PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah adalah:
a. Apa yang dimaksud dengan Physician Assisted Suicide (PAS)?
b. Bagaimana sejarah terjadinya Physician Assisted Suicide (PAS)?
c. Bagaimana pandangan terhadap Physician Assisted Suicide (PAS)?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC 50 AD, mengatakan
bahwa euthanasia adalah kematian tenang dan baik.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi
memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: Ia mendapat
kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir
selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya
euthanasia bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat
dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya (Divus Augustus 99).
Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah
euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan
kelayakan (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65
M malah menganjurkan, lebih baik mati daripada sengsara merana.
4
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan
jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding
(ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia
sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini
terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan
menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo)
ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar
hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
5
dari pasien terminal dengan cara "bunuh diri berbantuan" dan mengklaim
bahwa ia telah mebantu sebanyak 130 pasien sampai mengakhiri hidupnya.
Pernyataannya yang sangat terkenal yaitu "kematian bukanlah perbuatan
kriminal". Banyak yang mengira bahwa julukan Dr. Death (Dokter Kematian)
diberikan kepadanya karena kegiatannya tersebut, namun saat diwawancarai dalam
acara "Larry King Live" pada bulan Juni 2007, ia mengatakan bahwa julukan
tersebut disandangnya karena pekerjaannya sebagai seorang ahli patologi
yang banyak melakukan otopsi.
Ia dituntut hukuman penjara selama 10 25 tahun dan dijatuhi
hukuman penjara selama delapan tahun. Ia mulai menjalani hukuman penjara
pada tahun 1999 atas tuduhan melakukan kejahatan pembunuhan tingkat dua
pada tahun 1998 dengan cara meracuni Thomas Youk, 52 tahun, dari Oakland
County, Michigan. Kevorkian dibebaskan dari penjara pada tanggal 1
Juni 2007, karena alasan kesehatan yang disebabkan oleh
penyakit diabetes dan hepatitis C.
Pada tahun 1980-an, Kevorkian menuliskan serangakaian artikel untuk
sebuah jurnal Jerman yang bernama Medicine and Law (Kedokteran dan
Hukum) yang menuangkan pemikirannya mengenai etika dari eutanasia.
Kevorkian memuat iklan di koran Detroit Newspaper pada tahun 1987
sebagai seorang konsultan kedokteran untuk konsultasi kematian. Pada
tahun 1991, negara bagian Michigan mencabut izin praktiknya sehingga ia
tidak diperkenankan lagi menjalankan praktik kedokteran ataupun
berhubungan dengan pasien. Menurut pengacaranya yang bernama Geoffrey
Fieger, antara periode tahun 1990 dan 1998, Kevorkian telah melakukan
pembantuan untuk kematian dari hampir 100 orang pasien terminal (penyakit
tanpa harapan sembuh lagi, misalnya kanker stadium akhir) kelak kemudian
hari sewaktu dilakukan otopsi atas sejumlah pasien yang kematiannya dibantu
oleh Kevorkian, ditemukan bahwa tidak terdapat tanda-tanda penyakit
terminal dan motivasi bunuh diri mereka adalah disebabkan oleh depresi .
Pada setiap kasus tersebut, masing-masing pasien melakukan sendiri tindakan
terakhir yang mengakibatkan kematian mereka (bunuh diri berbantuan
dokter). Dr. Kevorkian hanya melakukan bantuan dalam menghubungkan si
pasien pada suatu alat untuk bunuh diri yang dirancangnya dan kemudian
6
pasien tersebutlah yang menekan sendiri tombol yang melepaskan obat atau
kimia yang akan mengakhiri hidupnya. Dua kematian dilakukan dengan
bantuan suatu alat berupa jarum suntik yang menyuntikkan obat mematikan
secara mekanis melalui intravena (IV), yang diberi nama oleh Kevorkian
dengan nama "Thanatron" (yang artinya "mesin kematian"). Pasien lainnya
dibantu dengan suatu alat berupa masker gas yang dapat menyalurkan
gas karbonmonoksida dan alat ini diberi nama "Mercitron" (yang artinya
"mesin belas kasihan"), dimana alat ini menjadi sering digunakan sebab
dengan dicabutnya izin praktiknya maka ia secara hokum tidak lagi
diperbolehkan untuk menggunakan "Thanatron" karena menggunakan sistem
suntikan.
Pada tanggal 28 November 1998 pada siaran acara 60 Minutes,
Kevorkian mengizinkan pemutaran video yang dibuatnya pada tanggal 17
September 1998, yang menggambarkan eutanasia suka rela atas diri pasien
bernama Thomas Youk, seorang pria dewasa yang menderita
penyakit ALS pada stadium akhir dan penayangan video pada acara inilah
yang akhirnya menggiring Kevorkian ke penjara atas dakwaan pembunuhan
tingkat dua.
7
insulin yang dapat mematikan pasien secara langsung. Pasien dijelaskan terlebih
dahulu akan keadaan dirinya dengan pernyakitnya yang sekarat dan tak akan
tersembuhkan lagi, dengan rasa nyeri yang tak tertahankan kemudian menjelaskan
bahwa tidak ada alternatif lain bagi pasien untuk dapat sembuh atau terhindar dari
rasa nyeri itu. Dokter akan memberikan petunjuk untuk tindakan PAS, apabila
pasien telah memutuskan untuk melakukan tanpa paksaan atau pengaruh dari
orang lain, maka dokter memberikan petunjuk untuk tinggal memencet tombol
pada laptop disamping tempat tidurnya yang dapat mengalirkan zat mematikan ke
dalam tubuh pasien. Untuk negara-negara yang melegalkan tindakan PAS ini
tidak bertentangan dengan UU karena pasien telah mengggunakan haknya untuk
menentukan pilihannya.
Euthanasia dan physicianassisted suicide secara konsep memang sama, apda
dasarnya mengizinkan seseorang untuk bunuh diri dengan bantuan medis. Namun
terdapat perbedaan yang besar dari kedua hal tersebut, yakni turut campur dokter;
dalam euthanasia dokter secara langsung (dirinya sendiri) yang memberikan obat
(suntikan) dalam dosis mematikan itu. Sedangkan physicianassisted suicide,
dokter hanya memberikan resep.
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang melegalkan physician-
assisted suicide, membedakan atau mengecualikannya dengan assisted suicide.
Assisted suicide secara harfiah berarti membantu dalam percobaan bunuh diri.
Pengertian seseorang yang membantu dalam percobaan bunuh diri ini terlalu lebar
dan dapat menyebabkan tumpang tindih dengan hukum lainnya (khususnya
hukum yang mengatur mengenai homicide maupun manslaughter) apabila assisted
suicide dilegalkan. Sedangkan physician assisted suicide yang terdapat di empat
negara bagian Amerika Serikat, dokter hanya memberikan resep untuk bunuh diri,
dan keputusan akan melakukan bunuh diri atau tidaknya tergantung pada orang
yang ingin bunuh diri (kecuali Montana, negara ini belum memiliki peraturan
mengenai physician-assisted suicide secara jelas mengingat bentuk pelegalannya
berdasarkan putusan hakim). Empat negara bagian tersebut, yakni; Oregon,
Washington, Montana dan Vermont, melegalkan physician-assisted suicide.
Berikut adalah pembahasan mengenai legalisasi euthanasia di dua negara bagian
Amerika:
8
a. Oregon
ODDA (the Oregon Death with Dignity Act) memperbolehkan orang yang
sudah dewasa untuk mengakhiri kehidupannya dengan beberapa persyaratan
untuk dapat mengajukan permohonan (mendapatkan resep medis untuk suntikan
mati), seorang pasien harus:
18 tahun keatas
Bertempat tinggal di Oregon
Didiagnosa berpenyakit mematikan dengan kemungkinan dalam bertahan
hidup adalah enam bulan atau kurang dari itu.
Dapat membuat keputusan yang masuk akal (dalam hal ini keputusan
tidak diambil oleh orang yang sedang depresi atau memiliki kelainan
jiwa)
Permohonan physician-assisted suicide menurut ODDA harus dalam bentuk
lisan dan tertulis. Permohonan tersebut dikatakan sebagai permohonan pertama,
kemudian setelah mengajukan permohonannya pada dokter selama 15 hari (waktu
tunggu), pasien/pemohon harus mengulangi kembali permohonannya secara lisan.
Dokter wajib menyarankan pasiennya ketika mengajukan permohonan secara
lisan yang kedua kalinya untuk membatalkan permohonannya tersebut.
Pada kurun waktu 15 hari itu (15 hari atau lebih) seorang dokter harus sudah
membuat resep obat menurut yang tertera dalam ORS 127.800 hingga 127.897
(ODDA). Kemudian setelah 48 jam, pasien dapat mengambil resep obat tersebut
dan menghubungi apoteker untuk dapat mengambil obatnya di apotik. Penerapan
physician-assisted suicide di Oregon sudah berjalan 15 tahun lebih, The Oregon
Public Health Division sesuai dengan ODDA mengumpulkan data dan membuat
laporan tiap tahunnya. Sejak tahun 1997, jumlah pasien yang mendapatkan resep
sebanyak 1.173 orang, namun hanya terdapat 752 pasien yang mati karena obat
tersebut.
Selain itu Oregon Medicaid Program membiayai assisted suicide bagi warga
negara yang miskin sebagai bentuk comfort care. Juru bicara dari sebuah
asuransi kesehatan non-pemerintahan menyatakan bahwa membiayai assisted
suicide tidaklah jauh berbeda dari membiayai resep dokter biasa.
9
b. Washington
Pergerakan dalam melegalisasikan euthanasia telah dimulai semenjak awal
tahun 1970-an, dan pengambilan suara pertama kalinya untuk melegalisasi
euthanasia dan physician-assisted suicide. Hemlock Society dan pendukung
lainnya mendapatkan tanda tangan untuk memenuhi persyaratan pengambilan
suara Measure 119 (Death with Dignity Act) yang dilakukan pada tanggal 4
November 1991 dan tidak berhasil. Penduduk Washington menolak dengan
perbandingan suara 54% melawan 46%.
Usaha untuk melegalkan physician-assisted suicide kembali mencuat pada
tahun 2008, terdapat kampanye atas koalisi yang di dalamnya termasuk mantan
Gubernur Washington, Booth Gardner, the Death with Dignity National Center,
Compassion & Choises (national), Compassion & Choises of Washington, dan
sebagainya. Pengambilan suara yang terkenal sebagai Washington Initiative
Measure 1000 (I- 1000) disetujui dengan perolehan suara 1.715.219 (57,82%)
melawan 1.251.255 (42.18%) dengan nama The Washington State Death with
Dignity Act (RCW 70.245) pada tanggal 4 November 2008. Physician-assisted
suicide telah legal di Washington dengan berbagai persyaratan dan mulai berlaku
pada tanggal 5 Maret 2009.
Di dalam RCW 70.245.020 mengenai written request for medication
menyebutkan persyaratan seseorang yang dapat mengajukan permohonan, antara
lain:
Orang dewasa (18 tahun atau lebih) dan berkompeten
Penduduk negara bagian Washington
Setelah berkonsultasi, dinyatakan oleh dokter menderita penyakit
mematikan (penyakit yang akan menyebabkan kematian pada jangka
waktu enam bulan).
Secara sukarela mengatakan harapannya untuk mati.
Menuliskan permohonannya bahwa si pasien memang ingin mengakhiri
hidupnya dengan cara kemanusiaan dan bermartabat
Permohonan physician-assisted suicide sama seperti Oregon berbentuk lisan
dan tertulis. Pada RCW 70.245.090 70.245.110, mengatur bahwa pada seorang
pasien harus membuat pernyataan lisan dan tertulis. Kemudian 15 hari kemudian,
10
pasien tersebut kembali mengatakan permohonannya secara lisan untuk yang
kedua kalinya, pada saat ini dokter harus menyarankan untuk membatalkan
permohonan tersebut (walaupun permohonan dapat dibatalkan kapan saja). Resep
medis itu tidak akan diberikan oleh dokter apabila si pasien tidak menemuinya.
Setelah itu pasien harus menunggu lagi selama minimal 48 jam antara
menandatangani permohonan tertulis dengan mendapatkan resep tertulis itu.
Permohonan tersebut harus disaksikan oleh dua orang yang setidaknya salah
satunya bukan keluarga pasien.
Penerapan assisted suicide Washington sudah berjalan selama empat periode
lebih dimulai dari tahun 2009 hingga saat ini.
Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing
bertahan dengan alasan yang diyakini. Alasan pro euthanasia adalah sebagai
berikut:
1. Rasa kasihan (mercy killing)
2. Faktor ekonomi
3. Faktor sosial
4. Pasien siap mati wajar
5. Mati batang otak
6. Pasien menolak semua tindakan medis
7. Tindakan medis tidak menolong lagi
8. Setuju asal dilakukan di negara yang melegalkan Euthanasia.
Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang
seperti sudut pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati
dengan tenang di tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak
semua tindakan medis dan pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak
melanggar sesuai dengan SK.PB.IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan
mati bila sudah terdapat kerusakan permanen pada batang otak.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, dan
kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya,
meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh
adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer
dengan istilah physician assisted suicide. Negara yang telah memberlakukan
11
euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-
Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang
sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal
menunggu kematian.
Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya
hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter
spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya
Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin menerima tindakan euthanasia
aktif. Mengenai euthanasia pasif, merupakan suatu daerah kelabu karena
memiliki nilai bersifat ambigu yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan
amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena
dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
12
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-
undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia
dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien
itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI No.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki
pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP,
ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP
sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana
lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang
direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini
terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.
13
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi
generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.
14
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan
kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus
asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang
umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan
mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan
hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi
etik dan moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan
terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang
sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga
diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap
nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum
agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau
hukum negara.
15
Kevorkian mengaku bahwa sejak tahun 1990 ia telah membantu lebih dari 130
pasien dengan berbagai penyakit kronis untuk mengakhiri hidupnya (melakukan
euthanasia). Kevorkian kemudian dijuluki sebagai dr. Death. Kontroversi terjadi.
Ada yang mengutuk, tapi ada juga yang membelanya. Para pembela itu menyebut
Kevorkian sebagai dokter yang menunjukkan belas kasihan mendalam dengan
penderitaan para pasien. Terlepas dari kontroversi mana yang benar dan mana
salah, yang pasti pada tanggal 14 April 1999 dr. Kevorkian dijatuhi hukuman 25
tahun penjara.
Kedua, terjadi di Inggris tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup
Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya
dengan memberikan suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu
karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. Ia
mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-
mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri
hidupnya, demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui
tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat
bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh
kasih. Tetapi apa pun bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan
dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa
menjalankan profesinya sebagai dokter.
Kedua contoh kasus di atas memperlihatkan kepada kita, betapa
problematisnya soal euthanasia ini. Pada satu pihak kita bisa saja berada pada
barisan orang-orang yang pro. Alasan yang biasa dikemukakan adalah: tidak ada
kesempatan hidup, biaya mahal bisa digunakan untuk yang hidup, penderitaan si
pasien. Tetapi pada pihak lain kita juga bisa berada pada barisan orang yang
kontra. Alasannya adalah apa pun yang namanya pembunuhan adalah
pembunuhan dan itu dilarang oleh Tuhan sendiri.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia masalah euthanasia maupun Physician Assisted Suicide (PAS)
masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah
dalam perkembangan hukum positif Indonesia, euthanasia dan Physician Assisted
Suicide (PAS) akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Munculnya
permintaan tindakan medis euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS)
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran
nilai kultural. Kelompok pro-euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS)
mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of
life, dan hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama
secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan
membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Jadi di
Indonesia, Physician Assisted Suicide (PAS) tetap dilarang, baik dilihat dari kode
etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama,
yang menghukumkannya haram.
3.2 Saran
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan PAS, karena jika
dilihat dari segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika
dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
17