Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga

abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun

generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapt disebabkan oleh bakteri,

virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Peritonitis merupakan salah satu penyebab

kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti

mendapatkan angka ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.

Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan

menjadi: primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi

monomikrobial. Sumber infeksi umumnya ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen.

Ditemukan pada penderita serosis hepatis yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis

keganasan, dan pasien dengan peritoneal dialisis. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5%

kasus bedah. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang

umumnya berasal dari perforasi organ berongga. Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis

yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah. Peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan

respon inflamasi tubuh atau superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis

sekunder yang telah dilakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian

peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karenasetiap

keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan

analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1
I. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada
kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan
Stafilokokus dan Streptokokus sering kali masuk dari luar.

II. Anatomi dan Fisiologi


Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum
terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal
dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang menyeliputi semua
organ yang berada di dalam rongga. Peritoneum parietale mempunyai komponen somatic dan
visceral yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan
nyeri lepas.

2
Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas
peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis
terdapat cairan peritoneum yang berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak
tanpa menimbulkan gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada
kelainan tertentu disebut sebagai asites (hydroperitoneum).

Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter, sama dengan luas permukaan kulit orang dewasa.
Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal semipermiabel yang
berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupun mikro sel. Luas permukaan untuk difusi
seluas 1m. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media
cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal
shunting dalam kasus hidrochepalus.

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa)
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui suatu
duplikatur yang disebut mesenterium.
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium Extraperitoneale
dapat dibedakan menurut letaknya, didepan (spatium praepitoneale), di belakang (spatium
retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang terletak di dalam cavitas
peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum, ileum, dan limpa.
Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale seperti pada ginjal dan
pancreas.
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum
majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut
mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon transversum dan sigmoideum
disebut mesocolontransversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh
darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.

3
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang ada
disebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun insisi
pada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri. Peritoneum viscerale sensitif terhadap
regangandan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniokaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal,
a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan
vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d
XII dan n.lumbalis.

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang
juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang
membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi
organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda
peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya,
serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.

Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang
mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah
33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil,

4
dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah
PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3.
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma
sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk
bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan
lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan
mendorong limfe ke mediastinum.
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik
agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung.
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah
terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.
Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri
perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas
memperbesar pergeseran cairan ini.
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan
limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi.
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang
mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast
dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum
sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan,
dan fibrin.
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-
inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-
inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya

5
keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat
terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan
keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua
mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi
kegagalan organ.
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang
mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin
menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan
memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran
bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin
dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.

III. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder


Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Malignancy
Esophagus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

6
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
Stomach stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
Biliary
Malignancy
tract
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Small
Crohn disease
bowel
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Large Diverticulitis
bowel and Malignancy
appendix Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis

7
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-
Uterus,
ovarian abscess, ovarian cyst)
salpinx,
Malignancy (rare)
and ovaries
Trauma (uncommon)

Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya.
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).

IV. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

8
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut yang
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen
usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha

9
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya
terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan
umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu
dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam
garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian
terjadi peritonitis bacteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

10
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

V. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Gejala yang ditanyakan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta
tingkat kesehatan penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,
nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum
peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis
dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya

11
lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas
dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis.

Anoreksia, mual, muntah dan demam


Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering
diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar
38OC sampai 40 OC.

Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut
di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan
yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.

Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram
negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme
dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari

12
endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip
seperti gambaran yang terlihat pada manusia.

Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang
timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi
pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan
tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal
seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih
buruk.

Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.

Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak
terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara
perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi.

Perkusi

13
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang.

Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat
nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini
terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri
membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang
sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu
titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang
mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas
dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot
menjadi sangat berat seperti papan.

14
VI. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah
dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm 3,
kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan
tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan
ginjal dapat dilakukan.

b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak
PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan
foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling
tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan
memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.

VII. Tatalaksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.

Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan

15
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat
anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti
cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,
tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah
adekuat dan urin telah diprodukasi.

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering
adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam
terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel
darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan
hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar
kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada
tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik
harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam
plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram

16
negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan
terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan
dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan
sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali
fosfatase dan urinalisis.

17
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,
reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik
tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat
irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan
dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki
kavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan
material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau
antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi
(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai
level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda
asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage

18
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan
yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering
dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna
pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,
dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan
keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.

VIII. Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula
biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator
adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-
Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel
yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.

IX. Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis, antara lain:
a. jenis infeksinya/penyakit primer

19
b. durasi/lama sakit sebelum infeksi
c. keganasan
d. gagal organ sebelum terapi
e. gangguan imunologis
f. usia dan keadaan umum penderita
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia
muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien
dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses
abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang
jelek.

DAFTAR PUSTAKA

Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1. McGraw Hill
Price, Sylvia Anderson. 1994. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4.
Jakarta: EGC
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-ajar ilmu bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai