Anda di halaman 1dari 8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Ceplukan (Physalis angulata)
a. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Super divisi : Angiosperma
Divisi : Eudikotil
Kelas : Asterida
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Physalis
Spesies : Angulata
b. Deskripsi
Ceplukan merupakan tanaman herba anual (tahunan)
tumbuh tegak dengan batang bercabang banyak dengan tinggi
mencapai 1 meter. Daun berbentuk bulat telur memanjang sampai
dengan 9 cm. Tangkai daun runcing dan tidak rata dengan tepi
daun berwarna hijau tua. Bunga tunggal, memiliki lima sisi
berbentuk seperti lonceng, berwarna kuning pucat dengan panjang
6 mm. Buah kecil dan dapat dimakan (berries), menggembung
seperti balon dengan diameter 1.5 sampai 2 cm, kelopak bulat telur
dengan panjang 3 sampai 5 mm. Biji berbentuk seperti cakram,
berwarna kuning pucat dan panjang 1.0 sampai 1.5 mm
(Mahalakshmi, 2014).
c. Habitat
Physalis angulata tumbuh subur di daerah tropis seperti Amerika
Pasifik, Australia, dan Asia termasuk Indonesia. Physalis angulata
atau ceplukan tumbuh subur di tanah kosong, pekarangan, dan
tempat lain yang tidak tergenang air (Susanti, 2015).
d. Kandungan Kimia

Saponin adalah senyawa metabolit sekunder dan terkenal


dengan sifat amfifiliknya. Saponin dapat mempengaruhi membran
sel biologis yang tersusun atas fosfolipid dan pengaruh yang terjadi
adalah perforasi membran hingga lisis sel (Bottger et al, 2012).
Saponin memiliki rasa yang pahit dan tajam serta dapat
menyebabkan iritasi lambung bila dimakan.
Diduga saponin bekerja menurunkan tegangan permukaan
selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus
digestivus menjadi korosif dan akhirnya rusak. Selain itu senyawa
saponin termasuk dalam golongan triterpenoid dimana senyawa
tersebut dapat mengikat sterol bebas dalam mencerna makanan.
Sterol berperan sebagai prekusor hormon ekdison, sehingga dengan
menurunnya jumlah sterol bebas akan mengganggu proses
pergantian kulit pada serangga ()
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang
ada didalam tanaman (Kumar, 2013). Flavonoid menghambat
pertumbuhan larva dengan cara membuat larva menjadi pasif dan
berhenti makan, oleh karena itu lama kelamaan larva akan
kekurangan nutrisi, apabila berlangsung dalam waktu lama dapat
menyebabkan kematian pada larva (Jadhav et al, 2012).
Alkaloid merupakan salah satu snyawa metabolit sekunder
yang terdapat pada 20% tanaman (Ziegler, 2008). Alkaloid masuk
ke dalam tubuh larva melalui kulit maupun melalui jalur
pencernaan dan kemudian mengganggu kerja sistem saraf.
Alkaloid bekerja sebagai penghambat asetilkolinesterase. Alkaloid
menyebabkan asetilkolin gagal dipecah sehingga terjadi
penumpukan asetilkolin dalam tubuh larva. Penumpukan
asetilkolin ini menyebabkan larva mengalami kematian ( Wisnu
Satria A.K, Heni Prasetyowati, 2012).
Tanin merupakan senyawa fenolik yang cenderung larut
dalam air dan pelarut polar. Tanin akan mengikat protein dalam
sistem pencernaan yang diperlukan serangga, dimana protein
tersebut digunakan untuk pertumbuhan sehingga proses
penyerapan protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu.
Tanin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan
terhambatnya proses makan pada larva uji. Rasa yang pahit
menyebabkan larva tidak mau makan sehingga larva akan
kelaparan dan akhirnya mati (Hopkins dan Honer, 2004)
2. Aedes aegypti L.
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti L. (Gandahusada et al, 2004).
b. Morfologi dan siklus hidup
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna melalui empat
tahap daur hidup: telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa.
1) Telur
Telur dari nyamuk Aedes aegypti L. berwarna hitam,
berbentuk oval, panjang telur sekitar 0,6 mm. Telur nyamuk
Aedes aegypti L. memiliki dinding bergaris garis dan
membentuk pola seperti kasa. Telur dapat bertahan berbulan
bulan pada suhu 2C sampai 39C dalam keadaan kering. Telur
akan menetas menjadi larva dalam 2 sampai 3 hari sesudah
diletakkan (Bar A dan Andrew J, 2013; Sembel DT, 2009).
2) Larva
Larva berbentuk silinder memanjang dan berwarna putih
pucat pada bagian tubuh sedangkan kepala dan siphon
berwarna hitam. Larva memiliki antena yang kecil, halus, dan
berbentuk silinder. Kepala larva berbentuk bulat dan pada
tahapan yang lebih lanjut akan berukuran lebih kecil daripada
thorak. Thorak dan abdomen dilapisi oleh lapisan kutikula yang
berfungsi sebagai pertahanan tubuh larva (Christopers, 1960).
Larva bernafas melalui saluran udara yang tedapat pada
ujung ekor yang disebut siphon. Larva beristirahat dan
mengambil udara di dekat permukaan air dengan posisi
menggantung hampir tegak lurus. Larva mempunyai sifat
mencari makan di dasar wadah (bottom feeder). Perkembangan
larvantergantung pada suhu, kepadatan populasi, dan
ketersediaan makanan. Larva berkembang pada suhu
lingkungan 28C sekitar 10 hari, dan pada suhu air antara 30 -
40C larva akan berkembang menjadi pupa dalam waktu 5 7
hari. Larva lebih menyukai air bersih, akan tetapi tetap dapat
hidup dalam air yang keruh (CDC, 2010).
Larva melewati empat tahapan perkembangan yang disebut
instar untuk berubah menjadi pupa. Tahapan perkembangan
tersebut meliputi : instar I, II, III, dan IV, dan setiap pergantian
instar ditandai dengan pergantian kulit yang disebut ekdisis.
Perkembangan dari instar I ke instar II berlangsung dalam 2 3
hari. Adapun ciri ciri masing masing instar sebagai berikut :
a) Larva instar I : berukuran 1 2 mm, duri duri pada dada
belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum
jelas.
b) Larva instar II : berukuran 2,5 3,5 mm, duri duri belum
jelas, siphon mulai menghitam.
c) Larva instar III : berukuran 4 5 mm, duri duri dada
mulai jelas da corong pernapasan berwarna coklat
kehitaman.
d) Larva instar IV : berukuran 5 6 mm dengan warna kepala
gelap, siphon pendek, sangat gelap dan kontras dengan
warna tubuhnya. Gerakan larva instar IV lebih lincah dan
sensitif terhadap rangsangan cahaya. Larva memerlukan
waktu 4 9 hari untuk berubah menjadi pupa.
(Gandahusada et al, 2004).
3) Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti L. berbentuk bengkok dengan
kepala besar sehingga menyerupai tanda koma, memiliki
siphon pada thorak untuk bernafas. Pupa nyamuk Aedes
aegypti L. bersifat akuatik dan tidak seperti kebanyakan pupa
serangga lain yaitu sangat aktif dan seringkali disebut akrobat
(tumbler). Pupa tidak makan tapi masih bergerak aktif di dalam
air terutama apabila diganggu. Pupa membutuhkan waktu 2 3
hari untuk menjadi nyamuk dewasa. (Sembel DT, 2009;
Gandahusada et al, 2004).
4) Nyamuk Dewasa
Dalam meneruskan keturunannya nyamuk Aedes aegypti L.
betina hanya kawin satu kali seumur hidupnya. Biasanya
perkawinan terjadi 24 28 hari pada fase nyamuk dewasa.
Nyamuk Aedes aegypti L. dewasa hanya dapat terbang sejauh
100 200 meter dari tempat mereka meletakkan telur. Nyamuk
betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, tiga hari
kemudian sanggup bertelur sebanyak 50 120 butir telur. Dua
puluh empat jam kemudian nyamuk ini akan menghisap darah
manusia lagi dan bertelur kembali. Masa bertelur nyamuk
betina dewasa sekitar 10 hari. Nyamuk dewasa lebih aktif di
senja atau malam hari. Hanya nyamuk betina yang menghisap
darah, sedangkan nyamuk jantan makan bakal madu dan cairan
tumbuhan (Gandahusada et al, 2004).
c) Habitat
Nyamuk Aedes aegypti L. tersebar luas di daerah tropis dan
subtropis di Asia Tenggara antara 40 lintang utara dan 40 lintang
selatan. Nyamuk Aedes aegypti L. paling sering ditemukan di
daerah perkotaan. Baru baru ini penyebaran nyamuk Aedes
aegypti L. di pedesaan marak terjadi dikarenakan perkembangan
infrastruktur seperti perluasan skema pasokan air pedesaan dan
sistem perbaikan transportasi. Praktek penyimpanan air tradisional
di Indonesia, Myanmar, dan Thailand (dengan memakai gentong)
membuat kepadatan nyamuk Aedes aegypti L. pada ketiga negara
tersebut lebih tinggi di daerah semi perkotaan daripada di daerah
perkotaan (WHO, 2011).
3. Pemilihan pelarut
Pemilihan pelarut didasarkan pada senyawa apa yang diinginkan
dari suatu ekstraksi. Pelarut yang baik tidak boleh bersifat toksik dan
tidak boleh mengganggu senyawa yang dilarutkan. Ada beberapa
macam pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi antara lain : air,
aseton, alkohol, kloroform, dan eter (Tiwari et al, 2008).
Air merupakan pelarut universal karena air dapat melarutkan lebih
banyak zat daripada bahan cair lainnya. Air biasanya digunakan untuk
mengekstraksi produk tumbuhan yang memiliki efek antimikroba.
Meskipun pengobatan secara tradisional menggunakan air sebagai
pelarut, tetapi ekstraksi menggunakan pelarut organik, contohnya
alkohol telah terbukti memberikan efek antimikroba yang lebih
konsisten dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan pelarut air
(Tiwari et al, 2008).
Aseton dapat melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik
dan lipofilik dari tumbuhan. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat
bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas
rendah. Aseton digunakan terutama untuk studi antimikroba dimana
banyak senyawa fenolik yang terekstraksi dengan aseton (Tiwari et al,
2008).
Alkohol memiliki berbagai macam jenis, dua diantaranya yang
sering digunakan sebagai pelarut adalah etanol dan metanol. Hasil
ekstraksi menggunakan pelarut etanol memiliki efek antibakteri yang
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ekstraksi menggunakan pelarut
air.
Larutan etanol 70% dapat menarik senyawa flavonoid dengan
konsentrasi yang tinggi karena sifat polaritas yang lebih tinggi
daripada etanol murni. Etanol telah terbukti lebih mudah menembus
membran sel untuk mengekstrak bahan intraseluler tumbuhan. Metanol
bersifat lebih polar dibanding etanol tetapi karena sifatnya yang toksik,
metanol tidak cocok digunakan untuk ekstraksi (Tiwari et al, 2008).
Kloroform adalah cairan yang mudah menguap tidak berwarna.
Kloroform telah digunakan dalam ekstraksi dan pemurnian obat seperti
penisilin, pemurnian alkaloid, ekstraksi pelarut vitamin, sebagai
pelarut umum yang bersifat non polar, sebagai perantara dalam
penyusunan pewarna, obat-obatan, dan pestisida, dan sebagai obat
bius. Kloroform memiliki efek toksik pada manusia dan hewan,
sehingga manusia atau hewan yang terpapar kloroform dalam waktu
lama dapat beresiko terkena kanker dan hepatitis. (CDC, 2014).
Eter banyak digunakan sebagai pelarut untuk melakukan
reaksireaksi organik dan memisahkan senyawa organik dari sumber
alamnya. Penggunaan sebagai pelarut diantaranya untuk pelarut
minyak, lemak, getah, resin, mikroselulosa, parfum, alkaloid, dan
sebagian kecil dipakai dalam industri butadiena. Di dalam dunia
kedokteran eter sering digunakan sebagai bahan obat anestesi (Widayat
dan Satriadi, 2008).
Dalam penelitian ini dipilih pelarut etanol karena bersifat polar
sehingga dapat menarik saponin, tanin, dan flavonoid yang mudah
larut dalam pelarut polar. Etanol juga terbukti lebih mudah menembus
membran sel tumbuhan untuk mengekstrak bahan yang terkandung
dalam sel tumbuhan tersebut (Susanti et al, 2014; Evans, 2002;
Hopkins dan Honer, 2004).

Anda mungkin juga menyukai