1)Email: Wildan.son234@gmail.com
Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Sosial
2)Email: Ranggabachtiar1@gmail.com
ABSTRAK
perekonomian di zaman awal kedatangan Belanda dengan kongsi dangang yang bernama
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC ). Diantara kongsi dagang di abad 17-18
VOC merupakan paling sukses karena tidak lama setelah berdirinya kongsi ini berhasil
menyingkirkan orang Portugis yang lebih awal telah membangun perdagangan di Asia.
VOC mempunyai hak-hak dalam menguasai monopoli perdagangan di Indonesia hal
tersebut menjadikan Belanda lebih mudah dalam menguasai wilayah monopoli
perdagangannya. Setelah itu VOC bangkrut dan dibubarkan pada tahun 1799, disebabkan
karena banyaknya korupsi oleh para pegawainya, banyaknya hutang VOC akibat
peperangan yang dilakukan rakyat Indonesia serta persaingan dengan Inggris dalam
merebutkan kekuasaan bidang perdagangan.
PENDAHULUAN
Setelah memiliki kantor pusat kedudukan VOC semakin kuat, usaha untuk
menaklukkan kerajaan dan pelabuhan penting ditingkatkan. Untuk menguasai
pelabuhan dan kerajaan penting VOC menggunakan cara dividi et impera atau
politik mengadu domba. VOC melakukan politik ini untuk mengadu domba satu
kerajaan dengan kerajaan lainnya, tujuannya agar kerajaan-kerajaan di Indonesia
menjadi lemah sehingga mudah dikuasai.
Bangsa Belanda pertama kali datang ke Indonesia yaitu pada tahun 1595,
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Dan pada tanggal 14 Agustus 1597
tiba kembali di Tessel. Kemudian rombongan kedua datang pada tanggal 1 Mei
1598 yang dipimpin oleh van Ned, van Heemskerck, dan van Warwijck. Angkatan
ketiga yang dikirim oleh Perseroan Lama berangkat dari Amesterdam dalam bulan
April 1599, dibawah pimpinan van der hegen, sedang yang keempat di bawah van
Neck berangkat dalam bulan Juni 1600 (Kartodirdjo, 1988:70)
Jalan ke arah Timur (Asia) dilakukan bangsa Belanda sejak akhir abad ke-
16 karena berhasil memperoleh peta-peta karena berhasil memperoleh peta-peta
dan informasi ke timur dari bangs Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat
peta ke Timur yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis.
Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang
monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya
menimbulkan persaingan ketat. Persaingan terutama terjadi pada penentuan harga
jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya Nusantara. Persaingan
yang mengakibatkan merosotnya keuntungan itu menyebabkan pihak Amsterdam
dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga
itu dalam satu perusahaan saja.
Serikat perusahaan dagang itu dikelola oleh sebuah badan
(Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mewakili perusahaan-
perusahaan lokal yang ada sebelumnya. Para manajer tersebut memilih 17 orang
yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap
pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli
oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan tahun 1799, modal dasar
yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya
bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC
meningkatkan perdagangannya di abad ke-18. Kekurangan dana tidak
memungkinkan VOC menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia
dari keuntungannya.
Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke
Asia dari Italia (Venesia), sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis
yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC
belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu Gubernur Jenderal VOC
yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang
berada di perairan Nusantara. Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen merebut Jayakarta beserta "dalem" dari Pangeran Wijayakrama
yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan menaklukkan
Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki "kerajaan Sunda" yang
membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas "dalem" itulah
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi
nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan benteng itu.
Selain itu, seperti halnya Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan
birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali
Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang
didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan
pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan
laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah
dengan pusat di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan
dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di
wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang
opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).
Sebelum membangun benteng Batavia, VOC telah merebut beberapa
benteng Portugis dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang
dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan
armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi
rempah-rempah di Nusantara.
Contoh-contoh yang baik dari kemitraan jenis pertama tersebut adalah
antara VOC dengan Ambon. VOC di Ambon bebas membangun suatu sistem
monopoli cengkeh di Maluku. Sudah sejak tahun 1652 Gubernur VOC di Ambon
memerintahkan penduduk untuk menanam cengkeh. Namun, kebun-kebun
cengkeh itu hanya dibatasi pada empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku,
Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut. Di pulau-pulau lainnya yang pernah
menghasilkan cengkeh ketika masih dikuasai Ternate, yaitu di Jazirah Hoamoal
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berlaku pelarangan seperti tertera dalam
perjanjian dengan Sultan Mandar Syah (extierpatie dan hongitochten).
Pada umumnya setiap keluarga diharuskan menanam sejumlah pohon
cengkeh yang setiap tahunnya dipanen menjelang akhir tahun. Akan tetapi, ketika
jumlah produksi cengkeh berlebihan di pasar Eropa sehingga harganya merosot,
VOC di Ambon mengadakan hongitochtendan menebas (extierpatie) sejumlah
pohon cengkeh di setiap negeri. Hal itu terjadi pertama kali pada tahun 1692.
Ketika pasar dunia kekurangan persediaan cengkeh, pada tahun 1727 VOC
memerintahkan penduduk untuk menambah lagi jumlah pohon cengkeh. Pada
tahun 1770 muncul lagi perintah untuk mengurangi produksi cengkeh. Selama
pendudukan Inggris di Ambon antara 1796 dan 1817 penanaman dan produksi
cengkeh sangat mundur karena Inggris tidak mementingkannya.
Cengkeh yang ditanam masyarakat keempat pulau tersebut di atas dijual
kepada VOC di benteng-benteng mereka seharga 56 ringgit setiap bahar (di
Maluku sama dengan sekitar 110 kg) atau f168. Diperkirakan bahwa sekitar 1680-
an setiap tahun setiap dati (keluarga) dengan panen yang normal dapat menjual
kepada VOC kurang dari 1 bahar dan memperoleh rata-rata 25,2 realen (ringgit
atau uang Spanyol). Namun, dari jumlah itu masih ada berbagai potongan, di
antaranya bagian yang terbesar untuk para penguasa desa belum lagi manipulasi
alat timbang oleh pegawai VOC (menambahkan batu pada cengkeh yang
ditimbang). Dalam masa jatuhnya harga cengkeh seperti dalam abad-abad berikut,
dengan sendirinya pendapatan penduduk menjadi jauh lebih rendah.
Sistem monopoli cengkeh VOC di keempat pulau tersebut sesungguhnya
tidak benar-benar terkendali. Lautan yang luas dan demikian banyaknya pulau-
pulau kecil yang dapat digunakan oleh perahu-perahu dagang itu untuk
bersembunyi menyebabkan banyak terjadi kebocoran. Para pedagang dari
Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk
mendapatkan cengkeh. Makassar ketika itu (sampai tahun 1667) merupakan
pelabuhan bebas yang masih tetap dikunjungi para pedagang dari Eropa dan Asia
Tenggara yang membeli cengkeh yang berhasil diperoleh para pedagang tersebut.
Pengelolaan wilayah perkebunan cengkeh yang meliputi empat pulau itu
(Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut) membuat VOC membangun suatu
birokrasi yang berpusat di kota Ambon yang direbutnya dari Portugis pada tahun
1606. Pusat administrasi yang dipimpin oleh seorang gubernur itu terdapat dalam
Fort Victoria. Di sekitar benteng itu muncul sebuah kota yang hingga kini
dinamakan kota Ambon. Wilayah administrasi keempat pulau tersebut, ditambah
dengan pulau-pulau Seram dan Buru dalam masa VOC, dinamakan
Gouvernement van Amboina (Pemerintah Amboina).
Untuk menjamin produksi monopoli, VOC menata negeri-negeri (desa-
desa) di keempat Pulau kecil itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut).
Pemukiman yang sebelumnya terletak di pegunungan, terutama yang memberi
perlawanan kepada VOC selama bagian pertama abad ke-17, diharuskan
membangun negerinya di pesisir. Dalam abad ke-17 jumlah penduduk keempat
pulau tersebut diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.
Negeri-negeri diatur sedemikian rupa agar produksi cengkeh berjalan
lancar. Pemimpin negeri berasal dari keluarga-keluarga tertentu secara turun
temurun. Para pemimpin negeri itu dianggap sakral dan memiliki karisma. Bahkan
para pemimpin negeri dianggap mewakili suatu alam pikiran kosmologis-
tradisional yang membagi alam raya dalam dua bagian atau empat bagian yang
berada dalam keseimbangan.
Selain lahan perkebunan cengkeh dan lahan tanaman konsumtif,
terbentang hutan yang luas dan tidak berpenghuni. Hutan yang tidak berpenghuni
itu merupakan bagian integral dari negeri yang dinamakan "pertuanan negeri".
Hutan luas yang tidak berpenghuni, tetapi merupakan sumber makanan itu
menjadi tanggung jawab "kepala kewang" (kepala hutan) dan anggotanya.