PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
oblongata terdapat dua pembesaran yang merupakan fasikuli dari jaras ascendens
kolumna dorsalis, yaitu fasikulus grasilis dan fasikulus kunaetus. Jaras-jaras ini
menghantarkan tekanan, propiosepsi otot-otot sadar, sensasi getar, dan
diskriminasi taktil dua titik. Medulla oblongata mengandung nukleus-nukleus
empat saraf kranial terakhir (saraf IX dan XII).5,6
Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke
medulla spinalis dan serabut serabut sensorik dan medulla spinalis ke otak. Dan
serabut serabut tersebut menyilang pada daerah ini.5,6
Pons terletak didepan serebellum antara otak tengah dan medulla oblongata
dan merupakan jembatan antara dua bagian serebellum. Dan juga antara medulla
dan serebellum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.5,6 Pons merupakan mata
rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan
hemisferium serebri dan serebeli. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan
pernapasan. Nukleus saraf cranial V (trigemisnus), VI (abdusens), VII (facialis),
VII (Vestibulokoklearis dan auditorius). 5,6 Pons juga berisi pusat pusat terpenting
dalam mengontrol jantung, pernapasan dan tekanan darah dan sebagai asal usul
saraf otak kelima sampai kedelapan.
Mesensefalon atau otak tengah (Midbrain), menghubungkan pons dan
serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik
dan sebagian pusat refleks pendengaran dan penglihatan. Mesencepalon
merupakan bagian pendek dari batang otak yang terletaknya di atas pons dan
mengandung dua saraf krnial yaitu, N. Occulomotorius (III) dan troclearis (IV). 5,6
Substansia nigra dan Nukleus Rubra yang berada di otak tengah merupakan
bagian dari jalur motorik involuntary atau ekstrapiramidal. Substansia nigra
mempunyai banyak hubungan dengan korteks serebri, ganglis basal, nucleus
rubra, dan formatio retikularis. Sedangkan nulekus rubra berhubungan dengan
korteks serebri, ganglia basal, formation retikularis dan substansia nigra. Peran
nucleus rubra melibatkan refleks postural dan refleks untuk menegakkan badan
sesuai orientasi kepala seseorang dalam ruang. 5,6
Karena batang otak mengandung berbagai macam nuklei dan jaras saraf
pada ruang yang sangat padat, bahkan lesi yang kecil pada batang otak dapat
menimbulkan berbagai tipe deficit neurologis secara simultan.6
3
2.2 Mati Batang Otak
2.2.1 Definisi
Berdasarkan Panduan Australian and New Zealand Intensive Care
Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak
didefinisikan sebagai berikut: Istilah kematian otak harus digunakan untuk
merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak
terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel (koma), dan hilangnya
respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau
berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.3,7,8
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak
berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini dituangkan
dalam penyataan IDI tentang mati dalam SKPB IDI No.336/PBIDI/a.4 tertanggal
15 maret 1988 yang disusul dengan SKPB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam
fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi pernafasan
dan jantung telah berhenti secara pasti atau ireversibel, atau terbukti telah terjadi
kematian batang otak. 9,10
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi
lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon
terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-
refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya
deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks
faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar.
Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang isoelektris. Kedua tes
tersebut diulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia atau
pemberian depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus
dilakukan oleh seorang dokter.
2.2.2 Klasifikasi
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan)
ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti,
4
tetapi tidak ireversibel. Pada masa sekarang kematian inilah, permulaan resusitasi
dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak
normal, asal diberikan terapi yang optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalumengikuti mati klinis bila
tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan.
Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan
neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti
oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam
atau hari.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan
batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap) merupakan kerusakan berat
ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi
mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh.Ini
harus dibedakan dari mati serebral yang hasil EEG nya tenang dan dari mati otak,
dengan tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas spontan.
Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat siklus sadartidur.
5
luas, diantaranya adalah: perdarahan subarakhnoid, ensefalitis, trauma kapitis,
kejang, anoksia, iskemia, ensefalopati hepatikum, uremia dan banyak lagi
keadaan lainnya.15
Kelainan korteks difus dan metabolisme sistemik mencakup faktor-faktor
etiologik yang luas, diantaranya adalah: perdarahan subarakhnoid, ensefalitis,
trauma kapitis, kejang, anoksia, iskemia, ensefalopati hepatikum, uremia
danbanyak lagi keadaan lainnya.15
Kausal Subtotal
1. Lesi Supratentorial 101/500 = 20,2%
Lesi destruktif rinensefalik dan subkortikal (2/101)
Lesi masa supratentorial (99/101)
Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena
peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang
mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak.11 Perfusi inadekuat untuk
region batang otak tertentu dapat terjadi secara transien (misalnya, iskemi pada
subklavian steal syndrome) atau permanen (menyebabkan nekrosis jaringan,
misalnya infark batang otak).3 Akhir dari berbagai kelainan struktural dan
metabolik yang menyerang otak adalah kerusakan otak yang permanen yang
menghasilkan koma yang dalam dan dapat berakhir dengan kematian batang otak.
2.2.4 Patofisiologi
A. Patofisiologi Struktural
Lesi struktural dapat menyebabkan koma melalui dua macam
mekanisme, yakni melalui lesi kompresi dan lesi destruktif. Lesi kompresi dapat
menyebabkan koma melalui dua cara, melalui penekanan langsung atau melalui
6
disposisi jaringan otak sedemikian rupa sehingga menekan sistem arousal
asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan.
Lesi destruktif menyebabkan koma dengan kerusakan langsung di sistem
arousal asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan, namun untuk
menyebabkan koma lesi destruktif biasanya harus difus dan bilateral. Lesi
destruktif minimal dapat menyebabkan koma bila lokasinya tepat di garis tengah
dari sistem arousal asenden di otak tengan atau kaudal dari diensefalon, untuk
lesi subkortikal dan kortikal harus difus dan bilateral untuk dapat menyebabkan
koma.15
Tabel 2.2 Patofisiologi Mati Batang Otak
Lesi kompresi Lesi destruksi
Serebral Hemisfer Serebri
Hematoma Subdural bilateral Korteks (Trauma anoksia akut)
Diensefalon Substansia alba subkorteks (Trauma anoksia
Thalamus (Perdarahan) subakut)
Hipotalamus (Tumor Hipofisis) Diensefalon
Batang Otak Thalamus (infark)
Otak tengah (Hernia unkus) Batang Otak
Serebelum Otak Tengah, Pons (infark)
7
B. Patofisiologi Kelainan Otak Difus atau Metabolik
Kerusakan bilateral korteks serebri dapat timbul sebagai akibat dari
kekurangan substrat metabolik (oksigen, glukosa atau darah yang membawa
mereka) atau sebagai akibat gangguan metabolik dan infeksi tertentu. Penelitian
kasus dalam jumlah besar di mana koma mendahului kematian batang otak
dalam waktu beberapa hari telah menunjukkan adanya lesi masa yang mudah
dikenali, seperti tumor, abses, infark edematosa masif atau perdarahan baik
intraserebral, subarakhnoid, subdural maupun epidural. Keadaan ini seringkali
disebabkan oleh henti jantung berkepanjangan pada pasien yang berhasil
diresusitasi, namun juga dapat sebagai akibat hipoksia difus oleh karena gagal
napas atau pada pasien dengan hipoglikemia berat dan berkepanjangan.
Kompresi yang paling sering terjadi berasal dari kompartemen
supratentorial ke kompartemen infratentorial melalui bukaan tentorial, oleh karena
itu disebut sebagai herniasi transtentorial. Herniasi unkal transtentorial merujuk
kepada impaksi girus temporalis anterior medial (unkus) ke dalam bukaan
tentorial pada posisi anterior dan bersebelahan dengan otak tengah. Jaringan otak
yang tergeser menekan N.III pada saat nervus tersebut melintasi ruang
subarakhnoid, sehingga menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Koma yang
mengikuti terjadi sebagai akibat kompresi otak tengah terhadap sudut tentorial
oleh girus parahipokampal yang tergeser. Pada beberapa kasus pegeseran lateral
otak tengah menyebabkan kompresi pedunkulus serebri berseberangan,
menyebabkan tanda Babinski postif dan hemiparesis kontralateral terhadap
aslinya (tanda Kernohan Woltman).
Sebagai tambahan dari menekan batang otak atas, pergeseran jaringan
termasuk herniasi juga dapat menekan pembuluh darah utama, khususnya arteri
serebral anterior dan posterior pada saat mereka melewati refleksi tentorial,
sehingga dapat menyebabkan infark otak. Distorsi jaringan juga dapat menekan
ventrikel lainnya sehingga menyebabkan hidrosefalus regional. Hanya jika lesi
serebral luas dan bilateral maka dapat berakhir dengan kematian batang otak.15
Berdasarkan banyak etiologi dan patofisiologi yang telah di jelaskan
diatas, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang dapat mengakibatkan
kerusakan struktur dan fungsional otak dapat mengakibatkan gangguan penuruan
8
kesadaran dan koma. Sedangkan koma yang ireversibel karena kerusakan
struktural otak yang tidak dapat pulih kembali atau karena mati otak merupakan
suatu kondisi awal dan tanda dari kematian batang otak.
9
b. Usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval
observasi 24 jam.
c. Usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18tahun,
periode interval observasi 12 jam.
d. Usia 18 tahun keatas, periode interval observasi
berkisar 6 jam.
5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak.
6. Tes apnea.
7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi.
8. Persiapan akomodasi yang sesuai.
9. Sertifikasi kematian batang otak.
10. Penghentian penyokong kardiorespirasi.
10
Gambar 2.2 Rangsang nyeri
Dokter memastikan bahwa tidak terdapat respon motorik dan mata tidak membuka, ketika
stimulus nyeri diberikan pada kuku jari atau saraf supraorbital.
B. Pergerakan okuler
Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama
irigasidari tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es.
Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak
mata.
Tidak terdapat penyimpangan/deviasi gerakan bola mata
terhadap irigasi 50 ml air dingin disetiap telinga (membrane
timpani harus tetap utuh; pengamatan 1 menit setelah suntikan,
denganinterval tiaptelingaminimal 5menit).
11
Pemeriksa harus menguji adanya refleks kornea dengan menyentuh ujung
kornea dengan ujung kapas pembersih untuk menghasilkan stimulus yang
adekuat. Respon batuk dapat diuji dengan suction bronkhial, karena
menggerakkan pipa trakhea maju mundur mungkin tidak menghasilkan rangsang
yang cukup.3
12
3. Apnea
Setelah tampak bahwa refleks batang otak tidak ada, apnea harus diuji.
Oksigenasi difusi apnea adalah prosedur yang dilakukan untuk mempertahankan
oksigenasi saat pengujian. Batas stimulasi maksimal pusat pernapasan di medula
oblongata (yang dapat mengalami gangguan fungsi akibat cedera) telah diatur di
Amerika Serikat pada tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau
lebih tinggi 20 mmHg daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan
memungkinkan tekanan parsial karbon dioksida untuk meningkat di atas 60
mmHg dan pH turun di bawah 7,28 dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien
yang menggunakan bantuan ventilator, oksigenasi dipertahankan dengan
memberikan preoksigenasi dan menggunakan oksigen aliran rendah (biasanya 5
hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter yang ditempatkan di trakhea
setinggi karina.
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak
yang kedua dilakukan.
Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu18,19:
a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)
13
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes
apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang
otak).
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negative (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun
sampai 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada
pasien 18 tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi
oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah. Apabila
PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20 mmHg di atas nilai dasar
normal, tes apnea dinyatakan positif.Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau
peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan
belum dapat dipastikan dan perlu dilakukan tes konfirmasi
14
Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, danradionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi bifurkasio
karotis atau sirkulus Willisi.
Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit.
Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature,
bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon).
Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus medianus
Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik
tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow,
mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high vascular
resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang besar.
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis mati batang otak berarti tidak ada kemungkinan pulihnya fungsi
otak. Beberapa criteria yang disepakati oleh hampir semua ahli dalam
mendiagnosis mati batang otak17:
1. Skor Glasgow Coma scale = 3
2. Pupil yang tidak bereaksi
3. Hilangnya reflex-refleks batang otak (misalnya reflex oculosefalik, kornea,
Dolls eye phenomena dan batuk)
4. Tidak ada usaha nafas spontan pada tes apnea.
15
otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian
batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak
dapat ditegakkan.8
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes
lain yang perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi
kedua tes refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas.
Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang
konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakk
an.20
2.2.9 Kriteria
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya3,8,13,14:
A. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah.8,15
Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar, Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus
disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian.
B. Kriteria Minnesota
Elemen kunci kriteria Minnesota adalah14:
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
16
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam.
Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Diagnosis of stupor and coma.
Contemp Neurol ser. 4th ed. 2007
2. Greer DM, Yang J, Scripko PD, Cash S, Kilbride R, et al. Clinical
examination for outcome prediction in nontraumatic coma. Crit care Med
2012:40:1150-6. Doi: 10.1097/CCM.0b013e318237bafb.
3. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 ; 344:
1215-1221
4. Wijdicks. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med,
2001, 344 (16)
5. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. BAB 8. Gangguan Fungsi Ginjal. Ed/6. Vol 2. Jakarta: EGC:
2012. Hal. 867-949
6. Behr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi IV. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC:2012. Hal 103-196
7. RM, Schapiro R, eds. The definition of death: contemporary controversies,
Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1999
8. New York State Department of Health. Guidelines for Determining Brain
Death, Department of Health, New York, 2005
19
14. Adams RD, Victor M. Principles of neurology. 3rd ed. New York: McGraw-
Hill Book Company; 1985.p.258-9.
15. Sumantri S. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan
Kesadaran.Fakultas kedokteran UI. 2009. Hal.1-30
16. Subekti I, Setiyohadi B. Pemeriksaan Fisis Umum. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. ed. V. Fakultas Kedokteran UI. 2009. Hal.30-31
17. Susalit E. Transplantasi Ginjal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Ed. V. Fakultas Kedokteran UI. 2009. 1068-1069
18. American Collenges of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support for doctors, Student Course manual. Eight Edition. P.175-176
19. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses
Penyakit edisi kedua. Jakarta: EGC;1994. hal.902.
20