Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Psikosis merupakan gejala gangguan mental yang berat dimana seseorang


kehilangan kemampuan untuk mengenali realistis atau berhubungan dengan orang
lain dan mereka biasanya berprilaku dengan cara yang tidak tepat dan aneh. Psikosis
muncul sebagai gejala dari sejumlah gangguan mental, gangguan suasana hati dan lain
sebagainya. bentuk gangguan mental yang ditandai dengan adanya diorganisasi
kognitif, diorientasi waktu, ruang, orang, serta adanya gangguan dalam emosionalnya.
Gejala psikosis yang dapat tejadi seperti ilusi, delusi, halusinasi dan lain sebagainya. 1

Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan yang memiliki


dasar organik yang patologi yang dapat diidentifikasikan seperti tumor otak, penyakit
cerebrovaskular, intosifikasi obat. Gangguan mental organik umumnya terdapat
gangguan fungsi kognitif, sensorium, persepsi, isi pikir, serta suasana perasaan dan
emosi.1

Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang


ditemukan. Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Psikosis pada
pasien epilepsi digolongkan berdasarkan hubungan temporal gejala itu dengan kejang.
Beberapa penelitian lain memperlihatkan bahwa gejala psikosis pada pasien epilepsi
umum cenderung singkat dan pasien cenderung bingung. Tidak ada kesepakatan yang
ada diterima secara internasional dalam hal pengklasifikasian sindrom psikosis pada
epilepsi.2

Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem


psikiatrik diantara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pasien tanpa epilepsi.
Diperkirakan terdapat 20-30% penderita epilepsi mengalami psikopatologi dalam satu
waktu, terutama ansietas dan depresi. Prevalensi psikotik episode psikotik berkisar 4-
10 % dan meningkat pada 1020 % pada temporal lobe epilepsy, terutama pada lokus
sisi kiri atau bilateral 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Epilepsi merupakan kelianan serebral yang di tandai dengan faktor predisposisi


menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial dari kondisi ini. Epilepsi merupakan
manisfestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, namun dengan gejala
tunggal khas yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
neuron-neuron di otak secara berlebihan dan paroksismal.1
Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena
pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran,
perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan
stereotipik. Keadaan ini yang mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada
penderita epilepsi. Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan
epileptogenik yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode postictal
dan interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian,
memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan perilaku.
Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas, dan psikosis. 2
Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan karena
instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum terjadinya serangan epilepsi,
terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa pusing, merasa tidak enak pada perut dan
punggungnya dalam beberapa detik. Penderita menjadi bingung dan merasakan
getaran-getaran dingin, sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap
serangan kejang. Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan
tidak berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian anggota
badannya. 2
Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan.
Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Gambaran psikosis yang
sering ditemukan pada pasien epilepsi adalah gambaran paranoid dan schizophrenia-
like. Pada forced normalization yaitu penderita mengalami gejala psikotik pada saat
kejang terkontrol dan justru gejala psikotik menghilang bila terjadi kejang.2
2.2 Etiologi

2
Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik yang tidak
dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab utama terjadinya
kejang dapat terjadi oleh karena adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
hipomagnesemmia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Atau dapat juga
oleh karena adanya riwayat trauma serebrovaskular, stroke, penyakit demielinisasi.
Epilepsi juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti
sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau herpes simplek, dapat
menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada susunan saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba oleh wanita hamil dapat
merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan epilepsi. Penggunaan konsumsi
alkohol secara tiba-tiba pada seorang alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat
tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air
raksa; injeksi heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi. 2

Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif


lainnya, terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan
otak. Trauma yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses persalinan
maupun trauma kepala yang dialami seseorang pada semua usia dapat menimbulkan
epilepsi. 2

2.3 Epidemiologi

Proporsi seumur hidup terkena berbagai gangguan psikotik pada pasien


epilepsi adalah 7%-12%. Menurut studi di komunitas, klinik-klinik epilepsi, dan
rumah sakit jiwa menunjukkan peningkatan proporsi masalah psikiatri pada orang-
orang dengan epilepsi bila dibandingkan dengan orang yang tidak menderita epilepsi
berkisar pada 4,7% dari seluruh pasien epilepsi di Inggris dan 9,7% dari seluruh
pasien epilepsi di Amerika. Kira-kira 30% pasien epilepsi yang mengunjungi klinik
rawat jalan di Amerika mempunyai riwayat dirawat inap minimal satu kali karena
masalah psikiatri. Dan 18% pasien epilepsi sedang menggunakan paling tidak satu
jenis obat psikotropika. Kira-kira 60% pasien kejang parsial mengalami fenomena
aura, 15% pasien mengalami disforia. Rasa takut yang meningkat menjadi panik juga
sering terjadi, kira-kira 20% dari pasien epilepsi fokal mengalami gangguan afek iktal
berupa rasa takut, cemas, dan depresi. Gejala psikosis paling sering dihubungkan
dengan epilepsi lobus temporal kanan. 2

3
Pada penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi pengangkatan
fokus epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh setelah gejala
kejangnya sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan proporsi 2-3 kali lipat munculnya
gangguan psikotik pada pasien epilepsi dibandingkan dengan populasi umum,
khususnya pada pasien epilepsi dengan fokus temporomediobasal. 2

2.4 Klasifikasi

Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat. Sewaktu
terjadi serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami kejang-kejang. Nafasnya
terhenti, mulutnya bergetar, dan rahangnya terkatup kuat. Lengan dan kaki terlentang
kaku dan kejang-kejang, serta tangannya mengepal. Kemudian penderita terjatuh.
Mungkin juga penderita merasa sakit, lalu menangis dan mengerang-erang, kemudian
jatuh pingsan, tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya menjadi kelam, lalu jadi pucat.
Saat serangan terjadi, penderita dapat kehilangan kontrol diri, sehingga dapat kencing
atau buang air besar yang tak terkendali, atau menggigit lidahnya.3

Dengan masuknya oksigen dalam paruparu, kejang dan kekakuannya


menurun. Tangan dan kaki tetap bergerak-gerak tapi mulutnya berbui. Setelah sadar,
penderita mengalami kebingungan dan keletihan, dan dapat tertidur. Saat terjaga,
penderita mungkin tidak ingat kejadian saat terjadi serangan, meski lidahnya sakit
atau mengompol. Penderita yang mengalami kekejangan tesebut memiliki resiko
mendapatkan kecelakaan,seperti melikai diri sendiri, menggigit lidahnya hingga
putus, atau tenggelam, terluka, atau terbakar.3

Absences (Petit Mal) Biasanya penderita tidak kehilangan kesadarannya. Ia


berhenti sebentar, memandang kosong ke depan atau ke lantai, lalu berjalan kembali.
Seringkali terdapat gerakan-gerakan pada kening dan alis, atau gerak ritmis pada
kelopak mata, dekat telinga, bibir dan hidung. Barang yang sedang dipegannya, dapat
terjatuh. Petit mal ini banyak dialami oleh perempuan, terutama mereka yang sedang
mengalami periode sekitar pubertas. Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola
karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik. Pada
keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai oleh
episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan
menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan.
3

4
Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan kesadaran
atau kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih banyak dari setengah semua
pasien dengan kejang parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang
digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang
psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan
3
situasi klinis yang akurat.

Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan pada pasien epilepsi
menjadi preiktal, iktal, dan interiktal.4

1. Preiktal

Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan, dan
sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti
mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.4
2. Iktal
Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal. Gejala

kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode penyelesaian

delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di EEG dalam 25 sampai 50%

dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks. Penggunaan elektroda sementara

sphenoidal atau anterior dan kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan

menemukan suatu kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk

pasien dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat

digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial kompleks. 4


3. Interiktal
a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien dengan
epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin terjadi pada
pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling umum adalah
perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap relatif jarang
terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus
temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan kepribadian, yang

5
lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom
klasik. 4
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan
pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan,
bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering
mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat menemukan cara
sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan
berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang
dikenal sebagai hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan
hampir patognomonik untuk epilepsi parsial kompleks. 4
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan
transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini ditandai
baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual
berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum
pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah
pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk
pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas, perubahan
minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan. 4
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-
seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama
mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua
pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor
risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama
masa pubertas, dan lesi sisi kiri. 4
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik,
gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang
lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh perkembangan perubahan
kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi. Gejala yang paling
karakteristik dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien
biasanya tetap hangat dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan
kelainan mempengaruhi sering terlihat pada pasien dengan skizofrenia.
Gejala-gejala gangguan berpikir pada pasien dengan epilepsi psikotik paling

6
sering yang melibatkan konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala
skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran. 4
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala
gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul paling
sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan otak
dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. 4

2.5 Patofsiologi

Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang


bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate
merupakan sub unit dari reseptor nikotinik begitu juga halnya dengan voltage-gate
berupa kanal natrium dan kalium. Peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-
ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan
keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam
komunikasi sesama neuron.5
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti GABA yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggung jawab terhadap memori dan proses belajar. Timbulnya serangan kejang
adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng merupakan
neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi, yang dalam
jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang GABA menimbulkan
hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas dan menekan
timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme otak seperti
penyakit metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan
pengaruh yang sama. 5

7
2.6 Penatalaksanaan

Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan. Walupun


memiliki efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai psikotropik.
Carabamazepin dan valproat memiliki kemampuan antimanik dan mood stabilizer.
Mekanisme kerja obat antikonvulsan terbagi menjadi 2 mekanisme penting, yaitu
mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epilepton di dalam
fokus epilepsi dan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang normal
akibat pegaruh fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain sampai saat ini belum banyak
diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa berbagai obat antikonvulsan
diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak terutama mempengarui
inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja sebagai antikonvulsan.5

Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatri hal pertama


yang perlu dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat antikonvulsan sepeti
carbamazepin, asam valporoat, gabapentin dan lamotigine. Hal kedua yang perlu
diperhatikan adalah obat antipsikotik yang menurunkan ambang kejang. Hal ketiga
perlu disadari adanay potensi terjadinya interaksi anatara antikonvulsan dan
antipsikotik. Biasanya antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan
akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya penghentian antikonvulsan dapat
mencetuskan peningkatan pada konnsentrasi antipsikotik. 5

Carbamazepin dan Asam valproik mungkin membantu dalam mengendalikan


gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik
tipikal. Carbamazepin efektif untuk epilepsi parsial terutama epilepsi parsial
kompleks, epilepsi umum tonik-klonik, maupun kombinasi kedua jenis epilepsi ini.
Mekanisme kerja carbamazepin ini adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk
enghindari efek samping, pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar terapeutik.
Pada pasien dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau 2dd 100 mg kemudian 3-
7 hari di tingkatkan menjadi 2dd 200 mg. Asam valproat sangat efektif untuk abses,
dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian ini adalah gangguan saluran pencernaan
dan efek sedasi.5

8
2.7 Prognosis

Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila kejang dapat
dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami gangguan
psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang yang tidak terkontrol dalan jangka
panjang. Untuk masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi mungkin dapat
mengatasi beberapa gejala seperti agresi, tetapi nungkin tidak dapat mencegah
munculnya gejala lain seperti psikosis dan perilaku suicidal. 2

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ganguan mental organik merupakan gangguan-gangguan yang dikaitkan


dengan disfungsi otak secara temporer atau permanen. Epilepsi merupakan gangguan
susunan saraf pusat yang terjadi karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang
mengakibatkan penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
emosional yang intermiten dan stereotipik. Pada epilepsi dapat timbul perubahan
perilaku, perubahan perilaku dapat terjadi selama dan sesudah kejang. Gangguan
mental organik merupakan gangguan pada mental yang disebabkan oleh adanya
gangguan atau penyakit pada fisik. Umumnya disebabkan oleh adanya gangguan
pada otak serta fungsi jaringan-jaringan otak. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
tau rusaknya fungsi-fungsi kognitif, yaitu antara lain daya ingat, daya pikir daya
konsentrasi dan perhatian; juga dapat mempengaruhi emosi.

Biasanya pada epilepsi dengan perubahan prilaku terjadi pada episode


postictal dan intertical. Epilepsi juga dapat terjadi kerusakan fungsi kognitif secara
umum mempengaruhi perhatian, memmori, kecepatan berpikir dan bahasa sama
seperti pada fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood,
depresi, ansietas dan psikosis. Epilesi terjadi karena terjadi kerusakan atau kelainan
pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik. Timbulnya serangan kejang adalah
kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng merupakan
neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi, yang dalam
jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Pengobatak pada gangguan psikosis dengan
epilepsi adalah dengan memberikan antikonvulsan kemudian di imbangi dengan
pemberian antipsikotik.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg L. Lecture notes neurology.Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h. 79.


2. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Dalam: Elvira SD,
Hadisukanti G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: FKUI; 2013.h. 110-115.
3. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure Disorders:
Adams and Victors Prinsiples of Neurology. 8 th edition . New York: The McGraw-
Hill Companies; 2005.h. 271-313.
4. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2010.h. 75.
5. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5.

11

Anda mungkin juga menyukai