Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….......…….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………............ 1

1.2 Masalah Penelitian ………………………………………………………. 5

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 5

1.4 Kontribusi Penelitian ……………………………………………............. 5

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS ………….. 7

2.1 Telaah Literatur …………………………………………………............. 7

2.1.1 Dana Bantuan Sosial ………………………………….….............. 7

2.1.2 Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah ………………………. 17

2.2 Kerangka Teoritis ……………………………………………………….. 26

2.3 Perumusan Hipotesis ……………………………………………………. 26

2.4 Hipotesis Penelitian …………………………………………………....... 27

BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………….… 28

3.1 Desain Penelitian ……………………………………………………....... 28

3.2 Populasi, Sampel, dan Penyampelan …………………….……………… 29

3.3 Pengumpulan Data …………………………………………………........ 30

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...…… 32


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah

memberikan landasan konstitusional mengenai perwujudan tujuan dalam pelaksanaan

pemerintahan di Indonesia. Pada Pembukaan UUD NRI alinea ke empat disebutkan:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang

Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Ke- adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pemerintah mengadakan program bantuan sosial untuk mewujudkan tujuan

sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI. Program bantuan sosial

merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah yang sangat peduli terhadap

kondisi masyarakat miskin dan terlantar di grass root level. Program ini merupakan

implementasi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan fakir miskin

dipelihara oleh negara. Pemerintah setiap tahun mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk

dana bantuan sosial. Bantuan sosial sendiri adalah pemberian bantuan berupa uang atau

barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang

1
sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari

kemungkinan terjadinya resiko sosial. Pemberian bantuan sosial disesuaikan dengan

kemampuan keuangan daerah dan dilakukan secara selektif serta setelah memprioritaskan

pemenuhan belanja urusan wajib yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah

kepada masyarakat pada tahun 2005. Program BLT tidak bersyarat, berdasarkan Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 12, dilakukan pada Oktober tahun 2005 hingga Desember 2006

dengan target 19,2 juta keluarga miskin. Pada tahun 2007 hingga tahun 2011, anggaran

bantuan sosial yang disiapkan pemerintah mencapai Rp 300,94 triliun untuk tingkat daerah

dan pusat. Di tahun anggaran 2012, jumlah alokasi dana bantuan sosial yang dikelola oleh

seluruh pemerintah daerah di Indonesia berjumlah Rp 47 triliun dan pada tahun 2013

meningkat menjadi Rp 63,4 triliun.

Belanja bantuan sosial sebenarnya merupakan sektor pembelanjaan anggaran yang

sangat rentan terhadap praktik korupsi. Beberapa kasus di Indonesia yang terkait dengan

penyalahgunaan dana bantuan sosial, antara lain:

1. Muh. Anwar Beddu yang merupakan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Provinsi

Sulawesi Selatan, terbukti bersalah melakukan penyalahgunaan wewenang terkait

dengan pencairan dana bantuan sosial dan telah divonis pada pengadilan ringkat

banding, yakni hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan hukuman penjara

dan denda sebesar Rp 50 juta, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

2. Gatot Pujo Nugroho yang merupakan Mantan Gubernur Sumatera Utara, terbukti

bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana hibah dan bantuan sosial Pemerintah

Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran (TA) 2012-2013, yakni hukuman 6 (enam)

2
tahun penjara dan denda Rp 20 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada

Pengadilan Negeri (PN).

Korupsi dana bantuan sosial sendiri sudah menjadi wabah seperti penyakit karena dari

aspek regulasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak menemukan adanya

ketentuan yang mengatur tentang keadilan dalam pengelolaan dana bantuan sosial. Dalam

aspek tata laksana ditemukan pula masalah yang terkait dalam proses penganggaran,

penyaluran, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sehingga pada tahun 2016, presiden

mengarahkan bahwa seluruh bantuan sosial atau bantuan pemerintah harus dalam bentuk

non tunai dan terintegrasi dalam satu kartu. Diberlakukannya mekanisme dana bantuan

sosial non tunai oleh pemerintah diharapkan dapat membantu untuk meminimalisir

kecurangan-kecurangan dan penyimpangan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Penyaluran bantuan sosial secara non tunai dari Kementerian Sosial sudah dimulai dari

penyaluran dana bantuan Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) yang

merupakan pilot project bantuan sosial non tunai. Pilot project penyaluran bantuan sosial

non tunai dilaksanakan kepada 1 juta penerima PSKS dimana mereka mendapatkan dana

tersebut melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) dari Bank Mandiri melalui rekening

bank atas nama penerima dana PSKS. PSKS disalurkan melalui empat kartu utama, yakni

Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu

Simpanan Keluarga Sejahtera dengan tujuan membangun keluarga Indonesia yang

produktif. Terhitung sebanyak 15,5 juta keluarga penerima PSKS menerima dana tersebut

melalui dua jenis media pembayaran.

Untuk melanjutkan upaya pemerintah dalam meningkatkan keuangan inklusif yang

berasal dari penyaluran bantuan sosial, salah satu yang dijadikan program berikutnya

adalah Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang

memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Program ini,

3
dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang

diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi

berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Sama seperti PSKS, sistem

pembayaran yang digunakan adalah LKD dari Bank Indonesia dengan Bank Mandiri dan

BRI sebagai penyalur. Perbankan dipilih karena pertimbangan kerahasiaan nasabah dan

jaminan atas dana, serta pertimbangan aspek regulasi belanja bantuan sosial pada

Kementerian Negara/Lembaga (K/L) yang mengharuskan penyaluran bantuan sosial

melalui perbankan, disamping penyaluran bantuan sosial melalui PT Pos Indonesia.

Pada tahun 2016 pula, Kementerian Sosial (Kemensos) memasang target untuk

meluncurkan 300 unit e-Warung di tanah air. Penerima PKH dan Beras Sejahtera (Rastra),

sebelumnya akan mendapatkan kartu sebagai bukti penerima program tersebut. Penerima

bantuan sosial nantinya dapat datang ke e-Warung yang ditunjuk, untuk kemudian memilih

barang yang ingin dibeli dengan bermodal kartu program dan nomor pin yang dimiliki.

Sistem penyaluran bantuan sosial non tunai akan terintegrasi langsung dengan sistem

monitoring yang bersifat online untuk pemantauan, penyaluran, dan penyerapan bantuan

sosial, sehingga dapat diakses Kementerian dan stakeholder terkait yang memerlukan data.

Bantuan sosial yang saat ini dapat dikonversi ke gula, minyak goreng, dan tepung terigu,

serta sedang diupayakan untuk bisa dikonversi dengan gas elpiji 3 Kg. Peluncuran e-

Warung sendiri dilatarbelakangi oleh permasalahan penyaluran bantuan sosial yang tak

tepat sasaran baik secara kuantitas, kualitas, dan waktu.

Dari seluruh permasalahan yang sudah dijabarkan diatas, penulis merasa tertarik untuk

mengetahui bagaimana hasil pelaporan akuntabilitas kinerja pemerintah saat ini dari adanya

mekanisme baru mengenai dana bantuan sosial secara non tunai yang sudah mulai

diterapkan tersebut. Hal ini menjadi dorongan bagi penulis untuk membahas masalah

4
dengan judul penelitian “Pengaruh Mekanisme Penyaluran Dana Bantuan Sosial Non Tunai

Terhadap Peningkatan Kualitas Pelaporan Pemerintah Pusat”.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan

beberapa masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah mekanisme penyaluran dana bantuan sosial non tunai saat ini telah

dilaksanakan secara menyeluruh di daerah dengan baik?

2. Apakah terdapat peningkatan terhadap pelaporan akuntabilitas kinerja pemerintah atas

pembelanjaan dana bantuan sosial dengan mekanisme penyaluran non tunai?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah di tetapkan, tujuan penelitian yang

ingin penulis capai adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut mekanisme atau sistem pelaksanaan

penyaluran dana bantuan sosial non tunai yang telah diterapkan oleh pemerintah saat

ini.

2. Untuk mengetahui keberhasilan kinerja dan pelaporan pemerintah (Kemensos) atas

penggunaan anggaran dana bantuan sosial melalui mekanisme penyaluran non tunai

yang telah dilakukan saat ini.

1.4 Kontribusi Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan masyarakat

dalam memahami pelaksanaan program dana bantuan sosial non tunai (e-voucher),

5
serta dapat membantu dan menjadikan penelitian ini sebagai referensi bagi kalangan

akademisi maupun umum.

2. Manfaat Praktis

 Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan keterampilan peneliti dalam permasalahan yang

terjadi saat ini, khususnya bidang yang digeluti peneliti, yakni audit sektor publik

mengenai bagaimana kegiatan pelaksanaan anggaran dana bantuan sosial yang

dilakukan oleh Kemensos saat ini melalui komunikasi dengan pihak Kemensos.

 Bagi Pembaca atau Masyarakat Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran dan

pemahaman masyarakat untuk ikut berpartisipasi serta mendukung kegiatan atau

program dari pemerintah saat ini, sehingga pemerintah dapat menjalankan kegiatan

atau programnya dengan baik bersamaan dengan perhatian masyarakat terhadap

kinerja ataupun pelaporan pemerintah.

 Bagi Pemerintah (Kemensos)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi

pemerintah, khususnya Kemensos, dalam hal untuk menjadikan penelitian ini

sebagai motivasi peningkatan kinerja serta pembaharuan sistem yang mungkin

dapat dilaksanakan kedepannya untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan atau

program yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pemerintah yang sudah ada saat

ini.

6
BAB II

TELAAH LITERATUR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Telaah Literatur

2.1.1 Dana Bantuan Sosial

Di Yunani Kuno, bantuan sosial mengacu kepada tindakan apapun yang dilakukan

oleh pihak yang berwenang untuk membantu masyarakat. Wujud awalnya berupa

pembagian uang atau makanan oleh pihak penguasa yang digunakan untuk meraih

dukungan dan mencegah kekacauan sosial. Teori bantuan sosial yang pertama ditulis

untuk penduduk Bruges oleh Jean Louis Vives dalam bukunya De Subventione

Pauperum yang terbit pada 1526, dengan gagasannya terhadap bantuan sosial adalah

tindakan yang didasarkan pada solidaritas sosial.

Bantuan sosial di Eropa Barat pada abad ke-17 dan 18 diberikan dalam sebuah pola

umum kerjasama antara pemerintah pusat dan otoritas setempat. Di Inggris, UU

Kemiskinan tahun 1601 melembagakan apa yang oleh Webb disebut sebagai bantuan

kemiskinan dalam kerangka penindasan. Di bawah UU ini, pejabat lokal ditugaskan

menarik pajak khusus dan menggunakan untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum

miskin dan bantuan bagi orang-orang cacat. Hasilnya menjelang abad ke-19 pendapat

masyarakat terkait kemiskinan mulai berubah bahwa masyarakat mulai mengakui

bahwa seseorang bisa menjadi miskin bukan karena kesalahannya sendiri. Hal ini

membuktikan keberhasilan pemerintah Inggris meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya melalui bantuan sosial, peruntukan bantuan sosial digunakan untuk

membuka lapangan kerja baru sehingga masyarakat miskin dapat dikelola untuk bisa

bekerja dan dapat berangsur-angsur meningkatkan taraf hidupnya ditengah-tengah

masyarakat.

7
Prancis memberlakukan struktur bantuan sosial yang rumit lewat jejaring kantor-

kantor amal yang didirikan dan melalui berbagai lembaga hukuman seperti kerja paksa,

rumah sakit, dan segala bentuk pengasingan. Meski begitu, Revolusi Prancis

melahirkan doktrin baru terkait dengan bantuan sosial dalam Report of the Comittee on

the extinction of Mendicity yang terbit pada tahun 1789. Laporan tersebut mengakui

hak setiap umat manusia untuk mendapatkan nafkah dan menjelaskan sebagai

kewajiban negara untuk menyediakan pekerjaan bagi setiap warganegaranya. Namun,

laporan itu menganggap bahwa pekerjaan adalah satu-satunya bantuan yang harus

ditawarkan oleh negara, karena negara tidak memiliki kemungkinan untuk

membedakan antara kemiskinan yang layak dan tidak layak.

Di Jerman, pengakuan bahwa negara wajib memelihara kaum miskin yang tidak

layak dicantumkan dalam UU Umum Prusia Tahun 1794. Kewajiban untuk

memberikan bantuan kepada yang membutuhkan dikenakan kepada pejabat setempat

dan badan-badan hukum yang ada. Sejak tahun 1849, pejabat setempat mampu

menyelenggarakan dana masa depan untuk seniman maupun pekerja pabrik. Namun

baru lima tahun dibuat sebuah UU yang mewajibkan partisipasi pekerja dalam masa

depan (untuk pertimbangan dan pabrik besi, menentukan tunjangan minimum untuk

penderita sakit, orang cacat, dan korban, serta biaya pemakaman), beberapa waktu

kemudian dibuat berbagai peraturan untuk mengatur pembagian peserta ke dalam

beberapa golongan dan swakelola diberikan untuk skema pada tingkatan terbatas.

Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai bantuan sosial terdapat dalam:

▪ Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

▪ Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

▪ Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

8
Daerah;

▪ Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Pengelolaan Keuangan

Daerah yang telah dirubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011;

▪ Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan

Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012;

▪ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK/05/2012 tentang Belanja Bantuan

Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga.

Bantuan sosial diartikan sebagai pemberian bantuan berupa uang atau barang dari

pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang

sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari

kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial diperuntukkan untuk

memperbaiki masalah-masalah sosial seperti kemiskinan. Pemerintah dapat

memaksimalkan seluruh bantuan sosial untuk menyediakan pekerjaan baru bagi

masyarakat miskin.

2.1.1.1 Syarat Pemberian Bantuan Sosial

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bantuan sosial adalah pemberian bantuan

berupa uang atau barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok

dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang

bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Dari pengertian

tersebut, bantuan sosial dapat dikelompokan ke dalam 3 unsur, yaitu:

1. Penerima Bantuan Sosial

Berdasarkan Pasal 23 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39

9
Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32

Tahun 2011, pihak-pihak yang menerima bantuan sosial dapat dibagi menjadi 2

bagian:

▪ Bantuan sosial yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau

masyarakat

Bantuan sosial yang diberikan kepada Individu, Keluarga, Kelompok dan/atau

Masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis

sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi

kebutuhan hidup minimum sesuai dengan kemampuan keuangan daerah yang

akan diberikan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib

dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk

masyarakat.

Bantuan sosial berupa uang yang diberikan kepada individu dan/atau keluarga

terdiri dari bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang direncanakan

dan yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. Bantuan sosial yang telah

direncanakan akan dialokasikan kepada individu dan/atau keluarga yang sudah

jelas nama, alamat penerima dan besarannya pada saat penyusunan APBD,

sementara untuk bantuan sosial yang belum direncanakan dialokasikan untuk

kebutuhan akibat resiko sosial yang tidak dapat diperkirakan pada saat

penyusunan APBD yang apabila ditunda penanganannya akan menimbulkan

resiko sosial yang lebih besar bagi individu dan/atau keluarga yang

bersangkutan, pagu anggaran tidak boleh melebihi pagu alokasi anggaran yang

direncanakan.

▪ Lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain

Selain Individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang berhak sebagai

10
penerima bantuan sosial, lembaga non pemerintahan bidang pendidikan,

keagamaan, dan bidang lain juga dapat menjadi penerima bantuan sosial dengan

syarat lembaga tersebut berperan untuk melindungi individu, kelompok,

dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

2. Sifatnya tidak terus menerus dan selektif

Pemberian bantuan sosial secara tidak terus menerus dapat diartikan bahwa bantuan

sosial tidak harus diberikan setiap tahun anggaran, dikecualikan pada hal-hal

tertentu bantuan sosial dapat dilakukan secara terus menerus. Batasan pengecualian

tersebut tidak secara jelas dijabarkan dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011,

dalam peraturan tersebut hanya menjelaskan bahwa penerima bantuan sosial dapat

diberikan secara terus menerus sampai penerima bantuan telah lepas dari resiko

sosial.

Kriteria selektif dapat diartikan bahwa bantuan sosial hanya diberikan kepada calon

penerima yang ditujukan untuk melindungi dari kemungkinan resiko sosial. Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait harus dengan cermat melakukan evaluasi

terhadap proposal yang diajukan calon penerima bantuan sosial. Kriteria selektif ini

mengharuskan SKPD terkait harus dengan selektif memilih calon penerima bantuan

sosial, hanya calon penerima bantuan sosial yang menggunakan dana untuk tujuan

melindungi masyarakat dari resiko sosial yang dapat ditetapkan sebagai penerima

bantuan sosial.

3. Tujuan pemberian untuk melindungi kemungkinan terjadinya resiko sosial

Bantuan sosial sejatinya diberikan untuk melindungi kemungkinan-kemungkinan

terjadinya resiko sosial. Resiko sosial dapat diartikan sebagai kejadian atau

peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang

ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai

11
dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana

alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan

tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. Tujuan pemberian bantuan sosial dapat di

kategorikan bahwa bantuan sosial diberikan untuk:

 Rehabilitasi sosial, yaitu untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan

seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi

sosialnya secara wajar. Disfungsi sosial merupakan kondisi seseorang yang

menunjukkan bahwa seseorang tersebut tidak mampu melaksanakan peran

sosial sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, dan sesuai dengan harapan

orang lain.

 Perlindungan sosial, yaitu untuk mencegah dan menangani resiko dari

guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat

agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar

minimal.

 Pemberdayaan sosial, yaitu untuk menjadikan seseorang atau kelompok

masyarakat yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu

memenuhi kebutuhan dasarnya.

 Jaminan sosial, merupakan skema yang melembaga untuk menjamin penerima

bantuan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

 Penanggulangan kemiskinan, merupakan kebijakan, program, dan kegiatan

yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok masyarakat yang tidak

mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat

memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.

 Penanggulangan bencana, merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk

rehabilitasi.

12
2.1.1.2 Bentuk Bantuan Sosial

Bantuan sosial dapat berupa uang atau barang yang diterima langsung oleh

penerima bantuan sosial. Bantuan sosial berupa uang diberikan secara langsung kepada

penerima seperti beasiswa bagi anak miskin, yayasan pengelola yatim piatu, nelayan

miskin, masyarakat lanjut usia, terlantar, cacat berat dan tunjangan kesehatan putra

putri pahlawan yang tidak mampu. Bantuan sosial dalam bentuk barang adalah barang

yang diberikan secara langsung kepada penerima seperti bantuan kendaraan

operasional untuk sekolah luar biasa swasta dan masyarakat tidak mampu, bantuan

perahu untuk nelayan miskin, bantuan makanan/pakaian kepada yatim piatu/tuna sosial,

ternak bagi kelompok masyarakat kurang mampu.

Penganggaran bantuan sosial dibedakan menjadi 2 (dua) yakni bantuan sosial

berupa uang atau berupa barang. Apabila bantuan sosial yang diberikan berupa uang

maka penganggaran dicantumkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA)-PPKD dan

dianggarkan dalam kelompok belanja tidak langsung, sedangkan bantuan sosial yang

diberikan dalam bentuk barang maka bantuan sosial tersebut dicantumkan dalam RKA-

SKPD dan dianggarkan dalam kelompok belanja langsung.

2.1.1.3 Mekanisme Penyaluran Dana

Penyaluran dana bantuan sosial sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia

dan dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan pemerintah dalam mensejahterakan

masyarakat Indonesia. Program penyaluran dana Bantuan Langsung Tunai (BLT),

pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kepada masyarakat pada tahun 2005.

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program

Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) dalam rangka

kompensasi pengurangan subsidi BBM, Program BLT-RTS pelaksanaannya harus

langsung menyentuh dan memberi manfaat langsung kepada masyarakat miskin,

13
mendorong tanggung jawab sosial bersama dan dapat menumbuhkan kepercayaan

masyarakat kepada perhatian pemerintah yang secara konsisten benar-benar

memperhatikan Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang pasti merasakan beban yang berat

dari kenaikan harga BBM.

Kemudian demi upaya meminimalisir adanya kecurangan-kecurangan yang

dilakukan oleh beberapa pihak terkait, pemerintah memulai program dana bantuan

sosial non tunai yang dimulai dari penyaluran dana bantuan Program Simpanan

Keluarga Sejahtera (PSKS). Pilot project penyaluran bantuan sosial non tunai

dilaksanakan kepada 1 juta penerima PSKS dimana mereka mendapatkan dana tersebut

melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) dari Bank Mandiri melalui rekening bank

atas nama penerima dana PSKS. PSKS yang disalurkan melalui empat kartu utama,

yaitu Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan

Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera bertujuan membangun keluarga Indonesia yang

produktif. Terhitung sebanyak 15,5 juta keluarga penerima PSKS menerima dana

tersebut melalui dua jenis media pembayaran.

Program kedua yang dilakukan oleh pemerintah adalah Program Keluarga Harapan

(PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai

kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Program ini, dalam jangka pendek

bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat

memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya dapat

keluar dari perangkap kemiskinan. Sama seperti PSKS, sistem pembayaran yang

digunakan adalah LKD dari Bank Indonesia dengan Bank Mandiri dan BRI sebagai

penyalur. Perbankan dipilih karena pertimbangan kerahasiaan nasabah dan jaminan atas

dana, serta pertimbangan aspek regulasi belanja bantuan sosial pada Kementerian

Negara/Lembaga (K/L) yang mengharuskan penyaluran bantuan sosial melalui

14
perbankan, disamping penyaluran bantuan sosial melalui PT Pos Indonesia.

Pada tahun 2014, presiden mengarahkan bahwa seluruh bantuan sosial atau bantuan

pemerintah harus dalam bentuk non tunai dan terintegrasi dalam satu kartu. Jika

diserahkan secara tunai, terjadi antrian dan tidak efektif. Sehingga untuk mendukung

upaya tersebut, pemerintah (Kemensos) memperluas programnya dengan menyediakan

fasilitas berupa e-warung. E-warung sendiri merupakan Elektronik Warung yang

didirikan dengan tujuan agar peserta penerima dana bantuan sosial mudah mendapatkan

kebutuhannya secara langsung dan termonitor secara real time oleh pemerintah.

Persyaratan untuk menjadi e-warung mengharuskan pemilik warung terkoneksi dengan

jaringan internet, dan dikelola oleh Kelompok Usaha Bersama (KUBE).

Penerima PKH dan Beras Sejahtera (Rastra), sebelumnya akan mendapatkan kartu

sebagai bukti penerima program tersebut. Penerima bantuan sosial nantinya dapat

datang ke e-Warung yang ditunjuk, untuk kemudian memilih barang yang ingin dibeli

dengan bermodal kartu program dan nomor pin yang dimiliki. Sistem penyaluran

bantuan sosial non tunai akan terintegrasi langsung dengan sistem monitoring yang

bersifat online untuk pemantauan, penyaluran, dan penyerapan bantuan sosial, sehingga

dapat diakses Kementerian dan stakeholder terkait yang memerlukan data. Bantuan

sosial yang saat ini dapat dikonversi ke gula, minyak goreng, dan tepung terigu, sedang

diupayakan untuk bisa dikonversi dengan gas elpiji 3 Kg.

2.1.1.4 Pelaporan dan Pertanggungjawaban

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good governance), maka

seluruh transaksi keuangan pada pemerintah daerah harus akuntabel. Oleh karena itu,

setiap penerima bantuan harus bertanggung jawab atas penggunaan dana bantuan sosial.

Penerima bantuan sosial bertanggung jawab secara formal dan materiil atas penggunaan

bantuan sosial yang diterimanya, artinya penerima bantuan sosial bertanggungjawab

15
secara penuh atas penggunaan bantuan sosial. Bentuk tanggung jawab penerima

bantuan sosial dalam Permendagri adalah:

1. laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial;

2. surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang

diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan

3. bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundang-

undangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah terima

barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang.

Pertanggungjawaban penerima bantuan sosial menyampaikan

pertanggungjawabanya paling lambat 10 Januari pada tahun anggaran berikutnya

kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban

tersebut disimpan dan dipergunakan oleh penerima bantuan sosial selaku obyek

pemeriksaan.

Dari sisi pemerintah, realisasi bantuan sosial dicantumkan pada laporan keuangan

pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan. Bantuan sosial berupa barang yang belum

diserahkan kepada penerima bantuan sosial sampai dengan akhir tahun anggaran

berkenaan dilaporkan sebagai persediaan dalam neraca. Realisasi bantuan sosial berupa

barang dikonversikan sesuai standar akuntansi pemerintahan pada laporan realisasi

anggaran dan diungkapkan pada catatan atas laporan keuangan dalam penyusunan

laporan keuangan pemerintah daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab atas

pemberian bantuan sosial meliputi:

1. usulan dari calon penerima bantuan sosial kepada kepala daerah;

2. keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima bantuan sosial

dikecualikan untuk penerima bantuan sosial yang diberikan kepada individu

dan/atau keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya;

16
3. pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan bahwa bantuan

sosial yang diterima akan digunakan sesuai dengan usulan;

4. bukti transfer/penyerahan uang atas pemberian bantuan sosial berupa uang atau

bukti serah terima barang atas pemberian bantuan sosial berupa barang;

5. khusus untuk bantuan sosial yang diberikan kepada individu dan/atau keluarga yang

tidak dapat direncanakan sebelumnya maka PPKD wajib membuat rekapitulasi

penyaluran bantuan sosial paling lambat tanggal 5 Januari tahun anggaran

berikutnya, rekapitulasi tersebut memuat nama penerima, alamat dan besaran

bantuan sosial yang diterima oleh masing-masing individu dan/atau keluarga.

Dalam pelaksanaannya, bantuan sosial dimonitoring dan dievaluasi oleh SKPD

terkait yang hasilnya akan disampaikan kepada kepala daerah dengan tembusan kepada

SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan.

2.1.2 Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah

Menurut Soedarjono (1997) usaha-usaha untuk menerapkan pelaporan kinerja

pemerintah dapat ditelusuri sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun

1997/1998. Memang secara faktual, peraturan yang berkaitan baru ditetapkan dalam

bentuk Inpres 7/1999.

Dalam Inpres 7/1999 tersebut disebutkan bahwa Laporan Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah merupakan alat untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi

pemerintah. Tujuan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah untuk

mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai salah satu

prasyarat untuk terciptanya pemerintah yang baik dan terpercaya. Sedangkan sasaran

sistem tersebut adalah:

17
1. Menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara

efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya;

terwujudnya transparansi instansi pemerintah;

2. Terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional;

3. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Inpres tersebut juga menentukan bahwa setiap instansi pemerintah sampai dengan

eselon 2 per tanggal 30 September 1999 sudah harus mempunyai perencanaan strategis

yang berisi:

1. Visi, Misi, strategi dan faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi;

2. Tujuan, sasaran dan aktivitas organisasi;

3. Cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Sedangkan mulai akhir tahun anggaran

2000/2001, setiap instansi pemerintah sudah harus mempunyai LAKIP/LKKIP.

LAN kemudian menindaklanjuti Inpres tersebut dengan mengeluarkan Keputusan

Kepala LAN Nomor 589/1X/6/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Dalam Keputusan ini, dipakai sistem berjenjang untuk mengkaitkan antara visi

dengan kegiatan. Sebagai contoh, dalam Rencana Strategis (Renstra) dikenal adanya

Perencanaan Kinerja 1 (PK-1) untuk menjelaskan kegiatan, PK-2 untuk menguraikan

sasaran, dan PK-3 untuk menguraikan program. Dengan demikian, antara kegiatan-

kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi akan dapat ditelusuri kaitannya

dengan program unit atau instansi yang lebih tinggi, bahkan sistem ini dapat menjamin

keterkaitan antara kegiatan yang dilaksanakan dengan pencapaian visi dan misi

pemerintah. Demikian pula dalam mengevaluasi kinerja, juga dipakai sistem berjenjang.

Dengan demikian terdapat Evaluasi Kinerja 1 (EK-1) untuk mengevaluasi kinerja

18
kegiatan, EK-2 untuk mengevaluasi kinerja sasaran, dan EK-3 untuk mengevaluasi

kinerja program.

Dalam hal indikator kinerja, sebagai dasar untuk mengukur kinerja, dipakai

indikator input, output, outcome, benefit, dan impact. Dalam kenyataannya, indikator

yang dapat dengan tepat diidentifikasi hanyalah input dan output, sedangkan indikator

yang lain lebih sulit diukur dan ditentukan keberhasilannya. Selanjutnya, masing-

masing indikator kinerja dipecah atau diuraikan, dan setiap sub indikator diberikan

bobot tertentu. Misalnya, indikator input yang diperlukan untuk menyelenggarakan

suatu kegiatan adalah keputusan, dana, sarana, dan sumber daya manusia; maka pada

setiap unsur tersebut diberikan pembobotan. Indikator input, output, (dan kadang

outcome) juga diberikan suatu bobot tertentu untuk mengukur kinerja suatu kegiatan.

Sistem pembobotan ini juga diterapkan untuk mengukur kinerja unit yang lebih

tinggi. Misalnya dalam hal suatu sasaran terdiri dari berbagai kegiatan, maka kegiatan-

kegiatan tersebut diberikan suatu bobot tersendiri untuk dapat mengetahui kinerja

sasaran tersebut. Demikian selanjutnya, sehingga untuk suatu unit organisasi tertentu

dapat diperoleh suatu angka tunggal (dalam persen) yang menggambarkan kinerja unit

organisasi tersebut.

Masalah lain dalam sistem ini adalah pengukuran indikator kinerja kegiatan yang

harus dirinci sampai unsur-unsur indikator, dan uraian ini harus dilampirkan dalam

bentuk lampiran PK dan EK menjadikan LAKIP/LKKIP sangat tebal dan tidak menarik

untuk dibaca.

Pada tahun 2003, terbit Keputusan Kepala LAN Nomor 239/1X/6/8/2003 tentang

Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah, yaitu

menyempurnakan Keputusan Nomor 589/IX/6/Y/99. Dalam keputusan ini, tetap ada

Rencana Strategis (Renstra) yang berisi visi, misi, tujuan, sasaran, dan bagaimana

19
mencapai sasaran tersebut (dalam bentuk uraian kebijakan dan program). Renstra

meliputi waktu 5 tahun. Kebijakan dan program tersebut kemudian setiap tahun akan

dipilih kebijakan dan program mana yang akan dilaksanakan, dalam bentuk kegiatan-

kegiatan (Rencana Kinerja Tahunan/RKT). Masih sama dengan peraturan yang lama,

indikator kinerja kegiatan masih memakai masukan (input), keluaran (output), hasil

(outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact).

Berbeda dengan peraturan terdahulu yang mengenal formulir PK dan EK, pada

peraturan baru disebutkan adanya dua formulir untuk mengukur kinerja, yaitu formulir

Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) dan Formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran

(PPS). Untuk menetukan kinerja keguatan atau pencapaian sasaran, digunakan cara

perbandingan antara rencana (target) dengan realisasi, untuk masing-masing indikator

kinerja. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, dalam hal ini tidak diberikan

pembobotan pada setiap indikator kinerja kegiatan sehingga dapat diketahui angka

tunggal kinerja kegiatan tertentu. Lebih lanjut, juga tidak diberikan pembobotan pada

kinerja kegiatan-kegiatan untuk memperoleh kinerja sasaran. Untuk memberikan

gambaran yang lebih jelas, Formulir PKK dan Formulir PPS disajikan dalam Lampiran

1 dan 2.

Di satu sisi, penghilangan pembobotan (indeks) tersebut dapat menghilangkan

praktik “operasi aritmatika”, tetapi di pihak lain penentuan kinerja sasaran menjadi

tidak berhubungan dengan kinerja kegiatan. Menurut Sudiman dan Widjinarko (2004)

data realisasi dari rencana tingkat capaian sasasarn kemungkinan dapat berasal dari data

realisasi capaian kinerja kegiatan atau harus melalui suatu studi/telaah/survey secara

khusus. Dengan demikian, sebenernya masih ada kemungkinan penggunaan metode

pembobotan atau indeks.

20
Seperti disebutkan di atas, dalam LAKIP/LKKIP bagian akuntabilitas kinerja terdiri

dari akuntabilitas kinerja dan akuntabilitas keuangan. Akuntabilitas Kinerja meliputi

evaluasi dan analisis kinerja kegiatan serta evaluasi dan analisis pencapaian sasaran.

Sedangkan analisis keuangan berisi alokasi dan sumber pembiayaan serta realisasi

anggaran untuk membiayai program dan kegiatan, termasuk penjelasan tentang

efisiensi.

2.1.2.1 Pengungkapan Kinerja dalam Pelaporan Keuangan

Sebelum tiga paket UU Keuangan Negara terbit, laporan keuangan yang

disyaratkan untuk disampaikan oleh pemerintah kepada DPR atau DPRD adalah

Perhitungan Anggaran Negara (PAN) dan Nota PAN atau Perhitungan APBD dan Nota

Perhitungan APBD (Simanjuntak, 2005). Pada level instansi, selain memberikan

sumbangan untuk penyusunan PAN atau Nota PAN, setiap instansi menyusun laporan

tahunan (annual report). Dalam laporan tahunan, umumnya yang dilaporkan adalah

rencana dan realisasi Daftar Isian Kegiatan (DIK) maupun Daftar Isian Proyek (DIP)

baik dalam pengertian kegiatannya maupun dalam jumlah uangnya. Kemudian laporan

juga mencakup sumber daya yang dimiliki pada awal tahun, perubahan-perubahan, dan

saldo akhir tahun. Sumber daya yang dilaporkan umumnya meliputi sumber daya

manusia, sarana, prasarana maupun perkembangan dalam lingkungan eksternal.

Setelah adanya reformasi keuangan negara, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara

mensyaratkan penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang

disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Penyampaian laporan

keuangan tersebut dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas

pengelolaan keuangan negara. Dalam Pasal 30 disebutkan bahwa laporan keuangan

tersebut setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas,

dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan

21
perusahaan negara dan badan lainnya. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

2005 (PP 24/2005) tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, selain empat jenis laporan

keuangan tersebut (yang disebut dengan laporan keuangan pokok), entitas pelaporan

dapat menyajikan Laporan Kinerja Keuangan dan Laporan Perubahan Ekuitas.

Penjelasan pasal 31 UU 17/2003 menyatakan bahwa Laporan Realisasi Anggaran

selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja

setiap kementerian negara/lembaga. Sedangkan pada Kerangka Konseptual Akuntansi

Pemerintahan (PP 24/2005), Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber,

alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah, yang

menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya. Unsur yang dicakup

dalam laporan tersebut meliputi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan.

Memang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 02

tentang Laporan Realisasi Anggaran menyebutkan bahwa manfaat informasi realisasi

anggaran antara lain adalah menyediakan informasi bagi pengguna laporan bahwa

perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi telah dilakukan secara efisien, efektif,

dan hemat.

Pada PP 24/2005 pernyataan yang lebih tegas berkaitan dengan prestasi kerja atau

kinerja antara lain dapat ditemukan pada: Catatan atas Laporan Keuangan Pada

Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan ini meliputi

penjelasan atau rincian dari angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pokok,

antara lain dapat menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja keuangan selama tahun

pelaporan. Pada PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan disebutkan

bahwa Laporan Realisasi Anggaran merupakan laporan pokok yang mempunyai

hubungan atau referensi silang dalam Catatan atas Laporan Keuangan, yang harus

mengikhtisarkan indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang

22
berdimensi keuangan. PSAP Nomor 04 juga mengakui bahwa pengguna laporan

keuangan pemerintah tidak hanya tertarik dari segi perubahan aset bersih pemerintah

(atau laba/ bottom line pada perusahaan swasta) tetapi juga sangat tertarik pada kinerja

pemerintah dalam perbandingan dengan target yang telah ditetapkan.

Dalam PSAP Nomor 04, keberhasilan pencapaian kinerja dapat diketahui

berdasarkan tingkat efisiensi dan tingkat efektivitas. Tingkat efisiensi diukur dengan

membandingkan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Sedangkan tingkat

efektivitas diukur dengan membandingkan antara hasil (outcome) dengan target yang

telah ditetapkan. Pembahasan kinerja keuangan juga harus dikaitkan dengan tujuan dan

sasaran dari rencana strategis pemerintah dan indikator yang digunakan harus sesuai

dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan harus:

1. menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan

2. menggambarkan dengan jelas rencana dan realisasi kinerja keuangan

3. menguraikan prosedur yang disusun dan dijalankan oleh manajemen berkaitan

dengan informasi kinerja keuangan.

Selanjutnya, pembahasan mengenai kinerja keuangan harus:

1. meliputi hasil positif maupun negatif,

2. menyajikan data historis yang relevan,

3. membandingkan hasil dengan tujuan dan rencana, dan

4. menjelaskan mengenai indikator, hasil, dan perbedaan antara hasil dengan tujuan

atau rencana.

Lebih lanjut disebutkan bahwa Catatan ini dapat menyajikan penjelasan dan

hambatan yang ditemui apabila suatu entitas belum dapat mencapai target yang

23
ditetapkan, misalnya jumlah unit pembangunan sekolah dasar yang belum mencapai

target.

2.1.2.2 Laporan Kinerja Keuangan

Pada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan ini

adalah laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual.

Dalam laporan tersebut disajikan informasi tentang pendapatan operasional, belanja,

dan pengungkapan surplus atau defisit. Pada PSAP Nomor 01 tentang Penyajian

Laporan Keuangan disebutkan bahwa analisis dalam laporan ini dapat digolongkan

menurut klasifikasi ekonomi (misalnya beban penyusutan, beban gaji dan tunjangan

pegawai, dan sebagainya) atau klasifikasi fungsi (berdasarkan program).

Memperhatikan uraian di atas, dengan demikian tampak bahwa pelaporan kinerja

disediakan tempat yang cukup dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Meskipun istilah

yang dipakai adalah kinerja keuangan, yaitu kinerja kegiatan operasional yang

berdimensi keuangan, ternyata dalam PSAP Nomor 04, istilah-istilah dan mekanisme

yang dipakai mirip dengan sistem yang ada dalam LAKIP/LKKIP sebagaimana

diuraikan dalam bagian B makalah ini. Berkaitan dengan Laporan Kinerja Keuangan,

sayang belum ada PSAP khusus yang mengatur, sehingga tidak dapat diketahui lebih

jauh bagaimana hubungan antara LAKIP/LKKIP dengan Laporan Kinerja Keuangan.

Meskipun demikian, dari Catatan atas Laporan Keuangan dapat diindikasikan bahwa

Laporan Kinerja Keuangan tampaknya juga memberikan informasi kinerja

sebagaimana dimaksud dalam LAKIP/LKKIP.

2.1.2.3 Penggabungan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja

Pelaporan kinerja dalam bentuk LAKIP/LKKIP diperkenalkan pada tahun 1999

(efektif berlaku mulai 2000/2001), mendahului pelaporan keuangan yang diundangkan

24
tahun 2003 (efektif berlaku tahun 2006). Dalam perkembangannya, ternyata ’rezim’

pelaporan keuangan lebih berkembang dibanding “rezim” LAKIP/LKKIP.

Sebagaimana yang sudah dijabarkan, masing-masing LAKIP/LKKIP atau Laporan

Keuangan belum diintegrasikan dengan baik. Oleh karena itu pemerintah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006 (PP 8/2006) tentang Pelaporan Keuangan

dan Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Penjelasan PP ini disebutkan bahwa UU

17/2003 merupakan langkah maju dimana mengharuskan pencantuman informasi

tambahan tentang kinerja pengguna anggaran dalam laporan keuangannya.

Pencantuman atau penambahan tersebut sejalan dengan paradigma penganggaran yang

harus dapat mengidentifikasikan keluaran (output) dari setiap kegiatan dan hasil

(outcome) dari setiap program yang didanai dengan APBN/APBD.

Penjelasan PP 8/2006 juga mengakui belum terintegrasinya LAKIP/LKKIP dengan

laporan keuangan sehingga menetapkan perlunya penyusunan Sistem Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang terintegrasi dengan sistem perencanaan

strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan (SAP). Dalam Pasal

20 PP 8/2006 ada tambahan, bahwa selain terintegrasi dengan ketiga sistem tersebut,

SAKIP juga perlu terintegrasi dengan sistem perbendaharaan. Sistem yang terintegrasi

tersebut akan diwujudkan dalam Peraturan Presiden yang diharapkan dapat

menggantikan Inpres 7/1999.

Dalam PP 8/2006 disebutkan bahwa SAKIP tersebut setidaknya dapat

menginformasikan perkembangan keluaran dari setiap kegiatan dan hasil dari setiap

program sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran.

Berdasarkan UU 1/2004, dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yang disusun oleh

menteri/pimpinan lembaga, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program

25
dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan

rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.

2.2 Kerangka Teoritis

Sebagai hasil tinjauan telaah literatur yang telah dijabarkan dan diungkapkan,

pendekatan terhadap pemecahan masalah yang diteliti oleh penulis menampilkan suatu

model atas variabel yang diteliti melalui proses rangka teoritis sebagai berikut:

Pelaksanaan Peningkatan Pelaporan


Mekanisme Penyaluran Akuntabilitas Kinerja
Dana Bansos Non tunai Pemerintah Pusat (Kemensos)

Mekanisme penyaluran bantuan sosial non tunai sebagai variabel independen (X), yang

mempengaruhi peningkatan kualitas pelaporan akuntabilitas kinerja pemerintah sebagai

variabel dependen (Y).

2.3 Perumusan Hipotesis

Berdasarkan telaah literature dan kerangka teoritis yang telah peneliti kemukakan

sebelumnya, maka hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

 X tidak memiliki pengaruh terhadap Y

 X memiliki pengaruh terhadap Y

Ha = tidak terdapat pengaruh atas penerapan mekanisme penyaluran dana bantuan sosial

secara non tunai terhadap peningkatan kualitas pelaporan pemerintah pusat saat ini

Ho = terdapat pengaruh atas penerapan mekanisme penyaluran dana bantuan sosial secara

non tunai terhadap peningkatan kualitas pelaporan akuntabilitas kinerja pemerintah

26
2.4 Hipotesis Penelitian

Dari perumusan hipotesis diatas, maka persamaan regresinya adalah:

Y = α + βx + e

Keterangan:

X = Variabel Independen (Pelaksanaan Penyaluran Dana Bansos Non Tunai)

Y = Variabel Dependen (Kualitas Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah)

Hasil:

Ha = β = 0, maka penerapan mekanisme penyaluran dana bantuan sosial secara non tunai

tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas pelaporan akuntabilitas kinerja

pemerintah pusat

Ho = β ≠ 0, maka penerapan mekanisme penyaluran dana bantuan sosial secara non tunai

memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas pelaporan akuntabilitas kinerja

pemerintah pusat

27
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Peneliti menggunakan metode kuantitatif dalam penelitian ini karena dilakukan untuk

mengetahui studi kausal (sebab-akibat) dari suatu pemasalahan yang diambil. Menurut

Sugiyono (2015), metode penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,

pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat

kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Penelitian kuantitatif merupakan studi yang diposisikan sebagai bebas nilai (value

free). Dengan kata lain, penelitian kuantitatif sangat ketat menerapkan prinsip-prinsip

objektivitas. Objektivitas itu diperoleh antara lain melalui penggunaan instrument yang

telãh diuji validitas dan reliabilitasnya. Peneliti yang melakukan studi kuantitatif mereduksi

sedemikian rupa hal-hal yang dapat membuat bias, misalnya akibat masuknya persepsi dan

nilai-nilai pribadi. Jika dalam penelaahan muncul adanya bias itu, penelitian kuantitatif

akan jauh dari kaidah-kaidah teknik ilmiah yang sesungguhnya (Sudarwan Danim, 2002).

Dalam hal pendekatan, penelitian kuantitatif lebih mementingkan adanya variabel-

variabel sebagai objek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam

bentuk operasionalisasi variable masing-masing. Reliabilitas dan validitas merupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua

elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta

generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif

memerlukan adanya hipotesa dan pengujian yang kemudian akan menentukan tahapan-

28
tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistic yang akan

digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan

penafsiran angka statistik bukan pada makna secara kebahasaan dan kulturalnya (Musafa

Nanang, 2012).

Dengan menggunakan campur tangan yang minimal, peneliti berusaha untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh mekanisme baru yang sedang dilakukan oleh

pemerintah saat ini dalam peningkatan kualitas laporan pemerintah di Kemensos. Peneliti

melakukan penelitian lapangan berstrategi survey dalam organisasi secara langsung,

dengan metode wawancara/interview terstruktur ke bagian Penanggungjawab Dana

Bantuan Sosial di kantor departemen pusat.

3.2 Populasi, Sampel, dan Penyampelan

Populasi, menurut Fraenkel dan Wallen, adalah kelompok yang menarik penelitian.

Dimana kelompok tersebut oleh peneliti dijadikan sebagai objek untuk mengeneralisasikan

hasil penelitian. Menurut Sudjana, populasi merupakan totalitas semua nilai yang mungkin,

baik hasil menghitung maupun pengurangan, kuantitatif atau kualitatif dari karakteristik

tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

pegawai pada bagian pelaksana penyaluran dana bantuan sosial non tunai di Kementerian

Sosial Republik Indonesia saat ini dan hasil pelaporan pemerintah pusat.

Sampel disini dijabarkan sebagai sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut, ataupun bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut

prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Jika populasi besar, dan peneliti

tidak mungkin mempelajari seluruh yang ada di populasi, hal seperti ini dikarenakan

adanya keterbatasan dana atau biaya, tenaga dan waktu, maka oleh sebab itu peneliti dapat

29
memakai sampel yang diambil dari populasi. Sampel yang akan diambil dari populasi

tersebut harus betul-betul representatif atau dapat mewakili.

Sampel dalam penelitian yang dilakukan saat ini adalah kepala bagian dan beberapa

karyawan bagian pelaksana penyaluran dana bantuan sosial, serta laporan keuangan dan

kinerja pemerintah pada tahun 2016.

Teknik penyampelan yang dilakukan oleh peneliti adalah teknik probability sampling

yang memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi

untuk dipilih menjadi anggota sampel, yakni proportionate stratified random sampling yang

merupakan salah satu teknik yang digunakan jika populasi mempunyai anggota atau unsur

yang tidak homogen serta berstrata secara proporsional.

3.3 Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan 2 (dua) jenis data dalam

penelitian ini, yakni:

1) Data Primer, merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak

melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara

individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau

kegiatan, dan hasil pengujian. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer

dari penelitian ini adalah dengan metode interview.

2) Data Sekunder, merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak

langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder

umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip

(data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Dalam

penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah Laporan Keuangan dan Laporan

Kinerja Pemerintah Pusat mengenai belanja pemerintah untuk bantuan sosial.

30
Teknik pengumpulan data disini merupakan langkah yang paling penting dalam

menentukan dan menemukan data serta hasil analisis dari permasalahan penelitian yang

ingin peneliti peroleh. Berikut beberapa pertanyaan terstruktur yang akan peneliti gunakan

dalam memperoleh data sekunder melalui interview kepada beberapa pegawai dan kepala

bagian dari Pengelola Dana Dantuan Sosial di Kementerian Sosial, yakni:

 Apakah mekanisme dana bantuan sosial non tunai saat ini sudah dilaksanakan dengan

baik?

 Apakah seluruh pengelola bantuan sosial dapat mendukung dan telah memahami

mekanisme penyaluran non tunai?

 Bagaimana perkembangan terkini mengenai mekanisme bantuan sosial non tunai?

 Apakah pelaksanaan sudah dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan target yang

telah disusun?

 Apakah terdapat kendala dalam melakukan sosialisasi bantuan non tunai ini kepada

masyarakat?

 Apakah dengan adanya mekanisme baru ini, visi dan misi dari Kemensos tercapai

dengan baik dan maksimal?

 Apakah pagu anggaran yang dipangkas untuk tiap kementrian dapat mempengaruhi

realisasi penyelenggaraan penyaluran bantuan sosial?

 Bagaimana cara instasi menyelesaikan permasalahan mengenai anggaran yang

terpangkas untuk dana bantuan sosial?

 Apakah dengan adanya penyaluran sistem non tunai, seluruh anggaran dapat terserap

dengan baik?

 Apakah tidak terdapat masalah berarti atas pelaporan keuangan dan kinerja pemerintah

setelah penyelenggaraan mekanisme ini?

31
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, Dwi, Sabanu, Harpanto Guno, dan Noor, Fahrizal. 2015. Penilaian Indeks

Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta: Badan Pengawas Keuangan.

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. 2016. Peningkatan Keuangan Inklusif

Melalui Kartu Bantuan Sosial. Jakarta.

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta: BPFE UGM.

Ellen, Christina dan Fuad, M. 2001. Anggaran Perusahaan: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hardimansyah. 2014. Pengelolaan Dana Hibah dan Bantuan Sosial Tanpa Terindikasi

Korupsi di Kalbar. Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Haruman, Tendi dan Rahayu, Sri. 2007. Penyusunan Anggaran Perusahaan. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Jurnal Asia. 2017. Mensos Salurkan Bantuan Sosial Dana Non Tunai. Sumber:

http://www.jurnalasia.com/seremoni/mensos-salurkan-bantuan-sosial-dana-non-tunai/.

Diakses pada Mei 2017.

Jurnal Speed. 2017. Peluncuran e-Warung oleh Menteri Sosial Untuk Penyaluran Bansos.

Boyolali: Asosiasi Profesi Multimedia Indonesia.

Kantor Staf Presiden. 2016. Voucher Pangan, Terobosan Baru Pengganti Raskin. Jakarta.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2015. Rapor

Akuntabilitas Kinerja K/L dan Provinsi Meningkat. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Elektronifikasi Bantuan Sosial Ubah

Penyaluran Dana dari Tunai Jadi Non Tunai. Jakarta.

Kementerian Sosial. 2017. Program Keluarga Harapan. Jakarta.

Kementerian Sosial. 2017. Laporan Keuangan. Jakarta.

32
M. Sulton Mawardi, Ruhmaniyati, Tamyis, A.R., Usman, S, Kurniawan, A., Budiani. 2017.

Kajian Awal Pelaksanaan Program e-Warong Kube-PKH. Jakarta: The SMERU Research

Institute bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

dan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK).

Nafarin, M. 2000. Penganggaran Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat.

Ngasuko, Tri Achya. 2016. Intergrasi Kartu Bantuan Sosial Melalui KTP Elektronik. Jakarta:

Kementerian Keuangan.

Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39

Tahun 2012. Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Putri, Wulan S. I. 2016. Pelaporan Kinerja Instansi Pemerintah (Studi pada Kantor

Kecamatan Rungkut Kota Surabaya). Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia.

Ramadhan, Arief Rizki. 2014. Implementasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah Dalam Rangka Mewujudkan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Berdasarkan

Good Governance. Malang: Universitas Brawijaya.

Rys, Vladimir. 2011. Merumuskan Ulang Jaminan Sosial. Pustaka Alvabet.

Wati, Hikmah. 2016. Peran Dinas Sosial Dalam Penyaluran Bantuan Sosial Sebagai Upaya

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di Provinsi Lampung. Bandar Lampung:

Universitas Lampung.

Yusrianti, Hasni dan Safitri, Rika Henda. 2015. Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah (SAKIP) Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Lingkungan

Pemerintah Kota Palembang. Palembang: Universitas Sriwijaya

33

Anda mungkin juga menyukai