KELOMPOK I
Anggota kelompok:
Stella Rossa G1A112006
Tamara Dewi J. G1A112028
M. Kadafi G1A112030
Irdha Yuliandari G1A112044
Anerza Nurfitri G1A112049
Nandy Bill M. G1A112061
Aulia Rezha Y. G1A112065
Septia Puji M. G1A112075
M. Chatib Rifqi G1A112082
Alvin Pratama G1A112083
Yesti Paramita G1A113001
Andre Dwita P. G1A113002
Pada tahun 2000, dijumpai lebih dari 4,7 juta kasus kanker pada wanita di seluruh dunia,
54% dari dari kasus ini dijumpai di negara berkembang / belum berkembang. Tumor ginekologi,
termasuk kanker endometrium, vulva, vagina, dan plasenta, insidensinya bervariasi di seluruh
dunia, berkisar 0,6-8% dari seluruh tumor primer pada wanita dan 45% dari seluruh kanker
genital (tidak termasuk kanker serviks dan kanker ovarium). Di Kanada, penyakit-penyakit ini
merupakan 11% dari seluruh neoplasia pada wanita dan 81% dari seluruh kanker genital. Yaznil
(2010) dalam penelitiannya mengenai DVT yang mencakup semua pasien tumor ginekologi di
RSUP H. Adam Malik Medan, baik rawat jalan maupun rawat inap, mendapatkan prevalensi dari
kanker endometrium adalah sebesar 2,4%, kanker vulva 1%, dan PTG (penyakit trofoblas ganas)
1% dari seluruh tumor ginekologi, dimana ketiga kanker ini hanya menempati 9,4% dari seluruh
kanker di bidang ginekologi di RS H. Adam Malik Medan.
Walaupun insidensi dan mortalitas dari kanker serviks dan kanker ovarium merupakan
masalah yang paling banyak dijumpai pada masyarakat, namun kanker genital lain juga dijumpai
dan juga perlu mendapat perhatian, yaitu kanker vagina, vulva, plasenta, dan endometrium.
Karena penyakit neoplastik pada daerah ini jarang, dijumpai sedikit informasi mengenai hal ini,
kebanyakan data yang tersedia adalah dari laporan kasus atau penelitian berbasis rumah sakit.
2.2.1. EPIDEMIOLOGI
Kanker vagina merupakan jenis kanker yang relatif jarang dari seluruh jenis kanker pada traktus
genitalis wanita, dan hanya kurang lebih 1-3% dari seluruh kanker ginekologi. Kebanyakan
kanker vagina terjadi pada penderita pasca menopause. Rata-rata terjadi pada wanita usia 60
tahun. Diperkirakan pada tahun 2011 dijumpai 2.570 kasus baru dan 780 wanita meninggal
karena kanker vagina di seluruh dunia. Angka insidensinya hanya 0,6 sampai 1 per 100.000
wanita sehingga tidak menjadi prioritas program skrining rutin.
2.2.2. ETIOLOGI
Etiologi pasti kanker vagina masih belum diketahui dengan jelas. Adanya hubungan dengan
perjalanan penyakit pada kanker serviks dianggap ada peran HPV sebagai penyebabnya.
Walaupun menyerupai perjalanan penyakit seperti pada kanker serviks melalui fase neoplasia
intraepitelial, perubahan secara nyata serta progresinya menjadi invasif masih belum banyak
dipahami. Sebanyak 30% pasien dengan kanker vagina memiliki riwayat kanker serviks insitu
ataupun invasif yang telah diterapi setidaknya 5 tahun sebelumnya. Adanya riwayat radiasi pada
daerah pelvis sebelumnya diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kanker vagina.
Perdarahan pervaginam yang tidak nyeri dan keputihan merupakan gejala yang paling umum.
Pada tingkat yang lebih lanjut dapat terjadi retensi urin, hematuri, inkontinensia urin, dan bahkan
bisa timbul keluhan tenesmus, konstipasi, atau hematosesia. Kebanyakan lesi berada pada
sepertiga atas vagina, biasanya pada daerah apeks atau pada dinding posterior. Secara
makroskopis, lesi biasanya eksofitik, tetapi dapat juga endofitik. Permukaan ulseratif bisa
muncul pada tahap lanjut dari penyakit.
2.2.4. SKRINING
Pemeriksaan skrining pada pasien setelah dilakukan histerektomi pada kasus tumor jinak tidak
bermanfaat, akan tetapi pada pasien dengan riwayat CIN dan riwayat menderita neoplasia invasif
perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur dengan tes pap smir.
2.2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis bisa diarahkan dari hasil pemeriksaan pap smear atau didapatkan dengan biopsi
temuan langsung makroskopik lesi tumor pada vagina yang telah dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan histopatologik. Lesi tumor lebih sering ditemukan pada sepertiga proksimal vagina
bagian posterior. Harus diperhatikan permukaan dinding vagina pada pemasangan spekulum
yang sering terlewatkan karena hanya akan menilai serviks. Pada pasien dengan hasil pap smear
yang abnormal dan tidak dijumpai kelainan kasat mata, dengan adanya perdarahan pervaginam
yang tidak jelas sebabnya, pemeriksaan vagina dengan kolposkopi dan penggunaan cairan Lugol
pada vagina akan sangat membantu diagnosis, dan bila diperlukan dapat dilakukan biopsi target.
Pada penderita pasca-histerektomi total juga harus diperhatikan keadaan vaginal vault karena
epitel vagina di daerah tersebut masih mempunyai resiko terjadinya kanker.
2.2.6. HISTOPATOLOGI
Paling banyak ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa yang mencapai 80-95%.
Selebihnya adalah adenomakrsinoma, melanoma, dan sarkoma.
Kanker serviks, kanker vulva, kanker metastasis (misal: penyakit trofoblas gestasional).
2.2.8. STADIUM
Stadium ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan bila ada indikasi daat dilakukan
sistoskopi, anoskopi/proktoskopi, dan rontgen paru. Informasi CT-scan, MRI, dan limfangiografi
tidak digunakan untuk menentukan staging menurut FIGO, tetapi dapat digunakan untuk
manajemen terapi selanjutnya. Surgical staging dan reseksi kelenjar getah bening yang
membesar bisa dilakukan pada pasien tertentu. FIGO tidak menyertakan kriteria mikroinvasif
pada klasifikasi kanker vagina.
Stadium Deskripsi
2.2.9. TERAPI
2.2.9.a.PEMBEDAHAN
Pada stadium I yang hanya invasi pada sepertiga proksimal vagina bagian belakang dapat
dilakukan vaginektomi radikal (pada bagian atas hingga mencapai daerah bebas tumor
setidaknya 1 cm), dan limfadenektomi pelvis. Bila uterus masih ada, dilakukan histerektomi
radikal. Pada pasien pasca histerektomi dilakukan vaginektomi radikal dan limfadenektomi
pelvis. Bila hasil operasi free margin dari tumor dan tidak didapatkan anak sebar pada spesimen
kelenjar getah bening, maka tidak dilakukan terapi adjuvan.
Pada wanita muda yang memerlukan terapi radiasi dapat dilakukan transposisi ovarium
dan limfadenektomi pada kelenjar yang membesar sebelum tindakan radiasi.
Pada stadium IVA dengan atau tanpa fistula rektovaginal atau vesikovaginal dapat
dipersiapkan untuk kandidat operasi primer eksentreasi dan dapat dikombinasikan dengan diseksi
kelenjar getah bening pelvis dan radiasi preoperatif, dilanjutkan dengan anastomosis rektum
bawah, diversi urinari, dan rekonstruksi vagina. Diseksi kelenjar inguinal dilakukan pada tumor
yang telah menginfiltrasi 1/3 bawah vagina. Pada pasien dengan rekurensi sentral setelah terapi
radiasi, tindakan reseksi pembedahan merupakan pilihan satu-satunya.
2.2.9.b.RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan pada hampir semua pasien kanker vagina. Radiasi
yang diberikan adalah radiasi eksterna dikombinasi dengan radiasi intrakaviter/interstisial. Pada
pasien dengan lesi tumor superfisial yang kecil (stadium I/II) dapat diberikan radiasi intrakaviter
saja. Sementara itu, bila lesi tumor lebih besar dan terletak lebih dalam, diberikan radiasi
eksterna dengan dosis 5.000-7.000 cGY, kemudian diberikan radiasi KGB inguinal atau
dilanjutkan dengan brakhiterapi untuk mencapai dosis yang cukup. Bila telah dilakukan
histerektomi, cukup dilakukan radiasi silinder superfisial pada vagina. Namun, bila tebal tumor
lebih dari 5 mm, diperlukan radiasi interstisial untuk mencapai dosis cukup pada tumor primer.
Belum banyak laporan terapi kombinasi dengan kemoterapi, akan tetapi kombinasi konkuren
dengan sisplatin banyak dilaporkan cukup baik hasilnya pada kanker serviks.
2.2.10. PENGAMATAN LANJUTAN
Pemeriksaan klinis, inspekulo, colok dubur, dilakukan pada setiap kunjungan untuk mencari
kemungkinan rekurensi. Pemeriksaan penunjang lain dilakukan hanya atas indikasi. Pengamatan
lanjutan dilakukan tiap tiga bulan pada tahun pertama dan selanjutnya tiap 4-6 bulan, hingga
dilakukan pengamatan lanjutan tiap tahun setelah 5 tahun berikutnya.
2.2.11. PROGNOSIS
Angka kelangsungan hidup selama 5 tahun secara keseluruhan pada kanker vagina adalah 52%.
Meskipun demikian, pada stadium I angka kelangsungan hidup kurang dari 74%, lebih rendah
dari kanker serviks dengan stadium yang sama.
2.3.1. EPIDEMIOLOGI
Kanker vulva merupakan jenis kanker yang jarang ditemukan. The International
Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) 6th Annual Report yang diterbitkan pada tahun
2006 melaporkan bahwa kanker vulva hanya menempati lebih kurang 4% dari kanker ginekologi.
Temuan insiden karsinoma insitu vulva meningkat dua kali lipat pada tahun 1980 dari satu
dekade sebelumnya, sedangkan insiden kanker invasif vulva tetap sama. Pada tahun 2009
diperkirakan dijumpai 3.580 kasus baru di Amerika Serikat dan 900 kematian akibat kanker
vulva. Penyakit ini seringkali ditemukan pada perempuan pascamenopause.
2.3.2. ETIOLOGI
Faktor etiologi terjadinya kanker vulva belum diketahui secara spesifik. Pruritus kronik
merupakan fenomena awal yang paling sering mendahului terjadinya kanker invasif. Umumnya
terjadi pada penderita obesitas, hipertensi, diabetes, dan nulipara, dan berkaitan dengan resiko
tinggi pada wanita yang mempunyai multiple sexual partner dan merokok. Pada penderita kanker
invasif ditemukan 20 60% mengandung HPV, dan ada hubungannya dengan sifilis.
2.3.3. GEJALA DAN TANDA
Kanker vulva dapat tidak menimbulkan gejala, namun kebanyakan (lebih kurang 70%) pasien
mengeluhkan adanya ulkus atau benjolan pada vulva. Dimulai dengan adanya bengkak atau
timbulnya massa di vulva yang sebelumnya dirasakan adanya pruritus yang lama. Kadangkadang
disertai luka dan perdarahan, serta mungkin keluhan disuri. Secara fisik dapat tampak luka yang
ulseratif, leukoplakia atau seperti wart (kutil). Sebagian banyak tumbuh di labia mayora, tetapi
juga bisa tumbuh primer di labia minora, klitoris, dan perineum. Sebagian tumor tumbuh secara
multifokal. Bila sudah tahap lanjut dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening pada inguinal.
2.3.4. PATOLOGI
Terbanyak sekitar 90% adalah jenis karsinoma sel skuamosa. Jenis lainnya adalah melanoma,
karsinoma sel basal, adenokarsinoma, verukosa, dan sarkoma. Kejadian metastasis pada kelenjar
getah bening berkaitan dengan ketebalan tumor, kedalaman invasi ke stroma, invasi vaskuler,
dan peningkatan jumlah keratin.
2.3.5. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan melakukan biopsi pada lesi. Bila
lesi tumor kurang dari 1 cm sebaiknya dilakukan biopsi eksisional. Sebelum dilakukan tindakan
terapi perlu dilakukan evaluasi atau pemeriksaan kolposkopi untuk menilai serviks, vagina, dan
vulva, karena meskipun jarang, kemungkinan bisa didapatkan kelainan prainvasif atau kanker
invasif pada organ tersebut. Namun biopsi luas dengan anestesi lokal biasanya cukup adekuat
untuk menegakkan diagnosis. Hasil biopsi diharapkan meliputi juga jaringan kulit dan stroma di
sekeliling lesi.
2.3.6. STADIUM
Stadium klinis yang digunakan adalah klasifikasi TNM yang diadopsi dari FIGO tahun 1969
yang kemudian telah diperbaharui pada tahun 2008. Data stadium didasarkan pada evaluasi klinis
dari tumor primer dan kelenjar getah bening regional dan pemeriksaan skrining metastasis
terbatas yang diperlukan. Sulitnya membedakan kecurigaan metastasis kelenjar getah bening
yang membesar yang mungkin disebabkan oleh proses inflamasi, maka FIGO memperkenalkan
surgical staging pada tahun 1988 yang kemudian telah direvisi.
Stadium Klinis
Stadium III Tumor telah menginvasi uretra bawah, vagina, anus, dan/atau telah bermetastasis pada
kelenjar regional unilateral.
IIIA (i) Dengan 1 kelenjar positif (> 5 mm)
IIIA (ii) Dengan 1 2 kelenjar positif (<5 mm)
IIIB (i) Dengan 2 kelenjar positif (> 5 mm)
IIIB (ii) Dengan > 3 kelenjar positif (< 5 mm)
IIIC Kelenjar positif ekstrakapsular
Stadium IV Tumor menginvasi 2/3 proksimal uretra, 2/3 proksimal vagina, dan metastasis jauh.
IVA (i) Tumor telah menginvasi mukosa kandung kemih, mukosa rektum, uretra bagian atas,
atau tumor terfiksir pada tulang, dan/atau telah bermetastasis pada kelenjar regional
bilateral.
- FNAB (fine needle aspiration biopsy) pada kelenjar inguinal yang dicurigai
- Radiologi
- Foto toraks
- Laboratorium : darah lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, tes gula darah
2.3.9. TERAPI
Terapi standar adalah vulvektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening inguinal
(groin) secara en bloc dengan atau tanpa limfadenektomi pelvik. Sejak dilaporkan oleh Taussig
(USA) dan Way (UK) hal tersebut hingga 15 tahun terakhir ini belum ada perubahan yang
berarti. Perubahan terutama dimaksudkan untuk mengurangi morbiditas fisik dan psikologis, di
antaranya adalah:
- Menghindari diseksi kelenjar getah bening inguinal pada lesi tumor mikroinvasi
- Menghindari diseksi kelenjar getah bening kontralateral pada kelenjar getah bening
ipsilateral yang tidak mengandung anak sebar
- Memberikan radioterapi ajuvan pada kasus dengan anak sebar kelenjar getah bening
yang multinodul
Penanganan yang dilakukan berdasarkan stadium dari kanker vulva yang ada. Himpunan
Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) dalam buku Pedoman Pelayanan Medik Kanker
Ginekologi edisi kedua pada tahun 2011 memberikan pedoman untuk penanganan kanker vulva
sebagai berikut:
- VIN I/II simtomatik dilakukan penanganan dengan bedah laser atau eksisi lokal.
- VIN III (lesi vulva in situ) dilakukan penanganan dengan bedah laser atau eksisi
lokal.
- Stadium IA (invasif superfisial) dilakukan eksisi lokal luas, tanpa diseksi KGB
inguinal.
- Stadium IB dilakukan vulvektomi radikal dengan diseksi KGB inguinal dengan insisi
terpisah (tripple incisions technique).
- Jika kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, tetapi tumor primer dapat direseksi,
berikan radioterapi pasca vulvektomi.
- Jika tumor primer tidak dapat direseksi diberikan terapi kemoradiasi. Bila secara
klinis kelenjar getah bening negatif, pertimbangkan reseksi kelenjar terlebih dahulu
dan dilanjutkan dengan radioterapi.
- Bila vulva dan kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, terapi kemoradiasi setelah
pembedahan.
Tumor primer stadium dini
Lesi < 2cm, KGB klinis (-) Lesi > 2 cm, KGB klinis (-)
Biopsi eksisional
CT Scan Pelvis
Positif Negatif
Observasi
Pemeriksaan klinis, inspekulo, colok dubur dilakukan pada setiap kunjungan untuk mencari
kemungkinan rekurensi. Pemeriksaan penunjang lain dilakukan hanya atas indikasi. Pengamatan
lanjutan dilakukan tiap tiga bulan pada tahun pertama dan selanjutnya tiap 4-6 bulan, hingga
dilakukan pengamatan lanjutan tiap tahun setelah 5 tahun.
2.3.11. PROGNOSIS
Bila mendapat terapi yang adekuat umumnya memberikan respons kesembuhan yang cukup
baik. Angka kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan pada pasien kanker vulva 70%.
Melanoma mempunyai prognosis lebih buruk, rata-rata angka kelangsungan hidup 5 tahun hanya
21,7%.
2.4. KANKER ENDOMETRIUM
2.4.1. EPIDEMIOLOGI
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat kanker endometrium merupakan
kanker yang terbanyak pada kanker ginekologi. Sekitar 75% dijumpai pada stadium I dimana
angka kelangsungan hidupnya 75% atau lebih. Diperkirakan sekitar 39.000 kasus baru terjadi di
Amerika Serikat selama tahun 2002, dan 41.200 kasus baru pada tahun 2006 dengan jumlah
kematian akibat kanker endometrium sebanyak 7.350. Dengan mortalitas sekitar 3,4 per 100.000
wanita diketahui bahwa sebenarnya prognosis kanker ini cukup baik apabila diketahui dan
ditangani dengan tepat. Di Indonesia, penelitian terakhir mendapatkan prevalensi kanker
endometrium di RSCM Jakarta mencapai 7,2 kasus per tahun.
Umumnya penderita kanker endometrium berusia sekitar 60 tahun karena 75% kanker ini
terjadi selama periode pascamenopause. Namun pada 25% kasus kanker endometrium terjadi
sebelum menopause dan sekitar 5% kasus terjadi di bawah 40 tahun.
2.4.2. ETIOLOGI
Kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa nulipara mempunyai risiko tiga kali lebih besar
menderita kanker endometrium dibanding multipara. Berbeda dengan kanker payudara, usia
pertama melahirkan tidak memperlihatkan adanya hubungan terhadap terjadinya kanker ini
walaupun masa laktasi yang panjang dapat berperan sebagai proteksi.
Usia menars dini (< 12 tahun) berhubungan dengan meningkatkan risiko kanker endometrium
walaupun tidak selalu konsisten. Kebanyakan penelitian menunjukkan usia saat menopause
mempunyai hubungan langsung terhadap risiko meningkatnya kanker ini. Sekitar 70% dari
semua wanita yang didiagnosis kanker endometrium adalah pascamenopause. Wanita yang
menopause secara alami di atas usia 52 tahun 2,4 kali lebih berisiko jika dibandingkan sebelum
usia 49 tahun.
2.4.3.b. HORMON
Kanker endometrium berhubungan dengan rangsangan estrogen terus menerus. Risiko terjadi
kanker endometrium pada wanita-wanita muda berhubungan dengan kadar estrogen yang tinggi
secara abnormal seperti polycystic ovarian disease yang memproduksi estrogen.
Terapi sulih hormon estrogen menyebabkan risiko kanker endometrium meningkat 2 sampai 12
kali lipat. Peningkatan resiko ini terjadi setelah pemakaian 2-3 tahun. Risiko relatif tertinggi
terjadi setelah pemakaian selama 10 tahun. Belakangan ini, kombinasi estrogen terapi dengan
progestin dipercaya dapat melawan efek karsinogenik.
Peningkatan risiko secara bermakna terdapat pada pemakai kontrasepsi oral yang
mengandung estrogen dosis tinggi dengan rendah progestin. Sebaliknya, pengguna kontrasepsi
oral kombinasi estrogen-progestin dengan kadar progesteron yang tinggi mempunyai efek
protektif dan menurunkan resiko kanker endometrium setelah 1-5 tahun pemakaian.
2.4.3.c. OBESITAS
Wanita pra-menopause dengan diabetes menyebabkan dua sampai tiga kali lebih besar
berisiko terkena kanker endometrium jika disertai dengan obesitas. Kemungkinan tingginya
kadar estrone dan lemak dalam plasma pada wanita diabetes menjadi penyebabnya. Hipertensi
menjadi faktor risiko pada wanita pascamenopause dengan obesitas.
Seseorang dengan riwayat kanker kolon dan kanker payudara meningkatkan risiko
terjadinya kanker endoetrium 2-3 kali lipat. Begitu juga dengan riwayat kanker endometrium
dalam keluarga.
Sebagian besar keluhan utama yang diderita pasien kanker endometrium adalah perdarahan
pascamneopause bagi pasien yang telah menopause dan perdarahan intermenstruasi bagi pasien
yang belum menopause. Keluhan keputihan adalah keluhan yang paling banyak menyertai
keluhan utama.
2.4.5. SKRINING
Sampai saat ini belum ada metode skrining untuk kanker endometrium. Hanya untuk pasien yang
termasuk dalam risiko tinggi seperti Lynch syndrome tipe 2 perlu dilakukan evaluasi
endometrium secara seksama dengan histeroskopi dan biopsi. Pemeriksaan USG transvaginal
merupakan tes non invasif awal yang efektif dengan prediksi nilai negatif yang tinggi apabila
ditemukan ketebalan endometrium kurang dari 5 mm. Pada banyak kasus histeroskopi dengan
instrumen yang fleksibel membantu dalam penemuan awal kasus kanker endometrium.
2.4.6. DIAGNOSIS
2.4.7. PATOLOGI
2.4.8. STADIUM
Terdapat dua jenis stadium pada kanker endometrium, yaitu stadium klinik dan stadium surgikal.
Stadium klinik bertujuan untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan, sedangkan stadium
surgikal untuk menentukan terapi adjuvannya. Kini, penentuan stadium telah bergeser dari
stadium klinik ke stadium surgikal.
Stadium Keterangan
Stadium IV Tumor menginvasi kandung kemih dan/atau mukosa usus, dan/atau metastasis jauh
Keterangan :
- Kanker endometrium dibagi atas derajat (G) sesuai dengan derajat diferensiasi histologi
- G1 = 5% atau kurang gambaran pertumbuhan padat
- G2 = 6-50% gambaran pertumbuhan padat
- G3 = >50% gambaran pertumbuhan padat
- Keterlibatan kelenjar endoserviks harus diperhatikan hanya pada stadium I dan stadium II
2.4.9.DIAGNOSIS BANDING
2.4.10.PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan laboratorium yang mencakup darah rutin, faal hati, faal ginjal, elektrolit.
2.4.11. TERAPI
Radiasi atau histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis merupakan pilihan terapi untuk
adenokarsinoma endoserviks yang masih terlokalisasi, sedangkan staging surgikal (surgical
staging) yaitu meliputi histerektomi simpel dan pengambilan contoh kelenjar getah bening para-
aorta adalah penatalaksanaan umum adenokarsinoma endometrium.
2.4.11.a. PEMBEDAHAN
Pasien dengan kanker endometrium diobati dengan tindakan histerektomi saja atau histerektomi
dan radiasi pasca bedah. Pada stadium dini dengan diferensiasi baik, cukup dilakukan
histerektomi totalis dan salpingo-ooforektomi bilateral. Penentuan stadium surgikal meliputi
insisi mediana, bilasan peritoneum, eksplorasi dan palpasi kemungkinan metastasis ke organ
abdomen, histerektomi total, dan salpingo-ooforektomi bilateral, kemudian uterus dibelah untuk
melihat kedalaman invasi ke miometrium; bila tidak jelas perlu dilakukan frozen section.
Limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dan para-aorta serta omentektomi parsialis
dilakukan berdasarkan kriteria kelompok risiko tinggi. Beberapa ahli hanya melakukan sampel
biopsi pada kelenjar getah bening, terutama pada yang mengalami pembesaran. Kriteria
kelompok risiko tinggi yaitu:
- Perluasan ke isthmus/serviks
Pada stadium II, dimana terbukti ada keterlibatan endoserviks, prosedur pengangkatan uterus
dilakukan secara radikal (histerektomi radikal), dengan salpingo-ooforektomi bilateral, diseksi
kelenjar getah bening pelvis, dan biopsi paraaorta bila mencurigakan, biopsi peritoneum, biopsi
omentum (omentektomi parsial). Akan tetapi, beberapa ahli tetap melakukan histerektomi total
apabila diyakini bahwa keganasan memang berasal dari endometrium (bukan dari endoserviks),
dengan alasan lokasi kekambuhan terbanyak terdapat di vagina dan angka kekambuhan yang
kurang dari 10%.
Pada stadium III dan IV, dilakukan pembedahan, radiasi, dan/atau kemoterapi. Sangat
dianjurkan untuk melakukan pegangkatan tumor primer walaupun telah terdapat metastasis ke
organ abdomen.19,24
2.4.11.b. RADIOTERAPI
Stadium I dan II yang inoperabel secara medis hanya diberi terapi radiasi, angka kelangsungan
hidup 5 tahunnya menurun 20-30% dibanding pasien dengan terapi operasi dan radiasi. Pada
pasien dengan resiko rendah (stadium IA grade 1 atau 2) tidak memerlukan radiasi ajuvan pasca
operasi. Radiasi ajuvan diberikan apabila:
- Penderita stadium IB derajatIII / IC, derajat1,2 atau 3, apabila berusia di atas 60 tahun,
dan/atau invasi melebihi setengah miometrium
- Penderita dengan stadium IIIA atau lebih diberi terapi secara tersendiri, tergantung letak
metastasis, dan ajuvan Cisplatin dan Doxorubicin. Perluasan radiasi paraaorta diberikan bila:
- KEMOTERAPI
Kemoterapi diberikan pada pasien dengan kanker endometrium residif. Cisplatin dan
doxorubicin adalah agen yang paling sensitif. Agen kemoterapi lain adalah paclitaxel,
doxorubicin, dan ifosfamide.
- HORMON
Tumor yang mempunyai reseptor estrogen dan progesteron akan memberikan respon yang lebih
baik terhadap terapi hormon. Pemberian progestin oral sama efektifnya dengan pemberian
intramuskular. Sepertiga pasien yang mengalami kekambuhan memberikan respon terhadap
progestin. Hormon yang dapat diberikan yaitu:
Pengamatan lanjut (follow up) dilaksanakan 2 bulan sekali pada 2 tahun pertama, selanjutnya
setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Setelah 5 tahun, pemeriksaan dilaksanakan 5 tahun
sekali. Pemeriksaan terutama ditujukan pada kelenjar getah bening pelvis. Juga diperhatikan
timbulnya massa di pelvis, perdarahan pervaginam, dan gangguan respirasi. Pemeriksaan
penanda tumor tidak ada yang spesifik. Pemeriksaan radiologi (termasuk CT-Scan / MRI)
dilakukan bila ada indikasi.
2.5. PENYAKIT TROFOBLAS GANAS
2.5.1. EPIDEMIOLOGI
Keganasan ini dapat berasal dari mola hidatidosa dan non-mola hidatidosa. Insiden mola
hidatidosa diperkirakan antara 0,26-2,1 setiap 1.000 kehamilan. Mola hidatidosa merupakan
sebagian dari Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG = Gestational Trophoblastic Disease / GTD).
Sebanyak 9-20% mola hidatidosa dapat bertransformasi menjadi keganasan Penyakit Trofoblas
Ganas (Gestational Trophoblastic Neoplasia / GTN).
Pada saat ini hampir seluruh kasus penyakit trofoblas ganas dapat diobati tanpa harus kehilangan
fungsi reproduksinya. Hal ini dikarenakan kemajuan dari deteksi dini, pemeriksaan penanda
tumor -hCG yang sensitif dan tersedianya kemoterapi yang sensitif.
2.5.2. SKRINING
Pemeriksaan -hCG merupakan salah satu tumor marker yang cukup sensitif untuk
menegakkan diagnosis PTG secara dini. Kewaspadaan yang tinggi terhadap keluhan perdarahan,
sub involusi dari uterus pasca mola hidatidosa, abortus atau pasca kehamilan yang lain dengan
ditunjang pemeriksaan -hCG dapat menegakkan diagnosis dini dari PTG.
Perdarahan pervaginam, pembesaran rahim setelah kehamilan dan adanya gejala klinis
dari metastasis atau komplikasi.
Diagnosis PTG berdasarkan data klinis dengan atau tanpa histologi. FIGO Oncology
Comittee meyimpulkan bahwa diagnosis tumor trofoblas gestasional pasca mola dapat
ditegakkan bila:
- Hasil pemeriksaan hCG pascamola menetap 4 kali berturut-turut selama 3 minggu atau
lebih (hari ke 1, 7, 14, 21 pascamola).
- Uterus lebih besar dari normal dengan kadar hCG lebih dari normal.
Beberapa jenis tumor trofoblas gestasional yaitu : koriokarsinoma klinis, mola invasif
(MI), koriokarsinoma, dan plasental site trofoblastic tumor (PSTT).
Penggunaan istilah ini masih menimbulkan kontroversi. Sebagian setuju dengan adanya bentuk
klinis ini, tetapi sebagian lain memakai istilah persistent trophoblastic disease. Yang dimaksud
dengan pengertian koriokarsinoma klinis adalah bila pada penderita pasca mola secara klinis
dan/atau dari laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan
trofoblas tanpa diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA.
Gambaran umum mola invasif adalah adanya invasi ke miometrium akibatnya dapat
terjadi perforasi atau perdarahan hebat dari uterus. Mola invasif dibedakan dari koriokarsinoma
dari adanya gambaran vili. Secara histopatologis mayoritas terdiri atas sel-sel trofoblas
intermediet yang dapat dibedakan dari sel-sel sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas secara
imunohistokimia.
Mochizuki mengemukakan bahwa mola invasif sebagian besar terjadi dalam kurun waktu
6 bulan pasca mola. Walaupun jarang menimbulkan metastasis, pengelolaannya sama seperti
pada koriokarsinoma.
PSTT berasal dari jaringan trofoblas di tempat implantasi plasenta mempunyai sifat-sifat
klinik yang berbeda dari koriokarsinoma. Walaupun ukuran tumornya besar, pada PSTT kadar
hCG tidak dapat dipakai sebagai tolak ukur pemantauan keberhasilan pengobatan yang andal
karena tumor ini mayoritas berasal dari sel-sel trofoblas intermediate yang menghasilkan hCG
lebih rendah daripada sel-sel sinsitio trofoblas. Di samping itu, PSTT lebih resisten terhadap
kemoterapi sehinga sering diperlukan terapi kombinasi dengan pemberian serta dosis yang lebih
intensif.
2.5.8. KORIOKARSINOMA
Penyakit trofoblas ganas sifatnya unik karena prognosis tidak hanya bergantung kepada
luasnya penyakit secara anatomis, tetapi juga pada adanya faktor-faktor prognostik. Sistem
staging yang dipergunakan pada keganasan-keganasan lain tidak berlaku untuk penyakit ini
karena pada sebagian besar kasus diagnosis tidak ditegakkan atas dasar gambaran histologis,
tetapi dengan menggunakan parameter-parameter klinis dan biokimia.
Metastasis ke organ-organ yang jauh dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Bahkan
dapat terjadi tanpa disertai adanya penyakit primernya baik pada uterus maupun adneksa. Staging
pada penyakit trofoblas gestasional harus menyertakan faktor-faktor prognosis sebagai tambahan
dari penilaian manifestasi penyakit secara anatomis.
Penggunaan tabel resiko yang disusun berdasarkan penyebaran penyakit secara anatomis
dan faktor-faktor prognostik memungkinkan pengelompokan penderita berdasarkan skor yang
berbeda-beda. Sebagai panduan untuk pemakaian kemoterapi kombinasi pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi bertujuan untuk mengurangi kemungkinan resistensi terhadap obat.
Sistem staging saat ini untuk tumor trofoblas gestasional menggabungkan staging anatomis
(tabel 2.4) dan suatu sistem skoring prognostik (tabel 2.5). Diharapkan bahwa sistem staging ini
dapat mendukung perbandingan data yang objektif pada berbagai senter.
Stadium Kriteria
Stadium II Tumor menyebar keluar uterus, tetapi terbatas pada struktur genital (adnexa, vagina,
ligamen latum)
Stadium III Tumor menyebar ke paru-paru, dengan atau tanpa adanya keterlibatan traktus genital
Sebagai tambahan terhadap stadium anatomis, penting untuk mempertimbangkan variabel lain
untuk prediksi kecenderungan resistensi obat dan untuk membantu dalam pemilihan kemoterapi
yang tepat. Suatu sistem skoring prognostik, berdasarkan kepada suatu sistem yang pertama kali
dibuat oleh Bagshawe, dapat dipercaya untuk memprediksi potensi terjadinya resistensi
kemoterapi. WHO menetapkan sistem skoring dengan beberapa parameter dengan skor diberikan
0-4. Risiko rendah bila skor 6 atau kurang dan risiko tinggi bila skor 7 atau
lebih.
Skor
Faktor Resiko 0 1 2 4
Kadar hCG sebelum terapi < 103 103 <104 104 < 105 > 105
(IU/L)
- Pemeriksaan darah lengkap, termasuk hitung darah tepi, platelet, PT, PTT, fibrinogen,
kreatinin, dan tes fungsi hati
- Kuretase harus dilakukan jika ada perdarahan yang berasal dari uterus. Biopsi pada
tempat metastasis sangat berbahaya karena timbulnya perdarahan banyak pada tempat
biopsi
Jika skor prognostik 7 atau lebih, pasien dikategorikan sebagai risiko tinggi dan
membutuhkan kombinasi kemoterapi dengan pembedahan ataupun radioterapi untuk mencapai
remisi. Pasien dengan stadium I biasanya memiliki skor dengan risiko rendah, dan pasien-pasien
dengan stadium IV memiliki skor dengan risiko tinggi, sehingga perbedaan di antara risiko
rendah dan risiko tinggi berlaku atau diterapkan kebanyakan pada pasien-pasien dengan stadium
II atau III.
Kemoterapi yang digunakan pada PTG risiko rendah, skor WHO kurang dari 6, FIGO stadium I,
II, dan III:
- Metotreksat 0,4 mg/kgBB IM tiap hari selama 5 hari, diulang tiap 2 minggu
- Metotrekast 1,0 mg/kgBB selang satu hari sampai 4 dosis dengan ditambahkan
Leukovorin 0,1 mg/kgBB 24 jam setelah MTX, diulang tiap 2 minggu
Kemoterapi yang digunakan pada PTG risiko tinggi, FIGO stadium I, II, dan III dengan skor
WHO lebih dari atau sama dengan 7 atau stadium IV:
alternatif :
Pengelolaannya terpisah dari PTG yang lain. Terapi dilakukan secara kombinasi baik
dengan operasi maupun kemoterapi.
Pengamatan lanjutan untuk penderita PTG dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan hCG tiap minggu hingga kadarnya mencapai normal. Setelah itu dilakukan setiap
bulan selama 6 bulan, selanjutnya tiap 2 bulan sampai 6 bulan berikutnya untuk meyakinkan
hCG benar-benar normal.
Gambar 2.6. Algoritma penanganan tumor trofoblastik neoplasia. GTN=gestational
trophoblasticneoplasia; hCG=human chorionic gonadotropin; RT=radiation therapy.