Anda di halaman 1dari 31

1

I. PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian pertama di negara-


negara berkembang, menggantikan kematian akibat penyakit infeksi. Di Indonesia
penyakit kardiovaskuler dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi sejak
1992 dan secara konsisten menjadi peringkat pertama penyebab kematian. Saat ini
salah satu penyakit kardiovaskular yang menyebabkan kematian adalah gagal
jantung kongestif (Marantz, 2012).
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi jaringan terhadap oksigen dan
nutrisi dikarenakan kelainan fungsi jantung yang berakibat gagalnya pompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Sudoyo, 2006).
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah
27 %. Sekitar 3 - 20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian
gagal jantung meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia
di atas 60 tahun. Dari hasil penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan
angka kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita,
berdasarkan data di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap
tahunnya bertambah 400.000 orang, sedangkan untuk di Indonesia angka kejadian
gagal jantung menyebab kematian nomor satu, padahal sebelumnya menduduki
peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat
dihindari dan yang tidak dapat dihindari (Marantz, 2012).
Faktor-faktor penyebab gagal jantung diantaranya adalah kebiasaan
merokok, diabetes, hipertensi, kolestrol, kelebihan berat badan hingga stress. Ada
tiga faktor lainnya yang tidak bisa dihindari oleh manusia yakni faktor keturunan
dan latar belakang keluarga, faktor usia dan jenis kelamin yang banyak ditemui
pada kasus kegagalan jantung (Brunner & Suddart, 2002). Penyebab lainnya
adalah aritmia, mengkonsumsi obat-obatan yang berlebihan, mengkonsumsi
alkohol, sepsis, hipertiroid, gagal ginjal, dan emboli paru (Craig, 2006).
2

II. STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. JS
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang Klesem RT 02/ RW 09 Purwokerto Selatan
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Tanggal masuk RSMS : 25 Maret 2017
Tanggal periksa : 25 Maret 2017
No.CM : 00982997

B. Anamnesis
1. Keluhan utama:
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan
Cepat lelah ketika beraktivitas dan batuk berdahak.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 25 Maret 2017 dengan keluhan
sesak nafas. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan memberat sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas hilang timbul dan
dirasakan memberat saat beraktivitas ringan serta tidur terlentang. Pasien
sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas dan berkurang ketika
posisi duduk. Pasien juga mengaku tidur menggunakan bantal yang lebih
tebal. Selain itu, pasien mengeluhkan mudah lelah saat beraktivitas dan
batuk berdahak. Pasien sering mengalami bengkak pada kaki setelah
melakukan aktivitas.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : diakui
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat sakit tenggorokan : disangkal
i. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
3

c. Riwayat penyakit gula : disangkal


d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien adalah seorang ayah dari 3 orang anak. Pasien tinggal bersama
dengan istri dan anak bungsu, menantu, dan cucunya di lingkungan
pedesaan yang cukup padat penduduknya. Hubungan antara pasien
dengan tetangga dan keluarga dekat dan baik.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan keluarganya. Rumah terdiri
dari 3 kamar dan masing-masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi
dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan lantai
terbuat dari keramik.
c. Occupational
Pasien adalah seorang wiraswasta.
d. Personal habit
Pasien mempunyai kebiasaan jarang minum air putih. Pasien juga
mengaku suka mengkonsumsi ikan asin dan menyukai gorengan.

e. Drugs and Diet


Pasien mengkonsumsi obat-obatan jantung. Menu makan pasien
terdiri dari nasi dan sayur-mayur, terkadang lauk-pauk. Pasien makan
sehari 3 kali.
f. Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah
kebawah. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari BPJS.

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Mawar, tanggal 25 Maret 2017.
1. Keadaan umum : Tampak Sesak
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah : 130/80 mmHg
4

b. Nadi : 100 /menit reguler, isi cukup


c. Pernapasan : 26 /menit
d. Suhu : 36,0 C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sudah beruban, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+) normal, pupil
isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-),
lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+ 3cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi: Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH +/+, RBK-/-
Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing+/+
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS
P.parasternal (-) P.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi: M1>M2 P1<P2
5

T1>T2 A1>A2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)


d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costo vertebrae (-/-)
Palpasi : supel, nyeri tekan(-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium 25 Maret 2017
Darah lengkap
No Jenis Pemeriksaan Hasil Ket.
1 Hb 13,8 gr/dL (N)
2 Leukosit 6620 /ul (N)
3 Ht 42 % (N)
4 Eritrosit 5 x 106 /ul (N)
5 Trombosit 145.000 /ul (N)
6 MCV 84,3 fL (N)
7 MCH 27,7 pg/cell (N)
8 MCHC 32,9 % (N)
9 RDW 14,2 % (N)
10 MPV 11,5 fL (N)
11 Basofil 0,6 % (N)
12 Eosinofil 3,8 % (N)
13 Batang 0,3 % (L)
14 Segmen 70,4 % (H)
15 Limfosit 12,2 % (L)
16 Monosit 12,7 % (H)
17 Ureum 23,4 mg/dL (N)
18 Kreatinin 0,93 mg/dL (N)
19 Na 137 mmol/L (N)
20 K 3,2 mmol/L (L)
21 Cl 104 mmol/L (N)
6

2. Pemeriksaan EKG

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan EKG


3. Rontgen Thoraks

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Rontgen Thoraks


7

E. Resume
1. Anamnesis
a. Keluhan utama sesak nafas
b. Sesak nafas dirasakan sejak 1 hari semakin memberat sebelum masuk
rumah sakit. Sesak nafas hilang timbul dan dirasakan memberat saat
beraktivitas ringan serta tidur terlentang sehingga sering terbangun
pada malam hari. Sesak berkurang ketika posisi duduk dan
menggunakan bantal yang lebih tebal. Pasien juga sering merasa
mudah lelah saat beraktivitas dan batuk berdahak. Pasien sering
mengalami bengkak pada kaki setelah melakukan aktivitas.
c. Pasien memiliki riwayat sakit jantung dan rutin kontrol ke poli jantung
RSMS.

2. Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 100 /menit reguler, isi cukup
Pernapasan : 26 /menit
Suhu : 36,0 C
Status generalis
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Status lokalis
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : selurus lapang paru sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, RBH+/+, RBK-/-, wheezing+/+
Jantung
Inspeksi : ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
8

Auskultasi : M1>M2 P1<P2


T1>T2 A1>A2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, undulasi (-), NT (-)

Ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +

F. Diagnosis Kerja
Congestive Heart Failure NYHA III

G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. O2 4 lpm NK
b. IVFD RL 10 tpm
c. Inj. Furosemid 2x1 Amp
d. Spironolakton 1x25 mg
e. Kandesartan 1x4 mg
f. CPG 1x1 tab
g. ISDN 3x5mg
h. Cefixim 2 x 100 mg
i. Tabas syr 3x1 cth habiskan
j. Ambroxol 3 x 1 tab
2. Non farmakologi
a. Istirahat, dianjurkan tirah baring.
b. Batasi asupan natrium dengan menggunakan garam secukupnya dalam
makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
c. Diet protein
d. Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil dengan intensitas
yang nyaman bagi pasien aktivitas fisik berpengaruh pada peningkatan
bebas jantung dan meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap
oksigen.
e. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.

H. Prognosis
9

Ad fungsional : dubia ad bonam


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Congestive Heart Failure (CHF)

1. Definisi
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih dalam keadaan normal.
Dengan kata lain, gagal jantung merupakan suatu ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau kemampuan
tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi (backward failure) atau keduanya (Sudoyo, 2006). Gagal jantung
kongestif biasanya disertai dengan kegagalan pada jantung kiri dan
jantung kanan (Hauser et al., 2005).
2. Etiologi
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif
meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal.
Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah
kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah
jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah
jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga
faktor: yaitu preload, kontraktilitas, afterload (Sudoyo, 2006).
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan
serabut otot jantung. Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan
konteraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan
perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. Afterload
mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol.
11

Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu,
maka curah jantung berkurang. Keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal meliputi regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel, beban
akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak
dapat berupa aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru
(Sudoyo, 2006).
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai
gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh paru (kor polmunal) dan pada pasien dengan penyakit katup
arteri pulmonalis atau trikuspid (Donald et al., 2010).
3. Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA),
merupakan pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung
kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas sehari-hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik.
Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas sehari-
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisi
k.
Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari akt
ivitas sehari
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
12

Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adany


a kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan
akan semakin meningkat.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,


hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume
darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik
akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena. Gagal
jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau
seluruh rongga jantung (Brainwauld, 2009)..
4. Patofisiologi
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal
mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons
tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik,
peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai
untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi
menjadi semakin kurang efektif (Donald et al., 2010).
a. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah
jantung adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis.
Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran
katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal.
Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu
juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan
arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah
ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal
13

untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak (Brainwauld,


2009).
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi
kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi
sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan
meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung
akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya
respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun,
katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel
(Donald et al., 2010).
b. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem RAA
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan
retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel.
Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin
aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut (Hasser, 2005):
1) Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus
2) Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
3) Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk
menghasilkan angiotensinI
4) Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
5) Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
6) Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus
kolektifus. Angiotensin II juga menghasilkan efek
vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
c. Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium
atau bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan
mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel. Awalnya,
respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan
gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal
jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
14

kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena


paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel;
beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung.
Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga
meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih
lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika
peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi
iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir
dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung (Craig, 2006).
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat
aktivitas, dan lelah. Keluhan lelah secara tradisional dianggap
diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung,
abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak
lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal
jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung,
sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya
dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan
besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti
paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan
intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler yang menstimulasi pernafasan
pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea
(Kelder, 2011).
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya
sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan
jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia.
15

Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya


gagal jantung kanan dan regurgitasi tricuspid (Kelder, 2011).
1) Orthopnu dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada
saat tidur mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut
dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1 Gejala
ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau
dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas
bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk
pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan
seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau
orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal
jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan
obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan
mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur (Kelder,
2011).
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut
sesak nafas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari
dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1
hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara
lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi
jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang
mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan
orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat
tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan
PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak
menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala
PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma (asma
cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang
16

ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat


bronkospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan
penyebab pulmoner wheezing lainnya (Dickstein, 2008).
2) Edema Pulmonal Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga
alveolar sebagai akibat meningkatnya tekanan hidrostatik
kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi
jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi
edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif.
Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi
sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak
diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan
(Dickstein, 2008).
3) Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah
temuan umum pada gagal jantung yang berat, dan umumnya
dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi
cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat
respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea,
dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan
pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang
terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang
diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-
stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai
sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat (Kelder, 2011).

4) Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan
gejala gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang
yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah
gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan
edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari
17

hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada


kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan,
disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada
pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut
usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi
serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat
memperberat keluhan insomnia.
5) Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang
telah digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung
mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima
jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi
medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,
atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan minor dari
Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena jugular
Hepatojugular reflux
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam
mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan
18

adalah untuk membantu menentukan apa penyebab gagal jantung


dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung.
Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik,
sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah
tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik (Borlaug, 2011).
1) Keadaan Umum dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak
tidak memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat
berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien
dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki
upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan
kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau
tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut
karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa
berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan
tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat
vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang
meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas
perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung
jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan
(Fonseca, 2006).
2) Pemeriksaan vena jugularis
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan
pada atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada
atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik
saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o.
Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O
(normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi
kolom darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam
centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada
tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal
19

saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat


diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk
hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan
regurgitasi katup tricuspid (Fonseca, 2006).
3) Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh
transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli.
Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada
kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing
ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa
penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau
demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan
ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20
mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan drainase
sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat. Efusi
pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem
kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik
dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan
kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura
biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura
kanan lebih sering daripada yang kiri (Kelder, 2011).

4) Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat
memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya gagal
jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal
(ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS)
ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi
ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus)
20

teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial


ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel
kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar
dan teraba pada apex (Kelder, 2011).
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan
mengalami hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan
lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right
ventricular heave). Bunyi jantung ketiga (gallop) umum
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang
mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali
menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi
jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi
biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur
regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung yang lanjut (Dickstein, 2008).
5) Pemeriksaan Abdomen dan Ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum
pada pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang
membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat
sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat
timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada
vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase
peritenium (Dickstein, 2008).
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal
jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan
indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular. Edema perifer
adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada
pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien
gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal
21

jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar


pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan
pada sakrum dan skrotum. Edema yang berlangsung lama
dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang
bertambah (Dickstein, 2008).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K),
ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini
mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia,
(2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau
hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4)
untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik) (Borlaug, 2011).
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung
ringan-sedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal
jantung berat ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum
kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik kaliuretik
seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan
hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan penanda
beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara
tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin
angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat
mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya
termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia
(Borlaug, 2011).
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan
menyebabkan meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi
22

memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan meningkatkan


volume overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan
bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita
gagal jantung (Borlaug, 2011).
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi
disfungsi ventrikel dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi
renal, terutama pada glomerular filtration rate (GFR), menurut
NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan
klasifikasi kelas fungsional. Fungsi hepar sering ditemukan
abnormal pada gagal jantung sebagai akibat hepatomegali yang
menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin
time (PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus
dapat terjadi hiperbilirubinemia. Urinalisis harus dilakukan pada
semua pasien dengan gagal jantung untuk mencari infeksi
bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat
diuretic (Borlaug, 2011).
2) Foto Thorax
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan
dibidang kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung,
struktur dan perfusi dari paru dapat dievaluasi. Kardiomegali
dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang
lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting
pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari
jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang
mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi
dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden (Borlaug, 2011).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki
gambaran hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial,
23

sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak


memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya
Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus
bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada
daerah interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema
intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena
tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung
kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah
terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem
limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau
paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada
kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri
pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi
pleura juga merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien
dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai melalui CXR dan CT-
scan.
3) Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan
untuk setiap pasien yang dicurigai gagal jantung. Dampak
diagnostik EKG untuk gagal jantung cukup rendah, namun
dampaknya terhadap terapi cukup tinggi. Temuan EKG yang
normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.
Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan.
Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri
dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle
branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang
T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia
supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum.
Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak
selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara
takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap
24

sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini


biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi
pada monitoring holter 24- atau 48- jam (Borlaug, 2011).
4) Echocardiography
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik
umum digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,
myokardium dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan
regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif,
dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan
mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian
fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal
jantung echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat
dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur seperti
doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan
cardiac motion analysis (Borlaug, 2011).
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung
adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF),
beratnya remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi
diastolik.14 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai
fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung
(Borlaug, 2011).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi (Sudoyo, 2006).
a. Non Farmakalogi
1) Anjuran umum
a) Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
25

b) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat


dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan
profesi yang masih bisa dilakukan.
c) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan
panjang.
2) Tindakan Umum
a) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal
jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
b) Hentikan rokok
c) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.
d) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama
20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal
pada gagal jantung ringan dan sedang).
e) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.

b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1) Diuretik.
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup
baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena,
atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat
kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal
jantung sistolik.
26

2) Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas


neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis
rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang
efektif.
3) Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
4) Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
5) Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE
inhibitor, beta blocker.
6) Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
7) Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia
klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
8) Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
27

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5


2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien.
Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal.
Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan
imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan
fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi
ventrikel.

III. PEMBAHASAN

Hasil anamnesis penderita gagal jantung pada tahap awal, akan didapatkan
keluhan berupa sesak yang hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring
dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak pun kemudian terjadi pada aktivitas
yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Pada pasien di
kasus ini, sesak muncul hilang timbul dan dirasakan memberat saat beraktivitas
ringan serta tidur terlentang sehingga sering terbangun pada malam hari.
Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang
paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada
jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler yang menstimulasi pernafasan pendek dan
dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Selain itu, keluhan lelah juga
menjadi hal yang sering ditemui pada penderita gagal jantung, begitu pula pada
pasien di kasus ini. Keluhan mudah lelah secara tradisional dianggap diakibatkan
oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot
28

skeletal, dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula


memberikan kontribusi (Kelder, 2011).
Klasifikasi pasien gagal jantung pada kasus ini menurut New York Heart
Association (NYHA), klasifikasi berdasarkan tingkat aktivitas fisik, adalah
termasuk dalam kelas III. Hal tersebut dikarenakan adanya pembatasan yang
bermakna pada aktivitas fisik dan berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas
yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak nafas (Brainwauld, 2009)..
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami edema perifer pada
kedua kakinya. Edema perifer tersebut muncul akibat manisfestasi kardinal gagal
jantung. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya
tergantung pada gagal jantung yang terjadi dan paling sering terjadi sekitar
pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada
pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema
yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi
yang bertambah (Dickstein, 2008).
Dari hasil pemeriksaan penunjang, terutama foto thorax, terlihat jelas adanya
kardiomegali. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio
(CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah
ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien
dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi
ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari
atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden (Borlaug, 2011). Pasien dengan gagal
jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran hipertensi pulmonal dan/atau
edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak
memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu
gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul akibat
meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat adanya edema.
Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan
hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak
ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal
jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem
29

limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru (Borlaug,


2011).
Prinsip penatalaksanaan pasien gagal jantung pada kasus ini adalah untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis. Terapi nonfarmakologi yang
utama adalah istirahat dan dianjurkan untuk tirah baring. Kemudian, membatasi
asupan natrium dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan
menghindari makanan yang diasinkan, sebisa mungkin juga melakukan diet
protein. Untuk aktivitas fisik yang bisa dilakukan, yaitu olahraga teratur seperti
berjalan atau bersepeda terutama dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang
stabil dengan intensitas yang nyaman bagi pasien. Untuk terapi farmakologinya
diberikan obat-obatan yang mampu menurunkan beban kerja jantung. Pemberian
antiplatelet seperti klopidogrel dan diuretik seperti furosemid dapat meringankan
beban kerja jantung.

IV. KESIMPULAN

1. Diagnosis pasien Tn. M, usia 41 tahun adalah Congestif Heart Failure dan
Community Acquire Pneumonia.
2. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
3. Prognosis pasien pada kasus ini adalah:
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
30

DAFTAR PUSTAKA

Borlaug, B.A., W.J. Paulus. 2011. Heart failure with preserved ejection fraction:
pathophysiology, diagnosis, and treatment. Eur Heart J 2011;32:670679.

Brainwauld, E. 2009. Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper,


Horrison's Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York:
McGrewHill.

Craig, R., J. Mindell. Survei Kesehatan untuk Inggris, 2006. Volume 1, Penyakit
kardiovaskular dan faktor risiko pada orang dewasa. Tersedia di
http://www.ic.nhs.uk/pubs/hse06cvdandriskfactors (diakses 21/01/2017).

Dickstein, K., A. Cohen-Sola, G. Filippatos, J.J. McMurray, P. Ponikowski. 2008.


ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008: the Task Force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008 of the European Society of Cardiology. Eur J
Heart Fail 2008; 10:933989.

Donald, Mercedes, Bruce, Todd. 2010. Heart Disease. AIHA , 165, 121-128.

Ewig S, Welte T.. Evaluation of guidelines for community-acquired pneumonia: a


story of confounders, surprises and challenges. Eur Respir J. 2008;32:823-5.

Fonseca, C. 2006. Diagnosis of heart failure in primary care. Heart Fail Rev
2006;11:95107.

Hauser, K., B, Longo, F. Jameson. 2005. Harrisons principle of internal


medicine. Ed XVI. New York: McGrewHill.

Kelder, J.C., M.J. Cramer, J. van Wijngaarden, R. van Tooren, A. Mosterd, K.G.
Moons, et al. 2011. The diagnostic value of physical examination and
additional testing in primary care patients with suspected heart failure.
Circulation 2011;124:28652873.
31

Marantz, P.R.. 2012. The relationship between left ventricular systolic function
and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. Circulation
Journal Of The American Heart Association. Tersedia di
http://circ.ahajournals.org (diakses 21/01/2017).

Restrepo M.I., Faverio P., Anzueto A. Long-term prognosis in community-


acquired pneumonia. Curr Opin Infect Dis. 2013; 26(2):1518.

Sudoyo, A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Wedzicha J.A., Johnston S.L., Brown J.S., et al. Guidelines for the management of
community acquired pneumonia in adults: update 2009. BMJ 2009:64

Anda mungkin juga menyukai