Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara negara berkembang seperti Indonesia, penyakit yang ditularkan

melalui nyamuk masih merupakan masalah kesehatan yang cukup penting.

Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk antara lain Malaria, Demam Berdarah

Dengue (DBD) dan Filariasis (penyakit kaki gajah). Penyakit menular yang sering

menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia adalah Penyakit DBD

(Depkes RI, 2009). Jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat

setiap tahun, demikian pula luas wilayah yang terjangkit (Ginanjar, 2008).

Di Indonesia pada tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan yaitu

49.486 kasus dengan kasus kematian sebesar 403 orang. Jumlah penderita DBD

yang dilaporkan pada tahun 2012 sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian

816 orang (IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan CFR= 0,90 %) (Ditjen PP & PL,

2014).

Angka kesakitan DBD tahun 2013 tercatat 45,85/100.000 penduduk

(112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian).

Sedangkan pada tahun 2014 ini sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan

DBD sebesar 5,17/100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian

sebesar 0,84% (110 kematian) (Ditjen PP & PL, 2014).

Jumlah kasus DBD di Provinsi Bali tahun 2011, terdapat 2.993 kasus,

1.662 kasus diantaranya berjenis kelamin laki - laki dan sisanya (1.331) kasus

berjenis kelamin perempuan, dengan jumlah kematian 8 orang, menurun


dibandingkan tahun 2010 sebanyak 35 orang. Sedangkan tahun 2012 terjadi

penurunan kasus namun tidak singnifikan menjadi 2.649 kasus, 1.517 diantaranya

berjenis kelamin laki - laki dan 1.132 berjenis kelamin perempuan, dan pada tahun

2013 terjadi peningkatan kasus yang signifikan sebesar 7.077 kasus. Dengan

demikian Incidence Rate (IR) DBD tahun 2012 sebesar 65,55 /100.000 penduduk

dengan CFR 0,30 dan meningkat pada tahun 2013 sebesar 174,5/100.000

penduduk dengan CFR 0,11%, (Depkes Provinsi Bali, 2014).

DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

dan ditularkan oleh vektor nyamuk betina Aedes aegypti. Salah satu upaya

pengendalian penyakit DBD adalah melakukan pengendalian terhadap vektor

penyakit tersebut (Ginanjar, 2008).

Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian

vektor di seluruh dunia (Okumu et al, 2007). Saat ini larvasida yang paling luas

digunakan untuk mengendalikan larva Aedes aegypti adalah temefos (Ponlawat et

al, 2005). Di Indonesia temefos 1 % (Abate 1SG) telah digunakan sejak 1976 dan

sejak 1980 abate telah dipakai secara massal untuk program pengendalian Aedes

aegypti (Gafur, 2006).

Pemberantasan vektor DBD stadium pradewasa (larva) secara kimiawi

dalam waktu lama dapat menyebabkan resistensi. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Raharjo (2006) diketahui bahwa larva Aedes aegypti di

beberapa wilayah pengujian, yaitu Surabaya, Palembang, dan Bandung telah

resisten terhadap temefos. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha

mendapatkan larvasida alternatif, salah satunya dengan menggunakan larvasida

alami, yakni larvasida yang dihasilkan oleh tanaman beracun terhadap serangga

2
tetapi tidak mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan tidak berbahaya

bagi manusia (Wijaya, 2009).

Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami adalah

daun legundi (Vitex trofolia L) yang mengandung minyak atsiri. Komponen

terbesar dalam kandungan minyak atsiri daun legundi adalah camphene dan

pinene dengan aroma khas menyengat yang tidak disukai serangga.

Dalam sejarah perkembangan obat tradisional, Bali mempunyai tanaman

berkhasiat obat. Salah satu diantaranya adalah Legundi (Vitex trofolia L).

Masyarakat Bali biasa menggunakan daun legundi sebagai pengusir nyamuk,

dengan cara mengibaskan daun legundi disekitaran tempat tidur. Secara empiris

telah dibuktikan khasiatnya. Sebagai negara yang beriklim tropis, merupakan

sarana endemik bagi nyamuk berkembang baik terutama pada lingkungan yang

kotor. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk dapat membahayakan karena dapat

mengakibatkan penyakit seperti Demam Berdarah, Malaria, dan cikungunya.

Kebiasaan masyarakat Bali dalam memanfaatkan daun Legundi dapat

dimodifikasi dalam inovasi teknologi untuk membantu mencegah penyakit akibat

gigitan nyamuk.

Berdasarkan hal tersebut maka, penulis akan melakukan penelitian dengan

menggunakan perasan daun Legundi (Vitex trofolia L) untuk mengetahui

pengaruh perasan daun Ligundi (Vitex trofolia L) terhadap kematian nyamuk

Aedes aegypti dengan menggunakan perasan daun Legundi 25mL, 50mL, dan

100mL pada penelitian (Hastuti,2008).

3
1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian

ini sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh perasan daun legundi (Vitex trofolia L) terhadap

kematian larva nyamuk Aedes aegypti?

2. Berapa mL perasan daun legundi (Vitex trofolia L) yang efektif dalam

membunuh larva nyamuk Aedes aegypti?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh perasan daun legundi (Vitex trofolia L)

terhadap kematian larva nyamuk Aedes aegypti.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui kematian larva nyamuk Aedes aegypti dengan perasan

daun legundi sebanyak 25mL

1.3.2.2 Untuk mengetahui kematian larva nyamuk Aedes aegypti dengan perasan

daun legundi sebanyak 50mL

1.3.2.3 Untuk mengetahui kematian larva nyamuk Aedes aegypti dengan perasan

daun legundi sebanyak 75mL

1.3.2.4 Untuk mengetahui kematian larva nyamuk Aedes aegypti dengan perasan

daun legundi sebanyak 100mL

1.3.2.5 Untuk mengetahui pengaruh perasan daun legundi (Vitex trofolia L)

terhadap kematian larva nyamuk Aedes aegypti.

1.3.2.6 Untuk mengetahui perasan yang paling efektif dalam membunuh larva

nyamuk Aedes aegypti.

4
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Sebagai tambahan pengetahuan atau wawasan tentang efek

larvasida perasan daun legundi (Vitex trofolia L) terhadap larva nyamuk

Aedes aegypti.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Instansi Pendidikan

Untuk memperoleh referensi tentang perasan daun legundi (Vitex

trofolia L) yang efektif mempengaruhi kematian larva nyamuk Aedes

aegypti.

b. Bagi Masyarakat

Dapat diaplikasikan oleh masyarakat untuk membasmi larva

nyamuk Aedes aegypti dalam usaha menurunkan angka kejadian DBD di

Indonesia.

c. Bagi Peneliti

Sebagai sarana aplikasi teori yang diperoleh selama menempuh

kuliah di STIKes Wira Medika Bali, dan sebagai bahan pengayaan dan

pengkajian khususnya di bidang parasitologi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Daun Legundi (Vitex trifolia)

Legundi (Vitex trifolia) merupakan pohon semak atau pohon kecil,

tinggiya 1-4 meter daun legundi sudah lama digunakan oleh masyarakat sebagai

obat tradisional, salah satu kegunaannya daun legundi adalah untuk membunuh

serangga dan sebagai obat nyamuk. Legundi mempunyai banyak nama lokal

yang berbeda beda di setiap daerahnya. Tanaman ini berbentuk semak dengan

daun hijau dan bunga berwarna putih hingga ungu. Legundi sendiri sudah banyak

dimanfaatkan sebagai tanaman pagar yang berkhasiat dalam dunia pengobatan

herbal Vitex trifolia mempunyai efek farmakologi antara lain sebagai antibakteri,

antifungi, insektisida, antikanker, analgesik, trakeospasmolitik, antialergi

maupun antipiretik (Nugroho dan Alam, 2014).

Ciri-ciri batang legundi ditutupi oleh rambut-rambut lembut, batang pokok

jelas, kulit batang coklat muda-tua, batang muda segi empat, banyak bercabang .

Daun legundi mempunyai daun majemuk. Daunnya tersusun beraturan

sepanjang batang. Panjang tangkai daun sekitar 5 mm. Daun legundi berbentuk

bundar telur, elips bundar telur berbalik, ataupun berbentuk lonjong. Pada bagian

bawah daun terdapat bulu-bulu rapat yang berwarna putih kelabu. Bunganya

bertandan dan keluar dari ujung ranting dengan kelopak warna hijau, bergigi 5.

Mahkotanya berbentuk tabung berbibir 2 dan bergigi 5, berwarna biru-ungu.

Benang sari berjumlah 4. Buahnya buah batu berbentuk bola, buahnya berdaging

sekitar 6mm dan mengandung 4 biji hitam kecil (Fitry, 2015).

6
Pada daun legundi terdapat berbagai macam kandungan senyawa kimia di

dalamnya. Terdapat viteksin, casticin, artemin, luteolin, friedelin, sitosterol,

glukosida, trimetil quercetagetin, isoorientin, dan glukuronid. Terdapat pula

kandungan antioksidan yang sangat tinggi terutama pada bagian daun dan

buahnya, hal ini karena terdapat senyawa flavonoid, tripenoid, dan sterol. Bukan

hanya pada daun, semua bagian pada tanaman legundi mengandung minyak atsiri

yang didalamnya tersusun atas kamfer, pinen, dan sineol terpinylasetat (Fitry,

2015).

Aktivitas biologi dari ekstrak daun legundi sebagai repellent berkaitan

dengan keberadaan berbagai macam zat aktif yang terkandung di dalamnya,

diantaranya champene, pinene, alkaloid, terpenoid, saponin, dan sineol (Widiani,

2011; Maia et al., 2011).

Penelitian oleh Tawatsin et al. (2006) melaporkan bahwa minyak atsiri

daun Vitex trifolia memiliki aktivitas repellent terhadap beberapa spesies nyamuk

yang diujikan, yaitu Aedes albopictus, Anopheles dirus, dan Culex

quinquefasciatus. Penelitian tersebut melaporkan bahwa minyak atsiri daun Vitex

trifolia memiliki kandungan eucalyptol, -pinene, pinene, dan caryophylene

yang berfungsi sebagai repellent.

2.2 Nyamuk Aedes aegypti

2.2.1 Klasifikasi

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus

Dengue penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini telah

dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang endemis terutama bagi anak-anak.

Kasus penyakit ini di Indonesia termasuk terbesar di dunia setelah Thailand (Sinar

7
Harapan, 2003). Di Indonesia DBD timbul sebagai wabah untuk pertama kalinya

di Surabaya pada tahun 1968 (Chahaya, 2003). DBD telah menyebar luas ke

seluruh wilayah provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit semakin

meningkat. Penyakit ini sering muncul sebagai Kasus Luar Biasa (KLB) dengan

angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. KLB demam berdarah terjadi di

Indonesia, tepatnya di Jakarta, pada tahun 1998 yang mencapai angka penderita

15.452 dan angka kematian 134 orang (Sinar Harapan, 2003). Angka insidens

DBD secara nasional sangat berfluktuasi dengan siklus puncak 4-5 tahunan.

Incidence rate meningkat dari 10,17 per 100.000 penduduk pada tahun 1999

menjadi 15,99 per 100.000 penduduk pada tahun 2000 dan meningkat lagi

menjadi 21,75 per 100.000 penduduk pada tahun 2001, kemudian menurun

menjadi 19,24 per 100.000 penduduk pada tahun 2002. Penyakit ini menempati

urutan ketiga penyakit terbanyak yang ditemukan pada penderita rawat inap di

RSU di Indonesia tahun 2002 (ridwanamiruddin.wordpress.com, 2007). Wabah

penyakit demam berdarah yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia

perlu mendapat perhatian. Begitu pula vektor Aedes aegypti memberi resiko

timbulnya wabah penyakit ini di masa yang akan datang.

2.2.2 Taksonomi

Aedes aegypti Menurut Boror dkk. (1989), klasifikasi Aedes aegypti

adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Familia : Culicidae

8
Subfamilia : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Ae.aegypti

2.2.3 Morfologi

Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran

nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam

dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada kakinya

dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang

mempunyai gambaran lira (lire-form) yang putih pada punggungnya

(mesonotum) (Djakaria, 2000), yaitu ada dua garis melengkung vertikal di bagian

kiri dan kanan. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari betina dan terdapat

rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Telur Ae. aegypti berbentuk

elips berwarna hitam (Womack, 1993), mempunyai dinding yang bergaris-garis

dan membentuk bangunan yang menyerupai gambaran kain kasa. Larva Ae.

aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral

(Djakaria, 2000).

2.2.4 Siklus Hidup

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dapat diselesaikan dalam waktu satu

setengah minggu sampai tiga minggu (Djakaria, 2000).

1) Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti. memiliki dinding bergaris-garis dan

membentuk bangunan seperti kasa. Telur berwarna hitam dan diletakkan satu

persatu pada dinding perindukan. Panjang telur 1 mm dengan bentuk bulat oval atau

memanjang, apabila dillihat dengan mikroskop bentuk seperti cerutu. Telur dapat

9
bertahan berbulan-bulan pada suhu - 2oC sampai 42oC dalam keadaan kering.

Telur ini akan menetas jika kelembaban terlalu rendah dalam waktu 4 atau 5 hari .

Gambar telur nyamuk Aedes aegypti. dapat dilihat pada Gambar berikut ini

Gambar : Telur Nyamuk Aedes aegypti

2) Larva

Perkembangan larva tergantung pada suhu, kepadatan populasi, dan

ketersediaan makanan. Larva berkembang pada suhu 28oC sekitar 10 hari, pada

suhu air antara 30 - 40 oC larva akan berkembang menjadi pupa dalam waktu 5 - 7

hari. Larva lebih menyukai air bersih, akan tetapi tetap dapat hidup dalam air

yang keruh baik bersifat asam atau basa .

Larva beristirahat di air membentuk sudut dengan permukaan

dan menggantung hampir tegak lurus. Larva akan berenang menuju dasar tempat

atau wadah apabila tersentuh dengan gerakan jungkir balik. Larva mengambil

oksigen di udara dengan berenang menuju permukaan dan menempelkan siphonnya

diatas permukaan air. Larva Aedes aegypti. memiliki empat tahapan perkembangan

yang disebut instar meliputi : instar I, II, III dan IV, dimana setiap pergantian

instar ditandai dengan pergantian kulit yang disebut ekdisis. Larva instar IV

mempunyai ciri siphon pendek, sangat gelap dan kontras dengan warna tubuhnya.

10
Gerakan larva instar IV lebih lincah dan sensitif terhadap rangsangan cahaya.

Dalam keadaan normal (cukup makan dan suhu air 25 27oC) perkembangan

larva instar ini sekitar 6-8 hari.

Gambar Larva nyamuk Aedes aegypti

3) Pupa

Pupa Aedes aegypti. berbentuk bengkok dengan kepala besar sehingga

menyerupai tanda koma, memiliki siphon pada thorak untuk bernafas . Pupa

nyamuk Aedes aegypti. bersifat aquatik dan tidak seperti kebanyakan pupa

serangga lain yaitu sangat aktif dan seringkali disebut akrobat (tumbler). Pupa

Aedes aegypti. tidak makan tetapi masih memerlukan oksigen untuk bernafas

melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada thorak . Pupa pada

tahap akhir akan membungkus tubuh larva dan mengalami metamorfosis menjadi

nyamuk Aedes aegypti. dewasa .

Gambar : Pupa Nyamuk Aedes aegypti

11
4) Imago (nyamuk dewasa)

Pupa membutuhkan waktu 1 3 hari sampai beberapa minggu untuk

menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan menetas terlebih dahulu dari pada nyamuk

betina. Nyamuk betina setelah dewasa membutuhkan darah untuk dapat

mengalami kopulasi.

Dalam meneruskan keturunannya, nyamuk Aedes aegypti. betina hanya

kawin satu kali semumur hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi 24 28 hari dari

saat nyamuk dewasa. Siklus secara nyamuk Aedes aegypti dalam dilihat pada

gambar dibawah ini

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental

yaitu kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui segala gejala atau

12
pengaruh yang timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu

(Notoatmodjo, 2005).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Pengambilan Sampel dan Tempat Penelitian

1. Tempat pengambilan sampel dilakukan di Kota Bangli, Kabupaten

Bangli.

2. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analis Kesehatan STIKes

Wira Medika Bali.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2017.

3.3 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah perasan daun legundi (Vitex trifolia

L.) sebanyak 150 mL.

3.4 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah daun legundi (Vitex trifolia L.) yang

terdapat di Kota Bangli.

3.5 Alat dan Bahan Penelitian

3.5.1 Alat

1. Blender

2. Saringan

3. Botol Aqua 1000 mL

4. Botol Semprot

5. Corong

13
6. Labu Ukur 100 mL

7. Gelas Ukur

3.5.2 Bahan

1. Daun Legundi

2. Aquadest

3. Nyamuk Aedes aegypti

3.6 Prosedur Penelitian

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Dimasukkan daun legundi ke dalam blender, kemudian tekan tombol

on pada blender untuk menghancurkan daun legundi tersebut.

3. Setelah daun legundi dirasa cukup hancur tekan tombol off.

4. Kemudian diperas dengan menggunakan kain saringan. Hasil perasan

tersebut merupakan perasan daun legundi dengan konsentrasi 100%.

5. Lakukan pengenceran pada hasil perasan daun legundi tersebut untuk

mendapatkan perasan daun legundi dengan konsentrasi 25 %, 50 %, 75

%, dan 100 % dengan cara sebagai berikut :

- Pembuatan perasan daun legundi dengan konsentrasi 75 %.

Dipipet sebanyak 75 mL perasan legundin 100% lalu dimasukkan

kedalam labu ukur 100 mL dengan perhitungan sebagai berikut :

V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 100 = 100 . 75
7500
V1 = 100

V1 = 75 mL

14
Kemudian ditambahkan aquadest sampai tanda tera dan kocok

sampai homogen.

- Pembuatan perasan daun legundi dengan konsentrasi 50 %.

Dipipet sebanyak 50 mL perasan legundin 100% lalu dimasukkan

kedalam labu ukur 100 mL dengan perhitungan sebagai berikut :

V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 100 = 100 . 50
5000
V1 = 100

V1 = 50 mL

Kemudian ditambahkan aquadest sampai tanda tera dan kocok

sampai homogen.

- Pembuatan perasan daun legundi dengan konsentrasi 25 %.

Dipipet sebanyak 25 mL perasan legundin 100% lalu dimasukkan

kedalam labu ukur 100 Ml dengan perhitungan sebagai berikut :

V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 100 = 100 . 25
2500
V1 = 100

V1 = 25 mL

Kemudian ditambahkan aquadest sampai tanda tera dan kocok

sampai homogen.

Hasil perasan dengan masing-masing konsentrasi dimasukkan

kedalam botol yang berbeda dan siap untuk digunakan.

6. Untuk penggunaan hasil perasan terseebut dituang pada wadah

larva.

15
3.7 Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode pra

eksperimen. Penelitian pra eksperimen yaitu metode yang digunakan dengan cara

melibatkan suatu kelompok seubyek sehingga tidak ada control yang ketat

terhadap variable ekstra. Data hasil penelitian yang di peroleh disajikan dalam

bentuk tabel.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Konsentrasi Ekstrak
Waktu Keterangan
Daun Legundi

Pada konsentrasi 25%


25 % 60 Menit ekstrak daun legundi larva
mati dalam waktu 60 menit

Pada konsentrasi 50%


50 % 40 Menit ekstrak daun legundi larva
mati dalam waktu 40 menit

Pada konsentrasi 75%


75 % 25 Menit ekstrak daun legundi larva
mati dalam waktu 25 menit

Pada konsentrasi 100%


100 % 15 Menit ekstrak daun legundi larva
mati dalam waktu 15 menit

16
4.2 Dokumentasi Penelitian

No

1 Gambar disamping merupakan hasil

dari perasan daun legundi yang

telah diencerkan sesuai dengan

kadar yang diinginkan yaitu 25%,

50%, 75%, dan 100%

2 Sampel larva yang digunakan

adalah sampel larva dari nyamuk

aedes aegypti,

3 Pada gambar disamping adalah

proses dari mati percobaan yaitu

pada tahap penambahan air perassan

dari daun legundi dengan

konsentrasi yang telah dibuat dan

terbukti dapat membunuh larva

nyamuk tersebut.

4.3 Pembahasan

Dalam penelitian ini digunakan berbagai konsentrasi dari ekstrak daun

legundi (Vitex trifolia) yang telah diuji pada larva. Kematian larva uji bertambah

17
seiring dengan bertambahnya konsentrasi . Hal ini membuktikan bahwa semakin

tinggi konsentrasi maka semakin cepat juga kematian larva. Pada konsentrasi

100% dari ekstrak daun legundi didapatkan 85% kematian pada larva uji (Aedes

aegypti) di menit ke 15.

Penelitian ini menggunakan ekstrak daun legundi (Vitex trifolia)yang

merupakan bahan insektisida alami dan diduga bahwa pada daun legundi

mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan alkaloid yang merupakan zat toksik

bagi larva sehingga menyebabkan kematian larva uji. Hal ini sesuai dengan teori

bahwa saponin memiliki aksi sebagai insektisida dan larvasida. Flavonoid bekerja

sebagai inhibitor kuat pernafasan atau sebagai racun pernafasan. Flavonoid

mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk kedalam tubuh larva melalui sistem

pernafasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta

kerusakan pada sistem pernafasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernafas

dan akhirnya mati. Posisi tubuh larva yang berubah dari normal bisa juga

disebabkan oleh senyawa flavonoid akibat cara masuknya yang melaui siphon

sehingga mengakibatkan kerusakan sehingga larva mensejajarkan posisinya

dengan permukaan air untuk mempermudah dalam mengambil oksigen.

Selain itu terdapat pula kandungan saponin dan alkaloid yang bertindak

sebagai racun perut. Alkaloid berupa garam sehingga dapat mendegradasi

memberan sel untuk masuk kedalam dan merusak sel dan juga dapat mengganggu

sistem kerja syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase.

Terjadinya perubahan warna pada tubuh larva menjadi lebih transparan dan

gerakan tubuh larva yang melambat bila dirangsang sentuhan serta selalu

membengkokkan badan disebabkan oleh senyawa alkaloid.

18
19
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai

berikut :

1. Ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) memiliki efektifitas larvasida terhadap

larva Aedes aegypti.

2. Konsentrasi ekstrak daun legundi (Vilex trifolia) yang paling efektif dalam

membunuh larva Aedes aegypti adalah konsentrasi 100%.

6.2 Saran

Dari penelitian ini peneliti berharap kepada peneliti selanjutnya agar lebih teliti

dalam proses pembuatan perasan daun legundi. Untuk penelitian selanjutnya mungkin

bias digunakan nyamuk jenis lain agar penelitian tentang perasan aun legundi dapat

dibuktikan keampuhannya dalam membasmi nyamuk.

20

Anda mungkin juga menyukai