1. Tubercolosis
A. Definisi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa.Bakteri penyakit TBC ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).Bakteri penyakit TBC ini berbentuk
batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA).
Faktor penyebab penyakit TBC ini meliputi:
1. Lingkungan yang tidak higienis. TBC menyebar dengan cepat pada tempat tinggal
yang kurang ventilasi, sempit dan sesal, karenanya angka penularan tinggi terjadi di
lingkungan yang penuh sesak dan kumuh.
2. Kurangnya akses ke perawatan medis, baik karena ketidakmampuan ekonomi atau
ketidaktahuan. Kondisi ini membuat ia tidak mendapatkan tindakan medis yang
cukup sehingga memperburuk penyebaran.
3. Turunnya kekebalan tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, maka
sel darah putih akan menjadi benteng pelindng dari bakteri TB. Tapi jika sistem
imunnya berkurang, maka kuman akan lebih mudah masuk ke dalam tubuh.
4. Kontak dengan penderita penyakit TBC lainnya. Jika hidup dengan penderita TBC
aktif yang tidak mendapatkan pengobatan akan membuat risiko tertular semakin
tinggi, baik di lingkungan keluarga ataupun rekan kerja.
5. Jenis kelamin dan usia. Umumnya jenis kelamin laki-laki dan orang dewasa lebih
berisiko terkena TBC.
B. EPIDEMIOLOGI
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, sekitar
8 juta penduduk dunia diserang TB, kematian 3 juta orang per tahun (WHO,1993).
Di Indonesia TB penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran
pernafasan
WHO memperkirakan di Indonesia terjadi 175.000 kematian setiap tahun akibat
tuberkulosis dan terdapat 550.000 kasus tuberkulosis (2002)
C. FAKTOR RESIKO :
1. Faktor Umur : penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
2. Faktor Jenis Kelamin : TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
3. Tingkat Pendidikan : Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi, dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku
hidup bersih dan sehat.
4. Pekerjaan : Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di
daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
5. Kebiasaan Merokok : Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang
lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari
5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi
TB Paru.
6. Pencahayaan : Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang
lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif
tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
7. Ventilasi : Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Umumnya
temperatur kamar 22 30C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
8. Status Gizi : Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang
akanberpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
9. Keadaan Sosial Ekonomi : Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,
keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi
konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status
gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru
D. PATOGENESIS
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB saluran napas bersarang di jaringan paru memebentuk sarang
primer afek primer peradangan saluran getah bening menuju hilus (Iimfangitis
lokal) pembesaran kelenjer getah bening di hilus (Iimfadenitis regional).
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
3. menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya)
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Tertelannya dahak bersama ludah. Penyebaran juga terjadi ke dalam
usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan Iimfogen. Sangat bersangkutan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
2. Tuberkulosis post-primer
Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer. Tuberkulosis post primer mempunyai macam-macam nama, tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang
terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menulari sekitarnya.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umunya terletak di segmen
apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti
salah satu jalan:
1. Diresorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti,
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju tadi keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang sebutkan diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan sebagai bintang (stellate shaped).
B. Klasifikasi
1. TB Paru
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
2 dari 3 spesimen dahak positif
Satu spesimen dahak positif + radiologi tuberkulosis aktif.
Satu spesimen dahak positif + biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
dahak 3 kali negative + gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif + tidak respons antibiotik spektrum luas
dahak negatif + biakan negatif + gambaran radiologik positif
2. Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru
belum pernah mendapat OAT atau menelan OAT kurang dari satu bulan
b. Kasus kembuh ( relaps )
pernah mendapat OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
c. Kasus pindahan (transfer)
sedang pengobatan di kabupaten lain pindah berobat ke kabupaten ini.
d. Kasus lalai berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali
berobat.
e. Kasus gagal
penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih
penderita BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan.
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategoti 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
mikroskopik negatif
Gejala klinik tidak ada
Radiologik lesi TB inaktif
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
2. TB Ekstra Paru
a. TB ekstra paru ringan
Misalnya : TB kelenjer limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjer adrenal.
b. TB ekstra paru berat :
Misalnya : meningitis, millier, parikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
C. Anamnesis
1. Gejala respiratorik
c. Batuk 3 minggu
d. Batuk darah
e. Sesak napas
f. Nyeri dada
(TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadentis tuberkulosis akan
terjadi pembesaran KGB yang lambat dan tidak nyeri)
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
D. Pemeriksaan Fisik
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior.
- suara napas bronkial, amforik,
- suara napas melemah, ronki basah
- tanda-tanda penerikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyak cairan di rongga
pleura.
- perkusi pekak
- suara napas yang melemah tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada Iimfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran KGB tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang didaerah ketiak. Pemeriksaan kelenjer tersebut
dapat menjadi cold abscess.
E. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan spesimen
1. Bahan pemeriksaan: dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavege/BaL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara :
A. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
B. Dahak pagi (keesokan harinya)
C. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi )
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan / ditampung dalam pot
yang bermulut lebar, berpenampung 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor.
- Pemeriksaan Radiologik
foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. (Pemeriksaan lain atas indikasi : foto toraks
apiko-lordotik, ablik, CT-Scan)
1. TB aktif :
a) bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atau dan segmen
superior lobus bawah paru
b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
c) Bayangan bercak milier
d) Efusi pleura unilateral
2. TB inaktif
a) Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan segmen superior
bawah paru
b) Kalsifikasi
c) Penebalan pleura
Pemeriksaan Darah
1. Laju endap darah (LED)
2. Pemeriksaan serologi:
a. Enzym linked immunosorbent assay ( ELISA)
b. Mycodot
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Pemeriksaan lain
a. analisis cairan pleura & uji Rivalta pada penderita efusi pleura Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat
b. Polymerase chain reastion (PCR)
Uji tuberkulin
F. Pengobatan Tuberkulosis
Dosis OAT
1. Rifampisin 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x / minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg/ kali
2. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg,
- 10 mg/kg BB 3 x seminggu,
- 15 mg/kg BB 2 x seminggu
- 300 mg/hari untuk dewasa.
- Intermiten : 600 mg / kali
3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x seminggu, 50 mg/kg BB 2 x
seminggu atau :
BB > 60 Kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol : fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutkan 15 mg/kg
BB, 30 mg/kg BB 3 x seminggu, 45 mg/kg BB 2 x seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB /kali
5. Streptomisin : 15 mg/kg BB/kali
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40-60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kon\mbinasi dosis tetap
2. Rifampisin
a. Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
b. Efek samping yang berat tapi jarang:
Hepatitis
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat.Air mata, air
liur.karena proses metabolisme obat
3. Pirazinamid
Efek samping utama: hepatitis, Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-
kadang dapat menyebabkan sarangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan sisebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbuhan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah
dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah
obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama: kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran. Gejala efekya samping yang terlibat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan.
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit.Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan.
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
G. Evaluasi
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk
mengetahui terjadinya kekambuhan.Yang dievaluasi adalah mikroskopi BTA dahak dan foto
toraks.Mikroskopi BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks
6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
TB milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat : 2 RHZE / 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang samapi dengan 7 bulan 2RHZE / 7 RH
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
a. tanda / gejala meningitis
b. sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
5. Kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7, lama pemberian
4-6 minggu
TB Ekstra Paru
Paduan obat 2 RHZE / 10 RH
1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE / RH diberikan
sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
2. Menurut WHO paduam obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV / AIDS
3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada kulit
4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH, rifampisin) karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. INH diberikan terus menerus seumur hidup
7. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi
FAKTOR RESIKO
INFLAMASI
PENCETUS
GEJALA
Inflamasi Akut
1. Reaksi Asma Tipe Cepat: Alergen terikat pada IgE yang menempel pada sel mast degranulasi
sel mast mengeluarkan preformed mediator (histamin, protease, leukotrin, prostaglandidn dan
PAF) kontraksi otot polos bronkus sekresi mukus dan vasodilatasi.
2. Reaksi Fase Lambat: timbul antara 6 9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi: limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan
otot polos bronkus.
Asma Alergen
C. Anamnesis
Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Bersifat episodik, sering kali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala timbul / memburuk terutama malam / dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
D. Pemeriksaan Fisik
- Wheezing mengi pada auskultasi.
- sesak napas
- hiperinflasi.
- pada sarangan yang sangat berat disertai gejala lain: sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
E. Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan
dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2 - 3 nilai yang reproducible dan
acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1 / KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Uji Provokasi Bronkus
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya
hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE.
F. Diagnosis Banding
Dewasa
Penyakit paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis
G. Klasifikasi
Derajat Kekambuhan/serangan Terapi
Step 1 Kurang dari 1 kali dalam seminggu Obat reliever:
Intermittent Asimptomatis dan PEF normal di antara Beta agonis inhaler
serangan
Step 2 Satu kali atau lebih dalam 1 minggu Obat Kontroller:
Mild persistent - Medikasi 1x/hari
- Bisa ditambahkan bronkodilator long
acting
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Step 3 Setiap hari Obat Kontroller:
Moderate persistent Menggunakan B2 agonis setiap hari. - Kortikosteroid inhaler harian
Serangan mempengaruhi aktivitas - bronkodilator long acting harian
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Step 4 Terus menerus. Obat Kontroller:
Severe persistent Aktivitas fisik terbatas - Kortikosteroid inhaler harian
- bronkodilator long acting harian
- Kortikosteroid oral
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
H. Terapi
Obat-obatan pada asma bronkial secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Reliver medication termasuk golongan ini adalah bronkodilator baik agonis 2 waktu kerja pendek
maupun teofilin dan garamnya
Controller medication termasuk golongan ini adalah obat-obat antiinflamasi antara lain:
kortikosteroid, kromolin, ketotifen, sodium nedocromil, agonis 2 masa kerja panjang dan
antileukotrien.
Kortikosteroid
- inhalasi
Beclomethasone
Budesonide
Fluticasone
Sodium Cromoglycate
Sodium Nedocromil
Antileukotrien
Salmeterol
memberikan proteksi terhadap berbagai macam stimulus yang mengakibatkan bronkokonstriksi.
Salmeterol mempunyai mula kerja yang lambat sehingga tidak cocok unutk asma yang akut.
Jenis-jenis Inhaler
pMDI (pressurised metered dose inhaler)
pMDI plus spacer
DPI (dry powder inhaler)
PNEUMONIA
A. Definisi
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,
parasit). (Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk). Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain)disebut pneumonitis
B. Etiologi
di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia
aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob
C. Klasifikasi
1. Berdasar klinis dan epidemiologis :
A. Pneumonia komuniti
B. Pneumonia nosokomial
C. Pneumonia aspirasi
D. Pneumonia pada penderita immunocompromised
.
2. Berdasar bakteri penyebab
A. Pneumonia bakterial / tipikal.
B. Pneumonia atipikal, disebebkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia.
C. Pneumonia virus
D. Pneumonia jamur. Pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).
C. Anamnesis
- demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 C
- batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
- sesak napas
- nyeri dada.
D. Pemeriksaan fisis
- tergantung dari luas lesi di paru.
- I : bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
- P : fremitus dapat mengeras
- P : redup
- A : suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah kasar pada stadium resolusi.
E. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Foto toraks (PA / lateral ): infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram ,
penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
- Gambaran pneumonia lobaris Sitreptococcus pneumonia
- infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia Pseudomonas aeruginosa
- konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan Klebsiela pneumoniae
b. Laboratorium
- Leukositosis
- Shift to the left
- peningkatan LED
- diagnosis etiologi: pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi.
- Analisis gas darah hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.
F. Pengobatan
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam.
b. Penderita rawat inap diruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila
dapat distabilkan maka penderita dirawat inap ruang rawat biasa ; bila terjadi
respiratorydistress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
G. Komplikasi
Efusi pleura
Empiema
Abses paru
Pneumotoraks
Gagal napas
Sepsis
H. Pneumonia Berat
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di
bawah ini.
- Kriteria minor :
Frekuensi napas > 30/menit
PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
- Kriteria mayor:
Membutuhkan ventilasi mekanik
Infiltrat bertambah > 50%
Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
Kreatinin serum 2 mg/dl atau peningkatan 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.
PPOK
( Penyakit Paru Obstruktif Kronik )
penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang
tidak sepenuhunya reversibel. bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya.
A. Faktor Risiko
Asap rokok
Polusi udara
Infeksi saluran napas bawah bertulang
B. Anamnesis
- batuk
- produksi sputum
- sesak napas
- aktiviti terbatas
C. Pemeriksaan fisik
- barrel chest
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Fremitus melemah, sela iga melebar
- Hipersonor
- Suara napas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi
D. Gambaran Radiologi
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Pelebaran sela iga
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Bulla
- Jantung pendulum
E. Diagnosis Banding
PPOK Asma CHF
Onset usia pertengahan usia dini Usia tua atau
pertengahan
Riwayat lama merokok alergi, rintis dan atau Riwayat hipertensi
eksim
Riyawat asma dalam
keluarga
Keluhan Sesak saat aktiviti Gejala bervariasi dari sesak
Gejala progresif hari ke hari
lambat Gejala pada waktu
malam/dini hari
Pemeriksaan Fisik Hipersonor Wheezing Ronki basah halus di
basal paru
Radiologi Hiperinflasi, Kebanyakan normal pembesaran jantung
Hiperlusen, dan edema paru
Diafragma mendatar
Hambatan aliran umumnya ireversibel umumnya reversibel
udara
F. Penatalaksanaan
4 komponem program tatalaksana :
1. Evaluasi dan monitor penyakit
2. Menurunkan faktor risiko berhenti merokok
3. Tatalaksana PPOK stabil
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto toraks
PA/lateral: kelainan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1
cm. Mendukung keganasan: tepi iregular, identasi pleura, tumor satelit, invasi ke
dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.
b. CT-Scan toraks
Dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik
c. Pemeriksaan radiologik lain
Kekurangan foto toraks maupun CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah
terjadinya metastasis di luar rongga toraks (metastasis jauh). Untuk maksud itu
dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya brain-CT, bone survey, USG
abdomen
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
b. Biopsi aspirasi jarum
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
e. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
f. Torakoskopi medik
g. Sitologi sputum
C. Pengobatan
2. Radioterapi
Radioterapi dapat bersifat terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi kuratif, menjadi
bagian dari kemoradioterapi neoadjuvan untuk stage IIIA. Pada kondisi tertentu,
radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 6000 cGy, dengan cara
pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.
3. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan ( performance status ) harus lebih dari
60 menurut skala karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan
dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen
kemoterapi.Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat antikanker dapat
dilakukan.
4. Imunoterapi
5. Hormonoterapi
6. Terapi gen
EDEMA PARU/ ARDS
Secara anatomi terbagi 2:
Edema interstisial
Edema alveolar
A. Patogenesis
Terbagi 2 peristiwa:
Cairan dari rongga vaskuler insterstisium
Masuknya cairan ke rongga alveolar
Kekuatan melawan transudasi cairan , migrasi cairan keluar dari rongga vaskuler lebih
sensitif terhadap perubahan tekanan hidrostatik kapiler.
Perubahan intraseluler (kadar kalsium, radikal oksigen bebas & eikosanoid) perubahan sel
endotel membuka junction interseluler cairan keluar dari rongga vaskuler.
Kecepatan edema interstisial > kapasitas normal berbagai mekanisme klirens paru seperti
aliran limfe edema interstisial edema alveolar
Pembengkakan interstisial barrier epitel rusak alveolar flooding
B. Etiologi
Sepsis/sindroma sepsis
Trauma berat (transfusi masif, fraktur multipel & kontusio paru)
Pneumonia berat
Aspirasi isi lambung
Pankreatitis hemoragik akut
Inhalasi asap atau gas toksik, dll
C. Gejala Klinis
ARDS dapat terjadi selama 12-48 jam sampai beberapa hari, berupa
dispnea
hipoksemia dengan pernafasan cepat dan dangkal.
Umumnya penderita membutuhkan intubasi & ventilator.
D.Laboratorium
Analisa gas darah abnormal:
FiO2 < 200
Alkalosis respirasi asidosis respiratorik karena eliminasi CO2
Leukositosis/leukopenia, anemia, trombositopenia.
Jarang terjadi DIC akibat sepsis, trauma berat atau trauma kepala.
MODS gangguan faal hati
E.Foto thoraks
infiltrat difus bulateral ringan atau tebal sesuai gambaran edema paru, interstisial atau alveolar,
bercak-bercak atau konfluens.
F. Terapi
1. Pemasangan intubasi dan ventilator
2. Obat-obat tidak spesifik: kortikosteroid, NO inhalasi
3. Perfluokarbon, penggunaan surfaktan aerosol, PGE1, Almitrin untuk stimulasi pernafasan
4. Ketokonasol obat jamur yang dapat menghambat beberapa jalur proinflamatori
5. Pengaturan cairan dengan mereduksi volume intravaskuler menggunakan diuretika
6. Posisi Prone, telentang telungkup dapat memperbaiki oksigenasi.
BRONKIEKTASIS
pelebaran bronkus yang menetap. Dapat disebabkan kel kongenital, infeksi kronik, faktor
mekanis
D. Gejala Klinis
- Batuk-batuk dengan banyak sputum
- sputumSering berbau busuk.
- Batuk terutama timbul pada perubahan posisi.
- Bisa didapatkan batuk darah berulang.
G. Terapi
- Antibiotik.
- Mukolitik (asetil sistein), vitamin A, vitamin E, dan vitamin C.
- Fisioterapi postural drainage, bila tak menolong lakukan bronkoskopi.
- Pembedahan bila: berulang atau massif atau Batuk dengan sputum yang terus
mengganggu.
H. Komplikasi
- Sepsis
- Gagal napas.
GAGAL NAFAS
A. Gejala Klinis
Non spesifik dan mungkin minimal walaupun terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidemia
berat.
Tanda utama kecapaian pernafasan:
penggunaan otot bantu nafas, gerakan abdomen paradoksal
takipnea, takikardia,
tidal volume ,
pola nafas ireguler atau gasping
gerakan abdomen paradoksal.
Hipoksemia akut aritmia jantung & koma
Hiperkapnia asidemia peningkatan drive ventilasi kapasitas buffer di otak
penurunan rangsangan pH di otak drive
Asidemia hebat (pH < 7,3) vasokontriksi arteriolar paru, dilatasi vaskuler sistemik,
kontraktilitas miokard menurun, hiperkalemia, hipotensi & kepekaan jantung aritmia
B. Pemeriksaan Penunjang
Analisa gas darah
Evaluasi fungsi neuromuskular pola pernafasan dan uji fungsi paru
Perhitungan fraksi dead space dan produksi CO2
C.Terapi
Pemberian O2
Peningkatan fraksi O2 memperbaiki PaO2 sampai 60-80 mmHg cukup untuk
oksigenasi jaringan dan mencegah hipertensi pulmonal.
Pemberian O2 berlebih memperberat hiperkapnia
Menurunkan kebutuhan oksigen dengan memperbaiki & mengobati febris, agitasi, infeksi,
sepsis, dll. Usahakan Hb 10-12 g/dl
Tekanan positif seperti CPAP, BiPAP dan PEEP
Perbaiki elektrolit, balans pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenik
Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan, bronkospasme, peningkatan sekret
trakeobronkial, dan infeksi
Kortikosteroid jarang diberikan secara rutin
Perubahan posisi tiduran meningkatkan volume paru = 5-12 cm H2O PEEP
Posisi Prone baik untuk penderita ARDS.
Drainase sekret trakeobronkial yg kental : mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yg
dihirup, perkusi, vibrasi dada & latihan batuk efektif.
Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi
Bronkodilator jika timbul bronkospasme
Intubasi dan ventilator jika terjadi asidemia, hipoksemia & disfungsi sirkulasi progresif
BRONKITIS AKUT
= proses radang akut yang pada umumnya disebabkan oleh virus. Akhir akhir ini ternyata banyak
juga disebabkan oleh Mycoplasma dan Chlamydia.
A. Gejala Klinis
- Batuk-batuk
- biasanya dahak jernih
- sakit tenggorok
- nyeri dada
- biasa disertai tanda bronkospasme.
- Demam tidak terlalu tinggi.
B. Pemeriksaan Penunjang
- Foto rontgen toraks, untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia atau
tuberculosis. Pada bronchitis akut tidak terlihat kelainan di foto thorax
- Pemeriksaan serologi untuk melihat infeksi Mycoplasma atau Chlamydia
D. Terapi
- Simtomatis bila disebabkan virus.
- Bila infeksi karena Mycoplasma atau Chlamydia dapat diberi :
Tetrasiklin 4 x 500 mg atau
Doksisiklin 2 x 100 mg atau
Eritromisin 4 x 500 mg
EMPIEMA
B. Pemeriksaan Fisik
- Sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan
- perkusi pekak
- mediastinum terdorong ke sisi yang sehat
- suara napas melemah.
- Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil
karena terbentuknya schwarte.
C.Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks
- Pungsi pleura untuk menentukan penyebabnya, apakah kuman, parasit atau
jamur.
D. Diagnosis Banding
- Pleuritis eksudativa
- Abses
- Tumor
E.Terapi
- Drainase nanah dengan WSD yang cukup besar agar nanah keluar dengan lancar.
- Bila nanah kental dilakukan pencucian rongga pleura dengan larutan NaCL 0.9 %
500 ml ditambah dengan 25 ml larutan povidon iodine (betadine solution) setiap
hari sampai rongga pleura bersih.
- Antibiotik sesuai kuman penyebabnya.
- Bila dalam 2 minggu tidak membaik perlu dilakukan tindakan operasi.
ABSES PARU
peradangan di jaringan paru yang disertai pembentukan rongga yang berisi nanah.
A. Gejala Klinis
- Demam tinggi.
- Batuk mula-mula sedikit dahaknya, suatu saat dahak dapat banyak sekali karena rongga abses
berhubungan dengan bronkus yang agak besar dan isi abses dibatukkan keluar. Seringkali
dahak berbau busuk atau bercampur darah.
- Nyeri dada
- sesak napas.
- Biasanya dijumpai ronki basah.
B.Pemeriksaan Penunjang
- Foto rontgen toraks PA dan lateral.
- Laboratorium : leukositosis, LED meninggi..
- Pemeriksaan sputum , pewarnaan Gram, Kultur dan pemeriksaan resistensi terhadap antibiotik.
D. Terapi
- Penisillin 2 x 1.2 juta sampai rongga abses menutup.
- Kloramfenikol 4 x 500 mg selama 2 minggu.
- Bila dahak berbau busuk yang umumnya disebabkan infeksi kuman anaerob ditambahkan
metronidazol 3 x 500 mg.
- Obat pilihan lain amoksillin + asam klavulanat 3 x 1 g selama 3-5 hari, dilanjutkan 3 x 500 mg
sampai rongga abses menutup, Clindamycin 2 x 500 mg
2. Terapeutik
- Mengeluarkan cairan / udara untuk mengatasi keluhan
- Tindakan awal (punksi percobaan)sebelum pemasangan WSD
B. Indikasi :
- Efusi pleura
- Pneumotoraks
- Hidropneumotoraks
C. Kontraindikasi
Absolut :Tidak ada
Relatif :
- Keadaan umum buruk, kecuali punksi pleura dengan tujuan terapeutik
- Infeksi kulit yang luas di daerah punksi
- Kelainan hemostasis
D. Prosedur :
Bahan dan alat :
- Stetoskop - Plester
- Sarung tangan steril - Three way stopcock
- Spuit 5 cc dan 50 cc - kasa steril
- Kateter vena No. 14 - Betadin
- Blood set
- Lidocain 2%
- Alkohol 70%
- Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi yang sakit
menghadap dokter yang akan melakukan punksi.
- Beri tanda (dengan spidol atau pulpen) daerah yang akan di punksi Pada linea aksilaris
anterior atau linea midaksilaris.
- Desinfeksi pasang duk steril
- Anestesi lidokain 2% dimulai dari subkutis, lalu tegak lurus ke arah pleura (lakukan tepat
di daerah sela iga), keluarkan lidokain perlahan hingga terasa jarum menembus pleura.
Pastikan tidak ada perdarahan.
- Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan aspirasi beberapa
cairan pleura.
- Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup, tarik jarum dengan
cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi dan bekas lukatusukan segera ditutup
dengan kasa betadin, tetapi jika bertujuan terapeutik maka pada lokasi yang sama dapat
segera dilakukan pengeluaran cairan / udara dengan teknik aspirasi sebagai berikut :
E. Interpretasi :
- Makroskopis cairan : santokrom, serosantokrom, serohemoragis, hemoragis, pus.
- Jenis cairan :
Transudat : uji Rivalta (-), analisis :protein < 3 gr/dl, leukosit < 1000 sel/ml, glukosa -
glukosa serum, LDH sama atau sedikit lebih tinggi dibanding LDH serum.
Eksudat : uji Rivalta (+), analisis : Rasio kandungan cairan pleura dibanding serum
untuk protein > 0,5 dan LDH > 0,6 serta perbandingan antara LDH cairan pleura dengan
batas angka normal adalah > 2/3.
PLEURODESIS
Adalah tindakan untuk melekatkan pleura parietalis dan visceralis dengan instilasi bahan
sklerosan.
A. Indikasi :
- Pneumotoraks berulang
- Pneumotoraks dengan lesi luas
- Efusi pleura ganas
B. Kontra Indikasi :
- Absolut : Tidak ada
- Relatif : Kelainan faal hemostasis (sesuai KI pemasangan kateter toraks).
D. Prosedur Tindakan :
- Posisi pasien duduk
- Siapkan O2
- Berikan lidocain 2% melalui selang WSD, kemudian pasien diubah ubah
posisinya agar merata di seluruh permukaan pleura.
- Masukkan zat tetrasiklin yang telah dilarutkan
- Bilas dengan NaCl
- Pasien diubah ubah posisinya
- Klem WSD selama 2 jam
- Klem dipasang continuous suction dengan tekanan 20 cm H2O
- Observasi efek samping
- WSD dilepas setelah 2 x 24 jam
E. Interpretasi :
- Paru tetap mengembang
- Efusi pleura berkurang atau minimal
8.
BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
2005
I. PENDAHULUAN
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai batuk rejan atau batuk 100
hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui
adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram (-)
Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang
dari 5 tahun.. meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi
oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan
hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti
Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk
pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi,
meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan
pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan
yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik
lainnya.
II.TINJAUAN PUSTAKA
Batasan :
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan
akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak
diimunisasi atau pada orang dewasa dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat)
pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough). Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina adalah batuk
100 hari. 1,2,3
Pertussis adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada
orang dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.
Etiologi
Epidemiologi
Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan
attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus
pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-
1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah
usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari
setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun. 1,2,3
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah
akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan
1,3
Juli sampai dengan Oktober. . Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada
individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi
melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan
perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama
samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan
antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru
lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-
gejala pertussis normal. 3
Patogen :
B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada
glycerin-potato-blood agar media (border-gengou). Organisme yang didapat umumnya tipe
virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan varian yang
avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan
menghasilkan vaksin yang efektif. 4
Gambar 1. Bordetella pertussis, the agent of pertussis or whooping cough. Gram stain. (CDC)
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama.
B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan
untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa
(HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang
disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran
pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme.
Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant
menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan
mempermudah penyerapan TP. 2,3,4
TP mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada
sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP
akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi
fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas
dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang
akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi
bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus
influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch.
2,3
Patologi :
-organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor
virulen (termasuk toksin)
-Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan hasil
hasil peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid
peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi epitel
permukaan bronki.
-Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula
timbul bronkiektasi.
-Perubahan patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan
serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada hati
dapat ditemukan infiltrasi lemak.
Manifestasi klinik :
kataral
paroksismal
konvalenses
Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
-Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-
penderita yang berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4C pada semua
golongan umur.
-Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama
sakitnya lebih pendek.
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama
ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan
whoop ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan
distensi vena leher selama serangan.
Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi mucous
plug pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai
menderita pertussis walaupun tidak ada whoop.
Whoop dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi
dan beratnya.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.
-Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang
sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi
yang atipis.
-Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik
yang penting.
-Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari
sepasang serum.
-ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap filamentous
hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum
tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun
primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap
toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut.
IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk
infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis. 4,5
-Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk
menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
-Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan
pada semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut
penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur negatif.
Komplikasi :
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak <
style="">B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
-Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
-Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan
subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura
diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.
-Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi. 4
Pencegahan :
-Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu.
Riwayat keluarga adanya kejang, sudden infant death syndrome (SIDS) atau
reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk
imunisasi pertussis. 3,4
-kontak :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu
dengan pertussis.
Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak
yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan
eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan, dan
mengurangi gejala-gejala penyakit. 1,2,3,4
Pengobatan :
-eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis
dari nasofaring dalam 3-4 hari.
-Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
-Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat
walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
-Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi
yang berumur <>
III. KESIMPULAN
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan
bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk
lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode
diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang
belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang
dewasa.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat
kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama
14 hari, dan suportif.
Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi
karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
Bordetella pertussis
Posted on Oktober 22, 2010 by adminhnyw
Batuk rejan (pertusis) disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. B. pertusis adalah
coccobacillus sangat kecil Gram-negatif yang muncul tunggal atau berpasangan.
Metabolismenya berlangsung secara aerob, tidak pernah fermentasi. Secara taksonomi pada
Bergeys Manual, Bordetella ditempatkan di antara batang aerobik Gram-negatif dan cocci.
Bordetella tidak dimasukkan dalam famili manapun. Bakteri ini sangat pemilih dalam hal
nutrisi, sehingga biasanya ditanam pada media yang kaya dilengkapi dengan darah (blood
agar). Namun, kultur juga dapat dilakukan dalam medium sintetis, yang berisi buffer, garam,
asam amino sumber energi, dan faktor pertumbuhan, seperti nicotinamide. Bahkan pada
blood agar organisme tumbuh lama dan memerlukan 3-6 hari sebelum memperlihatkan
bentuk koloni.
Bordetella pertussis mengkolonisasi silia dari epitel pernapasan mamalia. Secara umum,
diperkirakan bahwa B. pertusis tidak menginvasi jaringan, tetapi beberapa penelitian terbaru
telah menunjukkan ditemukannya bakteri dalam alveolar makrofag. Bakteri ini merupakan
patogen bagi manusia dan mungkin untuk primata yang lebih tinggi, dan tidak ada reservoir
lainnya yang diketahui. Pertussis (batuk rejan) adalah penyakit yang relatif ringan pada orang
dewasa namun memiliki angka kematian yang signifikan pada bayi. Sampai imunisasi
diperkenalkan pada 1930-an, batuk rejan adalah salah satu penyakit yang paling sering dan
berat yang menyerang bayi.
Kolonisasi sel epitel trakea oleh Bordetella pertussis
Penyakit bronkopneumonia ini seringkali bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran
nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan
tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, pneumonia dapat muncul sebagai infeksi
primer. Bronkopneumonia sering disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi.
Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai
pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan
atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis
mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien
terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.
Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan. Bisa berupa nyeri pleuritik, nafas dangkal
dan mendengkur, takipnea.
Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi. Mengecil, kemudian menjadi
hilang, Krekels, bunyi ronki, egofoni.
Menggigil dan demam 38C sampai 41C, Bila berlanjut bisa terjadi delirium.
Diafoesis.
Gerakan dada tidak simetris.
Malaise.
Baruk produktif, kental.
Sianosis.
Gelisah.
1. Rontgen Dada : Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi distribusi struktural; dapat
juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau
terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar x dada mungkin bersih. Foto thorax bronkopeumoni terdapat
bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris
terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung,
biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini
tidak rutin dilakukan karena sukar.
3. Pemeriksaan fungsi paru. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan volume paru
mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin
meningkat dan komplain paru menurun, terjadi hipoksemia.
4. Analisa Gas Darah. Pada pemeriksaan darah ini biasanya akan didapatkan hasil yang
tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit
paru yang ada.
Penatalaksanaan :
Terapi Oksigen. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus
yang berat.
Hidrasi Cairan. Bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara
parenteral. (menggunakan infus)
Simptomatik terhadap batuk.
Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan bronkodilator
Komplikasi Bronkopneumonia.
Penyakit bronkopneumonia ini selain terjadi pada dewasa, seringkali juga terjadi
bronkopneumonia pada anak. Berikut beberapa komplikasi dari penyakit
bronkopneumonia yaitu :
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
3. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
4. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
6. Infeksi sitemik .
Demikian sahabat sedikit mengenai penyakit bronkopneumonia dan selanjutnya nanti akan di
posting kelanjutannya tetapi dilihat dari sudut keperawatannya yaitu tentang askep
bronkopneumonia dan semoga bermanfaat sahabat semuanya.
<a href='http://o.o-clk.com/www/delivery/ck.php?n=a1ceb276&cb=2768'
target='_blank'><img src='http://o.o-
clk.com/www/delivery/avw.php?zoneid=287&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HE
RE&n=a1ceb276' border='0' alt='' /></a>
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar
1% dari seluruh penduduk Amerika. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik,
pneumonia tetap merupakan penyebab kematian terbanyak keenam di Amerika Serikat.
Munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap
antibiotik, ditemukannya organisme-oeganisme yang baru (seperti Legionella), bertambahnya
jumlah pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin
memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab-penyebab pneumonia, dan ini juga
menjelaskan mengapa pneumonia masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok. Bayi
dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum
berkembang dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada
orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu. Pasien peminum alkohol,
pasca bedah, dan penderita penyakit pernafasan kronik atau infeksi virus juga mudah
terserang penyakit ini.1
Pneumonia adalah radang parenkim paru. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab noninfeksi yang kadang-kadang perlu
dipertimbangkan. Pneumonia digolongkan atas dasar anatomi seperti pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis (bronkopneumonia) dan pneumonia interstitialis (bronkiolitis). Tetapi,
klasifikasi pneumonia infeksius atas dasar etiologi dugaan atau yang terbukti secara
diagnostik atau terapeutik lebih relevan.2,3,7
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya
pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa
disebut bronchopneumonia).4
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) sejak 1986 sampai era 2000 an
hampir 80 sampai 90 persen kematian balita akibat serangan ISPA dan pnemonia.4
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan
meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh Pneumococcus,
ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan Bronkopneumonia lebih sering
dijumpai pada anak kecil dan bayi.3
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar
1% penduduk amerika. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia
tetap sebagai penyebab terbanyak dari kematian di Amerika.1
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
PATOGENESIS
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet).
Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian
bawah paru paling sering terkena efek gravitasi.1,3
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-
faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem
pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini.1
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari :
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke
alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.3
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu:1,3,7
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.
GAMBARAN KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa
hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 3940C dan mungkin disertai kejang karena
demam yag tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai di awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar
suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat
terjadi antara 2-3 minggu.3
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada
bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto
rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru,
pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di
rumah sakit dan diberi antibiotika.
Pneumonia berat :
bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Pneumonia :
Bukan Pneumonia :
hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak
perlu diberi antibiotika.3,4
DIAGNOSA BANDING
1. Bronkiolitis
2. TB Paru
PENATALAKSANAAN
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak
dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan
pengobatan polifragmasi seperti penisilin diambah dengan kloramfenikol atau diberi
antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampicillin. Pengobatan diteruskan sampai
anak bebas demam selama 4 5 hari.3
Bed rest
Anak dengan sesak nafas memerlukan cairan inta vena dan oksigen (1 2 l/mnt).
Jenis cairan yang digunakan adalah campuran Glukosa 5% dan NaCl 0,9% ditambah
larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus.
Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang
nasogastrik dengan feeding drip. Jika sesaknya berat maka pasien harus dipuasakan.
Mikroorganisme
Streptokokus dan StafilokokusM. Penicilin G 50.000-100.000 unit/hari IV
Pneumonia atauPenicilin Prokain 6.000.000 unit/hari IM
atau
H. Influenza
Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari atau
Klebsiella dan P. Aeruginosa
Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari
Eritromisin 15 mg/kgBB/hari
Sefalosporin
KOMPLIKASI
Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi yang
dapat dijumpai adalah empyema dan otitis media akut. Komplikasi lain seperti meningitis,
perikarditis, osteomielitis, peritonitis lebih jarang dilihat.3
PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat maka mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%. Mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan
keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat untuk pengobatan.3
DAFTAR PUSTAKA
2.Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik.
Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
3.Long, Sarah S. Pertussis. Nelson :Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th
edition.Chapter 180.h: 908-912,1079.
5.Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.Jilid 2.h: 564-566.
6.http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
7.www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.
1. EDEMA PARU
A. DEFINSI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan
tekanan intravaskular.
B. ETIOLOGI
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2, dsb).
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.
E. Eclampsia
F.Post Cardioversion.
G.Post Anesthesia.
B.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah
kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat
terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada
cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian
dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah). Edema paru adalah istilah
yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar
pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong
udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara
diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding
yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema
Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar
dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat
menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon
dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air dalam paru-paru ketika menggambarkan
kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak
faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut
cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk
sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat
mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala
umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas
daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat
(tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar
klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali
menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.
Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia dengan S3 gallop.
Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan
Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-
ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan
bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap
sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang
lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang
signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang
normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema,
namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin
mendasarinya.
1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh : emfisema).
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema,
sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema.
Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care
unit (ICU) setting.
DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat
diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon
dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai
tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan
darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
5. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.
KOMPLIKASI
PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema,
beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung
dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang
tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan.
Pada sisi lain, beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah,
seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.
PROGNOSIS