Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi,
kenyataannya memang komunikasi secara mutlak merupakan bagian integral dari kehidupan
kita, tidak terkecuali kita yang berstatus sebagai perawat yang tugas sehari harinya
berhubungan dengan klien, dengan keluarga klien, sesama teman, dengan atasan, dokter dan
sebagainya.
Komunikasi adalah saran yang efektif dalam memudahkan perawat melaksanakan peran
dan fungsinya dengan baik.
Komunikasi terapeutik dilakukan pada seluruh klien yang memerlukan bantuan di bidang
kesehatan, diantaranya adalah komunikasi terapeutik yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan sensoris, motorik, kognitif, dan struktur.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mengkaji pasien dengan kelemahan berbahasa (motorik) ?
2. Bagaimana mengkaji pasien dengan kelemahan sensorik ?
3. Bagaimana mengkaji pasien dengan kelemahan kognitif ?
4. Bagaimana mengkaji pasien dengan kelemahan struktur ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui cara mengkaji pasien dengan kelemahan berbahasa
2. Dapat mengetahui cara mengkaji pasien dengan kelemahan sensorik
3. Dapat mengetahui cara mengkaji pasien dengan kelemahan kognitif
4. Dapat mengetahui cara mengkaji pasien dengan kelemahan struktur

1
BAB II
Pembahasan

1. Kelemahan Berbahasa

Berbicara merupakan aktifitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena
itu, gangguan berbicara ini dapat tiga kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara
yang berimplikasi pada gangguan organic. Kedua, gangguan berbicara psikogenik, dan ketiga
gangguan akibat multifaktorial. Gangguan Mekanisme Berbicara.
Proses berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (percakapan) oleh kegiatan terpadu
dari pita suara, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru.
Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan
berbicara disebabkan kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal) pada
lidah (lingual), pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1) Gangguan akibar faktor pulmonal : Gangguan ini dialami oleh para penderita paru-paru.
Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang sehingga
bicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil, dan terputus-putus.
2) Gangguan Akibat Faktor Laringal : Gangguan pada pita suara sehingga suara menjadi
serak atau hilang sama sekali.
3) Gangguan Akibat Faktor Lingual : Lidah yang terluka akan terasa perih jika di gerakan.
Untuk mencegah timbulnya rasa pedih aktifitas lidah di kurangi. Dalam keadaan ini maka
pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna.
4) Gangguan akibat factor resonansi : Menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
bersengau. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-
langit lunak (velum), rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang
seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau.
a. Gangguan Berbicara Psikogenik.
Gangguan ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai gangguan berbicara. Mungkin
lebih tepatnya disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi merupakan
ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang tertangkap oleh
cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara,

2
lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga
mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan ini antara lain:
Berbicara manja : Disebut berbicara manja karena cara bicaranya seperti anak
kecil. Jadi ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian
untuk dimanja. Umpamanya, anak-anak yang baru terjatuh, terluka, atau
mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya.
Fonem bunyi [s] dilafalkan menjadi [c] sehingga kalimat Saya sakit, jadi
tidak mau minum susu atau makan akan diucapkan menjadi Caya cakit,
tidak mau minum cucu atau makan. Dengan berbicara demikian dia
mengungkapkan keinginan untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga
pada orangtua pikun atau jompo (biasanya wanita).
Berbicara kemayu : Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan
yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas
sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu
dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menonjol atau lemah gemulai.
Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi
dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan
identitas kelamin terutama yang dilanda adalah kaum pria.
Berbicara gagap : Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-
sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-
kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat
diselesaikan. Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini masih belum
diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan
penting penyebab terjadinya gagap diantaranya :
a) Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
b) Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan
membentak bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan
membantah.
c) Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
d) Faktor neurotik famial.

3
Berbicara latah : Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan
membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya
latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat
jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.
Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering
dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke
atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah,
adalah ketika bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan
sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris.
Kelatahan ini merupakan excuse atau alasan untuk dapat berbicara dan
bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual

2. Kelemahan Sensoris
Pada klien dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering
digunakan ialah media visual. Klien menangkap pesan bukan dari suara yang dikeluarkan
orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual
menjadi sangat penting bagi klien ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan
supaya sikap dan gerakan anda dapat ditangkap oleh indra visualnya.
Beberapa hal yang perlu dikaji oleh perawat dalam hubungannya dengan
pemenuhan kebutuhan sensory, persepsi antara lain:
a. Catatan keperawatan yang mengkaji fungsi persepsi sensori aktual, adanya deficit dan
masalah yang potensia
b. Status mental
Evaluasi kritis terkait proses sensori prespectual, biasanya termasuk data tingkat
kesadaran, orientasi, memori.
c. Pemeriksaan fisik:
Ketajaman penglihatan, dengan mengunakan kartu Snellen, atau membaca
Ketajaman pendengaran dengan mengobservasi percakapan yang dilakukan
dengan klien, tes Weber, Rhine
Ketajaman terhadap bau-bauan dengan aroma yang spesifik
Ketajaman pengecap

4
Rangsang taktil
d. Lingkungan klien
e. Jaringan sosial yang dimiliki
Berikut adalah teknik-teknik komunikasi yang dapat digunakan klien dengan
gangguan pendengaran:
a. Orientasiakan kehadiran anda dengan cara menyentuh klien atau memposisikan diri di
depan klien
b. Gunakan bahasa yang sederhana dan bicaralah dengan perlahan untuk memudahkan
klien membaca gerak bibir anda
c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat didepan klien dan pertahankan sikap tubuh
dan mimik wajah yang lazim
d. Jangan melakukan pembicaraan ketika anda sedang mengunyah sesuatu (permen
karet)
e. Bila mungkin gunakan bahasa pantomim dengan gerakan sederhana dan wajar
f. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila anda bisa dan diperlukan
g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, cobalah sampaikan pesan
dalam bentuk tulisan atau gambar (simbol).
3. Kelemahan Kognitif
a. Penampilan Umum
Penampilan umum dapat memberikan gambaran mengenai fungsi psikologik.
Penampilan umum meliputi : Penampilan fisik, koordinasi gerakan, ekspresi muka
dan postur tubuh. Penampilan fisik meliputi : cara berpakaian, cara berdandan,
perawatan dan kebersihan diri.
Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji penampilan umum :
1. Apakah penampilan fisik klien menandakan adanya gangguan fungsi psikologik ?
2. Apakah gaya berjalan, postur tubuh dan ekspresi muka menandakan adanya
gangguan psikologik ?
3. Apakah ada tanda tanda tardive dyskineksia atau efek yang kurang baik akibat
medikasi ?

5
Tabel 1 Penampilan umum berhubungan dengan fungsi psikologik

TANDA KETERANGAN
Penampilan fisik Penampilan fisik : pakaian compang camping, tidak
rapi, kau badan tidak sedap dapat dihubungkan
dengan adanya depresi, tetapi perlu dikaji faktor lain
seperti : adanya inkontinensia, kemampuan kognitif,
kondisi keuangan, gangguan pengelihatan/
penciuman, dan kemampuan melakukan perawatan
diri.
Postur tubuh Postur tubuh yang bukuk dapat menandakan adanya
depresi
Koordinasi gerak : gaya berjalan Gaya berjalan yang tidak terkoordinasi atau tardive
dyskineksia dapat diakibatkan oleh efek pengobatan
psikotropika

Gaya berjalan dengan lambaian tangan seolah olah


tubuh lemah dengan kepala ditekuk dapat
menandakan adanya depresi dan menarik diri.
Ekspresi muka Ekspresi muka dengan kontak mata ynag kurang
dapat menandakan adanya depresi.

b. Kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan individu untuk mengadakan hubungan dengan
lingkungannya serta dengan diri sendiri ( melalui panca indra ). Bila kesadaran baik (
tidak menurun ) maka kemampuan orientasi seperti waktu, tempat dan orang akan baik
serta dapat mengolah informasi yang masuk secara efektif ( melalui daya ingat dan
pertimbangan ). Dalam menilai tingkat kesadaran perlu dipertimbangkan :
1. Pengaruh medikasi
2. Gangguan afektif
3. Kondisi patologik

6
Tabel 2 Beberapa tingkatan penurunan kesadaran

Tingkat kesadaran KETERANGAN


Apati Keadaan mengantuk dan acuh tak acuh terhadap
rangsang yang masuk, diperlukan rangsang yang
lebih keras dari biasanya untuk menarik
perhatiannya.
Somnolen Keadaan sangat mengantuk, diperlukan rangsang
yang lebih keras dari biasanya untuk menarik
perhatiannya.
Sopor Hanya bereaksi dengan rangsang yang keras , ingatan
, orientasi dan pertimbangan sudah hilang
Koma Tidak ada lagi respon terhadap rangsang yang keras
sekalipun.

Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji tingkat kesadaran :

1. Apakah tingkat kesadaran klien saat ini ?


2. Apakah ada fluktuasi pada tingkat kesadaran klien . Jika ada apakah ada pola tertentu ?
3. Apakah ada faktor fisik yang mempengaruhi tingkat kesadaran, misal : pengaruh
medikasi, kondisi patologik, dan gangguan afektif ?
4. Apakah ada faktor psikososial yang mempengaruhi tingkat kesadaran misal : cemas,
depresi, atau gangguan tidur ?

c. Fungsi Efektif
Hal - hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji fungsi afektif pada lansia yaitu :
1. Penting untuk mengkaji arti dari suatu kejadian bagi lansia dengan mengkaji kedalaman
dan lamanya afek yang ditampilkan
2. Ekspresi emosi dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik personal
3. Pada lansia biasanya tidak mengekspresikan perasaannya secara langsung/ verbal. Oleh
karena iti penting untuk mengobservasi adanya reaksi tidak langsung/ non verbal dari
lansia.

7
4. Penting untuk menggunakan istilah istilah yang dapat diterima oleh lansia pada saat
wawancara dengan berfokus pada perasaan yang dirasakan oleh lansia. Dapat diawali
dengan menggunakan open ended question misalnya : bagaimana kabarnya hari ini ?

Tabel 3 Temuan temuan pada Fungsi afektif

AFEK KETERANGAN
Afek tidak serasi Respon emosional yang tidak sesuai dengan pikiran, pembicaraan
Afek tumpul Respon emosional yang sangat kurang
Afek ambivalen Dua jenis perasaan yang berlawanan terhadap suatu objek yang
timbul pada saat yang bersamaan
Euforia Kegembiraan berlebihan tidak sesuai dengan realitas
Depresi Perasaan sedih, murung, susah. depresi sering disertai dengan
gejala somatik : pusing, konstipasi, nyeri perut, nyeri otot, nafsu
makan berkurang dan insomnia.
Anxietas Kecemasan, kekawatiran, was was, takut. Sering disertai dengan
gejala somatik : ketegangan motorik ( gemetar, tegang, nyeri otot,
mudah kaget, gelisah ) dan hiperaktivitas saraf otonomik (
berkeringat , telapak tangan lembab, jantung berdebar cepat, mulut
kering, pusing, kesemutan, rasa mual, sering kencing, dan rasa
tidak enak di ulu hati )

Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji fungsi afektif :

1. Bagaimana perasaan klien saat ini ?


2. Apakah indikator yang menggambarkan mood/ rasa cemas / depresi pada klien ?
3. Apakah ada faktor faktor dibawah ini yang mengakibatkan cemas pada klien seperti :
kondisi patologik, pengobatan atau intervensi yang berpengaruh pada sistem saraf pusat ?
4. Cara yang dilakukan oleh klien untuk mengatasi perasaannya yang tidak seperti biasanya
?
5. Apakah ada hal yang ingin didiskusikan mengenai perasaaan klien

8
Gangguan fungsi afektif pada lansia yang sering terjadi adalah depresi. The Geriatric
Depresion scale ( GDS ) adalah pengukurang yang valid dan reliabel untuk menentukan
adanya depresi. Pemakaian GDS dapat memudahkan klien mengungkapkan sikap dan
perasaan yang sulit diutarakan yang sebetulnya berkaitan dengan depresi.

Tabel 4 The Geriatric Depresion scale (Yesavage & brink, 1983 )

No PERTANYAAN JAWABAN
1 Apakah pada dasarnya anda puas dengan kehidupan anda ? TIDAK
2 Sudahkah anda meninggalkan aktivitas dan minat anda ? YA
3 Apakah anda merasa bahwa hidup anda kosong ? YA
4 Apakah anda sering bosan ? YA
5 Apakah anda mempunyai semangat setiap waktu ? TIDAK
6 Apakah anda takut sesuatu akan terjadi pada anda ? YA
7 Apakah anda merasa bahagia disetiap waktu ? TIDAK
8 Apakah anda merasa jenuh ? YA
9 Apakah anda lebih suka tinggal dirumah pada malam hari, YA
dari pada pergi melakukan sesuatu yang baru ?
10 Apakah anda merasa bahwa anda lebih banyak mengalami YA
masalah dengan ingatan anda daripada yang lainnya ?
11 Apakah anda berfikir sangat menyenangkan hidup sekarang TIDAK
ini ?
12 Apakah anda merasa tidak berguna saat ini ? YA
13 Apakah anda merasa penuh berenergi saat ini ? TIDAK
14 Apakah anda saat ini sudah tidak ada harapan lagi ? YA
15 Apakah anda berfikir banyak orang yang lebih baik dari anda YA
?

Keterangan : Nilai 1 poin untuk setiap respon yang cocok dengan jawaban ya dan tidak setelah
pertanyaan.

9
NILAI 5 ATAU LEBIH DAPAT MENANDAKAN DEPRESI

d. Karakteristik Bicara
Karakteristik bicara meliputi : pemahaman , artikulasi, jeda, kualitas, kuantitas
dan koheren. Faktor budaya dapat mempengaruhi karakteristik bicara.
Observasi untuk mengkaji karakteristik bicara :
1. Apakah klien dapat menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan ?
2. Apakah jeda bicara normal, lambat atau cepat ?
3. Apakah nada suara menunjukan perasaan tertentu seperti marah, bermusuhan, sedih,
putus asa, dll ?
4. Apakah suara terdengar lembut atau keras ?
5. Apakah adal kesulitan artikulasi ?
6. Apakah kalimat kalimat yang diucapkan lansia koheren ?
7. Apakah terdapat faktor faktor dibawah ini yang dapat berpengaruh terhadap
karakteristik bicara seperti : mulut kering, ompong, adanya efek medikasi atau alcohol ?
8. Apakah ada tanda tanda agnosia, pengulangan kata atau aphasia ?

e. Orientasi
Orientasi meliputi orientasi terhadap tempat, orang dan waktu.
Wawancara untuk mengkaji orientasi klien :
1. Orang : Siapakah nama anda, Siapakah nama anak anda ? Siapakah nama istri/ suami anda ?,
dll
2. Waktu : Jam berapa sekarang ? , Kapan waktu anda makan pagi ? Hari apa sekarang ? ,
Bualan apa sekarang ? , dll
3. Tempat : Dimanakan saudara saat ini ? , Dimanakah alamat saudara ? Apa nama kota ini ? ,
Apakah nama tempat ini ? dll.

f. Perhatian dan Konsentrasi


Perawat harus mengobservasi dan mencatat respon yang ditampilkan oleh lansia pada
saat pengkajian , yaitupada saat menjawab pertanyaan.

10
Observasi untuk mengkaji perhatian dan konsentrasi :
1. Bagaimana tingkah laku klien saat wawancara ?
2. Apakah klien bersemangat dalam menjawab pertanyaan ?
3. Jika tidak menjawab pertanyaan atau jawaban yang diberikan salah apakah karena tidak
mampu, factor cultural atau kurang motivasi ?
4. Apakah ada tanda tanda marah, bermusuhan, sedih, putus asa, dll ?

g. Penilaian
Penilaian merupakan kemampuan menilai suatu situasi secara benar dengan berbuat
sesuai dengan situasi yang ada.

4. Kelemahan Struktur
Gangguan wicara dapat terjadi akibat kerusakan organ lingual, kerusakan pita suara,
ataupun gangguan persarafan. Berkomunikasi dengan klien dengan gangguan wicara
memerlukan kesabaran supaya pesan dapat dikirim dan ditangkap dengan benar. Klien yang
mengalami gangguan wicara umumnya telah belajar berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa isyarat atau menggunakan tulisan dan gambar.
Pada saat berkomunikasi dengan klien dengan gangguan wicara, hal hal berikut perlu
diperhatikan.
a. Perawat benar benar dapat memperhatikan mimic dan gerak bibir klien.
b. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang kembali kata kata
yang diucapkan klien.
c. Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu banyak topic.
d. Mengendalikan pembicaraan sehingga menjadi lebih rileks dan pelan.
e. Memperhatikan setiap detil komunikasi sehingga pesan dapat diterima dengan baik.
f. Apabila perlu, gunakan bahasa tulisan dan symbol.
g. Apabila memungkinkan, hadirkan orang yang terbiasa berkomunikasi lisan dengan
klien untuk menjadi mediator komunikasi.

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus, ada
beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan

11
gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah : 1. penderita gangguan jiwa cenderung
mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep
diri yang wajar (kecuali pasien dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit,
pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll). 2. gangguan jiwa cenderung asyik dengan
dirinya sendiri sedangkan penderita penyakit fisik membutuhkan Penderita support dari
orang lain. 3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik
bisa saja jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu. Sebenarnya ada banyak perbedaan,
tetapi intinya bukan pada mengungkap perbedaan antara penyakit jiwa dan penyakit fisik
tetapi pada metode komunikasinya. Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa
membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang
mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan
menciptakan dan mengolah kata kata bisa saja kacau balau. Ada beberapa trik ketika harus
berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :
1.Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama sama,
ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri penjelasan
manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau berhubungan
dll.
4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus direduksi
atau ditenangkan dengan obat obatan sebelum kita support dengan terapi terapi lain, jika
pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan pasien lain bisa menjadi korban

12
BAB III
Penutup
A. Simpulan
Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan
pengalaman perbaikan emosi bagi klien. Dalam hal ini perawat memakai dirinya secara
terapeutik dan memakai beberapa tehnik komunikasi agar perilaku klien berubah kearah yang
positif seoptimal mungkin.
Agar perawat dapat berperan efektif dan terapeutik ia harus menganalisa dirinya :
kesadaran diri, klarifikasi nilai, perasaan, kemampuan sebagai rool model. Seluruh perilaku
dan pesan yang disampaikan perawat verbal atau non verbal hendaknya bertujuan terapeutik
untulk klien.

B. Saran
Makalah ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca
umumnya dan khususnya bagi mahasiswa sebagai calon perawat yang baik.

13

Anda mungkin juga menyukai