alkalin fosfotase, Albumin serum, Globulin,


Darh lengkap, masa prototrombin, Fibrinogen, BUN, Amonia serum, Glukosa serum, Elektrolit,
kalsium, Pemeriksaan nutrient, Urobilinogen urin, dan Urobilinogen fekal.

Penatalaksanaan Edema

Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang reversibel (jika
memungkinkan). Pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi
air. tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis, pada beberapa pasien terapi
non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari
jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki diatas level dari atrium kiri.

17
Tetapi pada kondisi tertentu diuretic harus diberikan bersamaan dengan terapi non
farmakologis. Pemilihan obat dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang
mendasari, berat-ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnya. Efek diuretik berbeda
berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal.

Pemeriksaan yang dilakukan sangat mudah yakni dengan menekan pada daerah mata kaki
akan timbul cekungan yang cukup lama untuk kembali pada keadaan normal. Pemeriksaan
lanjutan untuk menentukan penyebab dari ankle edema adalah menentukan kadar protein
darah dan di air seni (urin), pemeriksaan jantung (Rontgen dada, EKG), fungsi liver dan
ginjal. Pengobatan awal yang dapat dilakukan dengan mengganjal kaki agar tidak tergantung
dan meninggikan kaki pada saat berbaring. Pengobatan lanjutan disesuaikan dengan
penyebab yang mendasarinya. Pergelangan kaki bengkak bisa akibat cedera atau penyakit
tulang, otot dan sendi. Penyebabnya secara umum akibat reaksi inflamasi/peradangan di
daerah tersebut, antara lain asam urat, rheumatoid arthritis.

PRINSIP TERAPI EDEMA

1. Penanganan penyakit yang mendasari


2. Mengurangi asupan natrium dan air , baik dari diet maupun intravena
3. Meningkatkan pengeluaran natrium dan air. Diuretic : hanya sebagai terapo paliatif
bukan kuratif , tirah baring , local pressure
4. Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar , diuresis yang berlebihan
menyebabakan pengeluaran volume plasma, hipotensi , perfusi yang inadekuat,
sehingga diuretic harus diberikan hati-hati.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Effendi I, Pasaribu R. Edema patofisiologi dan penanganan dalam Penyakit Ginjal


Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FK UI ; 2014. p. 2059-63
2.
Robbins. Edema dan patofisiologi. Buku ajar patologi. Jilid I. Edisi ke-7 . Jakarta :
EGC, 2010.p.145-5
3. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
4. Panggabean,MM. Gagal jantung dalam kardiologi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI; 2014.p.1132-1135
5. Kumar P, Clark M. Cardiovascular disease. In: Clinical Medicine.Ed 7th
6. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 17871847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104
7. Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic function and
congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In : Circulation. Ed. 77 : 607-
612.
8. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic.
In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60, 1988.
9. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Diunduh dari: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-
heart-failure.html, 20 Juni 2015.
10. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2013.
11. Suwitra K, Penyakit ginjal kronis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.. Jilid II. Edisi VI.
Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2014. p. 2159-74
12. Lydia A, Maruhum B, Marbun B. Sindrom nefrotik.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam..
Jilid II. Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2014. p. 2080-7
13. Nurdjanah S. Sirosis hati.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.. Jilid II. Edisi VI. Jakarta :
Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2014. p. 1978-83
14. Pohan TM.Filariasis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.. Jilid I. Edisi VI. Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai