Anda di halaman 1dari 10

a.

Terjadi kecelakaan minibus sekitar 100 meter dari RSUP (40km dari
Palembang).
Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya
penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Korban, laki-laki 30
tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan,
nyeri perut, dan nyeri paha kiri. dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung
pergi ke tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma
seadanya.
A. Bagaimana initial assessment pada kasus? 3, 4, 8
Prinsip tatalaksana awal
1.Penilaian keadaan umum pasien
2.Primary survey (ABCDE)

A : AIRWAY.
Jika pasien sadar: dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi
airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar: 1) Look: ada sumbatan airway atau
tidak; 2) Listen: suara-suara nafas; 3) Feel: hembusan nafas pasien.
Untuk mengetahui dan menilai pasien sadar atau tidak, kita menilai dengan
mengajak bicara pasien. Jika pasien dapat menjawab dengan baik maka dapat
dinilai kesadaran pasien dan tidak adanya sumbatan pada jalur pernapasan
pasien.
Salah satu tanda adanya sumbatan pada pasien adalah :
Mendengkur : pangkal lidah (snoring)
Suara berkumur : cairan (gurgling)
Stridor : kejang / edema pita suara (crowing)
Jika terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas
tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
1) Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran
nafas. Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni,
yang elastic dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah
diarahkan. Jangan melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring
sehingga tidak timbul vagal refleks.
2) Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
3) Snore (mengorok) = biasanya obstruksi karena lidah terlipat dan pasien
dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka
mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan
membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena
memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan
instrumen.
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami
trauma basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater). Cirinya adalah keluar darah atau cairan bercampur darah dari
hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi:
1) Multipel trauma
2) Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3) Penurunan kesadaran.
4) Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.
Jika terjadi dalam waktu yang lama keadaan pasien akan makin parah maka
akan muncul tanda-tanda berupa yaitu :
1) Gelisah (hipoksia)
2) Gerak otot nafas tambahan (tracheal tug, retraksi sela iga)
3) Gerak dada dan gerak paradoksal
4) Sianosis (Tanda lambat)

Ada berbagai cara pembebasan jalan nafas yaitu :


1) Sumbatan pangkal lidah
Jaw thrust
Chin lift
Jalan nafas orofaring
Jalan nafas nasofaring
Intubasi trakea / LMA
2) Bersihkan cairan
Penghisap / suction
3) Sumbatan di plica vocalis
Cricothiroidotomy
Nilai jalan nafas pada kasus: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara, mengeluh
daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut, dada. Bersihkan jalan nafas
jika ada darah. Pada kasus ini, tidak ada gangguan airway
B : BREATHING.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi: fungsi paru baik, dinding dada dan diafragma. Nilai frekuensi
pernafasannya, lihat ada sesak atau tidak, lihat ada trauma di thorax atau tidak,
tanda-tanda sianosis juga harus diperhatikan.
Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
Penderita tampak nyaman
Frekuensi cukup
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
Gerakan dada kurang baik
Ada suara nafas tambahan
Sianosis
Frekuensi kurang atau lebih
Perubahan status mental (gelisah)
Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
Tidak ada gerakan dada atau perut
Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar maka
pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada pasien yang
mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan pneuomotorak atau
pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi di daerah paru.
Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh pneumotorak sementara pada
pleurahemorage suara paru menjadi redup. Penanganan pneumotorak ini antara
lain dengan menusukan needle 14 G di daerah yang hipersonor atau pengguanan
chest tube.
Jika terdapat henti napas :
Hal yang dapat dilakukan antara lain resusitasi paru, bisa dilakukan melalui :
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).
Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :
a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.
c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask
inilah pilihan utama pada pasien sianosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.
Catatan : pada pasien pneumotoroaks perhatikan adanya keadaan pergesaran
mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena
jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung
Penanganan breathing pada kasus: nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher dan
dada, observasi perubahan pola pernapasan: tentukan laju dan dalam pernafasan,
dan look, listen, feel (diketahui tanda-tanda pneumothoraks) dekompresi segera
dan penanganan awal dengan insersi jarum yang berukuran besar (needle
thoraco syntesis) pada ICS 2 di linea midclavicula. Pada kasus ini, adanya tanda
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan needle compression di ICS 2 linea
midclavicula.

C : CIRCULATION.
Setelah melakukan penangan pada sistem pernapasan, sistem sirkulasi dapat
segera dinilai dengan cara :
- Memeriksa denyut nadi (radialis atau karotis). Pada orang dewasa dan anak-
anak, denyut nadi diraba pada arteri radialis dan arteri carotis (medial dari
M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut nadi
adalah pada a. Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. Frekuensi
denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang
dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit disebut
takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang terlatih. Pada
bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada
anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi
merupakan tanda diagnostik yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan
- Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian
terhadap adanya masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi
oksigen ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
- Pemeriksaan sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan
napas dan system pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas,
nadi radialis maupun nadi karotis dapat pula teraba.
- Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah
bertambahnya jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap terjadinya
shock. Penanganan luka secara baik dilakukan setelah korban stabil.
- Jika ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha
menarik napas satu atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita
akan ditemukan dalam keadaan tidak sadar. Pada perabaan nadi tidak
ditemukan arteri yang tidak berdenyut, maka harus dilakukan masase
jantung luar yang merupakan bagian resusitasi jantung paru (RJP, CPR).

Penanganan pada kasus: nilai TD, nadi, warna kulit, dan sumber perdarahan.
Bersihkan dan tutup luka dengan perban

D : Dissability.
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara terhadap
rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk melakukan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem AVPU pada keadaan ini lebih
jelas dan cepat:
1) Awake (A)
2) Verbal response (V)
3) Painful response (P)
4) Unresponsive (U)
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status
neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan pupil
serta kecepatannya.
Nilai GCS pasien pada kasus: 13 cedera otak sedang.

E: Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka/trauma lain secara
generalis tetapi jaga agar pasien tidak hipotermia.
Berdasarkan pengamatan klinis pada kasus diduga:
Fraktur femur: Pasang bidai, apabila tidak ada bebat anggota gerak yang
sakit ke anggota gerak yang sehat
Fraktur costa: diberi analgesik dosis rendah IV agar tidak nyeri sehingga
mempermudah pernafasan

B. Bagaimana mekanisme terjadinya dada sesak? 4, 3, 10

Secara anatomi, paru-paru terletak di rongga thoraks. Trauma pada daerah


thoraks yang menyebabkan costae fraktur ditandai dengan adanya krepitasi
pada costae 9,10,11 kanan depan dapat menyebabkan robekan pada pleura.
Pleura terdiri atas 2 bagian yaitu pleura parietalis yang membungkus rongga
dada dan pleura visceralis yang melekat pada organ paru, dimana diantara
kedua pleura ini terdapat rongga pleura. Tekanan pada rongga pleura
dipertahankan stabil, dimana tekanan ini lebih rendah dari pada tekana
atmosfer untuk mencegahnya kolaps paru. Robekan pada dinding dada
membuat udara dari luar yang bertekanan positif masuk mengisi rongga pleura
yang bertekanan lebih kecil. Udara ini terperangkap dalam rongga pleura dan
tidak dapat keluar sehingga menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura
meningkat. Tekanan yang semakin tinggi mendesak organ didalamnya yaitu
paru ke arah dalam. Keadaan seperti ini awalnya dikompensasi tubuh dengan
menggunakan usaha napas tambahan. Namun, tekanan yang tinggi di
intrapleura melebihi tekanan parenkim paru sehingga menyebabkan udara
dalam alveoli terdorong keluar dan alveoli sulit untuk recoil. Kesulitan
compliance paru terjadi dalam waktu sangat cepat pada keadaan ini. Gangguan
pada kesulitan bernafas tersebut digambarkan dengan sesak nafas pada pasien.
Penyebab sesak pada kasus ini adalah karena tension pneumothoraks.

Mekanismenya:

Trauma pada thoraks costae fraktur kebocoran udara paru udara


masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way valve) tekanan
intrepleural tinggi paru-paru kanan kolaps sesak

b. Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang


sopir ke UGD.
Pemeriksaan Fisik

Kepala

Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm


Yang lain dalam batas normal

Thorax:

Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi napas
40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
Palpasi
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor

Abdomen

Inspeksi:
o Dinding perut datar
Auskultasi
o Bising usus: melemah
Perkusi
o Nyeri ketok (+)
Palpasi
o Nyeri tekan (+)
o Defanse muscular (+)

Ekstremitas: Paha kiri

Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan
setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke
RSMH.
1) Apa penanganan seadanya yang mungkin dilakukan? 9, 8, 3
2) Bagaimana cara evakuasi pasien ke UGD? 10, 7, 4
a) Persiapan pra-Rumah Sakit
Koordinasi dokter lapangan dan dokter rumah sakit yang baik
Pemberitahuan sebelum pengiriman pasien
Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit
seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, dan
riwayat penderita
b) Nilai sementara, pindahkan ke tandu dengan metode log roll, bawa
ke UGD RSUD.

3) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik kepala? 3, 8, 5


4) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik kepala? 3, 8, 5
5) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik thorax? 2, 7, 9
6) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik thorax? 2, 7, 9
7) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik abdomen? 1, 6, 10
8) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik abdomen? 1, 6, 10
9) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik ekstremitas? 3, 4, 5

Ekstremitas (paha kiri):

- Inspeksi: Deformitas tertutup menandakan adanya fraktur tulang femur


Tampak deformitas, memar,
yang tertutup. Memar dan hematom menandakan adanya
hematom pada paha tengah kiri
cedera akibat trauma di daerah tersebut.

- Palpasi:
Nyeri tekan, krepitasi,
Nyeri tekan menandakan adanya cedera di daerah tersebut,
kemungkinan karena fraktur.

- ROM
aktif: limitasi gerakan,
ROM yang terdapat limitasi gerakan menandakan adanya
pasif: limitasi gerakan
inflamasi sehingga menghambat terjadinya pergerakan oleh
tulang, sendi, dan otot. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur
tulang.

10) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik ekstremitas? 3, 4, 5


11) Bagaimana penanganan awal di UGD (sesuai dengan pemeriksaan
fisik)? 5, 6, 7
12) Apa saja indikasi rujuk pada kasus? 1, 4, 6
a. Dari kemampuan petugas kesehatan yang bekerja. Apabila petugas
kesehatan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi trauma
hingga tuntas, maka sebaiknya dirujuk.
b. Kemampuan pusat pelayanan kesehatan. Apabila di RSUD tidak
terdapat fasilitas yang mencukupi dari diagnosis hingga tatalaksana
untuk mengatasi pasien trauma, sebaiknya dirujuk.
Persiapan sebelum merujuk pasien trauma dari RSUD ke RSMH

a. Keadaan pasien harus stabil selama di UGD.


b. Mengkonfirmasi indikasi rujuk pada klinis pasien dan atau atas
permintaan kerabat pasien.
c. Lengkapi catatan biodata pasien, serta riwayat tindakan,
pengobatan, serta respon yang diberikan selama pasien di UGD.
d. Menginfomasikan kepada petugas pendamping selama perjalanan
mengenai stabilisasi pasien (jalan napas, cairan, suhu), tindakan
khusus yang mungkin diperlukan, serta perubahan-perubahan yang
mungkin akan terjadi selama di perjalanan.
e. Siapkan surat rujukan.

13) Bagaimana tata cara merujuk ke RSMH? 2, 3, 5

c. Aspek Klinis
1) Diagnosis kerja 3, 2, 8
2) Pemeriksaan penunjang 4, 1, 9
- X-Ray
- Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dan Laparotomi
Untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan ataupun cairan
akibat trauma intraabdominal. Indikasi dilakukannya DPL antara
lain:
a. unexplained abdominal pain
b. trauma thoraks bagian bawah
c. hipotensi, penurunan Ht tanpa sebab yang jelas
d. pasien yang mengalami trauma abdomen dan disertai gangguan
neurologis
e. Pasien dengan trauma abdomen dan medula spinalis
f. Fraktur pelvis

3) Komplikasi 5, 10, 1
4) Edukasi dan follow up 6, 8, 10
5) Prognosis 7, 9, 2
6) SKDI semua
2. Hipotesis
Supir minibus, 30 tahun, mengalami syok dan trauma kepala, thorax, abdomen,
dan ekstremitas akibat kecelakaan lalu lintas
3. Learning Issue
a. Trauma Kepala 1, 2
b. Trauma Thorax 3, 4
c. Trauma Abdomen 5, 6
d. Trauma Ekstremitas 7, 8
e. Initial assessment and treatment 9, 10

Anda mungkin juga menyukai