Pasal 21 atas gaji dan penghasilan lainnya yang mereka bayarkan kepada pegawai atau
karyawannya. Dalam hal ini ada pilihan bagi para pemberi kerja tersebut, memotong langsung
dari gaji karyawan atau membantu karyawan dan pegawainya dengan cara menanggung PPh
Pasal 21 yang terutang. Tinggal pilih, mana yang menguntungkan
Dalam kacamata UU PPh, menanggung PPh tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama
dengan memberikan tunjangan pajak (Tunjangan PPh) seperti layaknya memberikan tunjangan
transport, tunjangan makan, tunjangan jabatan, dlsb, atau dengan cara kedua yaitu
menanggung PPh tanpa memberikan tunjangan pajak.
Jika dilihat secara kasat mata, kedua cara ini sebenarnya sama saja karena PPh Pasal 21 yang
terutang tidak dibebankan kepada karyawan (tidak dipotong dari gaji atau penghasilan
karyawan) melainkan ditanggung sendiri oleh perusahaan atau pemberi kerja. Tetapi jika dilihat
dari sisi UU dan ketentuan peraturan PPh, masing-masing mendapat perlakuan perpajakan yang
berbeda.
Dengan cara ini, PPh Pasal 21 yang sebenarnya ditanggung oleh perusahaan pemberi kerja
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam unsur gaji dan tunjangan kepada karyawan saat
penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan (Tunjangan PPh Pasal 21 ikut dihitung PPh Pasal 21-nya).
Jadi seolah-olah karyawan menerima uang Tunjangan PPh tadi terlebih dahulu dan dihitung
pula PPh Pasal 21-nya, baru kemudian dipotong kembali oleh perusahaan pemberi kerja.
Besarnya Tunjangan PPh dapat disesuaikan dengan kebijakan perusahaan pemberi kerja
masing-masing. Perusahaan atau pemberi kerja bisa saja menerapkan kebijakan untuk
memberikan tunjangan pajak sebesar 100% dari jumlah PPh Pasal 21 yang terutang. Kebijakan
ini lebih dikenal dengan istilah gross-up (lihat contoh perhitungan di bawah ini).
Contoh Perhitungan Gross-Up
Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah
satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
[Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh]. Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh
membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk mempertegas treatment atau
perlakuan pembiayaannya ini, sebaiknya pemberi kerja memasukkan akun Tunjangan PPh ke
dalam slip gaji karyawannya.
PPh Pasal 21 sebesar Rp 250.000,- yang ditanggung oleh PT Megah dalam contoh di atas, tidak
dimasukkan sebagai tunjangan (penghasilan) bagi Budi saat penghitungan PPh Pasal 21
dilakukan. Ini dikarenakan menurut Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, pajak atas gaji Budi yang
tidak dipotong dari gaji melainkan ditanggung sendiri oleh PT Megah tersebut dikategorikan
sebagai imbalan dalam bentuk kenikmatan (fasilitas) atau yang biasa kita sebut dengan benefit
in kind.
Sebagai konsekuensinya, PT Megah juga tidak boleh membiayakan PPh Pasal 21 yang
ditanggung tadi dalam SPT Tahunan PPh Badannya. Sebab biaya-biaya yang berupa imbalan
atau penggantian dalam bentuk kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.
Tunjangan PPh Pasal 21 merupakan objek PPh Pasal 21 yang harus ditambahkan ke dalam
penghasilan karyawan saat penghitungan PPh Pasal 21. Perlakuannya sama seperti tunjangan-
tunjangan lainnya seperti Tunjangan Transport, Tunjangan Makan, Tunjangan Jabatan atau
lainnya. Namun di sisi PPh Pemberi Kerja, Tunjangan PPh Pasal 21 ini dapat dibiayakan
(deductible expense) sehingga akan mengurangi penghasilan bruto dan otomatis akan
mengurangi PPh Pemberi Kerja.
PPh Pasal 21 Ditanggung, di sisi lain, bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan tidak perlu
dimasukkan ke dalam tunjangan atau penghasilan karyawan pada saat menghitung PPh Pasal
21. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, perusahaan atau pemberi kerja tidak boleh
membiayakan PPh Pasal 21 Ditanggung tersebut saat menghitung PPh pemberi kerja karena PPh
Pasal 21 Ditanggung adalah salah satu biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan atau pemberi kerja (non deductible expense).
Contoh perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya dikenakan PPh bersifat final
misalnya: perusahaan konstruksi, perusahaan persewaan tanah/bangunan, perusahaan
pelayaran dalam negeri, dan beberapa perusahaan lain yang ditetapkan oleh peraturan
pemerintah.
Akan tetapi, karena memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- maka atas
Tunjangan PPh Pasal 21 tersebut juga harus diperhitungkan dan disetorkan PPh Pasal 21.
Dengan asumsi bahwa atas Rp 25.000.000,- dikenakan tarif rata-rata 5%, maka tambahan PPh
Pasal 21 yang harus disetor adalah 5% x Rp 25.000.000,- = Rp 1.250.000,-. Dengan demikian,
total pajak yang harus dibayar oleh PT Megah adalah = PPh Badan (Rp 15.625.000,-) ditambah
dengan PPh Pasal 21 (Rp 25.000.000,- + Rp 1.250.000,-) atau Rp 41. 875.000,-
Apabila PT Megah memilih tidak memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 (artinya PPh Pasal 21
yang semula Rp 25.000.000,- ditanggung sendiri tanpa memberikan tunjangan pajak), maka
PPh Badan menjadi = Rp 500.000.000,- (-) Rp 350.000.000,- (x) 12,5% = Rp 18. 750.000,-.
Sedangkan PPh Pasal 21 yang harus disetor tetap sebesar Rp 25.000.000,- sehingga total pajak
yang harus dibayar PT Megah ke Kas Negara adalah Rp 18.750.000,- (+) Rp 25.000.000,- = Rp
43.750.000,-.
Jadi dengan analisa angka-angka tersebut, jelas kelihatan bahwa bagi PT Megah memberikan
Tunjangan PPh Pasal 21 akan lebih menghemat pajak yang harus dibayar ke negara.
Misalkan dalam contoh sebelumnya PT Megah memiliki kompensasi kerugian tahun sebelumnya
Rp 200.000.000,-. Jika PT Megah memilih tidak memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti
total biaya usaha tetap Rp 350.000.000,- dan laba usaha tetap Rp 150.000.000,-. Karena
kompensasi rugi tahun sebelumnya (Rp 200.000.000,-) masih lebih besar dari pada laba usaha
(Rp 150.000.000,-), berarti PPh Badan PT Megah masih Rp 0,-. Dan karena PPh Pasal 21
ditanggung tanpa memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti PPh Pasal 21 yang harus disetor
tetap Rp 25.000.000,-.
Tetapi jika PT Megah memutuskan untuk memberikan tunjangan PPh Pasal 21, maka akan ada
tambahan PPh Pasal 21 yang harus disetor yaitu Rp 1.250.000,- (Rp 25.000.000,- x 5%)
sehingga total PPh Pasal 21 yang harus disetor Rp 26.250.000,-. Sementara di PPh Badan masih
tetap nihil (Rp 0) karena laba usaha masih lebih kecil jumlahnya dari pada kompensasi
kerugian.
oo00oo
https://armuhammad.wordpress.com/2011/11/21/ditanggung-atau-tunjangan-pph-mana-yang-
menguntungkan/