Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

SNAKE BITES

Disusun oleh :
Dede Achmad Basofi, S. Ked
I 111 12 011
Pembimbing :
dr. Roy Simamora, Sp. B, FINACS

SMF ILMU BEDAH

RSUD SULTAN SYARIF MOHAMMAD ALKADRIE

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia dianggap
berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of Poison Control
Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahunnya,
dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Negara Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa
pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah ini
mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana
kesehatan3.
Ular berbisa yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika melumpuhkan
mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung racun
ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya gigi berongga khusus. Ular juga
menggunakan bisanya untuk mempertahankan diri mereka merasa terancam. Gigitan ular yang
disebabkan oleh famili Viperidae (contohnya pit viper) dan Elapidae (contohnya krait dan kobra)
adalah yang paling berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular adalah
membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang
menetralkan bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis mengenai gigitan ular agar dapat
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan terhadap gigitan
ular khususnya ular berbisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan menggigit sebagai bentuk untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan yang
lain untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit dapat
mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedangkan beberapa
lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
1. Kerusakan jaringan secara umum
2. Perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
3. Infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
4. Dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
5. Awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari
rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur,
dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia
tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah
dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan
terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.
2.1.1 Jenis Ular dan Cara Mengidentifikasinya
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini
adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular
jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang
terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh
anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi
mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5

Tidak berbisa Berbisa


Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa

2.1.2 Bisa Ular


Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik5.
2.1.3 Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem
fibrinolitik tubuh. Antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan
darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
Racun sitolitik atau nekrotik dapat mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipeptida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini
juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
Phospholipase A2 haemolitik dan myolitik ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) Polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.

2.1.4 Sifat Bisa Ular


Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah;
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan sitotoksik, yaitu
bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi
hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran
dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4.

2.2 Patofisiologi Gigitan Ular Berbisa

Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata.
Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh
hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang
terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa
pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak
terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian
sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume
dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis
dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.

2.3 Tanda dan Gejala Gigitan Ular berdasarkan Jenis Ular


Gigitan ular dengan jenis Elapidae seperti : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snake, mambas, kraits) memiliki ciri cirri seperti :
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
Setelah digigit ular dalam 15 menit akan muncul gejala sitemik dan setelah 10 jam
akan terjadi paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan ular dengan jenis Viporidae/Crotalidae seperti : ular tanah, ular hijau memiliki tanda
dan gejala seperti :
Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan ular dengan jenis Hydropiridae seperti : ular laut memiliki tanda dan gejala seperti :
Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang
ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan
ginjal, serta henti jantung

2.4 Diagnosa Klinis


Anamnesis yang dilakukan secara cepat tepat seputar gigitan ular serta progresifitas
gejala dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting. Terdapat empat
pertanyaan awal yang bermanfaat :
Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu
sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah
terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah
besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan
ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan,
kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik
buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang
sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa
bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala
gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami
trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami
perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin
serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak
mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah
beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan cara yang sederhana untuk
mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah
berkembang untuk terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular
berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara
yang dibuatnya saat merasa terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka
bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

Gambar 1. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)

Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi
panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pusing. Gejala
dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya
bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae)2. Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
Tanda gigitan taring (fang marks)
Nyeri lokal
Perdarahan lokal
Kemerahan
Limfangitis
Pembesaran kelenjar limfe
Inflamasi (bengkak, merah, panas)
Melepuh
Infeksi lokal, terbentuk abses
Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik2 :
Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
Kardiovaskuler (viperidae)
Pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung
Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang
terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh
sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan dari gusi,
epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan
tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan
perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada
wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura,
perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina.
Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara
sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret,
paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russells viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia,
henti jantung, gagal ginjal akut.
Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria,
tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi
testis, hipotiroidism

2.5 Penatalaksanaan
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang
lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat
penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan
korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit
dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
1 2

3 4

5 6

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)

Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa
pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien
dapat dipikul (dengan firemans metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit.
Terapi yang dianjurkan meliputi:
Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan
pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa
hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban,
hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi
nekrosis lokal.
Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
Pemberian serum antibisa.

2.6 Serum Anti Bisa Ular


Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular
merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang
dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang
kebanyakan ada di Indonesia.
2.6.1 Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet

2.6.2 Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular


Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2
tahun.

2.6.3 Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular


Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang
tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran
darah dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial
5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-
80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala
tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai
maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng
sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama
atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5
ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau
intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus
diamati selama 24 jam.

2.6.4 Efek Samping Serum Anti Bisa Ular


Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-
hati, mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal,
sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum
yang sudah dimurnikan
Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam
pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.

2.6.5 Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum


Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan suhu
badan
Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan relax
Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit

2.6.6 Tes hipersentivitas subkutan


Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu
harus dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.
Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini seperti
pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-
muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun,
gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang.
Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin 1:1000.
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan dan
amati lagi selama 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan dan
amati lagi paling sedikit 30 menit.

2.6.7 Syarat-syarat pemberian serum secara intravena


Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahullu, kemudian
dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam.

2.6.8 Tindakan terhadap reaksi sampingan


Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau botol
berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5
adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat
mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang dalam
24 jam.
Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.
2.7 Indikasi Pemberian Serum Anti Bisa Ular2 :
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau
dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :

2.7.1 Gejala venerasi sistemik


Gejala venerasi sistemik dapat berupa kelainan hemostatik yaitu perdarahan
spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia, gejala neurotoksik berupa ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya, kelainan kardiovaskuler berupa hipotensi,
syok, arritmia (klinis), gagal ginjal beupa oligouria/anuria (klinis), peningkatan
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium), hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap
(klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atau
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium).
2.7.2 Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang
terkena gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan
setelah tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang
meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam
setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar
getah bening pada ekstremitas yang terkena gigitan. Pemberian anti bisa ular dapat
menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di bawah ini :
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik, mual,
25cm/12jam pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way :
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa hari,
atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu,
pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah
antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti
klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan
pada satu jam pertama setelah gigitan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Pemeriksaan laboratorium :
Penghitungan jumlah sel darah
Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
Fibrinogen dan produk pemisahan darah
Tipe dan jenis golongan darah
Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
Urinalisis untuk myoglobinuria
Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
2.8.2 Pemeriksaan radiologi :
Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
2.8.3 Pemeriksaan lainnya :
Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan
yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika
parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit

2.9 Tindak Lanjut


Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit dibedakan untuk kasus gigitan kering dan
tidak, untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien
dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU
Intensive Care Unit) untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama
24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari derajat
keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu
pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

2.10 Observasi dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Anti Bisa Ular
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat sudah diberikan, beberapa tanda respon di
bawah ini dapat diobservasi, antara lain :
Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa ular
(perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi
kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
Absorbsi bisa yang berlanjut dari depot pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab)2 80-100 jam; Fan
12-18 jam)
Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.

2.11 Kriteria Pengulangan Dosis Inisiasi Anti Bisa Ular :


Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setelah pemberian dosis awal antibisa, dosis yang
sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan (lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang antara
1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal antibisa
harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan.
2.12 Diagram Penangan Gigitan Ular
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK

YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK

TERDAPAT TANDA ULAR DAPAT


TIDAK ENVENOMASI TERIDENTIFIKASI
YA
(KERACUNAN)
RAWAT Insisi cross bila memenuhi
kriteria ULAR DITETAPKAN
OBSERVASI* DI RS YA TIDAK BERBISA
SELAMA 24 JAM TIDAK RAWAT
YA
TENANGKAN KORBAN, BERI
TERDAPAT TANDA ENVENOMASI
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK DARI SERUM ANTITETANUS,
((KERACUNAN)
ENVENOMASI (KERACUNAN) ULAR PULANGKAN KORBAN
YA TIDAK
YANG UMUM BERADA DI AREA YA
TANDA MEMENUHI RAWAT
GEOGRAFIS YANG SAMA
KRITERIA PEMBERIAN
OBSERVASI* DI RS
TIDAK ANTIBISA
SELAMA 24 JAM
TANDA MEMENUHI YA
KRITERIA PEMBERIAN
ANTIBISA1 TERSEDIA ANTIBISA
MONOSPESIFIK / TIDAK
TIDAK YA POLISPESIFIK
RAWAT
YA RAWAT
OBSERVASI* DI RS BERIKAN ANTIBISA
SELAMA 24 JAM POLISPESIFIK UNTUK BERIKAN ANTIBISA
TERAPI
SPESIES ULAR YANG MONOSPESIFIK /
KONSERVATIF**
BERADA DI AREA POLISPESIFIK
GEOGRAFIS YANG
SAMA

LIHAT RESPON2

RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI RAWAT
DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)

Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005
2.13 Keterangan Skema
Cross Insisi
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%

2.14 Tanda Envenomasi (Keracunan) Gigitan Ular Berbisa

Lokal ( pada bekas gigitan) Sistemik


a. Tanda gigitan taring (fang marks) Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,
b. Nyeri lokal lemah, mengantuk, lemas.
c. Perdarahan lokal Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis),
d. Kemerahan koagulopati, atau trombositopenia.
e. Limfangitis Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
f. Pembesaran kelenjar limfe eksternal, paralisis, dan lainnya.
g. Inflamasi (bengkak, merah, Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia
panas) (klinis), kelainan EKG.
h. Melepuh Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria
i. Infeksi lokal, terbentuk abses (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil
j. Nekrosis laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria :
urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti
lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta
adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.
2.15 Kriteria Pemberian Serum Anti Bisa Ular1

Kriteraia pemberian serum anti bisa ular dapat dilihat dengan metode derajat Parrish,
yaitu :

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik


0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik, mual,
25cm/12jam pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh

2.15.1 Pemberian Serum Anti Bisa Ular

Derajat parrish SABU (serum antibisa ular)


0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc
3-4 40-100 cc

2.15.2 Cara Pemberian Serum Anti Bisa Ular

Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat


diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum
dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak
diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-
lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara
lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml
diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis
yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

2.15.3 Cara Penyuntikan Serum Anti Bisa Ular


injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Injeksi adrenalin 1:1000 Injeksi serum yang tidak


diencerkan 0,2 ml (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Serum jangan diberikan suntikkan serum dalam dosis


penuh secara perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

2.15.4 Kriteria Pengulangan Dosis Inisiasi Pemberian Serum Anti Bisa Ular :
Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis yang
sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan (lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang antara
1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal anti bisa harus
diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

2.15.5 Respon Terhadap Pemberian Anti Bisa Ular2


Secara umum, pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.

2.16 Observasi
Setelah diberikan Serum Anti Bisa Ular dan telah di evaluasi apakah perlu diberikan
dosis atau tambahan atau tidak, barulah setelah itu di observasi dengan melihat dan memonitor
beberapa tanda, yaitu :
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang, untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi
di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindrom
kompartemen, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit, Fasciotomi diindikasikan
untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg, tergantung dari derajat keparahan gigitan,
pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah,
jumlah trombosit, dan level fibrinogen

2.17 Perawatan Konservatif


Bed rest
Perawatan luka dengan iodine, hibitane
Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
Pemberian toxoid Tetanus
Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

2.18 Komplikasi Gigitan Ular

Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran
tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh
immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis
(jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif
terdiri dari antihistamin dan steroid7.

2.19 Prognosis Gigitan Ular


Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa
mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian,
dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal.
Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di AS.
Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa, korban akan
pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang tertahan pada
luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak membawa atau mentransmisikan
rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari 20%
gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini
disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh elapid.
Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular tidak
berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain
sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa
yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting, antibisa ular, dapat
mempengaruhi bagaimana keadaan korban. Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa
jam. Seorang korban yang awalnya terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan.
Seluruh korban yang tergigit oleh ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa
harus ditunda-tunda6.
2.19 Pencegahan Gigitan Ular2
Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan tempat
persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana ular akan lebih
aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen, serta malam hari
Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam hari
atau semak-semak
Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari
Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan pernah
menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah menjebak dan
memojokkan ular dalam tempat tertutup
Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah
Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular
Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular yang
terlihat mati
Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang dekat
dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular
Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis konstruksi
rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya dinding jerami dan tanah
liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang tidak tertutup pada lantai)
Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh ular laut
yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah dibedakan.
Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci pakaian pada air yang
keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.
DAFTAR PUSTAKA

1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al.
2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on
Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From Gulu
Regional Hospital Uganda.

Anda mungkin juga menyukai