Anda di halaman 1dari 5

POKOK PERMASALAHAN

1. Kota Yogyakarta yang terasa semakin penuh.


2. Pesatnya pembangunan pemukiman dan bangunan komersial di wilayah kota
Yogyakarta.
3. Semakin berkurangnya RTH di wilayah kota Yogyakarta.
4. Semakin menjamurnya perumahan di wilayah pinggiran kota jogja.
5. Sampah di jogja yang perlu di perhitungkan.
Jantung Kota yang mulai Kisis Oksigen

Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota kuno di Indonesia merupakan kota yang
lahir secara terencana. Dalam hal ini baik pemilihan lokasi hingga rencana tata ruang
semua terencana dengan baik. Civic center (CBD) yang dimilikinya berfungsi sebagai
pusat bagi berbagai macam kegiatan penduduk, baik sebagai pusat politik, spiritual,
ekonomi, pertahanan, dan rekreasi (Kostof, 1992). Adapun yang menjadi Civic center
(CBD) ini merupakan kawasan keraton dan sekitarnya hingga kepatihan. Dalam
kawasan ini terdapat berbagai macam bangunan yang digunakan sebagai kawasan
permukiman maupun pusat kegiatan perdagangan dan jasa yang berguna untuk
menunjang kehidupan bermasyarakat. Civic Center di pusat Kota Yogyakarta ini
memberntuk sebuah pola tertentu. Civic Center (CBD) ini dijadikan sebagai pusat
kehidupan penduduk kota karena di dalamnya terdapat komponen yang
merepresentasikan aspek kehidupan sosial, politik, keagamaaan, dan ekonomi. Adapun
pola-pola tersebut adalah alun-alun lor yang merupakan pusat kota dikelilingi Masjid
Agung di sebelah baratnya, keraton di sebelah selatannya, dan pasar di sebelah utara.

Dewasa ini Kota Yogyakarta mulai terasa perkembangan dan pertumbuhanya.


Dengan bersamaan moderenisasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kota
Yogyakarta yang mengundang wisatawan dari luar daerah atau luar negeri sebagai
tujuan wisata. Bahkan banyak para pendatang yang menetap di Kota Yogyakarta.
Menjadikan Kota Yogyakarta sebagai pilihan mereka untuk tempat tinggal. Sehinggga
Kota Yogyakarta mulai terasa penuh, karena begitu banyaknya pendatang, kendaraan,
dan bangunan. Mulai dari bangunan pemukiman hingga gedung komersial bertingkat
yang memenuhi Kota Yogyakarta.

Permukiman yang terdapat di pusat Kota Yogyakarta adalah berupa permukiman


penduduk kuno yang dapat dilacak keberadaannya dari toponim. Toponim ini dapat
seperti Pacinan, yang merupakan kawasan permukiman orang-orang Cina, Sayidan,
yang merupakan kawasan permukiman orang Arab, Gerjen yang merupakan kawasan
permukiman penjahit, Dagen yang merupakan permukiman tukang kayu, Siliran yang
merupakan permukiman para selir-selir. Toponim ini digambarkan dalam bentuk
keanekaan profesi, asal, dan lapisan penduduk Yogyakarta masa lampau.
Pada Civic Center (CBD) Kota Yogyakarta terdapat tata letak komponen-
komponen yang dapat dirutkan sebagai berikut Utara jalan Malioboro terdapat
kompleks kepatihan, Pasar Beringharjo, Alun-Alun Lor, Masjid Agung, keraton, Taman
Asri, Alun-Alun Kidul, Tembok Baluwarti, jaringan jalan, dan permukiman penduduk.
Berbagai potensi terkait dengan ekonomi, pariwisata, kebudayaan, dan keagamaan
itulah yang membuat Kota Yogyakarta dapat berkembang dalam segi perkonomian. Hal
ini dikarenakan menarik minat investasi dan wisatawan untuk berkunjung sehingga
menambah jumlah lalu lintas barang dan jasa yang terjadi.

Namun kini dengan perkembangan Kota Yogyakarta. Mulai semakin


berkembang juga pembangunan Kota Yogyakarta untuk menampung kegiatan yang ada.
Banyaknya pendatang Kota Yogyakarta dan pertumbuhan penduduknya yang pesat
mengakibatkan pembangunan yang pesat pula. Bangunan pemukiman mulai tumbuh liar
di setiap sudut Kota Yogyakarta yang merubah tatanan yang dulu di bangun umtuk
membangun Kota Yogyakarta. Di bantaran sungan Code misalnya, pertumbuhan
pemukiman di bantaran kali code seperti jamur yang tumbuh cepat. Bantaran kali Code
yang seharusnya dapat di tata rapi sebagai RTH sebagai penyejuk jantung Yogyakarta,
kini digunakan permukiman yang padat penduduk yang rentan bahaya banjir. Dan
banyak sudut sudut Kota Yogyakarta yang banyak di jadikan Permukiman dan
pengembangan wilayah komersial. Akibat dari pembangunan Permukiman dan
bangunan komersial mengakibatkan krisisnya RTH di wilayah Kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta terus mengalami perkembangan baik dilihat dari segi aktivitas
maupun jumlah penduduknya. Dari Civic Center (CBD) yang ada kemudian muncul
Civic Center baru karena adanya perkembangan-perkembangan tersebut. Perkembangan
inilah yang memberi implikasi bagi semakin berkurangnya ruang terbuka di Kota
Yogyakarta.

Tidak dapat di pungkiri dengan pesatnya perkembangan Kota Yogyakarta di


ikuti pula dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Yogyakarta yang membludak.

Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan
proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan
penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2. Untuk menekan pertumbuhan pembangunan di
wilayah Kota Yogyakarta yang meggusur wilayah RTH. Pemerintah membangun rumah
susun guna menata wilayah Kota Yogyakarta dan menekan pertubuhan bangunan liar.
Namun dengan perkembangan yang begitu pesat dan mulai penuhnya wilayah Kota
Yogyakarta. Kini untuk menarik investor, wilayah pinggiran tak kalah di garap dengan
pembangunan perumahan. Dan sampai saat ini dengan iklan yang begitu kencang dan
lakunya perumahan di pinggiran kota, perumbuhan perumahan seperti tak terkendali.
Pembangunan perumahan mulai menjamur di pinggiran kota. Di wilayah banguntapan
yang masuk wilayah Kabupaten Bantul, karena lokasi yang strategis beradaa di pinggir
jalur lingkar utama Yogyakarta. Perkembangan perumahan begitu pesat, dari tahun
2010-2015 sudah lebih dari 15 blok perumahan yang dibangun.

Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi juga memberi dampak bagi


pertambahan sarana dan prasarana akibat perkembangan kebutuhan penduduk kota,
dimana jika dalam pengelolaan sarana dan prasarana ini kurang baik, maka masalah
perkotaan seperti lingkungan kumuh, munculnya bangunan liar, menurunnya jumlah
kualitas dan kuantitas, dan permasalahan terkait limbah akan semakin meningkat
sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Selain itu,
dampak lainnya dalam kehidupan sosial budaya adalah terjadinya pergeseran tradisi dan
mulai melunturnya tradisi-tradisi kuno diakibatkan masuknya efek-efek moderinasi dan
pengaruh globalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan berkembangnya kota atau wilayah, kita tidak bisa lari dari masalah
sampah, karena semakin banyaknya penduduk dan semakin banyak aktifitas yang di
lakukan semakin banyak pula sampah yang di hasilkan. semakin membutuhkan tempat
yang harus digunakan untuk menampung sampah. Beda ceritanya kalo kita bisa
mengelola sampah dengan tepat, pasti kita tidak membutuhkan banyak tempat untuk
menampung sampah. Kini untuk menampung sampah se DIY, sampah di tampung di
TPA piyungan. Namun di perkirakan dalam tahun tahun depan, TPA piyungan sudah
tidak mampu menampung lagi sampah, karena telah penuh.

Anda mungkin juga menyukai