SNAKE BITES
Disusun oleh :
Dede Achmad Basofi, S. Ked
I 111 12 011
Pembimbing :
dr. Roy Simamora, Sp. B, FINACS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia dianggap
berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of Poison Control
Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahunnya,
dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Negara Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa
pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah ini
mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana
kesehatan3.
Ular berbisa yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika melumpuhkan
mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung racun
ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya gigi berongga khusus. Ular juga
menggunakan bisanya untuk mempertahankan diri mereka merasa terancam. Gigitan ular yang
disebabkan oleh famili Viperidae (contohnya pit viper) dan Elapidae (contohnya krait dan kobra)
adalah yang paling berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular adalah
membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang
menetralkan bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis mengenai gigitan ular agar dapat
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan terhadap gigitan
ular khususnya ular berbisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan menggigit sebagai bentuk untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan yang
lain untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit dapat
mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedangkan beberapa
lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
1. Kerusakan jaringan secara umum
2. Perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
3. Infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
4. Dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
5. Awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari
rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur,
dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia
tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah
dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan
terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.
2.1.1 Jenis Ular dan Cara Mengidentifikasinya
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini
adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular
jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang
terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh
anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi
mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata.
Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh
hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang
terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa
pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak
terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian
sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume
dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis
dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
Gambar 1. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi
panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pusing. Gejala
dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya
bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae)2. Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
Tanda gigitan taring (fang marks)
Nyeri lokal
Perdarahan lokal
Kemerahan
Limfangitis
Pembesaran kelenjar limfe
Inflamasi (bengkak, merah, panas)
Melepuh
Infeksi lokal, terbentuk abses
Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik2 :
Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
Kardiovaskuler (viperidae)
Pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung
Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang
terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh
sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan dari gusi,
epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan
tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan
perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada
wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura,
perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina.
Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara
sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret,
paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russells viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia,
henti jantung, gagal ginjal akut.
Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria,
tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi
testis, hipotiroidism
2.5 Penatalaksanaan
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang
lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat
penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan
korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit
dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
1 2
3 4
5 6
Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa
pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien
dapat dipikul (dengan firemans metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit.
Terapi yang dianjurkan meliputi:
Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan
pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa
hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban,
hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi
nekrosis lokal.
Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
Pemberian serum antibisa.
2.10 Observasi dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Anti Bisa Ular
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat sudah diberikan, beberapa tanda respon di
bawah ini dapat diobservasi, antara lain :
Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa ular
(perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi
kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
Absorbsi bisa yang berlanjut dari depot pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab)2 80-100 jam; Fan
12-18 jam)
Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
LIHAT RESPON2
RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI RAWAT
DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)
Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005
2.13 Keterangan Skema
Cross Insisi
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%
Kriteraia pemberian serum anti bisa ular dapat dilihat dengan metode derajat Parrish,
yaitu :
Amati 30 menit
Amati 30 menit
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
2.15.4 Kriteria Pengulangan Dosis Inisiasi Pemberian Serum Anti Bisa Ular :
Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis yang
sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan (lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang antara
1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal anti bisa harus
diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
2.16 Observasi
Setelah diberikan Serum Anti Bisa Ular dan telah di evaluasi apakah perlu diberikan
dosis atau tambahan atau tidak, barulah setelah itu di observasi dengan melihat dan memonitor
beberapa tanda, yaitu :
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang, untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi
di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindrom
kompartemen, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit, Fasciotomi diindikasikan
untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg, tergantung dari derajat keparahan gigitan,
pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah,
jumlah trombosit, dan level fibrinogen
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran
tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh
immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis
(jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif
terdiri dari antihistamin dan steroid7.
1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al.
2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on
Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From Gulu
Regional Hospital Uganda.