Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang dimiliki oleh setiap
manusia, hak yang didapatkan bukan karena hukum positif namun karena
martabatnya sebagai manusia. Dalam perkembangannya pengakuan mengenai
HAM secara universal menemui titik terangnya dengan adanya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember
tahun 1948.
Sudah menjadi tugas Negara dalam hal melindungi hak hidup warga
negaranya dan memastikannya dapat hidup dengan baik tanpa menganggu hak
orang lainnya. Bahkan dalam konflik bersenajata pun, hak hidup warga maupun
tahanannya pun harus dihormati. Berkenaan dengan hak hidup terdapat beberapa
isu yang berkembang di dalam suatu Negara terhadap hukum internasional.
Permasalahan muncul dalam tahap implementasi karena hukum internasional
yang cenderung tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum nasional di
Negara peserta, walaupun tidak menutup kemungkinan hukum internasional
tersebut juga bersinggungan dengan kepentingan politik suatu negara. Salah satu
contoh negara yang dalam penerapan hukum nasionalnya bersinggungan dengan
hak hidup adalah Belanda.
Belanda merupakan salah satu negara yang melegalkan adanya euthanasia
dan Physician-Assisted Suicide di dalam hukum nasionalnya. Semenjak tahun
1991-1995 dilaporkan terdapat 6,324 kasus euthanasia yang ditinjau oleh penuntut
umum yang berwenang. Tahun 1996- 1997 terdapat 3.797 kasus 18.042 kasus
telah dilaporkan pada tahun 1998-2006. Pada tahun 2008 sistem hukum Belanda
memproses 1.900 kasus euthanasia per tahun. Kemudian mengikuti jejak Belanda,
Belgia pun melegalkan euthanasia dan physician-assisted suicide. Selain Belanda
dan Belgia, terdapat Swiss yang sudah terlebih dahulu membuka jalan terhadap
adanya euthanasia dalam Pasal 115 hukum pidananya (penal code) semenjak
tahun 1942 dan belum berubah hingga saat ini.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah adalah:
a. Apa yang dimaksud dengan Physician Assisted Suicide (PAS)?
b. Bagaimana sejarah terjadinya Physician Assisted Suicide (PAS)?
c. Bagaimana pandangan terhadap Physician Assisted Suicide (PAS)?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Hukum Profesi Kesehatan
b. Untuk mengetahui pengertian Physician Assisted Suicide (PAS)
c. Untuk mengetahui sejarah terjadinya Physician Assisted Suicide (PAS)
d. Untuk mengetahui pandangan terhadap Physician Assisted Suicide (PAS)
dari berbagai aspek

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian PAS (Physician Assisted Suicide)


Physician Assisted Suicide (PAS) merupakan tindakan Bunuh Diri
Berbantuan (BDB) adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan secara aktif oleh
pasien yang berada dalam tahap terminal dari sakitnya, dimana dalam tindakan
tersebut dibantu oleh dokter dengan melakukan tindakan yang dapat dianggap
memberikan fasilitas pada pasien stadium terminal tadi untuk melakukan bunuh
diri tersebut. Bantuan dokter tdapat melalui berbagai cara, seperti menuliskan
resep obat dengan dosis toxis, membantu mencarikan obat/zat yang beracun,
menyediakan peralatan khusus yang dapat dipakai oleh pasien sebagai sarana
untuk bunuh diri dan sebagainya.
Assisten suicide yang merupakan turunan dari euthanasia terkadang diberi
istilah bantuan untuk mati. Di dalam euthanasia dokter yang mengelola sarana
kematian, biasanya berupa obat mematikan yang diintervensi langsung kepada
pasien. Sedangkan proses Physician Assisted Suicide selalu atas permintaan
pasien dan dengan persetujuan pasien karena pasien sendiri yang ingin mengelola
proses kematiannya. Beberapa kasus dari pasien kanker pernah meminta dokter
spesialis onkologi yang menangani penyakit mereka untuk mengakhiri hidupnya.

2.2 Sejarah PAS (Physician Assisted Suicide)


Sebenarnya, persoalan euthanasia dan PAS (Physician Assisted Suicide)
bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah
diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dan PAS (Physician Assisted
Suicide) dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

2.2.1 Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno


Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan
beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun
300-an sebelum Masehi, menulis, Dari apa yang diminta manusia kepada
para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik. Philo,

3
seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC 50 AD, mengatakan
bahwa euthanasia adalah kematian tenang dan baik.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi
memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: Ia mendapat
kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir
selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya
euthanasia bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat
dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya (Divus Augustus 99).
Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah
euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan
kelayakan (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65
M malah menganjurkan, lebih baik mati daripada sengsara merana.

2.2.2 Zaman Renaissance


Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan
oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis,
mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya
memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan
juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran
saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita
waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam the Best Form of
Government and The New Island of Utopia yang diterbitkan tahun 1516
menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara
secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang
membiuskan.

2.2.3 Abad XVII-XX


David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional
tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the
soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya
mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.

4
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan
jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding
(ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia
sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini
terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan
menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo)
ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar
hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.2.4 Sekarang Ini (Abad XXI)


Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun
Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin
marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan
euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu,
praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di
Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.
Assisted Suicide di United State telah menarik perhatian umum pada
tahun 1990-an dengan hebohnya publikasi dari kasus Dr. Jack Kevorkian. Dr.
Kevorkian telah membantu lebih dari 40 orang dalam tindakan bunuh diri
di Michigan. Bantuan bunuh dirinya secara umum pertama kali pada tahun
1990, pada Janet Adkins, seorang wanita berusia 54 tahun didiagnosa gejala
awal penyakit Alzheimer pada tahun 1989. Ia dituntut melakukan
pembunuhan, tetapi tuntutan tersebut digugurkan pada 13 Desember 1990
karena tidak ada hukum yang menyatakan tindakan atau bantuan medis
tersebut tidak sah, sehingga dia dinyatakan tidak melanggar hukum.
Dr. Jack Kevorkian, (lahir 26 Mei 1928 meninggal 3 Juni 2011 pada
umur 83 tahun) adalah seorang ahli patologi yang kontroversial. Ia dilahirkan
di Pontiac, di negara bagian Michigan, Amerika, dari orang tua yang
berdarah Armenia - Amerika. Ia terkenal dalam membantu hak untuk mati

5
dari pasien terminal dengan cara "bunuh diri berbantuan" dan mengklaim
bahwa ia telah mebantu sebanyak 130 pasien sampai mengakhiri hidupnya.
Pernyataannya yang sangat terkenal yaitu "kematian bukanlah perbuatan
kriminal". Banyak yang mengira bahwa julukan Dr. Death (Dokter Kematian)
diberikan kepadanya karena kegiatannya tersebut, namun saat diwawancarai dalam
acara "Larry King Live" pada bulan Juni 2007, ia mengatakan bahwa julukan
tersebut disandangnya karena pekerjaannya sebagai seorang ahli patologi
yang banyak melakukan otopsi.
Ia dituntut hukuman penjara selama 10 25 tahun dan dijatuhi
hukuman penjara selama delapan tahun. Ia mulai menjalani hukuman penjara
pada tahun 1999 atas tuduhan melakukan kejahatan pembunuhan tingkat dua
pada tahun 1998 dengan cara meracuni Thomas Youk, 52 tahun, dari Oakland
County, Michigan. Kevorkian dibebaskan dari penjara pada tanggal 1
Juni 2007, karena alasan kesehatan yang disebabkan oleh
penyakit diabetes dan hepatitis C.
Pada tahun 1980-an, Kevorkian menuliskan serangakaian artikel untuk
sebuah jurnal Jerman yang bernama Medicine and Law (Kedokteran dan
Hukum) yang menuangkan pemikirannya mengenai etika dari eutanasia.
Kevorkian memuat iklan di koran Detroit Newspaper pada tahun 1987
sebagai seorang konsultan kedokteran untuk konsultasi kematian. Pada
tahun 1991, negara bagian Michigan mencabut izin praktiknya sehingga ia
tidak diperkenankan lagi menjalankan praktik kedokteran ataupun
berhubungan dengan pasien. Menurut pengacaranya yang bernama Geoffrey
Fieger, antara periode tahun 1990 dan 1998, Kevorkian telah melakukan
pembantuan untuk kematian dari hampir 100 orang pasien terminal (penyakit
tanpa harapan sembuh lagi, misalnya kanker stadium akhir) kelak kemudian
hari sewaktu dilakukan otopsi atas sejumlah pasien yang kematiannya dibantu
oleh Kevorkian, ditemukan bahwa tidak terdapat tanda-tanda penyakit
terminal dan motivasi bunuh diri mereka adalah disebabkan oleh depresi .
Pada setiap kasus tersebut, masing-masing pasien melakukan sendiri tindakan
terakhir yang mengakibatkan kematian mereka (bunuh diri berbantuan
dokter). Dr. Kevorkian hanya melakukan bantuan dalam menghubungkan si
pasien pada suatu alat untuk bunuh diri yang dirancangnya dan kemudian

6
pasien tersebutlah yang menekan sendiri tombol yang melepaskan obat atau
kimia yang akan mengakhiri hidupnya. Dua kematian dilakukan dengan
bantuan suatu alat berupa jarum suntik yang menyuntikkan obat mematikan
secara mekanis melalui intravena (IV), yang diberi nama oleh Kevorkian
dengan nama "Thanatron" (yang artinya "mesin kematian"). Pasien lainnya
dibantu dengan suatu alat berupa masker gas yang dapat menyalurkan
gas karbonmonoksida dan alat ini diberi nama "Mercitron" (yang artinya
"mesin belas kasihan"), dimana alat ini menjadi sering digunakan sebab
dengan dicabutnya izin praktiknya maka ia secara hokum tidak lagi
diperbolehkan untuk menggunakan "Thanatron" karena menggunakan sistem
suntikan.
Pada tanggal 28 November 1998 pada siaran acara 60 Minutes,
Kevorkian mengizinkan pemutaran video yang dibuatnya pada tanggal 17
September 1998, yang menggambarkan eutanasia suka rela atas diri pasien
bernama Thomas Youk, seorang pria dewasa yang menderita
penyakit ALS pada stadium akhir dan penayangan video pada acara inilah
yang akhirnya menggiring Kevorkian ke penjara atas dakwaan pembunuhan
tingkat dua.

2.3 Pandangan terhadap Physician Assisted Suicide (PAS)


Physycian assisted suicide adalah jenis euthanasia yang banyak diperdebatkan
dengan right to die. Di dunia ini, ada beberapa negara yang melegalkan
tindakan ini tetapi ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1 dengan syarat yang
sangat ketat, negara tersebut seperti Belanda, Belgia dan Oregon. Perkembangan
mengenai right to die di Amerika Serikat pada dasarnya sama seperti negara-
negara lainnya di dunia yakni pasca Perang Dunia ke-II. Amerika Serikat terkenal
dengan penggunaan yurisprudensi dalam pengambilan suatu putusan oleh hakim
ketika putusan hakim sebelumnya pada kasus yang sifatnya sama akan dijadikan
hukum oleh hakim terhadap perkara yang baru. Perkara-perkara tersebut beberapa
menjadi undang-undang tersendiri yang dibuat oleh pemerintah untuk
mengakomodasi putusan tersebut sehingga menjadi hukum tersendiri yang
berlaku. Tindakan PAS berupa pemberian zat yang mematikan seperti morfin atau

7
insulin yang dapat mematikan pasien secara langsung. Pasien dijelaskan terlebih
dahulu akan keadaan dirinya dengan pernyakitnya yang sekarat dan tak akan
tersembuhkan lagi, dengan rasa nyeri yang tak tertahankan kemudian menjelaskan
bahwa tidak ada alternatif lain bagi pasien untuk dapat sembuh atau terhindar dari
rasa nyeri itu. Dokter akan memberikan petunjuk untuk tindakan PAS, apabila
pasien telah memutuskan untuk melakukan tanpa paksaan atau pengaruh dari
orang lain, maka dokter memberikan petunjuk untuk tinggal memencet tombol
pada laptop disamping tempat tidurnya yang dapat mengalirkan zat mematikan ke
dalam tubuh pasien. Untuk negara-negara yang melegalkan tindakan PAS ini
tidak bertentangan dengan UU karena pasien telah mengggunakan haknya untuk
menentukan pilihannya.
Euthanasia dan physicianassisted suicide secara konsep memang sama, apda
dasarnya mengizinkan seseorang untuk bunuh diri dengan bantuan medis. Namun
terdapat perbedaan yang besar dari kedua hal tersebut, yakni turut campur dokter;
dalam euthanasia dokter secara langsung (dirinya sendiri) yang memberikan obat
(suntikan) dalam dosis mematikan itu. Sedangkan physicianassisted suicide,
dokter hanya memberikan resep.
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang melegalkan physician-
assisted suicide, membedakan atau mengecualikannya dengan assisted suicide.
Assisted suicide secara harfiah berarti membantu dalam percobaan bunuh diri.
Pengertian seseorang yang membantu dalam percobaan bunuh diri ini terlalu lebar
dan dapat menyebabkan tumpang tindih dengan hukum lainnya (khususnya
hukum yang mengatur mengenai homicide maupun manslaughter) apabila assisted
suicide dilegalkan. Sedangkan physician assisted suicide yang terdapat di empat
negara bagian Amerika Serikat, dokter hanya memberikan resep untuk bunuh diri,
dan keputusan akan melakukan bunuh diri atau tidaknya tergantung pada orang
yang ingin bunuh diri (kecuali Montana, negara ini belum memiliki peraturan
mengenai physician-assisted suicide secara jelas mengingat bentuk pelegalannya
berdasarkan putusan hakim). Empat negara bagian tersebut, yakni; Oregon,
Washington, Montana dan Vermont, melegalkan physician-assisted suicide.
Berikut adalah pembahasan mengenai legalisasi euthanasia di dua negara bagian
Amerika:

8
a. Oregon
ODDA (the Oregon Death with Dignity Act) memperbolehkan orang yang
sudah dewasa untuk mengakhiri kehidupannya dengan beberapa persyaratan
untuk dapat mengajukan permohonan (mendapatkan resep medis untuk suntikan
mati), seorang pasien harus:
18 tahun keatas
Bertempat tinggal di Oregon
Didiagnosa berpenyakit mematikan dengan kemungkinan dalam bertahan
hidup adalah enam bulan atau kurang dari itu.
Dapat membuat keputusan yang masuk akal (dalam hal ini keputusan
tidak diambil oleh orang yang sedang depresi atau memiliki kelainan
jiwa)
Permohonan physician-assisted suicide menurut ODDA harus dalam bentuk
lisan dan tertulis. Permohonan tersebut dikatakan sebagai permohonan pertama,
kemudian setelah mengajukan permohonannya pada dokter selama 15 hari (waktu
tunggu), pasien/pemohon harus mengulangi kembali permohonannya secara lisan.
Dokter wajib menyarankan pasiennya ketika mengajukan permohonan secara
lisan yang kedua kalinya untuk membatalkan permohonannya tersebut.
Pada kurun waktu 15 hari itu (15 hari atau lebih) seorang dokter harus sudah
membuat resep obat menurut yang tertera dalam ORS 127.800 hingga 127.897
(ODDA). Kemudian setelah 48 jam, pasien dapat mengambil resep obat tersebut
dan menghubungi apoteker untuk dapat mengambil obatnya di apotik. Penerapan
physician-assisted suicide di Oregon sudah berjalan 15 tahun lebih, The Oregon
Public Health Division sesuai dengan ODDA mengumpulkan data dan membuat
laporan tiap tahunnya. Sejak tahun 1997, jumlah pasien yang mendapatkan resep
sebanyak 1.173 orang, namun hanya terdapat 752 pasien yang mati karena obat
tersebut.
Selain itu Oregon Medicaid Program membiayai assisted suicide bagi warga
negara yang miskin sebagai bentuk comfort care. Juru bicara dari sebuah
asuransi kesehatan non-pemerintahan menyatakan bahwa membiayai assisted
suicide tidaklah jauh berbeda dari membiayai resep dokter biasa.

9
b. Washington
Pergerakan dalam melegalisasikan euthanasia telah dimulai semenjak awal
tahun 1970-an, dan pengambilan suara pertama kalinya untuk melegalisasi
euthanasia dan physician-assisted suicide. Hemlock Society dan pendukung
lainnya mendapatkan tanda tangan untuk memenuhi persyaratan pengambilan
suara Measure 119 (Death with Dignity Act) yang dilakukan pada tanggal 4
November 1991 dan tidak berhasil. Penduduk Washington menolak dengan
perbandingan suara 54% melawan 46%.
Usaha untuk melegalkan physician-assisted suicide kembali mencuat pada
tahun 2008, terdapat kampanye atas koalisi yang di dalamnya termasuk mantan
Gubernur Washington, Booth Gardner, the Death with Dignity National Center,
Compassion & Choises (national), Compassion & Choises of Washington, dan
sebagainya. Pengambilan suara yang terkenal sebagai Washington Initiative
Measure 1000 (I- 1000) disetujui dengan perolehan suara 1.715.219 (57,82%)
melawan 1.251.255 (42.18%) dengan nama The Washington State Death with
Dignity Act (RCW 70.245) pada tanggal 4 November 2008. Physician-assisted
suicide telah legal di Washington dengan berbagai persyaratan dan mulai berlaku
pada tanggal 5 Maret 2009.
Di dalam RCW 70.245.020 mengenai written request for medication
menyebutkan persyaratan seseorang yang dapat mengajukan permohonan, antara
lain:
Orang dewasa (18 tahun atau lebih) dan berkompeten
Penduduk negara bagian Washington
Setelah berkonsultasi, dinyatakan oleh dokter menderita penyakit
mematikan (penyakit yang akan menyebabkan kematian pada jangka
waktu enam bulan).
Secara sukarela mengatakan harapannya untuk mati.
Menuliskan permohonannya bahwa si pasien memang ingin mengakhiri
hidupnya dengan cara kemanusiaan dan bermartabat
Permohonan physician-assisted suicide sama seperti Oregon berbentuk lisan
dan tertulis. Pada RCW 70.245.090 70.245.110, mengatur bahwa pada seorang
pasien harus membuat pernyataan lisan dan tertulis. Kemudian 15 hari kemudian,

10
pasien tersebut kembali mengatakan permohonannya secara lisan untuk yang
kedua kalinya, pada saat ini dokter harus menyarankan untuk membatalkan
permohonan tersebut (walaupun permohonan dapat dibatalkan kapan saja). Resep
medis itu tidak akan diberikan oleh dokter apabila si pasien tidak menemuinya.
Setelah itu pasien harus menunggu lagi selama minimal 48 jam antara
menandatangani permohonan tertulis dengan mendapatkan resep tertulis itu.
Permohonan tersebut harus disaksikan oleh dua orang yang setidaknya salah
satunya bukan keluarga pasien.
Penerapan assisted suicide Washington sudah berjalan selama empat periode
lebih dimulai dari tahun 2009 hingga saat ini.
Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing
bertahan dengan alasan yang diyakini. Alasan pro euthanasia adalah sebagai
berikut:
1. Rasa kasihan (mercy killing)
2. Faktor ekonomi
3. Faktor sosial
4. Pasien siap mati wajar
5. Mati batang otak
6. Pasien menolak semua tindakan medis
7. Tindakan medis tidak menolong lagi
8. Setuju asal dilakukan di negara yang melegalkan Euthanasia.
Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang
seperti sudut pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati
dengan tenang di tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak
semua tindakan medis dan pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak
melanggar sesuai dengan SK.PB.IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan
mati bila sudah terdapat kerusakan permanen pada batang otak.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, dan
kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya,
meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh
adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer
dengan istilah physician assisted suicide. Negara yang telah memberlakukan

11
euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-
Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang
sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal
menunggu kematian.
Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya
hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter
spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya
Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin menerima tindakan euthanasia
aktif. Mengenai euthanasia pasif, merupakan suatu daerah kelabu karena
memiliki nilai bersifat ambigu yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan
amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena
dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.

2.3.1 Aspek Hukum


Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang
sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim
dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien

12
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-
undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia
dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien
itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI No.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki
pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP,
ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP
sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana
lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang
direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini
terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.

13
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi
generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.

2.3.2 Aspek Hak Asasi


Hak asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai,
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari
aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak
dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan
atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

2.3.3 Aspek Ilmu Pengetahuan


Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya?
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.

2.3.4 Aspek Agama


Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak
untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan
kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang
menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas
dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani
sebagai aturan Tuhan.

14
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan
kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus
asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang
umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan
mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan
hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi
etik dan moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan
terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang
sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga
diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap
nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum
agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau
hukum negara.

2.4 Kasus Physician Assisted Suicide (PAS)


Terdapat dua kasus mengenai Physician Assisted Suicide (PAS) yang sempat
menghebohkan . Pertama, terjadi di Amerika ketika seorang dokter bernama Jack

15
Kevorkian mengaku bahwa sejak tahun 1990 ia telah membantu lebih dari 130
pasien dengan berbagai penyakit kronis untuk mengakhiri hidupnya (melakukan
euthanasia). Kevorkian kemudian dijuluki sebagai dr. Death. Kontroversi terjadi.
Ada yang mengutuk, tapi ada juga yang membelanya. Para pembela itu menyebut
Kevorkian sebagai dokter yang menunjukkan belas kasihan mendalam dengan
penderitaan para pasien. Terlepas dari kontroversi mana yang benar dan mana
salah, yang pasti pada tanggal 14 April 1999 dr. Kevorkian dijatuhi hukuman 25
tahun penjara.
Kedua, terjadi di Inggris tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup
Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya
dengan memberikan suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu
karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. Ia
mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-
mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri
hidupnya, demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui
tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat
bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh
kasih. Tetapi apa pun bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan
dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa
menjalankan profesinya sebagai dokter.
Kedua contoh kasus di atas memperlihatkan kepada kita, betapa
problematisnya soal euthanasia ini. Pada satu pihak kita bisa saja berada pada
barisan orang-orang yang pro. Alasan yang biasa dikemukakan adalah: tidak ada
kesempatan hidup, biaya mahal bisa digunakan untuk yang hidup, penderitaan si
pasien. Tetapi pada pihak lain kita juga bisa berada pada barisan orang yang
kontra. Alasannya adalah apa pun yang namanya pembunuhan adalah
pembunuhan dan itu dilarang oleh Tuhan sendiri.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Di Indonesia masalah euthanasia maupun Physician Assisted Suicide (PAS)
masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah
dalam perkembangan hukum positif Indonesia, euthanasia dan Physician Assisted
Suicide (PAS) akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Munculnya
permintaan tindakan medis euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS)
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran
nilai kultural. Kelompok pro-euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS)
mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of
life, dan hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama
secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan
membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Jadi di
Indonesia, Physician Assisted Suicide (PAS) tetap dilarang, baik dilihat dari kode
etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama,
yang menghukumkannya haram.

3.2 Saran
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan PAS, karena jika
dilihat dari segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika
dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.

17

Anda mungkin juga menyukai