Anda di halaman 1dari 14

1b.

Pengukuran Perkembangan Normal

Pertumbuhan harus diukur dan dibandingkan dengan menggunakan kurva


pertumbuhan. Mengikuti pola pertumbuhan anak dapat menuntun kita untuk
menentukan apakah pertumbuhan anak masih dalam batas normal atau perlu
evaluasi lebih lanjut. Pertumbuhan dinilai dengan cara memplotkan hasil
pengukuran pada kurva pertumbuhan dan membandingkan hasil pengukuran
dengan hasil pemeriksaan sebelumnya yang diperoleh pada pemeriksaan
kunjungan kesehatan rutin atau pada kunjungan lainnya. Nelson indo
Frekuensi pengukuran yang disarankan adalah setiap bulan sampai usia satu
tahun, setiap 3 bulan sampai usia 3 tahun, setiap 6 bulan sampai usia 6 tahun,
dan 1 tahun sekali pada tahun-tahun berikutnya.
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-memantau-
pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1

Acuan yang digunakan untuk tiap kelompok usia dapat berbeda. Saat ini
Indonesia menggunakan kurva pertumbuhan milik Badan Kesehatan Dunia
(WHO) dan kurva dari Center for Disease Control Prevention (CDC,2000). Untuk
pemantauan pertumbuhan anak Indonesia menggunakan WHO growth chart
2005 untuk anak usia 5 tahun. Indikator yang umum digunakan di Indonesia
adalah berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), meski ada juga indicator lain
seperti tinggi badan menurut usia (TB/U), dan berat badan menurut usia (BB/U).
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-memantau-
pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1

CARA MENGGUNAKAN GRAFIK PERTUMBUHAN WHO


a. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2 tahun)/tinggi badan
(anak di atas 2 tahun), berat badan.
b. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal / mendatar pada
kurva. Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO
menggambarkan umur dan panjang / tinggi badan.
c. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat
badan, umur, dan IMT.
d. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan
gambaran perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.
CARA MENGINTERPRETASIKAN KURVA PERTUMBUHAN WHO
a. Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau
rata-rata
b. Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan
WHO garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik
temu yang berada jauh dari garis median menggambarkan masalah
pertumbuhan.
c. Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di
bawah -2.
d. Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
e. Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan
WHO dapat menggunakan tabel berikut ini.

http://www.idai.or.id/professional-resources/growth-chart/kurva-pertumbuhan-
who
Karena kurva pertumbuhan diperoleh berdasarkan sampel populasi, kurva
pertumbuhan ini dibuat lebih halus dan kontinu. Pola pertumbuhan yang normal
memiliki pacu tubuh dan plateau, maka dapat ditemukan adanya pergesaran
pola pertumbuhan pada grafik. Pergeseran z score yang terlalu besar
memerlukan perhatian, begitu pula halnya dengan ketidaksesuaian antara z
score tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala. Setiap kecurigaan adanya
abnormalitas perumbuhan memerlukan pemantauan pertumbuhan secara lebih
ketat, evaluasi segera, atau keduanya. Nelson indo
2d. Faktor penyebab gangguan pertumbuhan

1. Faktor Internal
Faktor internal terdiri dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur,
jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom. Anak yang terlahir
dari suatu ras tertentu, misalnya ras Eropa mempunyai ukuran tungkai yang
lebih panjang daripada ras Mongol. Wanita lebih cepat dewasa dibanding
laki-laki. Pada masa pubertas wanita umumnya tumbuh lebih cepat daripada
laki-laki, kemudian setelah melewati masa pubertas sebalinya laki-laki akan
tumbuh lebih cepat. Adanya suatu kelainan genetik dan kromosom dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti yang terlihat
pada anak yang menderita Sindroma Down. Chamidah, AN. Deteksi Dini
Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jurnal Pendidikan
Khusus. 2009: 4(3).

2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal, faktor eksternal/lingkungan juga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Contoh faktor lingkungan yang
banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah gizi,
stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
tumbuh kembang anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang
terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya
bahan makanan dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang
pertumbuhan anak Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan
paling gawat terjadi pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut
adalah keadaan gizi ibu selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan
penyakit infeksi. (Sunawang, 2002)
Perkembangan anak juga dipengaruhi oleh stimulasi dan psikologis.
Rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga, misalnya dengan
penyediaan alat mainan, sosialisasi anak, keterlibatan ibu dan anggota
keluarga lain akan mempengaruhi anak dlam mencapai perkembangan yang
optimal. Seorang anak yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh orang
tua atau yang selalu merasa tertekan akan mengalami hambatan di dalam
pertumbuhan dan perkembangan.
Faktor lain yang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan dan
perkembangan anak adalah faktor sosial ekonomi. Kemiskinan selalu
berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek,
serta kurangnya pengetahuan. (Tanuwijaya, 2003).

The cause of a growth problem depends on the type of growth disorder in


question. Some growth problems are genetic, while others may be caused by
hormonal disorders or poor absorption of food. Causes for growth problems
usually fall into the following categories:
Familial short stature. Familial short stature is a tendency to follow the
family's inherited short stature (shortness).
Constitutional growth delay with delayed adolescence or delayed
maturation. A child who tends to be shorter than average and who enters
puberty later than average, but is growing at a normal rate may have a
growth delay.
Illnesses that affect the whole body (also called systemic diseases).
Constant malnutrition, digestive tract diseases, kidney disease, heart
disease, lung disease, diabetes, and severe stress can cause growth
problems.
Endocrine (hormone) diseases. Adequate production of the thyroid
hormone is necessary for normal bone growth. Cushing's syndrome, a
rare condition, can be caused by a myriad of abnormalities that result in
hypersecretion of corticosteroids by the adrenal gland. Growth hormone
deficiency involves a problem with the pituitary gland (small gland at the
base of the brain). The pituitary gland secretes several hormones,
including growth hormone.
Congenital (present at birth) problems in the tissues where growth occurs.
With a condition called intrauterine growth restriction (IUGR), slow growth
within the uterus occurs during a pregnancy. This can be caused by many
factors, including smoking during pregnancy. The baby is born smaller in
weight and length than normal, although proportionate to his/her short
stature.

http://www.stanfordchildrens.org/en/topic/default?id=growth-problems-90-P01956
3d. Patofisiologi Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii dengan hospes definitif kucing dan hospes perantara manusia. Manusia
dapat terinfeksi parasit ini bila memakan daging yang kurang matang atau
sayuran mentah yang mengandung ookista atau pada anak-anak yang suka
bermain di tanah, serta ibu yang gemar berkebun dimana tangannya tertempel
ookista yang berasal dari tanah.3
Perkembangan parasit dalam usus ku cing menghasilkan ookista yang dikeluar-
kan bersama tinja. Ookista menjadi matang dan infektif dalam waktu 3-5 hari di
tanah. Ookista yang matang dapat hidup setahun di dalam tanah yang lembab
dan panas, yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Ookista yang
matang bila tertelan tikus, burung, babi, kambing, atau manusia yang merupakan
hospes perantara, dapat menyebabkan terjadinya infeksi.3
Toksoplasmosis dikelompokkan menjadi toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan
toksoplasmosis kongenital yang sebagian besar gejalanya asimtomatik.
Keduanya bersifat akut kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak
sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lainnnya. 4 Pada ibu
hamil yang terinfeksi di awal kehamilan, transmisi ke fetus umumnya jarang,
tetapi bila terjadi infeksi, umumnya penyakit yang didapat akan lebih berat. Pada
toksoplasmosis yang terjadi di bulan-bulan terakhir kehamilan, parasit ter- sebut
umumnya akan ditularkan ke fetus tetapi infeksi sering subklinis pada saat lahir. 5
Pada ibu hamil yang mengalami infeksi primer, mula-mula akan terjadi pa-
rasitemia, kemudian darah ibu yang masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi
plasenta (plasentitis). Infeksi parasit dapat ditularkan ke janin secara vertikal.
Takizoit yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-fokus nekrotik
yang menyebabkan nekrosis plasenta dan jaring- an sekitarnya, sehingga
membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi ke- hamilan atau aborsi.5

3. Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363:1965-76.


4. Indra C. Epidemiologi Toxoplasma Gondii. Medan: Bagian Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
[homepage on the Internet]. c2003 [cited 2012 August 5]. Available from:
http://library. usu.ac.id/download/fkm/fernindra%20c4 .pdf
5. Denkers E, Gazzinelli RT. Regulation and function of T cell mediated immunity
during Toxoplasma gondii infection [homepage on the Internet]. c1998. [cited
2012 August 5]. Available from: http://www.cmr.asm.org/cgi/ content/abstract/1
1/4/569.1998
3e. Manifestasi Klinis Toksoplasmosis
Toksoplasmosis akuisita biasanya bersifat asimtomatik. Bila seorang ibu hamil
mendapat infeksi primer, kemungkinan 50% bayi yang dilahirkan menderita
toksoplasmosis kongenital, yang umumnya hanya bermanifestasi sebagai
limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah bening leher bagian belakang,
dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu. Tanda dan
gejala yang sering timbul pada ibu hamil ialah demam, sakit kepala, dan
kelelahan. Beberapa pasien menunjukkan tanda mononucleosis like syndrome
seperti demam, ruam makulopapular (Blueberry muffin) yang mirip dengan
kelainan kulit pada demam tifoid.6
Pada janin, transmisi toksoplasmosis kongenital terjadi bila infeksi T. gondii
didapat selama masa gestasi.7 Terdapat korelasi positif yang sangat bermakna
antara isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi neonatus. Korelasi
ini merupa- kan hasil penelitian otopsi toksoplasmosis kongenital dan
mengindikasikan bahwa infeksi tersebut didapat melalui sirkulasi uteroplasenta.8
Sekitar setengah dari wanita yang terinfeksi toksoplasmosis dapat menularkan
infeksi melintasi plasenta ke janin in utero. Transmisi penyakit ke janin lebih
jarang terjadi pada awal kehamilan, namun infeksi pada awal kehamilan ini dapat
menyebabkan gejala yang lebih parah pada janin, meskipun ibunya tidak
merasakan tanda dan gejala infeksi toksoplasma.1,9 Terdapat trias klasik pada
toksoplasmosis kongenital berat, yaitu: hidrosefalus, korioretinitis, dan kalsifikasi
intrakranial. Pada bayi baru lahir yang bergejala, salah satu atau keseluruhan
tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai gejala infeksi lainnya meliputi
hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia, limfadenopati, dan kelainan
susunan saraf pusat.5,10
Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada
toksoplasmosis kongenital. Gambaran lesi toksoplasmosis okular ialah adanya
fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul sebagai bercak putih
kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam pada vitreus.
Gejala yang timbul pada infeksi mata antara lain penglihatan kabur, fotofobia,
nistagmus, strabismus epifora, dan katarak.6
Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala neurologik
termasuk kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental, dan
mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang terinfeksi juga mengalami
penurunan.6
Sekuele yang didapatkan pada bayi baru lahir dapat dikategorikan atas sekuele
ringan dan berat. Pada sekuele ringan, ditemukan sikatriks korioretinal tanpa gan
guan visus atau adanya kalsifikasi serebral tanpa diikuti kelainan neurologik.
Pada sekuele berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal, adanya
sikatriks korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik.6
6. Hariadi R. Infeksi Toxoplasma gondii pada kehamilan. In: Ilmu kedokteran
Fetomaternal (Edisi Pertama). Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkum- pulan Obstetri dan Ginekologi, 2004; p.657-661.
7. Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K.
Toxoplasmosis. In: Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L,
Wenstrom K, editors. Williams Obstetric (Twentysecond Edition). New York:
McGraw Hill, 2005; p.1475-7.
8. Toksoplasmosis, aspek kesehatan dan penatalaksanaanya [homepage on the
Internet]. c2012 [cited 2012 August 5]. Available from: www.medilegis.
com/bancoconocimiento/T.
9. Nihira M. Toxoplasmosis [homepage on the Internet]. c2012 [cited 2012
August 5]. Available from: http://www.webmd. com/baby/toxoplasmosis.
3f. Diagnosis toksoplasmosis
Diagnosis toksoplasmosis pada kehamilan ditegakkan berdasarkan, antara lain: 6
1. Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya antibodi IgG
antitoksoplasma dengan titer 1/20 1/1000 .
2. Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer tinggi
(biasanya disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang menunjukkan
bahwa ibu hamil de- ngan seropositif mengalami reinfeksi. Keadaan ini
sering juga disebut ke- hamilan dengan toksoplasmosis eksaserbasi akut.
3. Kehamilan dengan seronegatif, yaitu darah ibu tidak mengandung antibodi
spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk mengulangi uji serologik
(cukup lateks aglutinasi) tiap trimester.
4. Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari seronegatif
menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita memiliki risiko tinggi
transmisi vertikal dari maternal ke janin serta mengakibatkan
toksoplasmosis kongenital. Hal ini merupakan indikasi pengobatan
antiparasit selama kehamilan.

Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu


(trimester II) dan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan di bawah
ini:5,6
1. Kordosintesis, yaitu pengambilan sam- pel darah janin melalui tali
pusat (1,5-3 ml) atau amniosentesis (aspirasi cairan ketuban 15-20 ml)
dengan tuntunan ultrasonografi.
2. Biakan darah janin atau cairan ketuban dalam kultur fibroblas, atau
diino- kulasikan ke rongga peritoneum tikus, diikuti isolasi parasit, yang
ditujukan untuk mendeteksi adanya parasit.
3. Pemeriksaan PCR untuk identifikasi DNA T. gondii pada darah janin
atau cairan ketuban.
4. Pemeriksaan ELISA pada darah janin untuk mendeteksi antibodi IgM
spesitik.
5. Petanda nonspesifik darah fetus yang terinfeksi seperti hitung
trombosit, hitung eritrosit, fetal IgM, eosinofil, dan enzim-enzim hati.
Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan dengan adanya IgM dan IgA
spesifik dari darah janin, ditemukannya parasit dari hasil kultur atau inokulasi
pada tikus, dan adanya DNA T. gondii pada pemeriksaan PCR darah janin atau
cairan ketuban.6

5. Denkers E, Gazzinelli RT. Regulation and function of T cell mediated immunity


during Toxoplasma gondii infection [homepage on the Internet]. c1998. [cited
2012 August 5]. Available from: http://www.cmr.asm.org/cgi/ content/abstract/1
1/4/569.1998
6. Hariadi R. Infeksi Toxoplasma gondii pada kehamilan. In: Ilmu kedokteran
Fetomaternal (Edisi Pertama). Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkum- pulan Obstetri dan Ginekologi, 2004; p.657-661.
13. Anwar AD. Toksoplasmosis dengan IgG positif dan IgM negatif tidak perlu
diterapi (Kontra). In: Djuwantono T, Permadi W. Bandung Controversies and
Consensus in Obstetrics & Gynecology, BCCOG. Jakarta: Sagung Seto, 2011;
p.168-187.
3g. Komplikasi toksoplasmosis pada ibu hamil
If a woman becomes infected with toxoplasmosis for the first time during
pregnancy or a few weeks before conceiving, there's a risk the infection could
spread to her unborn baby. This is known as congenital toxoplasmosis.
Congenital toxoplasmosis can cause a range of problems that are either
noticeable from birth or develop months or years later. The severity of the
condition varies depending on when the mother became infected.
The baby's symptoms will usually be more severe if the mother is infected early
on in the pregnancy, and less severe if they're infected later on.
Problems caused by congenital toxoplasmosis can include:
1. hydrocephalus (fluid on the baby's brain)
2. brain damage
3. epilepsy a condition that causes repeated seizures (fits)
4. hearing loss
5. ocular toxoplasmosis
6. learning disabilities
7. jaundice yellowing of the skin and the whites of the eyes
8. an enlarged liver or spleen
9. cerebral palsy a condition that affects a child's movement and co-
ordination
Early treatment of congenital toxoplasmosis may help reduce the risk of serious
or long-term problems, although it cannot reverse damage that has already
occurred.
http://www.nhs.uk/Conditions/Toxoplasmosis/Pages/Complications.aspx
3h. Pencegahan Toksoplasmosis

Infeksi primer toxoplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang


terkontaminasi ookista dan memakan daging yang kurang matang. Daging harus dimasak
hingga suhu 60oC dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai
bersih setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu.

Darah yang digunakan untuk tranfusi pada penderita dengan keadaan umum lemah
dengan hasil serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining
untuk antibodi terhadap T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak
dilakukan rutin, namun wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining
beberapa kali selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka
terpajan dengan situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena infeksi T.gondii.

Ernawati. 2012. Toxoplasmosis, Terapi dan Pencegahannya. Surabaya:


UWK.

3i. Tata Laksana


Pengobatan pada bayi
Kombinasi sulfadiazin, pirimetamin, dan asam folat biasanya diberikan untuk bayi
yang lahir dari ibu dengan hasil positif pada cairan amnionnya atau yang sangat
dicurigai menderita T. gondii. Dosis pirimetamin 2 mg/kgBB/hari (maksimal 50
mg), dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari untuk 2-6 bulan, dan setelah itu 1 mg/kgBB/hari
3 kali perminggu. Dosis sulfadiazin 50 mg/kgBB setiap 12 jam, dan dosis asam
folat 5 20 mg 3 kali perminggu.12

Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek biologi, epidemiologi, diagnosis, dan


penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Medika. 2001;5(XXVII):297-304.

Spiramycin is Drug Of Choice for maternal toxoplasmosis. Dose of 3 g / day PO in


divided doses 24 times / day for 3 weeks, stopped for 2 weeks and then repeated the cycle
of 5 weekly during pregnancy.2,24 If PCR positive amniotic fluid regimens should be
replaced with pyrimethamine 50 mg / day and sulfadiazine 3 g / day in 23 divided doses
for 3 weeks interspersed with the provision of spiramycin 1 g 3 times / day for 3 weeks or
can be given pyrimethamine 25 mg / day and sulfadiazine 4 g / day in divided doses 2-4
times / day was given until delivery.7

Becker J, Singh D, Sinert RH (2010). Toxoplasmosis. Available at:


http://www.emedicine.medscape.com/article/787505. Accessed on October 28, 2010
4b. Etiologi Khorioretinitis
Chorioretinitis is often caused by toxoplasmosis and cytomegalovirus infections
(mostly seen in immunodeficient subjects such as people with HIV or on
immunosuppressant drugs).[3] Congenital toxoplasmosis via transplacental
transmission can also lead to sequelae such as chorioretinitis along with
hydrocephalus and cerebral calcifications. Other possible causes of
chorioretinitis are syphilis, sarcoidosis, tuberculosis, Behcet's disease,
onchocerciasis, or West Nile virus.[4] Chorioretinitis may also occur in presumed
ocular histoplasmosis syndrome (POHS); despite its name, the relationship of
POHS to Histoplasma is controversial.[5][6]
3. Kasper; et al., eds. (2005). Harrison's Principles of Internal Medicine (16th
ed.). New York: McGraw-Hill. pp. 959, 1038. ISBN 0-07-140235-7.
4. Shaikh S, Trese MT (2004). "West Nile virus chorioretinitis". Br J
Ophthalmol. 88 (12): 159960. PMC 1772450 . PMID 15548822.
doi:10.1136/bjo.2004.049460.
5. Thuruthumaly C, Yee D. C., Rao P. K. (2014). "Presumed ocular
histoplasmosis". Current Opinion in Ophthalmology. 25 (6): 50812.
PMID 25237930. doi:10.1097/ICU.0000000000000100.
6. Nielsen J. S., Fick T. A., Saggau D. D., Barnes C. H. (2012). "Intravitreal
anti-vascular endothelial growth factor therapy for choroidal
neovascularization secondary to ocular histoplasmosis syndrome". Retina.
32 (3): 46872. PMID 21817958. doi:10.1097/IAE.0b013e318229b220.
4b. Etiologi Chorioretinitis
Uveitis Posterior (Chorioretinitis) dapat disebabkan oleh:6
Penyakit Infeksi
Virus
CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus
epstein barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut
Bakteri
Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan
endemic, nocardia, neisseria meningitidis, mycobacterium avium
intracellulare, yersinia, dan borrelia (penyebab penyakit Lyme).
Fungus
Candidia, histoplasma, cryptococcus, dan aspergillus
Penyakit noninfeksi
Autoimun
Penyakit Behcet, syndrome vogt-koyanagi-harada, poliarteritis nodosa,
oftalmia simpatis, vaskulitis retina
Keganasan
Sarcoma sel reticulum, melanoma maligna, leukemia, lesi metastatik
Etiologi tak diketahui
Sarkoidosis, koroiditis geografik, epitellopati pigment plakoid multifokal
akut, retinopati birdshot, epitellopati pigment retina
www.eMedicine.com/ Cystosarcoma Phyllodes.mht
Author: Ayesha Mirza, MD, Assistant Professor, Pediatric Infectious
Diseases, University of Florida College of Medicine Jacksonville
Coauthor(s): Diana E Guinazu, MD, Fellow in Pediatric Infectious
Diseases, University of Florida College of Medicine
Updated: Oct 16, 2009
Diakses tanggal: 16 April 2010
4c. Tatalaksana khorioretinitis
Pada prinsipnya pengobatan tergantung dari penyebabnya dan ditujukan
untuk mempertahankan penglihatan sentral, mempertahankan lapang
pandangan, mencegah atau mengobati perubahan-perubahan struktur mata
yang terjadi seperti katarak, glaucoma sekunder, sinekia posterior, kekeruhan
badan kaca, ablasia retina dan sebagainya.5
Medikamentosa yang sering dipakai pada Chorioretinitis yaitu:9
Steroid periokular
Steroid sistemik (oral/injeksi)
Antibiotik apabila penyebabnya bakteri, dan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya infeksi sekunder
Antiviral apabila penyebabnya adalah virus.
Immunosupressant
Implant steroid intra vitreum (masih dalam penelitian)

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata, 2002, Radang Uvea dalam Ilmu Penyakit
Mata, Edisi kedua, CV. Agung Seto: Jakarta. 159-17
9. http://www.uveitis.net/patient/posterior.php

6. TORCH and the effect on babies


8. Vision development on neonates

Anda mungkin juga menyukai