PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2
Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik yang tidak
dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab utama terjadinya
kejang dapat terjadi oleh karena adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
hipomagnesemmia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Atau dapat juga
oleh karena adanya riwayat trauma serebrovaskular, stroke, penyakit demielinisasi.
Epilepsi juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti
sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau herpes simplek, dapat
menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada susunan saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba oleh wanita hamil dapat
merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan epilepsi. Penggunaan konsumsi
alkohol secara tiba-tiba pada seorang alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat
tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air
raksa; injeksi heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi. 2
2.3 Epidemiologi
3
Pada penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi pengangkatan
fokus epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh setelah gejala
kejangnya sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan proporsi 2-3 kali lipat munculnya
gangguan psikotik pada pasien epilepsi dibandingkan dengan populasi umum,
khususnya pada pasien epilepsi dengan fokus temporomediobasal. 2
2.4 Klasifikasi
Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat. Sewaktu
terjadi serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami kejang-kejang. Nafasnya
terhenti, mulutnya bergetar, dan rahangnya terkatup kuat. Lengan dan kaki terlentang
kaku dan kejang-kejang, serta tangannya mengepal. Kemudian penderita terjatuh.
Mungkin juga penderita merasa sakit, lalu menangis dan mengerang-erang, kemudian
jatuh pingsan, tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya menjadi kelam, lalu jadi pucat.
Saat serangan terjadi, penderita dapat kehilangan kontrol diri, sehingga dapat kencing
atau buang air besar yang tak terkendali, atau menggigit lidahnya.3
4
Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan kesadaran
atau kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih banyak dari setengah semua
pasien dengan kejang parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang
digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang
psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan
3
situasi klinis yang akurat.
Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan pada pasien epilepsi
menjadi preiktal, iktal, dan interiktal.4
1. Preiktal
Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan, dan
sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti
mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.4
2. Iktal
Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal. Gejala
kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode penyelesaian
delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di EEG dalam 25 sampai 50%
dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks. Penggunaan elektroda sementara
sphenoidal atau anterior dan kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan
menemukan suatu kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk
pasien dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat
5
lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom
klasik. 4
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan
pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan,
bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering
mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat menemukan cara
sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan
berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang
dikenal sebagai hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan
hampir patognomonik untuk epilepsi parsial kompleks. 4
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan
transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini ditandai
baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual
berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum
pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah
pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk
pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas, perubahan
minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan. 4
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-
seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama
mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua
pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor
risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama
masa pubertas, dan lesi sisi kiri. 4
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik,
gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang
lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh perkembangan perubahan
kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi. Gejala yang paling
karakteristik dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien
biasanya tetap hangat dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan
kelainan mempengaruhi sering terlihat pada pasien dengan skizofrenia.
Gejala-gejala gangguan berpikir pada pasien dengan epilepsi psikotik paling
6
sering yang melibatkan konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala
skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran. 4
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala
gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul paling
sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan otak
dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. 4
2.5 Patofsiologi
7
2.6 Penatalaksanaan
8
2.7 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila kejang dapat
dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami gangguan
psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang yang tidak terkontrol dalan jangka
panjang. Untuk masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi mungkin dapat
mengatasi beberapa gejala seperti agresi, tetapi nungkin tidak dapat mencegah
munculnya gejala lain seperti psikosis dan perilaku suicidal. 2
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
11