Jakarta sebagai ibu kota Indonesia merupakan salah satu kota besar di Indonesia ternyata
tidak luput dari permasalahan permukiman kumuh. Sensus penduduk 2010 yang dilakukan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk perkotaan telah meningkat lebih dari
7% dalam waktu satu dekade, yaitu menjadi 49,79% pada 2010, dari sebesar 42% pada 2000
sementara Pertumbuhan pembangunan perumahan atau kawasan permukiman di Jakarta hanya
mencapai 2,02 persen pertahun. Jumlah tersebut akhirnya menjadi lebih rendah daripada laju
pertumbuhan penduduk Jakarta yang mencapai 2,3 persen setiap tahunnya (Prabowo, 2012). Hal
ini menyebabkan semakin besarnya kantong-kantong permukiman di wilayah Jakarta.
Dari kelima wilayah yang ada di Jakarta, Jakarta Barat merupakan wilayah dengan luas
permukiman kumuh terbesar pada tahun 2008. Adapun Kelurahan Jembatan Besi yang
merupakan salah satu kelurahan di bawah Kecamatan Tambora ini menurut data BPS Jakarta
tahun 2010, di antara 95 RW kumuh di Jakarta Barat 2 diantaranya berasal dari kelurahan
Jembatan Besi. Dua RW yang masuk kedalam kategori permukiman kumuh adalah RW 3 dan
RW 9 dengan jumlah penduduk kumuh tertinggi berada di RW 3, yaitu sebanyak 3.132 jiwa
dengan 6 RT kumuh didalamnya.
Menurut data Kelurahan Jembatan Besi, jumlah penduduk di RW 3 meningkat dari
sebanyak 3.132 jiwa pada tahun 2008, menjadi 5.204 sampai dengan Februari 2013. Tingkat
kepadatan hunian yang sangat tinggi serta jumlah penduduk yang sangat banyak membuat
permasalahan yang dihadapi oleh warga RW 3 pun beraneka ragam. Beberapa permasalahan
yang seringkali ditemukan pada permukiman kumuh menurut Winayanti (2010), adalah
minimnya jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi, drainase (gorong-gorong), jalur
pejalan kaki, jalan akses darurat, serta minimnya akses ke fasilitas sekolah, kesehatan, ruang
bersama, dsb
Bagaimanakah upaya yang efektif dalam mengatasi permasalahan air bersih dan sanitasi di
Kelurahan Jembatan Besi untuk mencapai tujuan SDGs ke 6?
KELOMPOK 7