Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Seksio Sesarea
A.1. Definisi
Seksio sesarea berasal dari bahasa latin caedere yang berarti
memotong. Seksio sesaria adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan
janin melalui insisi pada dinding perut (laparotomi) dan dinding uterus
(histerotomi) dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas
500 gram.21,22 Tindakan pembedahan dilakukan untuk mencegah komplikasi
yang kemungkinan dapat timbul apabila persalinan dilakukan pervaginam.22
A.2. Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2011 dilaporkan angka kejadian seksio sesarea
meningkat 5 kali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat,
presentase persalinan seksio sesarea sebesar 43%, sedangkan presentase di Asia
sebesar 30%.23 Di Indonesia berdasarkan survei demografi dan kesehatan pada
tahun 2011, angka persalinan secara seksio sesarea secara nasional rata-rata
22,5% dari seluruh persalinan.24
Morbiditas maternal setelah menjalani tindakan seksio sesarea masih 4-
6 kali lebih tinggi daripada persalinan pervaginam, karena ada peningkatan
risiko yang berhubungan dengan proses persalinan sampai proses perawatan
setelah pembedahan.6 Komplikasi yang ditimbulkan pada pembedahan seksio
sesarea darurat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan seksio sesarea
yang telah direncanakan sebelumnya. Seksio sesarea darurat meningkatkan
risiko komplikasi pasca bedah 4-5 kali lipat secara keseluruhan.7 Dari jumlah
angka kematian maternal 0,33-1,00% diantaranya terjadi pada pembedahan
seksio sesarea sebagai akibat dari prosedur pembedahan maupun suatu keadaan
yang mengindikasikan seksio sesarea.25 Komplikasi infeksi pasca seksio sesarea
merupakan salah satu penyebab morbiditas maternal yang berhubungan dengan
lama perawatan di rumah sakit.26
A.3. Klasifikasi
Seksio sesarea dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu sebagai
berikut:6,21
a. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda
Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen
bawah uterus. Teknik seksio sesarea transperitoneal profunda memiliki
beberapa keunggulan, seperti kesembuhan yang lebih baik dan relatif tidak
banyak menimbulkan perlekatan. Namun kerugian dari teknik ini adalah
terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga dapat memungkinkan
terjadi luka insisi yang lebih luas dan disertai dengan perdarahan.
b. Seksio Sesarea Ekstraperitoneal
Suatu teknik yang dilakukan tanpa insisi peritoneum melainkan
dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah
atau ke garis-garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen
bawah.
c. Seksio Sesarea Klasik
Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen atas
uterus atau korpus uteri. Teknik seksio sesarea klasik ini dilakukan apabila
segmen bawah rahim sulit untuk dicapai, misalnya oleh karena ada
perlekatan pada kandung kemih akibat pembedahan sebelumnya, mioma
pada segmen bawah uterus atau karsinoma serviks yang invasif. Kelemahan
dari teknik ini, yaitu penyembuhan dari luka insisi relatif sulit,
memungkinkan untuk terjadi perlekatan dengan dinding abdomen dan
terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya.
d. Seksio Sesarea disertai Histerektomi
Pengangkatan uterus setelah tindakan seksio sesarea oleh karena
atonia uteri yang tidak dapat teratasi, pada keadaan uterus miomatousus
besar dan banyak, atau keadaan ruptur uteri yang tidak dapat diatasi.
A.4. Insisi Dinding Abdomen
Macam bentuk insisi dinding abdomen yang dapat dilakukan pada
seksio sesarea adalah:6,7
a. Insisi Longitudinal
Teknik insisi yang dilakukan antara umbilikus sampai dengan
suprapubis. Untuk mengatasi perdarahan dilakukan tindakan ligasi atau
kauterisasi. Fasia dibuka sepanjang insisi, kemudian dibebaskan dari otot
dinding abdomen. Selanjutnya otot dinding abdomen dipisahkan ke bagian
samping sehingga terlihat peritoneum. Peritoneum dibuka kemudian
melakukan insisi peritoneum diperlebar ke atas dan ke bawah sehingga
uterus terlihat.
b. Insisi Transversal menurut Pfannenstiel
Teknik insisi yang dilakukan di suprapubis pada perbatasan rambut
pubis hingga mencapai fasia abdominalis. Perdarahan diatasi dengan
tindakan ligasi atau dengan termokauter. Pemotongan fasia dilakukan secara
melintang dipisahkan dari muskulus abdominalis dan muskulus piramidalis.
Ligasi bila terjadi perdarahan arteri atau vena epigastrika inferior. Pada tepi
bagian atas dan bawah dapat diikat pada kulit abdomen, kemudian untuk
melihat peritonium, muskulus rektus dan piramidalis dipisahkan pada garis
tengahnya. Peritoneum dibuka dengan melakukan pengangkatan
menggunakan pinset dan dipotong dengan pisau atau gunting. Uterus dapat
terlihat dengan memperlebar insisi peritoneum.
A.5. Insisi Uterus
Insisi uterus yang paling sering dilakukan adalah insisi transversal (tipe
Kerr) segmen bawah, kemudian diikuti oleh insisi vertikal segmen bawah.6
a. Insisi Uterus Transversal Segmen Bawah
Insisi jenis ini memiliki keunggulan yaitu hanya membutuhkan
sedikit diseksi kandung kemih dari miometrium di bawahnya, namun jika
insisi diperluas ke lateral maka dapat terjadi laserasi yang mengenai satu
atau kedua pembuluh uterus. Keuntungan lain insisi transversal adalah lebih
mudah diperbaiki, terletak di tempat yang paling kecil kemungkinan
mengalami ruptur disertai keluarnya kepala janin ke dalam rongga abdomen
selama kehamilan berikutnya dan tidak meningkatkan perlekatan usus atau
omentum ke garis sisi.
Pada insisi transversal biasanya lipatan peritoneum yang longgar di
atas batas atas kandung kemih dan segmen bawah anterior uterus dipegang
dengan forsep di garis tengah dan diinsisi dengan skalpel atau gunting.
Gunting dimasukkan di antara serosa dan miometrium segmen bawah uterus
dan didorong ke samping dari garis tengah, serosa dibebaskan selebar 2 cm
yang kemudian diinsisi. Sewaktu batas lateral di masing-masing sisi
didekati, gunting sedikit diarahkan ke kepala. Lipat bawah peritoneum
diangkat dan kandung kemih dipisahkan secara tumpul dan tajam dari
miometrium di bawahnya. Secara umum, kedalaman pemisahan kandung
kemih tidak melebihi 5 cm. Khususnya pada serviks yang telah mendatar
dan membuka lengkap, dapat terjadi diseksi yang terlalu ke dalam sehingga
secara tidak sengaja dapat menembus vagina di bawahnya.
Uterus dibuka melalui segmen bawah uterus sekitar 1 cm di bawah
batas atas lipatan peritoneum. Insisi uterus perlu dibuat relatif lebih tinggi
pada wanita dengan pembukaan serviks yang telah lengkap agar ekstensi
insisi ke lateral menuju arteri-arteri uterus dapat dicegah. Insisi uterus dapat
dilakukan dengan berbagai teknik. Masing-masing dimulai dengan
menginsisi segmen bawah uterus yang telah terpajan secara melintang
sepanjang sekitar 1 sampai 2 cm di garis tengah. Insisi harus memotong
seluruh ketebalan dinding uterus, tetapi tidak cukup dalam untuk melukai
janin di bawahnya. Tindakan menembus uterus dengan hati-hati secara
tumpul dapat menggunakan hemostat untuk memisahkan otot. Setelah uterus
dibuka, insisi dapat diperluas dengan memotong ke lateral dan sedikit ke atas
dengan gunting perban. Jika segmen bawah uterus tipis, lubang masuk dapat
diperlebar hanya dengan memperluas insisi, menggunakan kedua telunjuk
untuk memberikan tekanan ke arah lateral dan atas.
Insisi uterus harus dibuat cukup lebar agar kepala dan badan janin
dapat lahir tanpa merobek atau harus memotong arteri dan vena uterina yang
berjalan di batas lateral uterus, jika dijumpai plasenta di garis insisi, plasenta
tersebut harus dilepaskan atau diinsisi. Jika plasenta dipotong, perdarahan
janin dapat hebat sehingga tali pusat harus dipotong secepat mungkin.
b. Insisi Uterus Vertikal Segmen Bawah
Insisi vertikal pada uterus dimulai dengan skalpel dan dilakukan
serendah mungkin, tetapi lebih tinggi daripada batas perlekatan kandung
kemih. Jika ruang yang terbentuk oleh skalpel sudah memadai, maka insisi
diperluas ke arah kepala dengan gunting perban sampai cukup panjang untuk
melahirkan janin. Di dalam miometrium sering dijumpai banyak perdarahan
dari pembuluh-pembuluh darah besar. Segera setelah janin dikeluarkan,
pembuluh-pembuluh tersebut diklem dan diikat dengan benang catgut
kromik. Setelah janin lahir, insisi uterus diamati untuk melihat ada tidaknya
perdarahan yang bermakna. Perdarahan harus segera dijepit dengan forcep
pennington atau forsep cincin.
A.6. Perbaikan Insisi Uterus
a. Perbaikan Insisi Uterus Transversal
Setelah plasenta dilahirkan, uterus dapat diangkat melalui insisi
untuk diletakkan di dinding abdomen yang telah ditutup duk dan fundus
ditutupi oleh kain laparotomi yang lembab. Uterus atonik yang lemas dapat
cepat diketahui dan diberi pijatan. Titik-titik perdarahan dan insisi lebih
mudah dilihat dan diperbaiki, terutama jika telah terdapat perluasan ke
lateral. Adnexa lebih terlihat sehingga sterilisasi tuba lebih mudah dilakukan.
Kekurangan utama adalah rasa tidak nyaman dan muntah yang ditimbulkan
oleh gerakan menekan dan mendorong pada wanita yang mendapat analgesia
spinal atau epidural. Pada wanita yang menjalani eksteriorisasi uterus
sebelum penutupan, tidak terjadi peningkatan morbiditas demam atau
perdarahan.
Segera setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa, rongga uterus
diperiksa dan diusap dengan spons laparotomi untuk mengeluarkan
membran, verniks, bekuan, atau debris lain yang tersisa. Tepi sayatan bagian
atas dan bawah serta masing-masing sudut insisi uterus diperiksa secara
cermat untuk melihat adanya perdarahan.
Insisi uterus kemudian ditutup dengan satu atau dua lapisan jahitan
kontinyu menggunakan benang ukuran 0 atau 1 yang dapat diserap. Biasanya
digunakan benang kromik atau benang sintetik yang tidak dapat diserap.
Pembuluh-pembuluh besar yang telah diklem sebaiknya diikat dengan
benang.
Jahitan pertama dipasang sedikit melewati salah satu sudut insisi.
Kemudian dilakukan penjahitan jelujur mengikat (running-lock), dengan
masing-masing jahitan menembus seluruh ketebalan miometrium. Tempat
masuknya masing-masing jahitan harus dipilih dengan cermat untuk
menghindari pengeluaran jarum setelah jarum menembus miometrium. Hal
ini mengurangi kemungkinan perforasi pembuluh yang tidak terikat dan
perdarahan. Penjahitan jelujur-mengikat ini dilanjutkan sedikit melewati
sudut insisi yang berlawanan. Kerapatan tepi sayatan biasanya dapat dicapai
dengan memuaskan, terutama jika segmen bawah tipis. Jika kerapatan
setelah satu lapisan jahitan jelujur kurang memuaskan atau jika perdarahan
menetap, dapat dilakukan penjahitan satu lapis tambahan untuk memperoleh
kerapatan dan hemostasis atau masing-masing titik perdarahan dihentikan
dengan jahitan angka-delapan atau jahitan kasur. Setelah hemostasis tercapai
dengan penutupan uterus, maka tepi serosa yang menutupi uterus dan
kandung kemih didekatkan satu sama lain dengan jahitan jelujur
menggunakan benang cutgut kromik 2-0.6
b. Perbaikan Insisi Uterus Vertikal
Salah satu metodenya adalah menggunakan satu lapis jahitan jelujur
dengan cutgut kromik 0 atau 1 untuk menyatukan separuh bagian dalam
insisi. Separuh bagian luar insisi uterus kemudian ditutup dengan jahitan
serupa menggunakan teknik jelujur atau jahitan angka-delapan. Untuk
mencapai kerapatan yang baik dan untuk mencegah benang merobek
miometrium, sebaiknya dilakukan penekanan pada kedua sisi luka
miometrium ke arah tengah setiap kali dilakukan penjahitan dan pengikatan.
Tepi-tepi serosa uterus didekatkan satu sama lain dengan jahitan jelujur
menggunakan cutgut kromik 2-0.6
A.7. Penutupan Abdomen
Semua kasa dikeluarkan, dan cekungan serta cul-de-sac dikosongkan
dari darah dan cairan amnion dengan pengisapan lembut. Jika digunakan
anestesi umum, organ abdomen atas dapat diraba secara sistematis. Namun
pada anestesi regional, tindakan ini dapat menimbulkan rasa yang sangat tidak
nyaman. Setelah hitung spons dan alat sudah benar, insisi abdomen ditutup.
Sewaktu dilakukan penutupan lapis demi lapis, tempat-tempat perdarahan
diidentifikasi, dijepit dan diikat. Ruang subfasia secara cermat diperiksa untuk
hemostasis. Fasia rektus di atasnya ditutup dengan jahitan interrupted dengan
benang ukuran 0 yang tidak dapat diserap yang dijahitkan ke arah lateral tepi
fasia dengan jarak tidak lebih dari 1 cm atau dengan jahitan jelujur tidak
mengikat (continuous non-blocking) menggunakan benang tipe permanen atau
yang dapat diserap tetapi bertahan lama.
Jaringan subkutis biasanya tidak perlu ditutup secara terpisah jika
ketebalannya 2 cm atau kurang dan kulit ditutup dengan jahitan kasur vertikal
menggunakan benang sutera 3-0 atau 4-0 atau ekuivalennya. Jika jaringan
lemaknya lebih tebal, atau jika digunakan klip atau jahitan subkutis, dilakukan
beberapa penjahitan interrupted dengan cutgut polos 3-0 untuk menutup ruang
mati dan mengurangi tarikan pada tepi luka.6
A.8. Indikasi
Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dalam persalinan,
yaitu power (kekuatan ibu), passage (jalan lahir), passanger (janin), psikologis
ibu dan penolong persalinan. Apabila pada salah satu faktor terdapat gangguan,
dapat mengakibatkan keberhasilan dalam persalinan tidak dapat tercapai bahkan
dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin jika
keadaan tersebut berlanjut.26
Indikasi seksio sesarea dilakukan apabila diambil langkah keputusan
penundaan persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya serius bagi
ibu, janin, bahkan keduanya, atau bila tidak dimungkinkan dilakukan persalinan
pervaginam secara aman. Adapun indikasi dilakukannya seksio sesarea
dibedakan menjadi 3, yaitu:5,21
a. Indikasi Ibu
1. Usia ibu melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita usia 40
tahun ke atas.
2. Adanya ancaman robekan rahim.
3. Ibu kelelahan.
4. Penyakit ibu yang berat seperti penyakit jantung, paru, demam tinggi,
pre-eklampsia berat atau eklampsia.
5. Faktor hambatan jalan lahir, karena terdapat tumor atau mioma yang
menyebabkan persalinan terhambat atau tidak maju.
6. Disproporsi sefalo-pelvis, yaitu ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin.
b. Indikasi Janin
1. Bayi terlalu besar atau berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih.
2. Malpresentasi atau malposisi, yaitu letak bayi dalam rahim tidak
menguntungkan untuk persalinan pervaginam. Misalnya pada posisi
transversal dan presentasi sungsang.
3. Distress janin, terjadi perubahan kecepatan denyut jantung janin yang
dapat menunjukkan suatu masalah pada bayi. Perubahan kecepatan
denyut jantung, dapat terjadi jika tali pusat tertekan atau berkurangnya
aliran darah yang teroksigenasi ke plasenta.
4. Faktor plasenta, misalnya pada kasus plasenta previa, keadaan dimana
plasenta menutupi sebagian leher rahim. Pada saat leher rahim melebar,
plasenta terlepas dari rahim dan menyebabkan perdarahan, yang dapat
mengurangi pasokan oksigen ke janin. Tidak dimungkinkan dilakukan
persalinan pervaginam karena plasenta akan keluar sebelum bayi lahir.
5. Kelainan tali pusat, misalnya pada prolaps tali pusat terjadi bila tali pusat
turun melalui leher rahim sebelum bayi, maka kepala atau tubuh bayi
dapat menjepit tali pusat dan mengakibatkan kurangnya pasokan oksigen,
sehingga mengharuskan dilakukannya bedah sesar dengan segera.
6. Kehamilan ganda, pada kehamilan ganda terdapat risiko terjadinya
komplikasi kelahiran prematur dan terjadi pre-eklamsia pada ibu sehingga
memungkinkan untuk dilakukan persalinan secara seksio sesarea.
c. Indikasi Waktu
1. Partus lama, yaitu persalinan yang berlangsung sampai 18 jam atau lebih
2. Partus tidak maju, yaitu tidak ada kemajuan dalam jalannya persalinan
kala I baik dalam pembukaan serviks, penurunan kepala atau saat putaran
paksi.
3. Partus macet, yaitu bayi tidak lahir setelah dipimpin mengejan (kala II)
beberapa saat.
Selain indikasi berdasarkan faktor ibu, janin dan waktu terdapat indikasi
sosial untuk dilakukannya persalinan secara seksio sesarea, yang timbul karena
permintaan pasien meskipun untuk dilakukan persalinan normal tidak ada
masalah atau kesulitan yang bermakna. Indikasi sosial biasanya sudah
direncanakan terlebih dahulu atau dapat disebut dengan seksio sesarea elektif.27
A.9. Kontraindikasi
Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin, adanya faktor
yang menghambat berlangsungnya tindakan seksio sesarea, seperti adanya
gangguan mekanisme pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan untuk
dilakukan persalinan pervaginam, oleh karena insisi yang menyebabkan
perdarahan dapat seminimal mungkin.6 Seksio sesaria umumnya tidak
dilakukan pada kasus keadaan janin sudah mati dalam kandungan, ibu syok
atau anemia berat yang belum teratasi, pada janin dengan kelainan kongenital
mayor yang berat atau terjadi infeksi dalam kehamilan.28
A.10. Anestesi
Ada beberapa teknik anestesi atau penghilang rasa sakit yang dapat
dipilih untuk tindakan seksio sesarea, baik spinal maupun general. Yang lebih
umum digunakan yaitu anestesi spinal atau epidural. Pada anestesi general
mungkin diberikan jika diperlukan proses persalinan yang cepat karena cara
kerja yang jauh lebih cepat dibandingkan anestesi spinal.29
a. Anestesi General
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau epidural
tidak mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun karena dianggap
tidak aman. Pada prosedur pemberian anestesi ini, pasien akan menghirup
oksigen melalui masker wajah selama tiga sampai empat menit sebelum obat
diberikan melalui penetesan intravena. Pasien tidak sadarkan diri dalam
waktu 20 sampai 30 detik. Saat pasien tidak sadarkan diri, disisipkan selang
ke dalam tenggorokkan pasien untuk membantu pasien bernafas dan
mencegah muntah. Jika digunakan anestesi general, pasien akan dimonitor
oleh ahli anestesi secara konstan.29
b. Anestesi Spinal
Berkaitan dengan risiko untuk ibu dan skor Apgar yang lebih rendah
menggunakan anestesi general, umumnya tindakan seksio sesarea
menggunakan anestesi spinal. Dengan menggunakan teknik anestesi spinal,
neonatus terpapar lebih sedikit obat anestesi dan memberikan pengelolaan
rasa sakit pasca operasi yang lebih baik.
Pemasukan anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk
menghasilkan blok spinal telah lama digunakan untuk seksio sesarea. Teknik
ini diketahui baik untuk pasien dengan kelainan paru, diabetes melitus,
penyakit hati yang difus, kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan
gangguan metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Keuntungan dari anestesi
spinal antara lain teknik yang sederhana, onset cepat, risiko keracunan
sistemik yang lebih rendah, blok anestesi yang baik, perubahan fisiologi,
pencegahan dan penanggulangan terhadap penyulitnya telah diketahui
dengan baik, analgesia dapat diandalkan, pasien sadar sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi.29
A.11. Sterilitas Ruang Pembedahan
Pemeliharaan ruang pembedahan merupakan proses pembersihan dan
dekontaminasi ruang beserta alat-alat standar yang terdapat di ruang bedah.
Tujuan dilakukannya yaitu untuk mencegah infeksi silang dari atau kepada
pasien serta mempertahankan sterilitas. Sterilisasi kamar operasi dapat dengan
cara pemakaian sinar ultraviolet yang dinyalakan selama 24 jam, memakai
desinfektan yang disemprotkan dengan memakai suatu alat (fogging) dengan
waktu yang dibutuhkan sekitar 1 jam untuk menyemprotkan cairan dan ruang
pembedahan dapat dipakai setelah 1 jam kemudian.30
B. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca bedah sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi yang
dapat ditimbulkan pasca tindakan seksio sesarea. Perawatan pembalutan luka
(wound dressing) dengan baik merupakan perawatan pertama yang diperlukan
pasca bedah, kemudian melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, jumlah cairan yang masuk dan keluar
serta pengukuran suhu tubuh. Pengukuran terhadap tanda-tanda vital dilakukan
hingga beberapa jam pasca bedah dan beberapa kali sehari untuk perawatan
selanjutnya.6
B.1. Perawatan Luka Insisi Kulit Abdomen
Perawatan luka insisi dapat dimulai dengan membersihkan luka insisi
menggunakan alkohol atau cairan suci hama dan ditutup dengan kain penutup
luka. Setiap hari pembalut luka diganti dan luka dibersihkan. Perhatikan apakah
luka telah sembuh sempurna atau mengalami komplikasi. Luka yang
mengalami komplikasi seperti sebagian luka yang sembuh sedangkan sebagian
lain mengalami infeksi eksudat, luka terbuka sebagian atau seluruhnya,
memerlukan perawatan khusus atau bahkan perlu dilakukan reinsisi.
Komplikasi-komplikasi tersebut sering dijumpai pada pasien seksio sesarea
dengan obesitas, diabetes melitus dan partus lama.31,32
B.2. Pemberian Cairan
Pemberian cairan perinfus harus cukup dan mengandung elektrolit yang
diperlukan, agar tidak terjadi hipertermia, dehidrasi dan komplikasi pada organ
tubuh lain, karena selama 24 jam pertama pasca pembedahan pasien diharuskan
untuk berpuasa. Pemberian transfusi darah atau packed-cell apabila kadar
hemoglobin darah rendah. Pencatatan jumlah urin atau cairan yang keluar
ditampung untuk mengetahui jumlah cairan yang harus diberikan. Pemberian
cairan perinfus dihentikan setelah pasien flatus baru kemudian dapat diberikan
makanan dan cairan peroral.32
B.3. Diet
Pemberian makanan dapat dilakukan setelah cairan infus dihentikan.
Pasien diperbolehkan makan makanan bubur saring, minuman air buah dan
susu, selanjutnya diperbolehkan makanan bubur dan makanan biasa secara
bertahap kecuali bila dijumpai komplikasi pada saluran pencernaan, seperti
adanya kembung, meteorismus dan peristaltik usus yang abnormal, sedangkan
pemberian obat-obatan peroral dapat diberikan sejak pemberian minum pertama
kali.32
B.4. Pengelolaan Nyeri
Pengelolaan untuk mengurangi rasa nyeri yang biasanya masih
dirasakan pasien dalam 24 jam pertama sejak pasien sadar, dapat diberikan
obat-obatan analgesia dan penenang, seperti injeksi intramuskular pethidin atau
morfin secara perinfus. Biasanya setelah 24-48 jam rasa nyeri akan hilang
seiring dengan penyembuhan luka.32
B.5. Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
bebas dan merupakan faktor penting dalam mempercepat pemulihan pasca
bedah. Tujuan mobilisasi dini adalah membantu proses penyembuhan ibu
setelah melahirkan, untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka insisi
setelah operasi seksio sesarea, mengurangi risiko konstipasi, mengurangi
terjadinya dekubitus, kekakuan otot, mengatasi terjadinya gangguan sirkulasi
darah, pernafasan, peristaltik maupun berkemih.32
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik
pasca bedah. Pada pasien post operasi seksio sesarea 6 jam pertama dianjurkan
untuk segera menggerakkan anggota tubuh. Gerak tubuh yang dapat dilakukan
adalah dengan menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari-jari agar kerja organ
pencernaan segera kembali normal.27
B.6. Kateterisasi
Perawatan pengosongan kandung kemih pada seksio sesarea sama
dengan persalinan pervaginam tanpa perlukaan yang luas pada jalan lahir.
Perawatan kateterisasi ini dilakukan untuk mencegah iritasi dan luka
terkontaminasi oleh urin. Dianjurkan pemasangan kateter tetap selama 24
hingga 48 jam atau lebih pasca pembedahan, karena disamping rasa nyeri dan
tidak nyaman yang ditimbulkan dari kandung kemih yang penuh, melalui
kateterisasi dapat diketahui jumlah urin yang keluar secara periodik.32
B.7. Antibiotika
Antibiotika sangat diperlukan pasca pembedahan untuk mencegah dan
mengurangi terjadinya infeksi puerperalis. Febris merupakan salah satu tanda
komplikasi pasca seksio sesarea yang sering ditemukan. Penelitian yang
menunjukkan morbiditas febris pasca seksio sesarea mengalami penurunan
setelah antibiotika diberikan secara profilaksis. Pemberian antibiotika dengan
interval 6 jam dapat menurunkan angka morbiditas akibat infeksi. Pemberian
antibiotika sebelum pembedahan dapat menurunkan morbiditas pasca seksio
sesarea menjadi 7%.31
B.8. Perawatan Rutin
Perawatan rutin pasca seksio sesarea yang harus diperhatikan, meliputi
pemeriksaan dan pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, jumlah cairan masuk dan keluar dan pengukuran suhu tubuh, serta
pemeriksaan lain apabila terdapat komplikasi. Pengukuran dan pencatatan
tanda-tanda vital ini dilakukan setiap 4 jam.32
B.9. Pemulangan Pasien
Pasien pasca tindakan seksio sesarea tanpa disertai komplikasi selama
masa nifas atau keadaan abnormal lain yang masih perlu perawatan dan
dinyatakan sehat dari luka operasi diperbolehkan pulang idealnya pada hari
keempat atau kelima postpartum, namun diperlukan pembatasan aktivitas ibu
selama minggu-minggu berikutnya hanya untuk perawatan ibu sendiri
sedangkan perawatan bayi dengan bantuan orang lain.8,9
B.10. Komplikasi Pasca Seksio Sesarea
Morbiditas maternal pada seksio sesarea lebih besar dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Komplikasi pasca seksio sesarea dapat berasal
dari perdarahan, sepsis, luka pada traktus urinarius dan tromboemboli.
Komplikasi pasca seksio sesarea, meliputi:25,26
a. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi paling serius yang memerlukan
transfusi darah dan merupakan penyebab utama kematian maternal.
Penyebab perdarahan pada tindakan operasi dapat disebabkan karena atonia
uteri, robekan jalan lahir, perdarahan karena mola hidatidosa atau korio-
karsinoma, gangguan pembekuan darah akibat kematian janin dalam rahim
lebih dari 6 minggu, solusio plasenta, emboli air ketuban dan retensio
plasenta, yaitu gangguan pelepasan plasenta menimbulkan perdarahan dari
tempat implantasi plasenta.
b. Infeksi
Setiap tindakan pembedahan hampir selalu diikuti oleh kontaminasi
bakteri, sehingga menimbulkan infeksi. Infeksi semakin meningkat apabila
didahului faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya infeksi, yaitu
keadaan umum yang rendah misalnya terdapat anemia saat kehamilan atau
sudah terdapat infeksi sebelumnya, keadaan malnutrisi, perlukaan operasi
yang menjadi jalan masuk bakteri, pelaksanaan operasi persalinan yang
kurang legeartis seperti rendahnya tingkat higienitas dan sterilitas alat
pembedahan dan ruang operasi, proses persalinan bermasalah seperti partus
lama atau macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya
proses pencegahan infeksi dan manipulasi yang berlebihan.
c. Trauma Tindakan Operasi Persalinan
Operasi merupakan suatu tindakan pertolongan persalinan sehingga
tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan trauma jalan lahir. Trauma
operasi persalinan diantaranya dapat berupa perluasan luka episiotomi,
perlukaan pada vagina, perlukaan pada serviks, perlukaan pada forniks-
kolpoporeksis, terjadi ruptura uteri lengkap atau tidak lengkap, terjadi fistula
dan inkontinensia. Ruptura uteri dan kolpoporeksis merupakan akibat dari
trauma tindakan operasi persalinan yang diyakini paling berat.
d. Tromboemboli
Aliran darah yang normal tergantung pada pemeliharaan
keseimbangan antara antikoagulan yang beredar, antikoagulan endotelium
serta faktor-faktor prokoagulan. Apabila keseimbangan tersebut terganggu,
dapat terjadi trombosis. Pada suatu kondisi yang memperlambat aliran darah,
misalnya pada ibu hamil yang merupakan salah satu faktor risiko untuk
mengalami kejadian tromboemboli, sedangkan risiko tromboemboli setelah
tindakan seksio sesarea diperkirakan dialami 1-2% pasien.
Faktor-faktor risiko kemungkinan terjadinya trombosis antara lain
peningkatan konsentrasi estrogen atau progesteron dalam plasma,
peningkatan konsentrasi beberapa faktor pembekuan pada kehamilan, partus,
pasca seksio sesarea emergensi, partus dengan instrumen dan grande-
multiparitas. Risiko trombosis juga meningkat pada usia lebih dari 35 tahun
atau lebih dari 30 tahun dengan riwayat melahirkan lewat pembedahan,
obesitas dengan berat badan lebih dari 80 kg, immobilitas atau tirah baring
lebih dari 4 hari, trauma dan pembedahan, dehidrasi misalnya pada keadaan
emesis atau hiperemesis, perdarahan, infeksi yang belum lama terjadi, sepsis,
kompresi pembuluh darah, merokok, stress, hipertensi, pre-eklamsia, diet
tinggi lemak dan rendah serat, varises vena, trombofilia, sindrom
antifosfolipid, lupus antikoagulan, riwayat tromboemboli pada pasien,
diabetes melitus, penyakit yang telah ada sebelumnya misalnya pada
kelainan saluran pernapasan, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis,
sindrom nefrotik, dan penyakit inflamasi usus.

C. Faktor Persalinan

C.1. Ketuban Pecah Dini (KPD)

C.1.1. Definisi

Ketuban pecah dini adalah kondisi pecahnya selaput ketuban sebelum


terjadinya proses persalinan pada usia kehamilan cukup bulan atau kurang
bulan.6 Ketuban pecah dini terjadi karena rupturnya membran ketuban
sebelum persalinan berlangsung.5
C.1.2. Penyebab
Penyebab ketuban pecah dini adalah karena berkurangnya kekuatan
membran atau peningkatan tekanan intra uterin atau kombinasi antara
keduanya.5 Berkurangnya kekuatan membran disebabkan karena adanya
infeksi yang dapat berasal dari vagina atau serviks. Ketuban pecah dini juga
dapat disebabkan oleh karena:5,6
a. Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks adalah suatu kelainan anatomi pada serviks
yang dapat disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan kelainan kongenital pada serviks yang dapat menyebabkan
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dalam masa kehamilan trimester
kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti penonjolan serta robekan
selaput janin dan keluarnya hasil konsepsi.
b. Peningkatan Tekanan Intra Uterin
Peningkatan tekanan intra uterin dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini akibat distensi uterus yang meningkat sehingga
menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sedangkan keadaan
tersebut menekan selaput ketuban menjadi teregang, tipis, kekuatan
membran menjadi berkurang dan menimbulkan selaput ketuban mudah
pecah. Keadaan distensi yang berlebihan pada uterus misalnya pada
keadaan trauma, gemelli atau kehamilan kembar, makrosomia atau berat
badan neonatus >4000 gram, pada keadaan hidramnion atau
polihidramnion yaitu jumlah cairan amnion >2000 ml.
c. Kelainan letak janin dan uterus, seperti letak sungsang atau letak lintang
d. Infeksi
Infeksi disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi pada selaput yang biasanya berasal dari vagina.
Infeksi yang terjadi menyebabkan proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga selaput ketuban mudah pecah.
e. Faktor Genetik
Faktor genetik berperan dalam terjadinya ketuban pecah dini baik
karena terdapat kelainan genetik pada keluarga atau rendahnya kadar ion
Cu serum dan vitamin C yang berperan dalam mempertahankan selaput
ketuban dan kekuatan membran.
f. Riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD) Sebelumnya
C.1.3. Pengaruh Ketuban Pecah Dini (KPD) terhadap Seksio Sesarea
dan Lama Perawatan
Komplikasi yang ditimbulkan akibat ketuban pecah dini diantaranya
infeksi maternal ataupun neonatus, persalinan prematur, hipoksia karena
kompresi tali pusat, deformitas janin, insiden seksio sesarea yang meningkat
karena persalinan normal yang gagal.5 Ketuban pecah dini merupakan salah
salah satu indikasi medis untuk dilakukan tindakan seksio sesarea oleh
karena sudah terjadi gawat janin.21 Pada kasus ketuban pecah dini
memungkinkan terjadinya infeksi intrapartum, infeksi puerpuralis atau nifas
hingga peritonitis dan septikemia. Kasus infeksi pada ketuban pecah dini
lebih sering terjadi pada persalinan preterm daripada aterm dan secara umum
insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding
dengan lamanya periode laten.5
C.2. Partus Lama
C.2.1. Definisi
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam
yang dimulai dari tanda-tanda persalinan.21
C.2.2. Penyebab
Sebab-sebab terjadinya partus lama adalah multi-komplek yang
tergantung pada keadaan kehamilan, pertolongan persalinan dan
penatalaksanaannya. Faktor-faktor yang menyebabkan partus lama adalah:21
a. Kelainan letak janin
b. Kelainan panggul
c. Kelainan his
d. Pimpinan partus yang salah
e. Kelainan kongenital
f. Primitua
g. Grande multipara
h. Ketuban pecah dini
C.2.3. Pengaruh Partus Lama terhadap Seksio Sesarea dan Lama
Perawatan
Disamping kasus gawat janin, persalinan berkepanjangan merupakan
suatu indikasi medis dilakukannya tindakan seksio sesarea, misalnya pada
keadaan disproporsi sefalo-pelvis atau terdapat kelainan his sehingga
pembukaan tidak berkembang. Terdapat kenaikan insidensi atonia uteri,
laserasi, perdarahan, infeksi hingga sepsis, asidosis atau gangguan elektrolit,
kelelahan ibu, dehidrasi, syok dan kegagalan fungsi organ, robekan jalan
lahir dan terjadinya fistula buli-buli, vagina, uterus dan rektum sehingga
turut meningkatkan angka morbiditas ibu.21
D. Faktor Maternal

D.1. Usia

D.1.1. Definisi

Usia adalah lama waktu untuk hidup atau sejak dilahirkan atau sejak
diadakan.33 Usia ibu merupakan penyebab kematian maternal dari faktor
reproduksi. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
lebih dari 35 tahun adalah 2 hingga 5 kali lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia antara 20 hingga 35 tahun.11
D.1.2. Usia Ibu Kurang dari 20 Tahun
Pada usia kurang dari 20 tahun, organ reproduksi belum berfungsi
dengan sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan rentan
mengalami komplikasi. Pada usia ini, kekuatan otot perineum dan otot perut
belum bekerja secara optimal, sehingga sering terjadi persalinan lama yang
memerlukan tindakan.21
Risiko kehamilan dengan usia di bawah 20 tahun adalah anemia,
gangguan tumbuh kembang janin, prematuritas atau berat badan lahir rendah
(BBLR), gangguan persalinan, pre-eklampsia, perdarahan antepartum,
asfiksia dan persalinan pervaginam dengan instrumen.12
D.1.3. Usia Ibu Lebih dari 35 Tahun
Semakin bertambahnya usia wanita akan semakin tipis cadangan
telur, indung telur yang juga semakin kurang peka terhadap rangsangan
gonadotropin. Semakin lanjut usia wanita, risiko terjadi abortus semakin
meningkat karena kualitas sel telur atau ovum yang menurun dan
meningkatnya risiko kejadian kelainan kromosom. Salah satu faktor
penyebab abortus pada gravida tua adalah karena terjadinya abnormalitas
kromosom janin.11
Peningkatan risiko persalinan preterm juga dapat terjadi seiring
bertambahnya usia. Setelah usia 30 tahun lebih besar kemungkinan risiko
persalinan preterm baik kondisi janin dalam keadaan normal ataupun
abnormal.11 Wanita berusia 35 tahun atau lebih meningkatkan risiko
terhadap penyakit penyerta seperti tekanan darah tinggi, gestasional diabetes
dan komplikasi selama persalinan.10
D.1.4. Pengaruh Usia terhadap Seksio Sesarea dan Lama Perawatan
Kemungkinan terjadi komplikasi pada primigravida usia yang terlalu
muda ataupun tua lebih besar dibandingkan primigravida usia 20-30 tahun.
Penelitian Awad Shehadeh di Queen Alia and Prince Hashem Hospital pada
primigravida yang berusia lebih dari 35 tahun terdapat angka kejadian
peningkatan komplikasi keluaran maternal dan perinatal bila dibandingkan
dengan primigravida usia 20-25 tahun, yaitu terjadinya perdarahan
postpartum dan persalinan bedah sesar.11
Wanita dengan usia diatas 35 tahun rentan dengan masalah kesehatan
yang kronis, seperti menderita penyakit diabetes melitus atau tekanan darah
tinggi.10 Risiko pada wanita usia lebih dari 35 tahun, 2 kali lebih rawan
dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita tekanan darah tinggi
dan diabetes pada saat kehamilan pertama. Wanita yang pertama kali hamil
pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan sebesar 60% menderita
takanan darah tinggi dan 4 kali lebih rawan terkena penyakit diabetes selama
kehamilan dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun.12 Masalah kesehatan
kronis ini merupakan morbiditas pasien postpartum yang turut
mempengaruhi lama perawatan menjadi lebih panjang.
D.2. Tingkat Pendidikan
D.2.1. Definisi
Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang telah
dilalui oleh seseorang. Tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang adalah
salah satu faktor demografi yang mempengaruhi kondisi kesehatan individu
dan masyarakat. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi, akan dengan
mudah menerima informasi kesehatan dan secara aktif berusaha mencari
informasi yang berhubungan dengan kesehatan. Informasi mengenai
kehamilan dan persalinan merupakan suatu kebutuhan bagi ibu untuk
mempersiapkan kehamilan dan proses persalinan.
D.2.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Seksio sesarea dan Lama
Perawatan
Berdasarkan penelitian, ibu dengan tingkat pendidikan rendah,
mempunyai risiko 6 kali lebih tinggi mengalami partus lama dibandingkan
dengan ibu yang tingkat pendidikannya tinggi. Tingkat pendidikan yang
rendah juga berisiko 9 kali mengalami kala II lebih lama.34 Partus lama
dalam kondisi persalinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
lamanya perawatan di rumah sakit oleh karena semakin lama proses
persalinan maka semakin meningkatnya trauma persalinan, terutama setelah
24 jam. Terdapat peningkatan insidensi atonia uteri, laserasi, perdarahan,
infeksi dan faktor kelelahan ibu.10
D.3. Status Ekonomi
D.3.1. Definisi
Status ekonomi sering dinyatakan dengan pendapatan keluarga yang
dapat mencerminkan kemampuan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
hidup, kebutuhan kesehatan termasuk kebutuhan zat gizi yang
mempengaruhi kondisi kehamilan dan proses persalinan. Status ekonomi
juga turut mempengaruhi akses pelayanan kesehatan sehingga apabila
terdapat komplikasi dalam kehamilan dapat diketahui lebih dini.
D.3.2. Pengaruh Status Ekonomi terhadap Seksio Sesarea dan Lama
Perawatan
Berdasarkan penelitian, status ekonomi dilihat dari pendapatan
keluarga, mempengaruhi terjadinya partus lama, sehingga diperlukan
persalinan dengan tindakan.34 Dalam hal ini akses pelayanan kesehatan
terutama pemeriksaan kehamilan sangat dipengaruhi oleh kemampuan
ekonomi keluarga. Selain akses pelayanan yang rendah, kehamilan yang
tidak terencana sebelumnya, kecukupan kebutuhan akan zat gizi ibu hamil
sangat berpengaruh terhadap kehamilan dan proses persalinan.
D.4. Status Paritas
D.4.1. Definisi
Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari atau sama
dengan 500 gram yang pernah dilahirkan hidup maupun mati. Bila berat
badan tidak diketahui dapat dipakai usia kehamilan, yaitu 24 minggu.35
Penggolongan paritas bagi ibu yang masih hamil atau pernah hamil
berdasarkan jumlahnya menurut Perdiknakes-WHO-JHPIEGO, yaitu :
a. Primigravida adalah wanita hamil untuk pertama kali
b. Multigravida dalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, dimana
kehamilan tersebut tidak lebih dari 5 kali
c. Grandemultigravida adalah wanita yang pernah hamil lebih dari 5 kali
Sedangkan jenis paritas bagi ibu yang sudah partus, antara lain:35
a. Nullipara adalah wanita yang belum pernah melahirkan bayi yang mampu
hidup
b. Primipara adalah wanita yang pernah satu kali melahirkan bayi yang telah
mencapai tahap mampu hidup
c. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan dua bayi yang mampu
hidup atau lebih
d. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan lima anak atau
lebih
D.4.2. Pengaruh Status Paritas terhadap Seksio Sesarea dan Lama
Perawatan
Menurut penelitian Gordon, wanita primipara lebih berisiko terjadi
komplikasi kehamilan dan persalinan serta lebih tinggi angka kejadian seksio
sesarea.25 Risiko kejadian plasenta previa meningkat dengan meningkatnya
paritas ibu. Pada wanita multipara, kejadian yang mengindikasikan tindakan
seksio sesarea 3 kali lebih sering daripada primipara. Misalnya kejadian
plasenta previa, pada wanita multipara disebabkan kurangnya vaskularisasi
dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan sebelumnya.7
Pada wanita nullipara berisiko 3,4 kali lebih besar menjalani
persalinan secara seksio sesarea darurat dan risiko sebesar 2,2 kali terjadi
robekan perineum daripada wanita multipara dan grandemultipara,
sedangkan proporsi seksio sesarea darurat lama perawatan lebih panjang
dibandingkan seksio sesarea elektif atau yang sudah direncanakan.7 Risiko
komplikasi seksio sesarea darurat 4-5 kali dibandingkan seksio sesarea
elektif dan risiko morbiditas infeksi 5-6 kali, komplikasi yang menyertai
seksio sesarea darurat, dapat berupa operasi ulangan dan perdarahan yang
dapat memperpanjang masa lama perawatan di rumah sakit.7
D.5. Status Gizi
D.5.1. Definisi
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi maternal yang
dapat ditentukan dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi
di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi
kurang, gizi normal, dan gizi lebih.36
D.5.2. Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang.
Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa
Tubuh, terdiri dari:
a. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang
paling sering digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa
zat gizi seperti protein, lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks
Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan.37
b. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat
merefleksikan pertumbuhan skeletal.37
D.5.3. Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam
satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat.37
Berat badan (kg)
IMT =
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
D.5.4. Kategori Indeks Massa Tubuh
Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang
batas IMT yang digunakan, seperti pada tabel 1 kategori IMT menurut
WHO.

Tabel 1. Kategori IMT berdasarkan WHO Tahun 2000


Kategori IMT (kg/m2)
Underweight < 18,5
Normal 18,5 24,99
Overweight 25,00
Pre Obese 25,00 29,99
Obesitas tingkat 1 30,00 34,99
Obesitas tingkat 2 35,00 39,9
Obesitas tingkat 3 40,0
Sumber : WHO dalam Gibson, 200538

D.5.5. Kebutuhan Zat Gizi Ibu Postpartum

Zat gizi ibu pasca melahirkan membutuhkan lebih banyak tambahan


kalori 500 kalori berbeda dengan kebutuhan zat gizi pada wanita dewasa
pada umumnya dan pada ibu hamil. Kecukupan gizi pada ibu pasca
melahirkan selain digunakan untuk produksi ASI, juga digunakan untuk
mempercepat proses penyembuhan pasca persalinan, baik persalinan
pervaginam yang relatif lebih cepat penyembuhannya ataupun persalinan
dengan tindakan yang memerlukan waktu perawatan lebih lama.36 Perbedaan
kecukupan gizi antara wanita dewasa, ibu hamil dan ibu postpartum dapat
dilihat pada tabel 2 berikut.39

Tabel 2. Perbedaan Tanda Kecukupan Gizi pada Wanita Dewasa, Ibu Hamil dan Ibu
Postpartum 0-24 Minggu

Zat Gizi Wanita Dewasa Ibu Hamil Ibu Postpartum 0-


24 Minggu
Energi (kalori) 2200 2485 2900
Protein (g) 48 60 62
Vitamin A (RE) 500 700 850
Vitamin E (mg) 7,5 18 15
Vitamin D (mg) 5 15 18
Vitamin K (mg) 55 130 55
Niasin (mg) 14 9,1 17
Thiamin (mg) 1,1 1,2 1,5
Vitamin B12 (mg) 2,4 1,3 2,8
Asam folat (mg) 400 300 500
Vitamin C (mg) 60 70 85
Kalsium (mg) 600 900 600
Fosfor (mg) 600 650 600
Besi (mg) 29 46 44
Seng (mg) 7,4 20 14,1
Iodium (mg) 110 175 200
Selenium (mg) 26 70 41
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI, 200439

D.5.6. Pengaruh Status Gizi terhadap Seksio Sesarea dan Lama


Perawatan

Risiko persalinan seksio sesarea meningkat dengan meningkatnya


IMT sebelum kehamilan, terutama pada wanita nullipara. IMT wanita
sebelum hamil lebih dari 30 mempunyai risiko persalinan secara seksio
sesarea sebesar 2,4 kali dibandingkan pada ibu dengan IMT <30.40
Berdasarkan status gizi dilihat dari IMT, berat badan berlebih akan
meningkatkan risiko terhadap penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung
dan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, dan lain-lain. Meningkatnya
risiko gangguan haid (haid tidak teratur) pada wanita dengan berat badan
berlebih juga merupakan faktor penyulit pada persalinan, sehingga dapat
menjadi penyebab perawatan postpartum menjadi lebih lama.15

D.6. Hemoglobin (Hb)


D.6.1. Definisi
Istilah Hemoglobin merupakan rangkaian kata yang terdiri dari heme
dan globin. Heme berarti gugus prostetik yang terdiri dari atom besi dan
globin berarti protein yang dipecah menjadi asam amino. Hemoglobin
terdapat dalam sel-sel darah merah yang merupakan pigmen pemberi warna
merah sekaligus pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh sel-sel tubuh.41
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi yang memiliki afinitas
terhadap oksigen dan dengan oksigen tersebut membentuk oksihemoglobin
di dalam sel darah merah yang melalui fungsi ini oksigen dibawa dari paru-
paru ke jaringan.41
D.6.2. Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin dalam darah normal sekitar 15 gram hemoglobin
per 100 ml darah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan kadar Hb/100
ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen dalam
darah.41 WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal
berdasarkan usia dan jenis kelamin, seperti pada 3 berikut.
Tabel 3. Batas Kadar Hemoglobin
Kelompok usia Batas nilai Hb (gr/dl)
Laki-laki dewasa 13
Wanita dewasa 12
Ibu hamil 11
Ibu postpartum pada minggu I 11
Ibu postpartum pada minggu VIII 12
Anak usia 6 bulan-5 tahun 11
Anak usia 6-11 tahun 11,5
Sumber: WHO, 200242

D.6.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin

Kadar hemoglobin di dalam darah dapat mengalami penurunan yang


dapat menyebabkan anemia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar
hemoglobin dalam darah, yaitu:43

a. Perdarahan
Apabila terjadi perdarahan, terjadi penggantian cairan plasma oleh
tubuh yang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi sel darah merah
dalam waktu satu sampai tiga hari. Konsentrasi sel darah merah akan
kembali pada keadaan normal dalam waktu tiga sampai enam minggu,
namun pada perdarahan kronik, tubuh tidak dapat mengabsorbsi besi yang
cukup dari usus untuk membentuk hemoglobin yang digunakan untuk
mengganti kehilangan darah. Keadaan ini dapat menimbulkan anemia,
karena sel darah yang terbentuk berukuran jauh lebih kecil dari ukuran
normal dan sedikit mengandung hemoglobin.
b. Kelainan Sel Darah Merah
Kelainan sel darah merah seringkali didapat dari faktor genetik
atau keturunan. Biasanya sel-sel darah merah bersifat rapuh sehingga
akan mudah rusak apabila melewati kapiler ketika melalui limpa.
Kelainan sel darah merah dapat berupa bentuk sferis, ukuran sangat kecil
dari ukuran normal, kandungan hemoglobin yang abnormal dalam darah
dan reaksi antibodi abnormal dalam darah. Keadaan tersebut mudah
menyebabkan anemia karena sel darah merah yang mudah rusak dan
rapuh tidak bisa digantikan oleh produksi hemoglobin yang normal oleh
tubuh.
c. Kekurangan Zat Besi
Sekitar 65% jumlah total besi di dalam tubuh terdapat dalam
bentuk hemoglobin. 15-30% disimpan untuk digunakan pada sistem
retikuloendotelial dan sel parenkim hati dalam bentuk feritin. 4% dalam
bentuk mioglobin dan 1% dalam bentuk senyawa heme yang memicu
oksidasi intra sel.
Besi diabsorbi dari usus halus kemudian bergabung dengan beta
globulin dalam plasma darah dan membentuk transferin. Apabila jumlah
besi dalam plasma darah sangat rendah, besi yang terkandung dalam
feritin akan dilepaskan dan diangkut dalam bentuk transferin. Transferin
akan melepaskan besi ke mitokondria tempat sintesis heme. Apabila
jumlah transferin dalam jumlah kurang dalam darah, dapat terjadi
kegagalan pengangkutan besi ke eritroblas sehingga kandungan
hemoglobin sedikit di dalam sel darah merah.
d. Usia
Semakin bertambah usia fungsi fisiologis organ tubuh semakin
mengalami penurunan termasuk penurunan sumsung tulang yang
memproduksi sel darah merah dan penurunan kemampuan sistem
pencernaan dalam penyerapan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh,
misalnya Fe. Pada usia lanjut yang rentan terhadap penyakit-penyakit
degeneratif seperti hipertensi, terdapat penurunan toleransi terhadap kadar
hemoglobin yang menurun oleh karena kurangnya oksigenasi pada organ
akibat gangguan kompensasi pada sistem kardiovaskular.
e. Sosial dan Ekonomi
Sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, dan
pendapatan keluarga sangat mempengaruhi terhadap asupan gizi
seseorang. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi, pemahaman
terhadap pemenuhan zat gizi lebih baik berkaitan dengan tingkat
pengetahuannya, pendapatan keluarga juga dapat mencerminkan
kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi, pendapatan yang
rendah cenderung mengabaikan kandungan gizi dalam makanan yang
dikonsumsi, terutama kebutuhan tubuh akan zat-zat mikro seperti Fe yang
sebenarnya mudah didapatkan dari sayur-sayuran hijau. Pekerjaan yang
menuntut aktifitas yang berat dengan tidak diimbangi oleh asupan gizi
yang cukup dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin baik secara
langsung maupun tidak langsung.
D.6.4. Pengaruh Kadar Hb terhadap Seksio Sesarea dan Lama
Perawatan
Ibu pasca melahirkan dihadapkan dengan kemungkinan persalinan
dengan perdarahan yang dapat berpengaruh pada kadar Hb, selain itu
didukung keadaan ibu sewaktu hamil mengalami anemia, kurang nutrisi dan
terdapat penyakit infeksi virus atau bakteri.44 Pengaruh rendahnya kadar Hb
dari kadar normal postpartum adalah terjadinya subinvolusi uteri yang dapat
menimbulkan perdarahan postpartum, memudahkan terjadinya infeksi
puerperium, pengeluaran ASI yang berkurang dan mudah terjadi infeksi
pada payudara.17
Komplikasi perdarahan dan risiko terjadi infeksi puerperium dan
payudara turut menambah penyebab lama perawatan di rumah sakit
diperpanjang. Selain itu Hb juga mempengaruhi proses penyembuhan pada
luka, misalnya pada luka post operasi seksio sesarea.18 Kesembuhan luka
operasi sangat dipengaruhi oleh suplai oksigen dan nutrisi ke dalam jaringan.
Oksigen berikatan dengan molekul protein hemoglobin yang diedarkan ke
jaringan dan sel-sel tubuh melalui sistem peredaran darah dan berfungsi
untuk oksigenasi jaringan disamping oksidasi biologi.44
D.7. Lekosit (sel darah putih)
D.7.1. Definisi
Lekosit adalah sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti, bergerak
secara amoeboid, dapat menembus dinding kapiler atau diapedesis. Fungsi
dari lekosit adalah menghancurkan agen penyerang dengan proses
fagositosis dan membentuk antibodi yang dapat menghancurkan atau
membuat antigen menjadi tidak aktif.45
Lekosit dibagi menjadi dua yaitu granulosit yang memiliki butir khas
dan jelas dalam sitoplasma dan agranulosit yang tidak memiliki butir yang
khas dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil.
Sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Masing-masing
mempunyai fungsi dan kinetik yang independen dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi.45
D.7.2. Jumlah Lekosit Total
Jumlah lekosit total menyatakan jumlah sel-sel lekosit per liter darah
atau per satu mm3. Nilai normal orang dewasa adalah 4000-11000/mm3.46
Penyebab peningkatan jumlah lekosit dapat berasal dari reaksi
sumsum tulang normal terhadap stimulasi eksternal yaitu infeksi, inflamasi,
stress, obat-obatan misalnya kortikosteroid, pada keadaan trauma dan
anemia hemolitik. Selain itu dapat berasal dari efek kelainan sumsum tulang
primer atau kelainan mieloproliferatif dan leukimia.46
Lekositosis pada ibu postpartum adalah meningkatnya jumlah sel-sel
darah putih sebanyak 15.000 selama persalinan. Jumlah lekosit akan tetap
tinggi selama beberapa hari pertama masa postpartum. Jumlah sel darah
putih dapat terus meningkat sampai 25.000 hingga 30.000 tanpa adanya
kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.21
Tabel 4. Jumlah Lekosit Total Rata-rata Pada Ibu Hamil dan Ibu Postpartum
Kelompok Usia Nilai rata-rata sel/mm3
Ibu hamil 6000-17000
Ibu postpartum 9700-25700

Sumber: Saunders-Elsevier, 200820

D.7.3. Pengaruh Jumlah Lekosit Total terhadap Seksio Sesarea dan


Lama Perawatan
Lekositosis dapat menunjukkan suatu kejadian infeksi. Infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit pada antepartum merupakan
faktor yang mempengaruhi lama perawatan.47 Persalinan dengan tindakan,
misalnya dengan seksio sesarea meningkatkan risiko terjadi infeksi
postpartum, dengan proporsi infeksi paling besar pada jalan lahir yaitu 25-
55%.5,47 Terjadinya infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor keadaan umum
ibu yaitu keadaan gizi, anemia dan obesitas serta berlangsungnya proses
persalinan, seperti ketuban pecah lama atau partus lama. Perawatan keadaan
umum ibu yang baik dapat mengurangi terjadinya infeksi postpartum karena
dapat mempercepat proses penyembuhan luka insisi post seksio sesarea
sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk masa perawatan dan
diharapkan pasien dapat dipulangkan dalam 4-5 hari pasca tindakan seksio
sesarea.7
D.8. Trombosit
D.8.1. Definisi
Trombosit adalah sel berbentuk disk-shaped berdiameter 3-4 m,
tidak berinti yang terdapat dalam whole blood dan berasal dari sitoplasma
megakariosit. Trombosit berperan dalam proses pembentukan bekuan darah
melalui tahapan-tahapan, yaitu adhesi trombosit, agregasi trombosit dan
reaksi pelepasan.46
D.8.2. Jumlah Trombosit
Jumlah trombosit normal dalam darah berkisar antara 150.000-
400.000 m.46
D.8.3. Pengaruh Jumlah Trombosit terhadap Seksio Sesarea dan Lama
Perawatan
Trombositopenia merupakan abnormalitas hemostasis yang sering
dijumpai pada kehamilan meskipun jumlah trombosit masih dalam batas
normal (>150.000) yang dikarenakan hemodilusi atau berhubungan dengan
komplikasi dari kehamilan misalnya pada pre-eklamsia berat. Gestasional
atau trombositopenia insidental dapat muncul pada trimester ketiga pada
pasien tanpa riwayat trombositopenia sebelumnya, namun tidak menjadi
faktor risiko untuk terjadinya perdarahan dan tidak ada kontraindikasi untuk
dilakukan tindakan pembedahan.6
Umumnya jumlah trombosit tidak kurang dari 70.000 /m, namun
jika dijumpai jumlah trombosit <70.000, dapat dipertimbangkan
kemungkinan terjadi HELLP syndrome atau DIC (Disseminated
Intravaskular Coagulation)46
D.9. Penyakit Penyerta
D.9.1. Definisi
Berbagai macam penyakit yang dapat menyertai ibu pada saat
kehamilan atau terdapat riwayat penyakit sebelumnya yang dapat
mempengaruhi kehamilan, proses jalannya persalinan dan masa nifas.
D.9.2. Macam Penyakit Penyerta
a. Penyakit Jantung
Dalam kehamilan terjadi perubahan-perubahan dalam sistem
kardiovaskular yang biasanya masih dalam batas fisiologis oleh karena
jantung bekerja lebih berat untuk memenuhi kebutuhan oksigen janin
untuk tumbuh. Dalam kehamilan frekuensi denyut jantung meningkat dan
nadi rata-rata mencapai 88 per menit dalam kehamilan 34-36 minggu.
Dalam kehamilan lanjut, prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan
sering terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal.6,48
Penyakit jantung dalam kehamilan menurut New York Heart
Association pada tahun 2011 diklasifikasikan sebagai berikut:6
a. Kelas I
Penderita penyakit jantung tidak ada pembatasan dalam
kegiatan fisik, dan apabila melakukan kegiatan biasa tidak terdapat
gejala-gejala penyakit jantung.
b. Kelas II
Penderita penyakit jantung dengan sedikit pembatasan
kegiatan fisik. Pada saat istirahat tidak menimbulkan gejala. Kegiatan
fisik biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung, seperti
kelelahan, jantung berdebar (palpitasi kordis), sesak nafas atau angina
pectoris.
c. Kelas III
Penderita penyakit jantung dengan pembatasan dalam kegiatan
fisik. Pada saat istirahat tidak menimbulkan gejala, namun kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa menimbulkan gejala-gejala
insufiensi jantung seperti disebut dalam kelas II.
d. Kelas IV
Penderita penyakit jantung tidak mampu melakukan kegiatan
fisik. Pada saat istirahat dapat timbul gejala-gejala insufiensi jantung,
yang bertambah apabila melakukan kegiatan fisik walaupun aktivitas
ringan.
Prognosis penyakit jantung pada kehamilan tergantung dari
klasifikasi, usia, penyulit lain, penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien.
Kelainan yang paling sering menyebabkan kematian adalah edema
paru akut pada stenosis mitral. Prognosis hasil konsepsi lebih buruk
akibat dismaturitas dan gawat janin saat persalinan.48
b. Asma Bronkiale
Asma bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang
sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Kurang dari sepertiga
penderita asma akan membaik dalam kehamilan, lebih dari sepertiga akan
menetap, serta kurang dari sepertiga lagi akan menjadi buruk atau
meningkatnya serangan asma. Biasanya serangan akan timbul mulai usia
kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan pada akhir kehamilan
serangan jarang terjadi. Faktor pencetus timbulnya asma, antara lain zat
alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan faktor psikis.49
Asma saat kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol
dapat menyebabkan peningkatan risiko komplikasi perinatal seperti pre-
eklampsia, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah,
perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio
sesarea.49
c. Diabetes Melitus
Diabetes melitus pada kehamilan adalah intoleransi glukosa yang
terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung.50
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat untuk menunjang pemasokan makanan bagi janin serta
persiapan untuk menyusui. Glukosa berdifusi melalui plasenta sehingga
kadar dalam darah janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu.
Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang
mempengaruhi kadar gula pada janin. Pengendalian kadar gula terutama
dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain seperti
estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya reabsorbsi
makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan terjadi
peningkatan kebutuhan insulin.50
Dalam kehamilan, diabetes dapat menyebabkan komplikasi seperti
abortus dan partus prematurus, pre-eklampsia, hidramnion, kelainan letak
janin, insufisiensi plasenta. Adapun penyulit yang sering dijumpai pada
persalinan adalah inertia uteri dan atonia uteri, distosia bahu karena anak
besar, kelahiran mati, lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan
dan lebih mudah terjadi infeksi. Sedangkan pengaruh dalam nifas,
diabetes lebih sering mengakibatkan infeksi nifas, sepsis, dan
menghambat penyembuhan luka jalan lahir, baik ruptur perineum maupun
luka episiotomi.50,51
d. Penyakit Ginjal
Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan
anatomi ginjal dan saluran kemih yang sering menimbulkan gejala-gejala
dan kelainan fisik.52 Segera sesudah konsepsi, terjadi peningkatan aliran
plasma (Renal Plasma Flow) dan tingkat filtrasi glomerolus (Glomerolus
Filtration Rate). Sejak kehamilan trimester II GFR akan meningkat 30-
50%, diatas nilai normal wanita tidak hamil, akibatnya akan terjadi
penurunan kadar kreatinin serum dan urin nitrogen darah. Normal
kreatinin serum adalah 0,5-0,7 mg/100 ml dan urea nitrogen darah 8-12
mg/100 ml.54 Kehamilan dengan kelainan ginjal kronis merupakan
kehamilan dengan risiko sangat tinggi oleh karena akan berdampak
terhadap fungsi ginjal ibu dan dampak kelainan ginjal terhadap
kehamilan.52
A. Kerangka Teori

Manajemen Perawatan pasca Faktor Faktor ibu


operasi bedah persalinan

- Indikasi seksio - Perawatan luka - Kondisi - Usia


sesarea - Mobilisasi ketuban - Tingkat
- Rencana seksio - Antibiotika - Partus lama pendidikan
sesarea - Status
- Jenis seksio ekonomi
sesarea - Status
- Jenis insisi paritas
abdomen - Status gizi
- Jenis insisi - Kadar Hb
uterus - Jumlah
- Tindakan Lekosit
anestesi Total
- Sterilitas ruang - Jumlah
operasi Trombosit
- Penyakit
penyerta

Komplikasi pasca
seksio sesarea

Lama perawatan pasca seksio


sesarea

F. Kerangka Konsep

Usia

Lama Perawatan Pasca


Kadar Hb Seksio Sesarea

Jumlah Lekosit
Total
G. Hipotesis

G.1. Hipotesis Mayor


Ada hubungan antara faktor-faktor maternal dengan lama perawatan ibu
pasca seksio sesarea
G.2. Hipotesis Minor
a. Ada hubungan antara usia ibu dengan lama perawatan ibu pasca seksio
sesarea
b. Ada hubungan antara kadar Hb ibu dengan lama perawatan ibu pasca seksio
sesarea
c. Ada hubungan antara jumlah lekosit total ibu dengan lama perawatan ibu
pasca seksio sesarea

Anda mungkin juga menyukai