Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah Penganggaran & Evaluasi Kinerja Sektor Publik


yang diampu oleh Mirna Amirya, MSA., Ak., CA., AAP-A., AAP-B
Semester Genap 2016/2017

Disusun oleh:
Nabilah Maulidiyah
145020307111058

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Brawijaya
Malang
2017

1. Jelaskan prosedur tentang penyusunan dan perubahan anggaran pendapatan


dan belanja di Pemerintah Daerah secara singkat, padat, dan jelas!
Pedoman Penyusunan Anggaran seperti tercantum dalam Permendagri Nomor 26
Tahun 2006 memuat antara lain:
a) Pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan
pemerintah daerah
b) Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran bersangkutan
c) Teknis penyusunan APBD
d) Hal-hal khusus lainnya
Untuk penyusunan rancangan APBD, diperlukan adanya urutan Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS). PPAS merupakan program prioritas dan patokan
batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai
acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Proses perencanaan dan penyusunan APBD,
mengacu pada PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
secara garis besar sebagai berikut:
1) Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah
2) Penyusunan rancangan kebijakan umum anggaran
3) Penetapan prioritas dan plafon anggaran sementara
4) Penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD
5) Penyusunan rancangan perda APBD
6) Penetapan APBD
Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah ditetapkan terlebih
dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Bila dilihat dari
waktunya, perencanaan di tingkat pemerintah daerah dibagi menjadi tiga kategori
yaitu: (1) Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan perencanaan
pemerintah daerah untuk periode 20 tahun; (2) Rencana Jangka Menengah Daerah.
(RPJMD) merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk periode 5 tahun; dan (3)
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan perencanaan tahunan daerah.
Sedangkan perencanaan di tingkat SKPD terdiri dari Rencana Strategi (Renstra)
SKPD merupakan rencana untuk periode 5 tahun.
Perubahan APBD merupakan penyesuaian target kinerja dan/atau
prakiraan/rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang telah ditetapkan
sebelumnya untuk dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD
serta ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut penjelasan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan
penyelenggaraan, pemerintahan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam
pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya, kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja
Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna
anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris Daerah. Pemisahan
pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan
tangung jawab terlaksananya mekanisme keseimbangan dan pengawasan dalam
pelaksanaan anggaran daerah serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang tersedia dalam APBD
harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat. Karena
penyusunan anggaran untuk setiap tahun tersebut sudah dimulai dipersiapkan pada
bulan Juli setiap tahunnya, maka tidak mustahil apabila pada pelaksanaannya APBD
tersebut perlu perubahan atau penyesuaian.
Perubahan Peraturan Daerah tentang APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Prosedur perubahan
APBD dimulai dari Formulir DPPA - SKPD merupakan formulir ringkasan anggaran
satuan kerja perangkat Daerah yang sumber datanya berasal dari peringkasan jumlah
pendapatan menurut kelompok dan jenis yang diisi dalam formulir DPPA - SKPD 1,
jumlah belanja tidak langsung menurut kelompok dan jenis belanja yang diisi dalam
formulir DPPA - SKPD 2.1, dan penggabungan dari seluruh jumlah kelompok dan
jenis belanja langsung yang diisi dalam setiap formulir DPPA - SKPD 2.2.
Formulir DPPA - SKPD 1 sebagai formulir untuk menyusun rencana pendapatan
atau pengeluaran satuan kerja perangkat daerah dalam perubahan APBD tahun
anggaran yang direncanakan. Oleh karena itu nomor kode rekening dan uraian
nama kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan yang dicantumkan
dalam formulir DPPA - SKPD 1 disesuaikan dengan pendapatan tertentu yang
akan dipungut atau pengeluaran tertentu dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
satuan kerja perangkat daerah sebagaimanana ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Pengisian formulir DPPA-SKPD 1 supaya mempedomani
ketentuan Pasal 159 peraturan ini. Untuk memenuhi azas tranparansi dan prinsip
anggaran berdasarkan rencana pendapatan yang dianggarkan, pengisian rincian
penghitungan tidak diperkenankan mencantumkan satuan ukuran yang tidak
terukur, seperti paket, pm, up, lumpsum.
Formulir DPPA-SKPD 2.1 merupakan formulir untuk menyusun rencana
kebutuhan belanja tidak langsung satuan kerja perangkat daerah dalam perubahan
APBD tahun anggaran yang direncanakan. Pengisian jenis belanja tidak langsung
supaya mempedomani ketentuan Pasal 49 peraturan ini. Untuk memenuhi azas
tranparansi dan prinsip anggaran berdasarkan prestasi kerja, pengisian rincian
penghitungan tidak diperkenankan mencantumkan satuan ukuran yang tidak
terukur, seperti paket, pm, up, lumpsum.
Formulir DPPA-SKPD 2.2 merupakan formulir rekapitulasi dari seluruh program
dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah yang dikutip dari setiap formulir
DPPA-SKPD 2.2.1.
Formulir DPPA-SKPD 2.2.1 digunakan untuk merencanakan belanja langsung
dari setiap kegiatan yang diprogramkan. Dengan demikian apabila dalam 1 (satu)
program terdapat 1 (satu) atau lebih kegiatan maka setiap kegiatan dituangkan
dalam formulir DPPA-SKPD 2.2.1 masing-masing. Pengisian jenis belanja
langsung supaya mempedomani ketentuan Pasal 50 peraturan menteri ini. Untuk
memenuhi azas tranparansi dan prinsip anggaran berdasarkan prestasi kerja,
pengisian rincian penghitungan tidak diperkenankan mencantumkan satuan
ukuran yang tidak terukur, seperti paket, pm, up, lumpsum.
Formulir DPPA-SKPD 3.1 digunakan untuk merencanakan pengeluaran
pembiayaan dalam perubahan APBD tahun anggaran yang direncanakan pada
satuan kerja pengelola keuangan daerah.
Formulir DPPA-SKPD 3.2 digunakan untuk merencanakan pengeluaran
pembiayaan dalam perubahan APBD tahun anggaran yang direncanakan pada
satuan kerja pengelola keuangan daerah.

2. Jelaskan tentang penatausahaan yang telah diimplementasikan di Pemerintah


Daerah! Jelaskan jenis-jenis penatausahaan, prosedurnya, pihak-pihak yang
terlibat, dokumen-dokumen, beserta buku-buku penatausahaannya!
Dalam proses pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur
mengenai pelaksanaan pemungutan, penerimaan-penerimaan daerah, serta
pelaksanaan penyaluran pengeluaran daerah yang biasa disebut pengurusan APBD.
Pelaksanaan APBD menganut sistem pengurusan yang dapat dibedakan atas dua
bentuk pengurusan sebagai berikut:
1) Pengurusan Administrasi yaitu wewenang untuk mengadakan tindakan-tindakan
dalam rangka penyelenggaraan rumah tangga daerah yang membawa akibat
pengeluaran-pengeluaran yang membebani anggaran daerah.
2) Pengurusan Kebendaharawan, yaitu wewenang untuk menerima, menyimpan,
membayar atau mengeluarkan uang dan barang serta berkewajiban
mempertanggungjawabkan kepada Kepala Daerah.
Kegiatan penatausahaan keuangan mempunyai kepentingan pengendalian
terhadap pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah, mengingat adanya otorisasi yang
telah diberikan melalui penetapan ke dalam peraturan daerah dan pengesahannya oleh
pejabat yang berwenang. Anggaran, sepanjang yang berkenaan dengan pelaksanaan.
Di dalam pelaksanaan APBD dalam rangka mempertanggungjawabkan
pelaksanaan dari pengurusan keuangan yang dilaksanakan oleh bendaharawan, belum
seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Masih terdapat kesalahan-kesalahan pencatatan pada buku kas umum.
2) Terlambatnya pengiriman SPJ yang menyebabkan kelancaran penyediaan dana
pada unit kerja sering terhambat, penatausahaan pada bagian keuangan tidak dapat
tepat waktu.
3) Pengendalian keuangan tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena data
keuangan belum dapat siap setiap saat dibutuhkan, dalam arti angka-angka yang
tertera di dalam buku belum tentu benar.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurangnya efektivitas pelaksanaan APBD
khususnya dalam pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah yang dikelola oleh
bendaharawan baik rutin maupun pembangunan. Untuk mengatasi masalah tersebut
maka perlu suatu penatausahaan keuangan daerah yang efektif. Namun yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana cara pemecahan masalah yang dapat diharapkan
untuk mewujudkan suatu penatausahaan keuangan daerah yang efektif yang
merupakan salah satu fungsi dalam pelaksanaan APBD.
Penatausahaan Penerimaan
Menurut ketentuan dari Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang dimaksud
dengan penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Semua
penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang
ditunjuk dan dianggap sah setelah Kuasa Bendahara Umum Daerah menerima nota
kredit. Penerimaan daerah yang disetor ke rekening kas umum daerah dilaksanakan
melalui cara-cara sebagai berikut:
1) Disetor langsung ke bank oleh pihak ketiga;
2) Disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan, dan/atau kantor pos oleh
pihak ketiga; dan
3) Untuk benda berharga seperti karcis retribusi yang dipakai sebagai tanda bukti
pembayaran oleh pihak ketiga maka penyetorannya dilakukan dengan cara
penerbitan tanda bukti pembayaran retribusi tersebut yang disahkan oleh PPKD.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk kepentingan pelaksanaan
APBD dan/atau penatausahaan keuangan daerah, kepala daerah perlu menetapkan
pejabat fungsional untuk tugas bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Untuk itu bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap
seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung
jawabnya dan harus melaporkannya kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna
anggaran melalui PPKD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Penatausahaan atas penerimaan dilaksanakan dengan menggunakan buku kas, buku
pembantu per rincian obyek penerimaan dan buku rekapitulasi penerimaan harian.
Sedangkan bukti penerimaan dan/atau bukti pembayaran yang diperlukan untuk
penatausahaan anggaran adalah: (a) Surat ketetapan pajak daerah (SKP-Daerah); (b)
Surat ketetapan retribusi (SKR); (c) Surat tanda setoran (STS); (d) Surat tanda bukti
setoran; dan (e) Bukti penerimaan lainnya yang sah.
Penatausahaan Pengeluaran
Arti dari pengeluaran daerah seperti dimaksudkan dalam peraturan perundang-
undangan terkait adalah semua arus uang yang keluar dari kas daerah. Hal-hal yang
berhubungan dengan penatausahaan pengeluaran adalah: (i) penyediaan dana; (ii)
permintaan pembayaran; (iii) perintah membayar; (iv) pencairan dana; dan (v)
pertanggungjawaban penggunaan dana.
1) Penyediaan Dana
Dalam rangka manajemen kas, setelah penetapan anggaran kas, pejabat pengelola
keuangan daerah (PPKD) menerbitkan Surat Penyediaan Dana (SPD) dengan
mempertimbangkan jadwal pembayaran pelaksanaan program dan kegiatan yang
dimuat dalam dokumen pelaksanaan anggaran SKPD. Surat Penyediaan Dana
tersebut dipersiapkan oleh kuasa bendahara umum daerah dan ditandatangani oleh
PPKD. Semua pengeluaran kas harus dilakukan berdasarkan SPD atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan SPD.
2) Permintaan Pembayaran
Berdasarkan SPD, bendahara pengeluaran mengajukan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP) kepada pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran melalui
Pejabat Pengelola Keuangan SKPD (PPK-SKPD). Ada 4 jenis SPP yaitu:
a) Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP UP).
b) Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPPGU).
c) Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan (SPP TU).
d) Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS).
Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-UP dilakukan oleh bendahara
pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui PPKSKPD dalam rangka pengisian uang persediaan.
Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-GU dilakukan untuk memperoleh
persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-
SKPD dalam rangka mengganti uang persediaan. Sedangkan penerbitan dan
pengajuan dokumen SPP-TU dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk
memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD dalam rangka tambahan uang persediaan. Pengajuan
dokumen SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU tersebut digunakan dalam rangka
pelaksanaan pengeluaran SKPD yang harus dipertanggungjawabkan. Penerbitan
dan pengajuan dokumen SPP-LS untuk pembayaran gaji dan tunjangan serta
penghasilan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
bendahara pengeluaran guna memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui PPK-SKPD. Prosedur pengajuan dan penerbitan
SPM-LS dimulai dengan penyiapan dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang
dan jasa oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) untuk disampaikan
kepada bendahara pengeluaran dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran.
Selanjutnya, Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-LS kepada pengguna
anggaran setelah ditandatangani oleh PPTK guna memperoleh persetujuan
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPKSKPD. Pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan dokumen SPP-UP, SPP-
GU, SPP-TU, dan SPP-LS yang diajukan oleh bendahara pengeluaran sebelum
menerbitkan Surat Perintah Pembayaran (SPP).
3) Perintah Membayar
Setelah meneliti SPP, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran harus
menyatakan apakan dokumen SPP telah lengkap dan sah. Dalam hal dokumen
SPP dinyatakan lengkap dan sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Penerbitan SPM paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen SPP. Jika dokumen SPP
dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran menolak menerbitkan SPM. Penolakan penerbitan SPM paling lama 1
(satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPP. SPM yang telah
diterbitkan diajukan kepada kuasa BUD untuk penerbitan SP2D. Setelah tahun
anggaran berakhir, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dilarang
menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.
4) Pencairan Dana
Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak
melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan
perundangundangan. Jika dokumen SPM dinyatakan lengkap, kuasa BUD
menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Penerbitan SP2D paling lama
2 (dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPM. Jika dokumen SPM
dinyatakan tidak lengkap, kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D. Penolakan
penerbitan SP2D paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya
pengajuan SPM. Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk
keperluan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambahan uang persediaan
kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran. Sedangkan untuk
pembayaran langsung, Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan kepada
pihak ketiga.
5) Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Bendahara pengeluaran secara administratif wajib mempertanggungjawabkan
penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan
kepada kepala SKPD melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Hal ini dilaksanakan dengan menutup Buku Kas Umum setiap bulan
dengan sepengetahuan dan persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran. Selanjutnya Bendahara Pengeluaran menyusun laporan
pertanggungjawaban penggunaan uang persediaan.
Jika laporan pertanggungjawaban telah sesuai, pengguna anggaran menerbitkan
surat pengesahan laporan pertanggungjawaban. Untuk tertib laporan
pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban
pengeluaran dana bulan Desember disampaikan paling lambat tanggal 31
Desember. Disamping pertanggungjawaban secara administratif, Bendahara
Pengeluaran pada SKPD juga wajib mempertanggungjawabkan secara fungsional
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Penyampaian pertanggungjawaban tersebut
dilaksanakan setelah diterbitkan surat pengesahan pertanggungjawaban
pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
3. Jelaskan tentang laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran di
Pemerintah Daerah!
Struktur pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD, selanjutnya disingkat PPA
menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011,
diawali dengan laporan realisasi semester pertama APBD yang disertai dengan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya dan selanjutnya laporan tahunan atau
LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) sebagaimana yang diatur di dalam
BAB XII PPA.
Lain halnya dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, struktur PPA diawali dengan LKPD sebagaimana yang diatur di dalam BAB
IX PPA. Sedangkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir
dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, struktur PPA langsung pada penyampaian ranperda
tentang PPA.
UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah
terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, PP Nomor 58 Tahun 2005, dan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, menjadi pedoman di dalam proses penyampaian
PPA. Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) menyampaikan ranperda tentang
PPA kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK
paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pengecualian dari ketentuan atas jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir, sebagaimana yang diatur dalam pasal 102 PP Nomor
58 Tahun 2005 dan pasal 299 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana
diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Apabila sampai batas
waktu 2 (dua) bulan setelah penyampaian laporan keuangan, BPK belum
menyampaikan hasil pemeriksaan, kepala daerah menyampaikan ranperda tentang
PPA kepada DPRD. Ranperda dilampiri dengan laporan realisasi anggaran, neraca,
laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan kinerja yang isinya sama
dengan yang disampaikan kepada BPK.
Ranperda tentang PPA dirinci dalam ranperkada tentang penjabaran PPA.
Ranperkada dilengkapi dengan lampiran terdiri dari: a. ringkasan laporan realisasi
anggaran; dan b. penjabaran laporan realisasi anggaran. Contoh, format ranperkada
tentang penjabaran PPA beserta lampiran tercantum dalam Lampiran E.XXVIII
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011.
Lingkup, muatan dan lampiran dari ranperda tentang PPA keempat regulasi diatas
mengaturnya secara berbeda. UU Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan, Laporan
keuangan meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan
atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah,
dan bentuk dan isi laporan PPA disusun dan disajikan sesuai dengan standard
akuntansi pemerintahan.
UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9
Tahun 2015 menyatakan, Laporan keuangan paling sedikit meliputi: a. laporan
realisasi anggaran; b. laporan perubahan saldo anggaran lebih; c. neraca; d. laporan
operasional; e. laporan arus kas; f. laporan perubahan ekuitas; dan g. catatan atas
laporan keuangan yang dilampiri dengan ikhtisar laporan keuangan BUMD, dan
penyajian laporan keuangan dilakukan sesuai dengan standar akuntansi
pemerintahan.
PP Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan, laporan keuangan pemerintah daerah
terdiri dari: a. Laporan Realisasi Anggaran; b. Neraca; c. Laporan Arus Kas; dan d.
Catatan Atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan dilampiri dengan laporan ikhtisar
realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.
Laporan keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, Ranperda tentang PPA memuat
laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas,
catatan atas laporan keuangan, serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah
diperiksa BPK dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan
daerah.
Contoh format laporan realisasi anggaran sesuai dengan Lampiran E.XXIII,
format neraca sesuai dengan Lampiran E.XXIV, format laporan arus kas sesuai
dengan Lampiran E.XIX, format catatan atas laporan keuangan sesuai dengan
Lampiran E.XXV, dan format rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD beserta lampiran tercantum dalam Lampiran
E.XXVII, dan format dan isi laporan kinerja berpedoman pada Permendagri Nomor
13 Tahun 2006 terakhir diubah dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
laporan keuangan dan kinerja interim di lingkungan pemerintah daerah. Dan format
dan ikhtisar laporan keuangan BUMD/perusahaan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Lingkup, muatan dan lampiran dari LKPD dan ranperda tentang PPA berbeda-
beda. UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9
Tahun 2015 mengatur lingkup, muatan dan lampiran berdasarkan PP 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yakni standar akuntansi pemerintahan
berbasis akrual, sedangkan PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011
berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang
sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan berlakunya PP 71 Tahun 2010.
Selanjutnya, ranperda tentang PPA dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk
mendapat persetujuan bersama. Agenda pembahasan ranperda tentang PPA ditentukan
oleh DPRD. Persetujuan bersama ranperda dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan
setelah tahun anggaran berakhir atau persetujuan bersama terhadap ranperda tentang
PPA oleh DPRD paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak ranperda diterima. Atas
dasar persetujuan bersama kepala daerah menyiapkan ranperkada tentang penjabaran
PPA.

4. Jelaskan tentang laporan kinerja, proses penyusunannya, manfaatnya, kendala


penyusunannya! Jelaskan hubungannya dengan anggaran berbasis kinerja!
Berdasarkan Permenpan No. 53 Tahun 2014. Laporan Kinerja merupakan bentuk
akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap
instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal terpenting yang diperlukan dalam
penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja dan evaluasi serta
pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap pengukuran
kinerja.
Proses penyusunan laporan kinerja dimulai dari Pimpinan Satuan Kerja menyusun
dan menyampaikan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah kepada Pimpinan Unit
Kerja. Pimpinan unit kerja menyusun laporan kinerja tahunan tingkat unit kerja
berdasarkan perjanjian kinerja yang disepakati dan menyampaikannya kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga. Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menetapkan suatu
petunjuk pelaksanaan internal mekanisme penyampian perjanjian kinerja dan
pelaporan kinerja.
Kepala SKPD menyusun laporan kinerja tahunan berdasarkan perjanjian kinerja
yang disepakati dan menyampaikannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota, paling
lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Bupati/Walikota menyusun
Laporan Kinerja Tahunan pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perjanjian kinerja
yang ditandatangani dan menyampaikannya kepada Gubernur. Dan
Gubernur/Bupati/Walikota menyusun laporan kinerja tahunan berdasarkan perjanjian
kinerja yang ditandatangani dan menyampaikannya kepada Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Gubernur/Bupati/Walikota dapat menetapkan suatu petunjuk
pelaksanaan internal mekanisme penyampaian perjanjian kinerja dan pelaporan
kinerja.
Pengukuran Kinerja
Salah satu fondasi utama dalam menerapkan manajemen kinerja adalah pengukuran
kinerja dalam rangka menjamin adanya peningkatan dalam pelayanan publik dan
meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan klarifikasi output dan outcome yang
akan dan seharusnya dicapai untuk memudahkan terwujudnya organisasi akuntabel.
Pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan antara kinerja yang
(seharusnya) terjadi dengan kinerja yang diharapkan. Pengukuran kinerja ini
dilakukan secara berkala (triwulan) dan tahunan. Pengukuran dan pembandingan
kinerja dalam laporan kinerja harus cukup menggambarkan posisi kinerja instansi
pemerintah.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang menggambarkan terwujudnya
kinerja, tercapainya hasil program dan hasil kegiatan. Indikator kinerja instansi
pemerintah harus selaras antar tingkatan unit organisasi. Indikator kinerja yang
digunakan harus memenuhi kriteria spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan, dan
sesuai dengan kurun waktu tertentu.
Indikator Kinerja Utama
Indikator Kinerja Utama (IKU) merupakan ukuran keberhasilan yang
menggambarkan kinerja utama instansi pemerintah sesuai dengan tugas fungsi serta
mandat (core business) yang diemban. IKU dipilih dari seperangkat indikator kinerja
yang berhasil diidentifikasi dengan memperhatikan proses bisnis organisasi dan
kriteria indikator kinerja yang baik. IKU perlu ditetapkan oleh pimpinan
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah sebagai dasar penilaian untuk setiap
tingkatan organisasi.
Indikator Kinerja pada tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah sekurang-
kurangnya adalah indikator hasil (outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan
fungsinya masing-masing. Indikator kinerja pada unit kerja (setingkat Eselon I)
adalah indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang setingkat lebih tinggi
dari keluaran (output) unit kerja dibawahnya. Indikator kinerja pada unit kerja
(setingkat Eselon II) sekurang-kurangnya adalah indikator keluaran (output).
Pengumpulan Data Kinerja
Sebagai salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas serta untuk memudahkan
pengelolaan kinerja, maka data kinerja harus dikumpulkan dan dirangkum.
Pengumpulan dan perangkuman harus memperhatikan indikator kinerja yang
digunakan, frekuensi pengumpulan data, penanggungjawab, mekanisme perhitungan
dan media yang digunakan.
Pengukuran kinerja mempunyai banyak manfaat bagi organisasi. Meskipun
terdapat sedikit bukti efektivitasnya, sistem pengukuran kinerja terus
diimplementasikan didasarkan pada asumsi bahwa sistem pengukuran kinerja ini akan
mempunyai dampak positif terhadap kinerja (Bourne, Kennerley & Franco-Santos,
2005).
Hatry (1999) mengemukakan pengukuran kinerja berhubungan dengan aktivitas
evaluasi lainnya yaitu evaluasi program dan studi mendalam lainnya, hubungan
dengan audit kinerja, dan perencanaan strategis, penganggaran, dan analisis
kebijakan. Pengukuran dan pelaporan kinerja bermanfaat untuk meningkatkan
program dan akuntabilitas (Hildebrand dan McDavid, 2011). Bourne, Kennerley &
Franco-Santos (2005) lebih lanjut mengemukakan sistem pengukuran kinerja
digunakan untuk mendukung berbagai fungsi manajemen diantaranya:
1) Monitoring dan pelaporan
2) Perencanaan strategis
3) Penganggaran dan manajemen keuangan
4) Manajemen program
5) Evaluasi program
6) Manajemen kinerja
7) Peningkatkan kualitas, peningkatan proses
8) Manajemen kontrak
9) Benchmarking
10) Komunikasi dengan publik
Hasil penilaian/evaluasi AKIP yang kurang memuaskan, bukan semata-mata
kesalahan dari proses penyusunan LAKIP, tetapi lebih merupakan kelemahan
pelaksanaan sistem AKIP secara keseluruhan. Berdasarkan evaluasi terhadap beberapa
Laporan Hasil Evaluasi AKIP serta hasil diskusi dengan beberapa instansi pemerintah
yang bertugas menyusun LAKIP, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam
penyusunan LAKIP, antara lain:
Pelaksanaan manajemen kinerja yang masih berorientasi pada output daripada
outcome;
Kualitas perencanaan kinerja yang belum menggambarkan alur logika program
dan kinerja yang logis;
Penetapan kinerja baik kinerja utama maupun kinerja sasaran atau kinerja program
yang belum berorientasi hasil (outcome);
Belum optimalnya evaluasi kinerja internal yang dilakukan serta dibahas dalam
LAKIP;
Belum dimanfaatkannya LAKIP dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan
manajemen kinerja pada periode berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai