Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Apotek


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam
membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan
praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Hartini
dan Sulasmono, 2006).
Menurut PP No.51 Tahun 2009, apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Dalam
hal ini seorang apoteker bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan
suatu apotek, supaya pelayanan terhadap obat-obatan dalam masyarakat
lebih terjamin baik dalam segi keamanan maupun dalam segi kualitas
maupun kuantitasnya.
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab terhadap pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Anief,
1995).
2.2 Fungsi Apotek
Apotik mempunyai dua fungsi, yaitu (Anief, 1995) :
1) Sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)
Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian
sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi
kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented).
Apoteker dalam menjalankan fungsi apotik ini harus patuh terhadap etika

3
4

kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai


apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan
kepuasan konsumen (costumer satisfaction) antara lain dengan
memperhatikan 8harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan
lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan
konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun
alat kesehatan lainnya.
2) Sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)
Apoteker berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat
memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak
sebagi manager untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan
yang diperoleh dengan bekal ilmu managerial demi kelangsungan hidup
apotek itu sendiri
2.3 Persyaratan Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2017 Bab 2 Pasal 4 Tentang Apotik mengenai persyaratan
pendirian apotik meliputi (Anonim 2017) :
a) Lokasi
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran
Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
b) Bangunan

Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan,


dan kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta
perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang
cacat, anakanak, dan orang lanjut usia. Bangunan Apotek harus bersifat
permanen. Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat
5

perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan


bangunan yang sejenis.

c) Sarana, Prasarana, dan Peralatan


Bangunan Apotek sebagaimana dimaksud paling sedikit memiliki
sarana ruang yang berfungsi: penerimaan Resep, pelayanan Resep dan
peracikan (produksi sediaan secara terbatas), penyerahan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan, konseling, penyimpanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan dan arsip.
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas: instalasi air bersih,
instalasi listrik, sistem tata udara dan sistem proteksi kebakaran.
Peralatan Apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi
rak obat, alat peracikan, bahan pengemas obat, lemari pendingin, meja,
kursi, komputer, sistem pencatatan mutasi obat, formulir catatan
pengobatan pasien dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan.
Formulir catatan pengobatan pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) merupakan catatan mengenai riwayat penggunaan Sediaan
Farmasi dan/atau Alat Kesehatan atas permintaan tenaga medis dan
catatan pelayanan apoteker yang diberikan kepada pasien.
d) Ketenagaan
Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek dapat
dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga
administrasi.
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki surat izin praktik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.4 Tata Cara Pemberian Izin Apotek
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 4 menyebutkan bahwa (Anonim, 2002) :
1) Izin Apotek diberikan oleh Menteri.
6

2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3) Kepala Dinas Kesehatan/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian
izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali
setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi
2.5 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pengelolaan Perbekalan Farmasi merupakan suatu siklus kegiatan,
dimlai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan
serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan (Kepmenkes No.
1197/Menkes/SK/X/2004). Tujuan kegiatan ini adalah :
a. mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efesien.
b. menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan.
c. meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi.
d. mewujudkan Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna.
e. melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Adapun proses pengelolaan perbekalan farmasi meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan merupakan suatu proses kegiatan dari peninjauan masalah
yang terjadi di rumah sakit.
2. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan dalam pemilihan jenis
jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan
anggaran.
3. Pengadaan
Proses pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah dilaksanakan dan disetujui melalui:
a. Pembelian
b. Produksi/pembuatan sediaan farmasi
c. Sumbangan/dropping/hadiah
7

4. Produksi
Proses ini merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk dan
pengemasan kembalii sediaan farmasi steril dan nonsteril untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dirumah sakit.
5. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi
yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasiaan melalui
pembelian secara langsung, tender, konsinyasi, atau sumbangan.
6. Penyimpanan
Merupakan suatu pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan
yang ditentukan:
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya.
b. Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya.
c. Mudah tidaknya terbakar.
d. Tahan atau tidaknya terhadap cahaya disertai dengan system informasi
yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai
kebutuhan.
7. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan
rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis.
2.6 Pelayanan di Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
IndonesiaNo.1027/Menkes/SK /2004 pelayanan kesehatan di apotek
meliputi :

A. Pelayanan Resep/Pesanan dokter


1) Skrining resep, Apoteker dibantu oleh asisten apoteker melakukan
skrining resep meliputi:
a) Persyaratan administratif, seperti : nama, SIK, dan alamat dokter;
tanggal penulisan resep, nama, alamat, umur, jeniskelamin, dan
8

berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta,
cara pemakaian serta informasi lainnya.
b) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi,stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada
keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan.
2) Penyiapan obat
a) Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang,
mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam
melaksanakanperacikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan
etiket yang benar.
b) Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c) Kemasan Obat yang Diserahkan. Obat hendaknya dikemas
dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
d) Penyerahan Obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus
dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat
dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. Setelah
penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melakukan
pemantau penggunaan obat.
e) Monitoring Penggunaan Obat. Setelah penyerahan obat kepada
pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan
obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.
9

B. Promosi dan Edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan
edukasi apabilamasyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi)
untuk penyakit ringan denganmemilihkan obat yang sesuai dan apoteker
harus berpartisipasi secara aktif dalam promosidan edukasi. Apoteker
ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain lainnya.
C. Pelayanan Residensial (Home Care)
Salah satu bentuk pengawalan proses pengobatan pada pasien dari awal
sampai sembuh dengan cara:
1) Melakukan kontak kepada pasien tentang:
Bagaimana keadaan penyakit yang diderita selama pengobatan.
Melakukan pemantauan terhadap tingkat kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat.
Dalam memberikan motivasi-motivasi untuk menumbuhkan
kesadaran hidup sehat (Healthy Habit).
D. Pelayanan Obat Tanpa resep
Pelayanan ini seperti pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas
Pelayanan terhadap ini lebih sederhana dibandingkan dengan pelayanan
terhadap resep dokter. Petugas dapat langsung mengambilkan obat
yangdiminta oleh konsumen setelah harga disetujui, kemudian langsung
dibayar pada kasir dan dicatat pada buku penjualan bebas oleh kasir.
Pada saat pergantian shift, kasir akan menghitung jumlah uang
yang masuk dan diserahterimakan dengan petugas berikutnya.
E. Pelayanan Narkotika
Sesuai dengan Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009, pada
pasal Pasal 102(1) yang menyebutkan bahwa Penggunaan sediaan
farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dandilarang untuk
disalahgunakan. Maka dari itu, pada peraturan perundang-undangan
No.35 tahun 2009 tentang narkotika, pengelolaan obat narkotika
10

memerlukan penanganankhusus, dimana narkotika hanya dapat


digunakan untuk kepentingan pelayanankesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena obatnarkotika ini
dapat menimbulkan ketergantungan apabila digunakan tanpa
pembatasandan pengawasan yang seksama. Dalam menghindari
penyalahgunaan obat-obatan ini, maka Pemerintah melakukan
pengawasan yang ketat terhadap obat golongan narkotikamulai dari
pemesanan sampai dengan pemakaiannya dan Apoteker Pengelola
Apotek diharuskan membuat laporan pemakaian dan pemusnahan
narkotika ini.
2.7 Pengelolaan Obat
a. Wajib Apotek (OWA)
Berdasarkan keputusan menteri kesehatan RI
No.347/Menkes/SK/VII/1990 yang dimaksud dengan obat wajib apotek
adalah obat keras yang dapat diserahkan apoteker kepada pasien di
apotek tanpa resep dokter, tujuan diberlakukannya OWA adalah untuk
meningkatkan pelaksanaan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan
rasional.
b. Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika
1. Pengelolaan narkotika menurut UU RI No.22 tahun 1997 tentang
narkotka pada Bab I pasal 1 dinyatakan bahwa narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan baik sintesis
maupuan semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Penanggung jawab dalam pengelolaan obat golongan narkotika
adalah apoteker.
Pengelolaan narkotika meliputi:
a. Pemesanan Narkotika
b. Penyimpanan
c. Pelayanan Narkotika
11

d. Pelaporan Narkotika
e. Pemusnahan Narkotika
2. Pengelolaan Psikotropika
Undang-Undang RI No.5 tahun 1997 tentang psikotropika
menyebutkan bahwa psikotropika adalah zat atau obat bukan
narkotika baik alamiah maupuan sintetis yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan lekas pada aktifitas mental dan perilaku.
Pengelolaan Psikotropika meliputi :
a. Pemesanan
b. Penyimpanan
c. Pelayanan Psikotopika\
d. Pelaporan Psikotropik
e. Pemusnahan Psikotropika
c. Pengelolaan Obat Bebas (Obat Tanpa Resep) OTR
Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli secara bebas dan tidak
membahayakan pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, diberi
tanda lingkaran bulan berwarna hijau dengan garis tepi hitam,
penyerahan obat bebas yang dibuat oleh apotek tanpa resep harus
disertai nota penjualan yang dilengkapi dengan etiket warna putih untuk
obat dalam dan etiket biru untuk obat luar yang memuat:
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama dan nomer SIK APA
3. Nama dan jumlah obat
4. Aturan pakai
5. Tanda lain yang diperlukan
d. Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluwarsa
Pengelolaan terhadap obat rusak dan kadaluwarsa juga harus
diperhatikan untuk pengelolaannya biasanya sudah ada kesepakatan
antara pihak instalasi farmasi/apotek dan PBF mengenai obat rusak dan
kadaluwarsa ada PBF yang mau melakukan penukaran dan ada yang
12

tidak. Bagi PBF yang memungkinkan pengembalian, obat dapat


dikembalikan ke PBF sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
Untuk obat rusak dan kadaluwarsa yang tidak memungkinkan
pengembalian, maka harus dimusnahkan. Prosedur pemusnahan
perbekalan farmasi yang rusak disebutkan bahwa sediaan farmasi yang
karena suatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan
harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara
lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan dan pemusnahan tersebut
wajib dibuat berita acara pemusnahan dengan menggunakan formulir
yang ditetapkan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi,Universitas Gadjah Mada Press,


Yogyakarta.

Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1332/MENKES/PER/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara
Pemberian Izin Apotek, DepKes RI, Jakarta.

Anonim. 2004. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia


No.1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di
rumah sakit.jakarta.

Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No.44 tahun 2009 Tentang


Rumah sakit.Jakarta.

Anonim, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun


2017.Jakarta.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehan Depkes RI bekerjasama dengan Japan
International Cooperation Agency (JICA),2008, Pedoman Pengelolaan
Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit.Jakarta.

Hartini, Y. S. dan Sulasmono, 2006,Apotek : Ulaan Beserta Naskah Peraturan


Perundang Undangan Terkait Apotek, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.

Siregar C.2004.Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan.Jakarta; Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Trisnantoro,L.,2005.Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit.Yogyakarta;Andi.

Anda mungkin juga menyukai