PENDAHULUAN
1
BAB II
KOLESISTITIS AKUT
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering
dijumpai ini masih belum jelas.2
2
proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat,
diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik.1
3
resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan
aliran cairan empedu ke duodenum.2
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan
direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah
portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang
ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal
tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon
menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50%
akan direabsorpsi kembali.2
4
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.6
5
mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri
kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio
cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin
juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis,
penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises).2
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung
empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi
untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan
empedu.7
6
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas
abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang
hanya berupa mual saja.1,24
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya
pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda
kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.2
7
2.6. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang
khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan
atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan
pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang
dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien
mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali
lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien
dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat
pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan.2
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.2
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar
3). Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu
bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis
akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu
porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu.9
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara
rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan
dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai
kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 95%. Adapun gambaran di USG
8
yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan
dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy.
Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis.10
9
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi
teknik ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu,
duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah
penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1
10
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa
yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi.13
2.7. Penatalaksanaan
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk
kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di
rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total,
perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi
elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik.
Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin
dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan
Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan
tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.2,22
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau
metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV.
Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6
jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau
dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu
merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu
lebih lanjut. Pasien pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang
hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital
yang stabil, tidak terdapat tanda tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan
USG, penyakit penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
11
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai.2
Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50
% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi
lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan
anatomi.14
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi.
Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak
berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai
72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang
menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk pasien
yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan
operasi segera dan pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih
meragukan.14
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang
12
dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya
penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka
pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis
yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi
dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif
kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.15
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat
pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90%
dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional
menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar
dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%),
perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai
pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran
empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik
ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca
operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik,
memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas
pasien.16 Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman
dilakukan pada semua trimester.17,23
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi
diantaranya adalah:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan
peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem
pembekuan darah.14
13
2.8. Komplikasi kolesistitis
Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman kuman pembentuk pus.
Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan
juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan
demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan
sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi
menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah
darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis
dicurigai.18
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif
mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih
(hidrops) yang dihasilkan oleh sel sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis
sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari
kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu
sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat
terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema,
perforasi atau gangren.18
14
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses.19
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien
nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata.19
15
normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau
fistulisasi.2
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus
kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto
polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan
biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian
gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil
pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan
palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk
menyingkirkan batu lainnya.2
16
empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis
atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam
empedu.2
2.10. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan
spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis akut
berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 15% kasus. Bila hal
ini terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 60%. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan
kolesistitis akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 50%.
Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek
di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.20
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
11. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT
findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis.
Clin Imaging. Jul-Aug 2009;33(4):274-80.
12. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and
laparoscopic cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of
intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc.
Mar 2009;49(3 Pt 1):334-43.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta :
EGC. 2009.
14. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value
of information analysis of early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-
9.
15. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder
drainage for acute cholecystitis: technical and clinical results.
Endoscopy. Jun 2009;41(6):539-46.
16. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
17. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for
acute inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-
4.
18. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and
leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep
2009;28(3):273-7.
19. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg.
Sep 2009;188(3):325-6.
20. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
20
21. Sartelli M, Tran C. A focus on acute cholecystitis and acute cholangitis.
J Acute Dis. 2012;7781.
22. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med.
2008;280411.
23. Huffman JL, Schenker S. Acute Acalculous Cholecystitis: A Review. J
Clin Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2010;8(1):1522. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cgh.2009.08.034
24. Hasbahec M, Almolu O, Baak F, Canbak T, k A. Review of
clinical experience with acute cholecystitis on the development of
subsequent gallstone-related complications. Turkish J Med Sci.
2014;44:8838.
21