Anda di halaman 1dari 3

KONTRA – KEBIJAKAN EKONOMI ERA SOEHARTO

1. Pinjaman Nasional
Kekuatan politik Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto menjadikan
pembangunan ekonomi sebagai pusat perhatian utama. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan dan harapan jika kehidupan ekonomi semakin baik, maka akan mempermudah
langkah pemerintah Orde Baru dalam memperoleh dan memperkokoh legitimasi
kekuasaan yang baru saja dicengkram serta dapat merebut simpati dari rakyat (Hariyono,
2006:308-309).
Demi mengatasi carut marut dan krisis ekonomi pasca tumbangnya rezim Soekarno,
maka pemerintah Orde Baru membentuk Tim Ekonomi yang ditugaskan untuk mendapa
ka n dukungan dan bantuan dari luar negeri (A.Katoppo, 2000:269). Tim Ekonomi
tersebut bertujuan utama mendekati pihak asing untuk melakukan rescheduling hutang
lama yang telah jatuh tempo. Disamping itu Tim Ekonomi yang dibentuk pemerintah
juga bertugas mengusahakan bantua n keuangan yang baru dari luar negeri, serta
berusaha menarik Penanaman Modal Asing ke Indonesia (Zulkarnain Djamin, 1993:197)
Tim ahli yang dibentuk itu pun segera memainkan peranannya dalam mengatasi
permasalahan ekonomi bangsa. Kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan sebagai
usaha untuk melakukan stabilitas dan rehabilitas ekonomi, terlebih dahulu “digarap” oleh
Sudharmono dan Wijoyo. Hal tersebut bertujuan agar dalam sidang kabinet tidak ada lagi
perdebatan. Alur tersebut kemudian berlanjut dengan petunjuk dan arahan dari Presiden
Soeharto sebagai decision maker (A.Katoppo, 2000:270).

a. IGGI

b. IMF
2. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Orde Baru pada tahun 1967 mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal
Asing (UU PMA), diikuti dengan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU
PMDN) pada tahun 1968. Dua kebijakan tersebut pada intinya memberikan peluang lebih
luas bagi pemodal baik dari luar negeri maupun dalam negeri untuk berinvestasi di
Indonesia.
a. Penerbitan APBN
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat
jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut
sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu
mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk
menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Penerapan
kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup
dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah
dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan
pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat
minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

3. Repelita I-VI
Pembangunan yang dilakukan dalam progam Repelita sendiri berasal dari Pinjaman
Nasional yang mengakibatkan Indonesia selalu terikat terhadap utang.
Longgarnya kesempatan investasi yang diberikan pemerintahan Soeharto terhadap
pemodal-pemodal asing dapat menguasai berbagai sektor penting yang berkaitan dengan
hajat hidup masyarakat luas. Hal tersebut terbukti bahwa kebijakan neoklasik melalui
industrialisasi skala besar yang diterapkan Orde Baru menjadi momok bagi bangsa
Indonesia. Kembali menilik pada analisis Revrisond Baswir, menurut beliau, tolak ukur
kesuksesan industrialisasi dapat dilihat melalui efektifitas dan efisiensi produktivitas, apa
yang dimaksudkan adalah, industrialisasi yang berhasil dapat diklaim ketika terjadi
“mekanisasi”, artinya dengan proposisi, semakin sedikit tenaga manusia yang digunakan
dan semakin banyak mesin yang menggantikan pekerjaan tersebut, maka industrialisasi
dapat dikatakan sukses. Sehingga faktual, dari waktu ke waktu lapangan kerja dalam
sektor industri kian sempit, jumlah tenaga kerja Indonesia yang meledak, pada akhirnya
tidak mampu tertampung lagi dalam sektor ini.
Problem urgen yang dihadapi, semakin tahun jumlah lahan yang tersedia bagi
kegiatan bercocok tanam kian sempit sehingga pendapatan masyarakat pun kian minim,
inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia sulit keluar dari kubangan kemiskinan serta
julukan “masyarakat agraris”. Kian minimnya lapangan kerja dalam industrialisasi Orde
Baru ditegaskan pula oleh Prof. Mubyarto di mana neoklasik sangat sesuai bagi efisiensi
namun tidak bagi pemerataan.
Namun demikian, deretan catatan emas pembangunan di atas bukannya tanpa cacat
sama sekali, faktual, prilaku korupsi menunjukkan peningkatan secara signifikan pula.
Bangkrutnmya Pertamina pada tahun 1975-1976 menyisakan hutang sebesar US$10
milyar, banyaknya protes yang disuarakan mahasiswa dengan turun ke jalan-memaksa
Soeharto membentuk Komisi IV Pemberantasan Korupsi dengan M. Hatta sebagai
penasehat. Namun, komisi tersebut tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya, semisal
di tahun 1990 ketika M. Yusuf melakukan pemeriksaan APBN 1988/1989, berbagai
penyimpangan yang ditemukannya tidak pernah dipublikasikan pemerintah kepada
masyarakat, di tahun-tahun selanjutnya korupsi kian subur menjangkiti Orde Baru.
Periode oil boom pada awalnya memang meminimalisir ketimpangan ekonomi, namun
setelah periode ini berlalu kesenjangan ekonomi antara desa dengan kota, antargolongan
pendapatan dan antardaerah serta kemiskinan pada akhirnya justru meningkat tajam. Hal
ini membuktikan bahwa konsepsi trilogi pembangunan Orde Baru berupa pertumbuhan,
pemerataan dan stabilitas-praktis hanyalah “narasi agung” yang tak pernah terwujud. Di
samping itu, kekuasaan Soeharto yang “tak tergantikan” berikut deretan catatan korupsi
yang menyertainya kian membenarkan argumen Lord Acton, “Power tend to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely”
4. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau yang dilakukan Orde Baru sejak 1970-an memang menghantarkan
Indonesia pada negara swasembada beras, namun ada harga mahal yang harus dibayar
setelahnya. Ketergantungan sektor pertanian pada basis teknologi revolusi industri berupa
pupuk kimia dan pestisida menjadi momok kemudian. Tahun 1995, kebijakan pemerintah
mengurangi subsidi sektor pertanian membuat petani kian merana, terlebih kebijakan Orde
Baru yang meliberalisasi perdagangan akibat tekanan WTO. Kebijakan tersebut
mengakibatkan masuknya investasi asing dalam bidang pertanian, pada akhirnya sektor
pupuk kimia dan pestisida dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa seperti Monsanto
dan Syngenta. Dampaknya kemudian, petani dirugikan akibat patokan harga yang terlalu
tinggi dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.
Tak hanya itu saja, bahkan mereka— para petani—yang tanpa segan menolak
instruksi pemerintah, bakal segera dilabelkan sebagai “PKI” (Fanslow, 2007: 35). Terkait
penggunaan pestisida, di samping menyebabkan munculnya beragam hama yang kian
tangguh, faktual turut membunuh berbagai serangga atau hewan yang dibutuhkan dalam
pertanian, semisal cacing untuk menggemburkan tanah. Namun demikian, perihal yang lebih
urgen lagi adalah, rusaknya rantai makanan alam akibat turut terbunuhnya hewan predator
sehingga memungkinkan terjadinya serangan hama berikut gagal panen yang lebih besar
ketimbang sebelumnya (Fanslow, 2007: 37). *Intinya dampak negatif revolusi hijau itu ada
di pencemaran lingkungan* dalam jangka pendek memang dapat meningkatkan pendapatan
beras tapi disisi lain juga merugikan petani.

Anda mungkin juga menyukai