Dikala sang mentari menyingsing, rasa sesak itu semakin
tumbuh dalam dadaku. Ku tarik nafas sesaat untuk meredakan rasa
sesal yang selalu menghantuiku sejak saat itu. Dalam keadaanku yang terguncang tak ada seorang pun yang mengerti arti diriku, hadirku seakan tidak pernah dihiraukannya. Semakin lama ku coba menantang sepi yang kian bergemuruh di dalam penantian panjangku. Hanya dia yang mengerti kemana hati ini berlabuh, dia mengurungku di dalam hatinya namun ku tak dapat meraihnya. Setiap malam ku memimpikan cahayanya yang semakin meredup. Ketakutan akan bayangnya yang semakin menghilang menghancurkan harapan yang hingga saat ini ku coba pertahankan.
Dia sangat berbeda dari dirinya yang ku kenal dulu. Setiap
pagi ku coba menantang gejolak hati untuk tidak menyapanya. Namun apa daya, bibirku pun berucap,
Haii Rey, selamat pagi?
Sapaan hangatku yang dulu selalu disambut olehnya kini
dibiarkan dingin begitu saja, melihat akupun dia tak sudi. Dia begitu cepat meninggalkan halaman rumahnya yang tentunya hanya di depan rumahku untuk menghindariku. Ya, aku kecewa dengan sikapnya itu yang entah ku tak tau kenapa sebabnya.