1
Dengan demikian, berdasarkan atas uraian tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa di dalam penegakan hukum (law enforcement) yang dilaksanakan di
forum peradilan yakni di pengadilan, baik di pengadilan negeri, pengadilan niaga,
pengadilan tata usaha negara, pengadilan hubungan industrial maupun pengadilan
agama, profesi hukum yang terlibat ada 2 (dua) profesi yakni hakim dan advokat
dan hanya perkara-perkara pidana saja yang melibatkan 3 (tiga) profesi hukum,
yakni : hakim, jaksa dan advokat .
Di dalam tulisan ini akan dibahas tentang perbandingan budaya hukum dan
dimensi hukum jaksa dan advokat. Hal ini berarti bahwa pembahasan akan
berfokus kepada profesi hukum di dalam perkara pidana saja, karena sebagaimana
telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam penegakan hukum (law enforcement)
yang dilaksanakan di forum peradilan yakni di pengadilan, kehadiran atau
tampilnya jaksa hanya untuk perkara pidana saja, sedangkan untuk perkara-
perkara lainnya, jaksa tidak dimungkinkan untuk tampil .
Apabila berbicara tentang budaya hukum jaksa, hal ini tidak dapat
dilepaskan dari kedudukan jaksa sebagai penuntut umum di dalam perkara
pidana yang diperiksa oleh hakim di pengadilan negeri.
Peran (role) seorang penegak hukum (law enforcement officer) tidak dapat
dilepaskan dari kedudukannya atau jabatannya .
Ruang lingkup tugas dan kewenangan (scope of assignment and authority)
seorang penegak hukum (law enforcement officer) diatur dan ditentukian di
dalam undang-undang .
2
Setiap undang-undang akan dimulai dengan konsiderans
(pertimbangan) yang biasanya mengandung aspek filosofis, aspek
sosiologis dan aspek yuridis . Hal ini berarti bahwa filosofi tentang tugas
dan kewenangan seorang hakim akan berbeda dengan filosofi tentang
tugas dan kewenangan seorang jaksa dan berbeda pula dengan filosofi
tentang tugas dan kewenangan seorang advokat, meskipun idealnya, ketiga
profesi hukum tersebut berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar dan
menseimbangkan atau menserasikan 3 (tiga) aspek tujuan dari penegakan
hukum (law enforcement), yakni : kepastian hukum (rechtszekerheid),
keadilan (billijheid) , dan aspek manfaat (doelmatigheid) , disamping agar
jangan sampai terjadi main hakim sendiri (eigenrichting) .
3
Oleh karena itu, adalah logis jika jaksa di dalam persidangan perkara
pidana, akan selalu berusaha mengajukan argumentasi dan alat-alat bukti ,
termasuk alat bukti saksi fakta maupun saksi ahli (expert witness) yang
memberatkan terdakwa, karena memang itulah tugas dan kewenangan jaksa
sebagaimana diatur dan ditentukan di dalam undang-undang berikut
peraturan-peraturan pelaksanaannya .
Seperti halnya profesi jaksa yang tugas dan kewenangannya diatur dan
ditentukan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya,
profesi advokat pun demikian .
Cara kerja advokat juga diatur dan ditentukan oleh undang-undang yang
dalam hal ini adalah undang-undang tentang advokat, berikut peraturan-
peraturan pelaksanaannya . Bahkan di dalam organisasi profesinya juga
ada Kode Etik bagi para advokat yang dibuat oleh organisasi profesi
advokat sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa seorang advokat akan dianggap
melanggar kode etik profesi apabila dia menerima perkara dari klien baru,
padahal dia (advokat tersebut) mengetahui bahwa klien tersebut masih
menggunakan jasa hukum dari advokat lain, atau dengan kata lain , klien
tersebut masih terikat hubungan hukum dengan advokat yang menangani
perkara yang sama .
4
Namun satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa di dalam melaksanakan
penegakan hukum (law enforcement), baik jaksa maupun advokat,
kedua-duanya mempunyai satu tujuan, yakni mengejar dan
menseimbangkan atau menserasikan 3 (tiga) aspek dari tujuan
penegakan hukum (law enforcement) sebagimana telah dikemukakan di
atas, yakni : aspek keadilan (billijheid), aspek kepastian hukum
(rechtszekerheid) dan aspek manfaat (doelmatigheid) , disamping agar tidak
terjadi main hakim sendiri (eigenrichting) .
Adalah sesuatu hal yang aneh dan tidak logis jika seorang advokat di
dalam menjalankan profesinya tidak berusaha maksimal untuk membela
segala hak-hak dan kepentingan kliennya, dengan catatan bahwa tindakan
advokat tersebut harus tetap didalam koridor hukum dalam arti bahwa
segala argumentasinya harus didasarkan atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku (hukum positif = positief recht = ius constitutum),
yurisprudensi, doktrin dan hukum kebiasaan.
Argmentansi-argumentasi yang TIDAK didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif = positief recht = ius
constitutum), yurisprudensi, doktrin dan hukum kebiasaan, boleh dikatakan
argumentasi tanpa landasan yuridis atau dengan akta lain argumentasi
ASAL BUNYI yang secara yuridis tidak perlu dipertimbangkan dan patut
dikesampingkan dan bahkan harus ditolak.