Pada kasus ini dari anamnesis didapatkan pasien dengan keluhan sesak, tidak membaik
dengan istirahat, dirasakan lebih nyaman duduk, batuk sudah 2 hari. Pasien dapat berbicara
kata demi kata. Pasien juga memiliki riwayat asma dengan terakhir kambuh 1 tahun yang
lalu. Pemeriksaan fisik ditemukan KU : Lemah, N : 120x/menit, R : 40x/menit, sianosis
peroral +, retraksi suprasternal dan epigastrium +, rhonki +/+, wheezing +/+.
Dengan anamnesa dan pemeriksaan tersebut dapat diketahui terdapat gangguan saluran
pernafasan berupa asma bronkiale episodik jarang, serangan berat.
PENATALAKSANAAN
02 sungkup 5 l/m
Nebulisasi Combivent + NaCl / 2 jam, bila membaik / 4 jam, bila membaik / 6 jam.
240mg Aminophilin dalam 20cc NaCl, habis dalam 30 menit, selanjutnya 240mg
Aminophilin dalam 20cc NaCl dengan kecepatan 1cc/jam.
Pasien tampak dehidrasi dengan keadaan umum lemas, mata tampak cekung, mukosa bibir
kering, turgor berkurang. Dilakukan rehidrasi dengan menggunakan cairan Kaen 3B
70mg/kgBB selama 4 jam (105tpm), observasi tanda tanda dehidrasi.
Terapi Ruangan
Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyususn
srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan,
batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara
spontan atau dengan pengobatan. Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan
batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani
ataupun hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat
alrgi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic
dapat membantu menegakakan diagnosis.
Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor
pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor
pencetus pada asma, terdiri dari:7,10
Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang,
kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat
pengawet, zat pewarna dan sebagainya.
Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan
sebagainya.
Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.
Ketegangan atau tekanan jiwa.
Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.
Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan
sebagainya.
Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak bisa
diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng membedakan
asma dengan penyakit paru lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa
obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi,
membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat selain tidak etis, juga bisa
membahayakan nyawa penderita.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis
banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma.
Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.
Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya
serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi
pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa
statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi)
disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter
anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan
cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak
retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk,
sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium7,10
Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat pada pasien
asma, dan hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis kronik.
Jumlah eosinofil menurun dengan pemberian kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk
patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pada pasien asma.
Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma,
sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya
eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk
melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.
Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada fase yang
lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma
yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis
respiratorik.
2.Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan
gejala serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain yang menyertai asma
seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma seperti pneumothoraks,
pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.7,10
3.Uji Kulit
Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada kulit, yang
secara tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada saluran napas
penderita asma. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang menunjukkan
tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus serangan asma, demikian pula sebaliknya.7
4.Pemeriksaan Spirometri
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Pemeriksaan
ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam
pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam
diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah dengan
melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai
dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator. Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti bukan asma. Hal
ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal. Respons
mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat oleh karena dosis
tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang diharapkan mungkin perlu
pemberian obat kombinasi (agonis beta 2, teofilin dan kortikosteroid).
Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC atau
perbandingan FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif seperti terlihat dalam table
berikut:
Tabel 1. Derajat Obstruksi Saluran Napas
Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p
Dikutip dari Buku Penatalaksanaan Asma Bronkhial, Diagnosis Asma; karangan Samsu. Hal
22.
Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes
pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak Flowmeter,
dimana APE diukur 3 kali sehari ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila
selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih merupakan petanda asma.
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes provokasi
histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan
inhalasi dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi
merupakan pertanda adanya hiperaktivitas bronkus.10
Jika keadaan pasien tidak membaik atau malah memburuk maka berikan kortikosteroid oral
seperti 60-80 mg metilprednisolon kemudian pemberian beta2 agonis diulangi dan segera
rujuk pasien ke rumah sakit.
Dikutip dari: Peranan Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma yang Rasional sehingga
Meningkatkan Kualitas Hidup. Buku pidato pengukuhan Guru Besar, Eddy Mart Salim. Hal
10.
Pengelolaan Serangan Asma di Rumah Sakit
1.Terapi awal
Inhalasi beta2 agonis kerja singkat secara nebulisasi 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam atau
agonis beta2 injeksi seperti Terbutalin o,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml
subkutan. Berikan oksigen dengan kanul nasal 4-6 l/menit untuk mencapai saturasi 90%
pada dewasa dan 95% pada anak-anak. Berikan kortikosteroid sistemik seperti hidrokortison
100-200mg atau metilprednisolon IV jika:
1.Serangan asma berat
2.Tidak ada respon segera dengan beta2 agonis
3.Jika pasien sedang mendapat kortikosteroid peroral
2.Lakukan penilaian ulang APE, saturasi oksigen dan pemeriksaan lain bila diperlukan
Jika respon baik maka pasien dipulangkan, teruskan pengobatan inhalasi beta2 agonis dan
dapat ditambahkan kortikosteroid oral, berikan arahan pada pasien untuk minum obat secara
teratur. Jika respon pasien tidak sempurna dalam 1-2 jam maka pasien dirawat di rumah
sakit dengan:
1.Pemberian inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik
2.Beri kortikosteroid sistemik
3.Berikan oksigen sama seperti sebelumnya
4.Dapat diberikan aminofilin IV
Jika respon buruk dalam 1 jam maka pasien dirawat di ICU dengan diberikan
Inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik,
Kortikosteroid IV
Beta2 agonis subkutan, IM dan IV
Beri oksigen
Aminofilin IV
Berikan intubasi dan ventilasi mekanik
Dikutip dari Guidelines for the Diagnosis and Management of Astma. 2007. P. 55
Pada asma intermiten ini, tidak diperlukan pengobatan pencegahan jangka panjang. Tetapi
obat yang dipakai untuk menghilangkan gejala yaitu agonis beta 2 inhalasi, obat lain
tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
Dikutip dari: Peranan Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma yang Rasional sehingga
Meningkatkan Kualitas Hidup. Buku pidato pengukuhan Guru Besar, Eddy Mart Salim. Hal
15.
Jadi, pada prinsipnya pengobatan asma dimulai sesuai dengan tingkat beratnya asma, bila
asma tidak terkendali lanjutkan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelum itu perhatikan dulu,
apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (menghindari
factor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik.
Setelah asma terkendali dengan baik, paling tidak untuk waktu 3 bulan, dapat dicoba untuk
menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang
dapat mengandalikan gejala.
Akhir-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang berat. Penelitian
menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma serta
kunjungan ke gawat darurat karena serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.
Disamping itu semua, dalam pengobatan asma, ketaatan pemakaian obat juga menentukan
keberhasilan terapi. Ketaatan pemakaian obat akan menurunkan dalam kompleksitas
pengobatan dan seringnya frekuensi pemakaian obat. Untuk itu, diperlukan penyederhanaan
rejimen pengobatan dengan mengkonsumsikan agonis beta 2 aksi panjang dengan
kortikosteroid dalam suatu sediaan. Kombinasi ini dipakai 2 kali sehari diharapkan akan
memperbaiki pengendalian asma dan kualitas hidup pada pasien-pasien yang membutuhkan
ke arah jenis pengobatan di atas.2
Penderita asma dan keluarganya hurus memahami tujuh masalah dalam bidang penyakit asma
untuk mengengatasi penyakitnya, yaitu:2 memahami pengertian dasar dari penyakitnya,
artinya kita harus memberikan edukasi kepada penderita dan keluarganya mengenai penyakit
asma, termasuk didalamnya: patofisiologis, gejala, berat-ringannya penyakit asma, berat-
ringannya serangan asma, factor pencetus serta pengendalian lingkungan, cara pengobatan
preventif maupun kuratif yang dianjurkan, termasuk obat asma serta efek samping dan cara
pemakaiannya, dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Disamping itu, penderita juga
diharapkan dapat menilai atau memantau berat-ringannya penyakit asma serta berat-
ringannya serangan dan termasuk didalamnya pengelolaan yang dianjurkan; memahami dan
memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang; memahami dan melaksanakan
rencana pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak; serta
olahraga yang teratur untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan control secara teratur ke
dokter pribadinya.
V. RINGKASAN
Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan berbagai
sel imun serta menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai
rangsangan.
Konsep patogenesis asma bronkial adalah hipereaktivitas saluran napas yang didasari oleh
inflamasi alergik kronis. Inflamasi ini akan menyebabkan penyempitan saluran napas yang
bersifat reversibel, dan mebaik secara spontan ataupun dengan pengobatan. Gejala yang
timbul dapat berupa batuk berulang, mengi, dada terasa tertekan, dan sesak napas, terutama
pada malam dan/atau pagi hari. Dengan demikian pengobatan asma tidak hanya ditujukan
untuk mengatasi bronkokonstriksi tapi juga untuk mengatasi inflamasi alergi dan
hiperreaktifitas bronkus.
Asma dapat timbul pada berbagai usia, terjadi pada laki-laki dan wanita. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi asma di Indonesia diperikakan sekitar 2 8%. Prevalensi
morbiditas dan mortalilas asma akhir-akhir ini dilaporkan meningkat di seluruh dunia,
meskipun berbagai obat baru terus dikembangkan dan digunakan untuk mengobati penyakit
ini.
Penatalaksanaan asma ada dua, yaitu: penatalaksanaan asma pada saat serangan (reliever)
dengan memakai obat bronkodilator (salbutamol, terbutalin, theophilin) termasuk
penatalaksanaan asma di rumah dan di rumah sakit dan penatalaksanaan asma di luar
serangan (controller) dengan memakai anti implamasi
Edukasi kepada penderita asma dan keluarganya mutlak harus dilakukan dan ini memerlukan
kerjasama yang erat antara dokter/tenaga medis dengan penderita dan keluarganya.