Anda di halaman 1dari 15

SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA MASA VOC DI TINJAU DARI

AWAL DAN PERKEMBANGANNYA


1)
M.Wildan Al-Faruq, 2)Rangga Bachtiar Mas, 3) Rosida Kusuma Dewi, 4) Siti
Vivi Rohmawati Qiyarotul Ummah

1)Email: Wildan.son234@gmail.com
Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Sosial
2)Email: Ranggabachtiar1@gmail.com

Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Sosial


3)Email: Rosida.kusumadewi@gmail.com

Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Sosial


4)Email: Sitivivi28@gmail.com

Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Sosial

ABSTRAK

perekonomian di zaman awal kedatangan Belanda dengan kongsi dangang yang bernama
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC ). Diantara kongsi dagang di abad 17-18
VOC merupakan paling sukses karena tidak lama setelah berdirinya kongsi ini berhasil
menyingkirkan orang Portugis yang lebih awal telah membangun perdagangan di Asia.
VOC mempunyai hak-hak dalam menguasai monopoli perdagangan di Indonesia hal
tersebut menjadikan Belanda lebih mudah dalam menguasai wilayah monopoli
perdagangannya. Setelah itu VOC bangkrut dan dibubarkan pada tahun 1799, disebabkan
karena banyaknya korupsi oleh para pegawainya, banyaknya hutang VOC akibat
peperangan yang dilakukan rakyat Indonesia serta persaingan dengan Inggris dalam
merebutkan kekuasaan bidang perdagangan.

PENDAHULUAN

Sistem ekonomi setiap masa memiliki bentuk yang berbeda ataupun


mengadopsi dimasa yang sebelumnya dalam kehidupan perekonomian. Pada
dasarnya kegiatan ekonomi selalu dan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia
karena kebutuhan manusia dalam perkembangannya mengalami pertumbuhan
yang menyebabkan upaya untuk memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan
hidup. Sistem ekonomi itu sendiri memiliki arti cara mengatur kehidupan dalam
berekonomi.
Sejak zaman kuno Indonesia sudah memiliki perekonomian yang memiliki
cirikhas tersendiri dan termasuk jalur perdagangan internasional. Karena letak
Indonesia yang dilewati jalur perdagangan laut antara Asia dan Eropa yang
sebelumnya melewati jalur perdagangan darat yang terkenal dengan sebutan jalur
sutera. Sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, Bangsa Portugis sudah terlebih
dahulu meduduki perdagangan rempah-rempah di Indonesia khususnya Malaku.
Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia, Belanda yang
paling ingin menguasai wilayah Indonesia. Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-
Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh
perusahaan dagang bernama Perusahaan dagang Hindia Timur Belanda yaitu
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC ).VOC telah diberikan hak monopoli
terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen
Belanda pada tahun 1602. Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat
admistrasinya di Batavia abad ke-17. Tujuan utama VOC adalah untuk
mempertahankan monopoli terhadap pedagangan rempah-rempah yang ada di
Nusantara diantaranya wilayah Maluku, Banda, Seram, dan Ambon. Selain itu,
ada yang Jawa terkenal sebagai pengekspor beras. Perdagangan dengan negara
Asia lainnya seperti Cina dan India, yang terjadi sejak abad ke-4. Bentuk dari
keinginan Belanda untuk menguasai perdagangan di Indonesia.
Belanda berhasil mendirikan faktorai di Aceh (1601), Patani
(1601), Gresik (1602), Johor (1603). Kontrak monopoli pala di
Bandaneira, Bandalontor, Rozengain, dan Ai Diperoleh pada
tahun 1602. Mozambique dan Goa diserang, benteng Portugis
Victoria direbut , mendirikan benteng di Bandneira (1607), serta
jatuhnya benteng di Solor (1613) ke tangan Belanda, yang
menyebabkan hilangnya pengaruh Portugis di Nusa Tenggara
(Kartodirdjo, Sartono, 1988:72).
Sejak awal Belanda mengetahui bahwa dalam jaringan pendagangan di
Indonesia, terdapat fungsi suatu tempat yang tersimpulnya sebagai jalur-jalur
perdagangan sebagai pusat pemasaran strategis sangatlah penting dengan
dibuktikan dengan adanya kedudukan Malaka, Johor dan Banten yang memiliki
letak yang strategis. Bagi Belanda bahwa suatu penguasaan perdagangan
dikawasan itu menimbulkan keperluan yang mendesak untuk mempunyai
kedudukan ditempat itu. Dengan adanya keunikan dari Belanda dalam
menjalankan monopoli sistem ekonomi di Indonesia. Artikel ini akan
memaparkan sistem ekonomi zaman VOC lebih lanjut.
Sistem Perekonomian Indonesia Pada Zaman VOC

Pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) kedatangan


belanda yang menganut sistem ekonomi Merkantilisme berpengaruh terhadap
perkembangan sistem perekonomian di Hindia Belanda dengan sistem terbuka.
Keadaan ekonomi Hindia-Belanda saat itu sedang tumbuh subur rempah-rempah
khas dari Hindia-Belanda sehingga mendorong kapal-kapal dagang Belanda untuk
menjelajahi pulau tersebut. Dengan banyaknya kapal yang mendatangi Hindia-
Belanda maka terjadilah persaingan antara pedagang Belanda dengan pedagang
Eropa. Untuk mengatasi persaingan tersebut Belanda mendirikan kongsi dagang
yang disebut VOC pada tahun 1602. Dalam sistem monopolinya VOC,
menggunakan struktur kekuasaan feodal untuk mendapatkan produksi yang
semakin besar serta pemegang kekuasan atau VOC, Bupati serta pembantunya
lebih menekankan terhadap petani. Kenaikan produksi menambah volume ekspor
VOC kenegara induk. VOC hanya mengutamakan produksi lewat dominasi politik
monopolinya.

Dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga


Oranye (Pangeran Mauritz), pada tanggal 20 Maret 1602 Staten Generaal
mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang
dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan
di Asia Timur). Octrooi tersebut berlaku 21 tahun dan dapat diperbarui
seterusnya. Hak Oktrooi oleh pemerintah Belanda yaitu:
a) Hak untuk merekrut pegawai dan tentara
b) Hak untuk mendirikan benteng di wilayah Asia Serikat dagang tersebut
berwatak semi pemerintahan, badan ini dibantu, dipersenjatai, dan
dilindungi oleh pemerintah Belanda untuk memonopoli perdagangan
c) Hak mencetak dan mengedarkan uang sendiri
d) Hak mengadakan peperangan dan perdamaian perjanjian dengan
penguasa-penguasa lokal di Asia( Herliany dkk, 2014:188)
Staten General (lembaga tertinggi dalam pemerintahan Republik Belanda)
memberi hak kepada VOC untuk memonopoli semua kegiatan perdagangan dan
perkapalan Belanda di Asia. Adanya hak yang dimiliki oleh VOC maka, semua
warga Negara Republik Belanda dilarang secara pribadi melakukan aktivitas
perdagangan antara Asia dan Eropa.dengan demikian, VOC akan beroperasi
dengan baik dan bisa mendapat keuntungan tanpa adanya saingan dari para
pedagang swasta Belanda. Karena pemerintah Belanda beranggapan bahwa lebih
mudah melakukan persaingan perdagangan dengan bangsa lain daripada bersaing
dengan pedagang swasta dari negeri sendiri.
Struktur ekonomi Belanda di Hindia-Belanda yaitu Gubernur jendral di
dampingi dewan penasehat (Raad van India) sebagai pemerintahan tertinggi
(Hoge Regering), direktur jendral yang dibawah gubernur jendral, yang
bertanggung jawab bongkar muat barang dari kapal VOC, dan dibantu visitateur-
general (penilik umum) yang bertugas memeriksa pembukuan dan administrasi
kantor VOC serta pertanggungjawaban para kapten kapal VOC terhadap
pembekalan yang mereka bawa. Dan dua opperkooplieden yang bertugas
menyusun daftar barang yang keluar dari Batavia. Opperkooplieden pimpinan
dari kantor dagang dibawahnya ada koopman (pedagang), onderkoopman
(pedagang junior) dan Boekhouder (penata buku). Pejabat lain ada boekhouder
general (kepala pembukuan) kedudukan ada dibawah direktur jendral yang
bertugas menyusun jurnal umum dan buku besar kas induk(.( Herliany dkk,
2014:191-192)
Sistem perdagangan yang memiliki aspek politik dan aspek swasta
berkaitan dengan pengembangan masyarakat Belanda ketika itu, ekonomi pada
umumnya (khusus perdangan berada pada tangan lapisan sosial yang dinamakan
kaum bourgeoisie (borjuis), sedangkan politik masih berada pada tangan
aristocrat. Kerja sama yang serasi antara kedua golongan sosial itulah yang
memungkinkan diselenggaranya perdagangan antar benua di masa Masa Modern
awal itu.

Suatu ciri lain sistem perdagangan VOC adalah yang dinamakan


partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-
rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai
sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para
penguasa lokal membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis. Pihak
VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk
memerangi Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam
menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang
sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu tidak ada. Setelah
dominasi Portugis lenyap dari Nusantara karena dilawan VOC, sejak sekitar
pertengahan abad ke-16 kemitraan itu dibangun oleh VOC dengan salah satu
pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan itu didukung
oleh sistem perbentengan dan armada.
Setelah dominasi Portugis lenyap dari Nusantara karena dilawan VOC,
sejak sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu dibangun oleh VOC dengan
salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan itu
didukung oleh sistem perbentengan dan armada.
VOC memiliki segala macam hak-hak istimewa dalam perdagangan dari
raja yang ada di Indonesia sebagai suatu upah dari bantuan yang diberikan VOC
kepada raja-raja itu. Menurut Gonggrip dalam (Burger, 1962:67) pada hak-hak
istimewa itu terdapat peralihan yang berangsur-angsur antara lain; keuntungan
dari perdagangan bebas, keuntungan dari hak beli utama, keuntungan dari
monopoli, pendapatan dari penyerahan wajib, dan keuntungan dari contingen-
contingen.

Tujuan utama VOC yaitu untuk mempertahankan monopolinya terhadap


pedagang rempah-rempah di nusantara. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan
kekerasan terhadap penduduk setempat, ditambah lagi politik VOC dengan
muslihat dan kekerasannya yang mengakibatkan dislokasi penduduk sehingga
merusak sistem perdagangan yang berlaku sebelumnya. Tujuan VOC untuk
menguasai perdagangan di Indonesia dengan sendirinya membangkitkan
perlawanan pedagang pribumi yang merasa langsung terancam kepentingannya
(Kartodirdjo, 1988:71). Sistem monopoli perdagangan tidak sesuai dengan sistem
tradisional yang berlaku di masyarakat, dan tindakan-tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Belanda semakin memicu pertengkaran.

Untuk memepertahankan tujuan memonopili perdagangaan, VOC


berusaha menguasai kerajaan-kerajaan dan pelabuhan penting di Indonesia. Yang
awalnya dalam usaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dan
Malaka telah ditentukan pula sebagai alternative penggati wilayah tersebut. Salah
satu yang diincar oleh VOC yaitu kota Jayakarta. Ketika itu Jayakarta dibawah
kekuasaan Kerajaan Banten, dan Sultan Banten mengangkat Wijayakarma sebagai
Adipati Jayakarta. Awalnya VOC mendapatkan izin dari Pangeran Wijayakarma
untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Akan tetapi rencana VOC
khususnya J.P Cone, ialah membangun benteng tidak hanya untuk melindungi
perdagangnnya, tetapi juga menjadikan basis politik untuk memepertahankan
kedudukannya dalam menghadapi keadaan darurat atau kritis politik (Kartodirdjo,
1988:157). Akhirnya Jayakarta berhasil dikuasai oleh Belanda, dan pada tanggal
12 Maret 1619 benteng secara resmi diberi nama Batavia. Sebagai tempat
berkumpulnya kapal-kapal VOC.

Setelah memiliki kantor pusat kedudukan VOC semakin kuat, usaha untuk
menaklukkan kerajaan dan pelabuhan penting ditingkatkan. Untuk menguasai
pelabuhan dan kerajaan penting VOC menggunakan cara dividi et impera atau
politik mengadu domba. VOC melakukan politik ini untuk mengadu domba satu
kerajaan dengan kerajaan lainnya, tujuannya agar kerajaan-kerajaan di Indonesia
menjadi lemah sehingga mudah dikuasai.

Pada awalnya VOC menghadapadi kesulitan dalam menerobos sistem


perdagangan yang berlaku. Dengan cara melakukan kontrak-kontrak untuk tujuan
mendapatkan monopoli dari wilayah yang telah dikontrak akan tetapi jika tidak
ada dukungan dari kekuatan politik semua usahanya tidak akan berjalan dengan
lancar. Dari kalangan VOC sendiri sebenarnya banyak yang menentang adanya
tindak kekerasan.

Tindak kekerasan itu adalah melarang semua pengangkutan barang


dagangan dari portugis dengan kapal pribumi; semua ekspor rempah-rempah perlu
dihentikan, bahkan lebih dratis lagi yaitu pohon-pohon pala dan cengkeh
ditebangi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie
(kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC) dan contingenten (pajak hasil
bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah rempah yang boleh ditanam penduduk,
pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya
melebihi peraturan.
Pada tahun 1621/1622 terjadi peperangan antara orang Belanda
dengan orang Banda yang menyebabkan berkurangnya
penduduk, dan banyak diantara mereka yang tewas atau
dibuang yang kemudian tanahnya dibagi-bagi dalam kebun-
kebun (perken) yang diberikan kepada para penguasa penguasa
kebun (perkeniers) bekas abdi-abdi kompeni dan orang-orang
lain yang menanam pala, dibantu oleh orang Tionghoa dan
budak-budak belian. Pala hasil kebut tersebut harus diserahkan
kepada kompeni.penyerahan paksa ini berlangsung hingga
tahun 1863 (Burger, 1962:52)
Awal mulanya kedatangan Belanda diterima baik oleh orang Tidore,
mereka menganggap bangsa Belanda adalah penolong dalam peperangan
melawan orang Portugis yang bersekutu dengan Ternate. Akan tetapi, pada tahun
1605 bangsa Belanda merebut Ambon dan Tidore dari Portugis. Sehingga pada
tahun 1607 bangsa Belanda mendapatkan monopoli rempah-rempah. Kemudian
menjadikan Ambon sebagai pusat pemerintahan selama tiga masa jabatan
Gubernur Jenderal yaitu sejak tahun 1610 hingga tahun1619 (Ricklefs, 2005:74).
Hal tersebut adalah salah satu awal dari tujuan VOC yaitu memecah belah
antar kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tindakan VOC yaang menghancurkan
kehidupan penduduk seperti di Ambon dan Banda semata-mata hanya ingin
menguasai daerah tersebut. jalan VOC dalam mempertahankan monopoli
perdagangan di Ambon cukup sulit dikarenakan tekanan yang cukup keras dari
pihak VOC pada akhirnya mengakibatkna perlawanan dari pihak Ambon. Hal
tersebut juga mengakibatkan berbagai peperangan dengan orang Ambon.

Selain melakukan peperangan dengan orang Belanda, peperangan antar


keraajaan juga sering terjadi. Oleh Kumpeni cara peperangan ini digunakan
sebagai politik perdagangan, yang dilakukan secara damai ataupun dengan
kekerasan. Dengan mengadakan pelayaran dera (Hongi-tochten), yaitu pelayaran
pengawasan dengan mempergunakan kapal-kapal dayung yang besar-besar (kora-
kora) serta dipersenjatai, maka dihancurkanlah tanaman-tanaman yang berlebihan
(Burger, 1692:53).

Belanda menguasai Indonesia tidak hanya di dunia perdagangan


melainkan pertambangan juga. Keterlibatan VOC dalam pertambangan
dikarenakan kekurangan logam perak untuk pembuatan mata uangnya, hai ini
terlihat pada penguasaan mereka terhadap penambangan di Salida Sumatera Barat.
Akan tetapi orang-orang Belanda tidak memiliki kemampuan menambang, maka
pada tahun 1669 VOC mendatangkan orang-orang Jerman dari daerah Harz dan
budak belian dari Madagaskar untuk membuka dan menjalankan tambangnya.

Selain di Salinda, di Sumatera Selatan VOC juga sebagai tengkulak


merica, dan sejak tahun 1710 VOC juga melakukan pembelian timah kepada
sultan Palembang, hasil tambang-tambang yang dikerjakan orang Cina
dikepulauan Bangka. Meskipin VOC memeperoleh monopoli atas perdagngan
timah tersebut, namun peran mereka tetap menjadi tengkulak yang tidak berniat
melakukan penambangan sendiri.

Perkembangan Perekonomian Di Indonesia Pada Zaman VOC

Bangsa Belanda pertama kali datang ke Indonesia yaitu pada tahun 1595,
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Dan pada tanggal 14 Agustus 1597
tiba kembali di Tessel. Kemudian rombongan kedua datang pada tanggal 1 Mei
1598 yang dipimpin oleh van Ned, van Heemskerck, dan van Warwijck. Angkatan
ketiga yang dikirim oleh Perseroan Lama berangkat dari Amesterdam dalam bulan
April 1599, dibawah pimpinan van der hegen, sedang yang keempat di bawah van
Neck berangkat dalam bulan Juni 1600 (Kartodirdjo, 1988:70)
Jalan ke arah Timur (Asia) dilakukan bangsa Belanda sejak akhir abad ke-
16 karena berhasil memperoleh peta-peta karena berhasil memperoleh peta-peta
dan informasi ke timur dari bangs Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat
peta ke Timur yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis.
Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang
monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya
menimbulkan persaingan ketat. Persaingan terutama terjadi pada penentuan harga
jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya Nusantara. Persaingan
yang mengakibatkan merosotnya keuntungan itu menyebabkan pihak Amsterdam
dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga
itu dalam satu perusahaan saja.
Serikat perusahaan dagang itu dikelola oleh sebuah badan
(Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mewakili perusahaan-
perusahaan lokal yang ada sebelumnya. Para manajer tersebut memilih 17 orang
yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap
pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli
oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan tahun 1799, modal dasar
yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya
bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC
meningkatkan perdagangannya di abad ke-18. Kekurangan dana tidak
memungkinkan VOC menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia
dari keuntungannya.
Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke
Asia dari Italia (Venesia), sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis
yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC
belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu Gubernur Jenderal VOC
yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang
berada di perairan Nusantara. Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen merebut Jayakarta beserta "dalem" dari Pangeran Wijayakrama
yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan menaklukkan
Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki "kerajaan Sunda" yang
membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas "dalem" itulah
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi
nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan benteng itu.
Selain itu, seperti halnya Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan
birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali
Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang
didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan
pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan
laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah
dengan pusat di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan
dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di
wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang
opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).
Sebelum membangun benteng Batavia, VOC telah merebut beberapa
benteng Portugis dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang
dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan
armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi
rempah-rempah di Nusantara.
Contoh-contoh yang baik dari kemitraan jenis pertama tersebut adalah
antara VOC dengan Ambon. VOC di Ambon bebas membangun suatu sistem
monopoli cengkeh di Maluku. Sudah sejak tahun 1652 Gubernur VOC di Ambon
memerintahkan penduduk untuk menanam cengkeh. Namun, kebun-kebun
cengkeh itu hanya dibatasi pada empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku,
Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut. Di pulau-pulau lainnya yang pernah
menghasilkan cengkeh ketika masih dikuasai Ternate, yaitu di Jazirah Hoamoal
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berlaku pelarangan seperti tertera dalam
perjanjian dengan Sultan Mandar Syah (extierpatie dan hongitochten).
Pada umumnya setiap keluarga diharuskan menanam sejumlah pohon
cengkeh yang setiap tahunnya dipanen menjelang akhir tahun. Akan tetapi, ketika
jumlah produksi cengkeh berlebihan di pasar Eropa sehingga harganya merosot,
VOC di Ambon mengadakan hongitochtendan menebas (extierpatie) sejumlah
pohon cengkeh di setiap negeri. Hal itu terjadi pertama kali pada tahun 1692.
Ketika pasar dunia kekurangan persediaan cengkeh, pada tahun 1727 VOC
memerintahkan penduduk untuk menambah lagi jumlah pohon cengkeh. Pada
tahun 1770 muncul lagi perintah untuk mengurangi produksi cengkeh. Selama
pendudukan Inggris di Ambon antara 1796 dan 1817 penanaman dan produksi
cengkeh sangat mundur karena Inggris tidak mementingkannya.
Cengkeh yang ditanam masyarakat keempat pulau tersebut di atas dijual
kepada VOC di benteng-benteng mereka seharga 56 ringgit setiap bahar (di
Maluku sama dengan sekitar 110 kg) atau f168. Diperkirakan bahwa sekitar 1680-
an setiap tahun setiap dati (keluarga) dengan panen yang normal dapat menjual
kepada VOC kurang dari 1 bahar dan memperoleh rata-rata 25,2 realen (ringgit
atau uang Spanyol). Namun, dari jumlah itu masih ada berbagai potongan, di
antaranya bagian yang terbesar untuk para penguasa desa belum lagi manipulasi
alat timbang oleh pegawai VOC (menambahkan batu pada cengkeh yang
ditimbang). Dalam masa jatuhnya harga cengkeh seperti dalam abad-abad berikut,
dengan sendirinya pendapatan penduduk menjadi jauh lebih rendah.
Sistem monopoli cengkeh VOC di keempat pulau tersebut sesungguhnya
tidak benar-benar terkendali. Lautan yang luas dan demikian banyaknya pulau-
pulau kecil yang dapat digunakan oleh perahu-perahu dagang itu untuk
bersembunyi menyebabkan banyak terjadi kebocoran. Para pedagang dari
Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk
mendapatkan cengkeh. Makassar ketika itu (sampai tahun 1667) merupakan
pelabuhan bebas yang masih tetap dikunjungi para pedagang dari Eropa dan Asia
Tenggara yang membeli cengkeh yang berhasil diperoleh para pedagang tersebut.
Pengelolaan wilayah perkebunan cengkeh yang meliputi empat pulau itu
(Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut) membuat VOC membangun suatu
birokrasi yang berpusat di kota Ambon yang direbutnya dari Portugis pada tahun
1606. Pusat administrasi yang dipimpin oleh seorang gubernur itu terdapat dalam
Fort Victoria. Di sekitar benteng itu muncul sebuah kota yang hingga kini
dinamakan kota Ambon. Wilayah administrasi keempat pulau tersebut, ditambah
dengan pulau-pulau Seram dan Buru dalam masa VOC, dinamakan
Gouvernement van Amboina (Pemerintah Amboina).
Untuk menjamin produksi monopoli, VOC menata negeri-negeri (desa-
desa) di keempat Pulau kecil itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut).
Pemukiman yang sebelumnya terletak di pegunungan, terutama yang memberi
perlawanan kepada VOC selama bagian pertama abad ke-17, diharuskan
membangun negerinya di pesisir. Dalam abad ke-17 jumlah penduduk keempat
pulau tersebut diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.
Negeri-negeri diatur sedemikian rupa agar produksi cengkeh berjalan
lancar. Pemimpin negeri berasal dari keluarga-keluarga tertentu secara turun
temurun. Para pemimpin negeri itu dianggap sakral dan memiliki karisma. Bahkan
para pemimpin negeri dianggap mewakili suatu alam pikiran kosmologis-
tradisional yang membagi alam raya dalam dua bagian atau empat bagian yang
berada dalam keseimbangan.
Selain lahan perkebunan cengkeh dan lahan tanaman konsumtif,
terbentang hutan yang luas dan tidak berpenghuni. Hutan yang tidak berpenghuni
itu merupakan bagian integral dari negeri yang dinamakan "pertuanan negeri".
Hutan luas yang tidak berpenghuni, tetapi merupakan sumber makanan itu
menjadi tanggung jawab "kepala kewang" (kepala hutan) dan anggotanya.

Berakhirnya VOC di Indonesia


Kemunduran VOC pada tahun 1780 yang disebabkan karena terjadinya
perang yang ke 4 antara Belanda dan Inggris sehingga mengakibatkan VOC
mengalami krisis keuangan yang begitu genting yang pada akhirnya VOC
menanggung banyak hutang. Sehingga Belanda harus mengizinkan kebebasan
berlayar di Indonesia kepada Inggris. Hal ini menyebabkan pengendalian
monopoli perdagangan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Peristiwa tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor yang menyebabkan
mundurnya VOC antara lain ;
a. Pembukuan keuangan VOC yang tidak lagi transparan sehingga
munculnya keraguan. Adanya sistem pembukuan ganda yang
dilakukan oleh VOC. Di Belanda ada pembukuaan sendiri yang
mencatat uang yang dibelanjakan di Asia dan pembukuan yang
satunya di Batavia yang mencatat jumlah uang yang diterima dari
negeri Belanda dan Jumlah yang dibelanjakan di Asia.
b. Pemimpinannya semakin lama semakin buruk. Banyak pegawai VOC
yang hanya sibuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan
perdagangan gelap dan keuntungan perusahaan juga lebih jauh dari
yang dicapai pada zaman keemasaanya. Dengan adanya bukti bahwa
para pegawai tinggi VOC rumah-rumah mewah tidak hanya di Belanda
melainkan juga di Belanda yang secara logika tidak dapat dibiayai
sesuai dengan gaji mereka.
c. Kemunduran VOC di Jawa, ditumpasnya berbagai pemberontakan
kecil pada awal 1680. Dengan adanya hububungan antara raja dan
VOC yang memburuk, pembayaran yang seharusnya dilalukan untuk
mengganti pengeluaran militer VOC tidak diberikan. Pengiriman
beras, gula dan kayu diganggu ganti rudi garnisun VOC yang di
tempatkan di Istana tidak dibayarkan. VOC tidak lagi menambahkan
beban bunga dengan harapan mendorong Raja untuk melunasi
utangnnya. Akan tetapi untang yang mencapai 1.540.000real terlalu
banyak dari harta yang di miliki Mataram (Ricklef, 2005: 187).
Monopoli VOC atas impor candu dan tekstil tidak berarti karena
penduduk Jawa menjadi semakin miskin karena bertahun-tahun
melakukan perang sehingga tidak mampu membelinya. peperangan
yang dilakukan oleh VOC dengan para penduduk pribumi
mengakibatkatkan kerugian dan mengalami banyak pengeluaran yang
dialami oleh VOC.
Pada tahun 1799 ketika masa berlaku hak-hak istimewa yang dimiliki
VOC berakhir, dan tanggung jawabnya diambil alih oleh negeri Belanda. Masa
kompeni atau VOC baru ditutup ketika datangnya Deandles di tahun 1808.
Walaupun pada masa Gubernur Jendral Van Imhoff (1743-1750) sudah
melakukan berbagai pembaharuan yang beberapa diantaranya cukup orisinal
dengan cara penyeragaman mata uang dan upaya perdagangan transpasifik
langsung dengan koloni-koloni Spanyol di Amerika. Akan tetapi, tidak ada
satupun pembaharuan tersebut mampu mengatasi kemunduran yang dialami oleh
VOC.
Penutup

VOC merupakan kongsi dagang yang dipegang langsung oleh pemerintah


Belanda. Untuk melancarkan perdagangannya sistem monopoli VOC,
menggunakan struktur kekuasaan feodal untuk mendapatkan produksi yang
semakin besar serta pemegang kekuasan atau VOC, Bupati serta pembantunya
lebih menekankan terhadap petani. Kenaikan produksi menambah volume ekspor
VOC kenegara induk. VOC hanya mengutamakan produksi lewat dominasi politik
monopolinya. Serta VOC memiliki hak-hak istimewa yang diberikan langsung
oleh pemerintah Belanda dalam kegiatan ekonominya.

Dalam perkembangannya VOC berhasil mempengaruhi hampir seluruh


wilayah Nusantara dikuasainya dan berhasil menguasai system monopoli
perdagangan yang ada diwilayah itu. Pendirian benteng-benteng dan faktoroi di
beberapa tempat merupakan sebuah bukti. Dan pada akhirnya VOC mengalami
kemunduran atas adanya sebab-sebab perang dengan Inggris, Pembukuan
keuangan VOC yang tidak lagi transparan, pemimpin yang semakin lama semakin
buruk dan kemunduran VOC di Jawa.
DAFTAR PUSTAKA

Burger, D.H. 1962. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia jilid I. Djakarta :


Pradnia Paramita

Biegman, G.J.F, Hikajat Tanah Hindia. 1894. Bandar Batawi : Goebernemen


Herliany, Dorothea Rosa,dkk. 2014. Arus Balik Memori Rempah dan Bahari
Nusantara Kolonial dan Poskolonial. Yogyakarta : Ombak

Kartodirjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari


Emporium Sampai Imperium.. Jakarta : Gramedia Pustaka

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya batas-batas pembaratan.


Jakarta : Gramedia Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajah di Indonesia(1700-1900).
Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005.Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Ikrar
Mandiri Abadi

Anda mungkin juga menyukai