Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan


kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu.
Sekitar 10 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan
sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada
wanita, terutama pada wanita wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat
obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori
mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang
menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada
data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita
relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara negara barat. Meskipun
dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan
berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak
sesuai untuk pasien pasien di negara kita.1
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin
parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di
abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke
daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum
seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam
dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual.
Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas
hidup pasien.1

1
BAB II
KOLESISTITIS AKUT

2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering
dijumpai ini masih belum jelas.2

2.2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu


Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan
kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang
lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri
hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris
interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar
yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang
berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus
dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus
koledokus yang kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu
memasuki duodenum melalui ampulla Vater.3 Anatomi duktus biliaris secara
lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi
elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu
terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta
0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin
terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil
metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang
memiliki kapasitas 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu,
maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya

2
proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat,
diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik.1

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

Asam asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk


dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin
hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau
taurin dan diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan
aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak
sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 600 mL.1
Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi
lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal.
Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis
oleh hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan
parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan
terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek
kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan

3
resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan
aliran cairan empedu ke duodenum.2
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan
direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah
portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang
ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal
tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon
menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50%
akan direabsorpsi kembali.2

2.3. Etiologi dan Patogenesis


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu
(kolesistitis akut akalkulus).4,21
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu,
mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan
kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi.5
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium.

4
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.6

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan


resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan
dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan
yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan
besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang

5
mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri
kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio
cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin
juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis,
penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises).2
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung
empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi
untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan
empedu.7

2.4. Manifestasi Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta
kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.
Kadang kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien
melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.1,24
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran
kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).1,24

6
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas
abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang
hanya berupa mual saja.1,24
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya
pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda
kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.2

2.5. Diagnosis Banding


Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien
pasien yang dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut
akalkulus harus dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini
untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.1
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan
lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam
nyawa ibu dan bayi.8

7
2.6. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang
khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan
atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan
pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang
dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien
mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali
lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien
dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat
pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan.2
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.2
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar
3). Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu
bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis
akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu
porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu.9
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara
rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan
dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai
kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 95%. Adapun gambaran di USG

8
yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan
dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy.
Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis.10

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu batu empedu


berukuran kecil

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI


dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat
ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4
mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa
yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT scan dapat memperlihatkan adanya
abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada
pemeriksaan USG.11

Gambar 4 : CT scan abdomen, tampak batu batu empedu dan


penebalan dinding kandung empedu.

9
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi
teknik ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu,
duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah
penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu


setelah 45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1
jam 30 menit

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat


digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi.12
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda tanda kongesti
pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran

10
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa
yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi.13

2.7. Penatalaksanaan
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk
kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di
rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total,
perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi
elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik.
Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin
dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan
Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan
tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.2,22
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau
metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV.
Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6
jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau
dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu
merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu
lebih lanjut. Pasien pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang
hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital
yang stabil, tidak terdapat tanda tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan
USG, penyakit penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti

11
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai.2

Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50
% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi
lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan
anatomi.14
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi.
Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak
berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai
72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang
menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk pasien
yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan
operasi segera dan pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih
meragukan.14
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang

12
dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya
penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka
pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis
yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi
dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif
kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.15
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat
pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90%
dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional
menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar
dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%),
perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai
pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran
empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik
ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca
operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik,
memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas
pasien.16 Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman
dilakukan pada semua trimester.17,23
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi
diantaranya adalah:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan
peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem
pembekuan darah.14

13
2.8. Komplikasi kolesistitis
Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman kuman pembentuk pus.
Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan
juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan
demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan
sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi
menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah
darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis
dicurigai.18
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif
mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih
(hidrops) yang dihasilkan oleh sel sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis
sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari
kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu
sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat
terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema,
perforasi atau gangren.18

Gangren dan perforasi


Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah
distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema
atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan
predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada
kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses.19

14
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses.19
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien
nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata.19

Pembentukan fistula dan ileus batu empedu


Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan.
Fistula dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura
hepatika kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal.
Fistula enterik biliaris bisu/tenang yang secara klinis terjadi sebagai
komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi.2
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis
dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen.
Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau
kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir
tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran
fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi,
eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula.2
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya
pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber

15
normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau
fistulisasi.2
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus
kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto
polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan
biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian
gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil
pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan
palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk
menyingkirkan batu lainnya.2

2.9. Komplikasi pascakolesistektomi


Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan
paru lainnya, pembentukan abses, perdarahan eksterna dan interna, fistula
biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan
absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu
atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus
atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut
secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi.2
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat
berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas
gejala pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala
pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang
tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom
pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada
sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik
yang menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma
pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu

16
empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis
atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam
empedu.2

2.10. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan
spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis akut
berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 15% kasus. Bila hal
ini terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 60%. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan
kolesistitis akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 50%.
Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek
di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.20

17
BAB III
KESIMPULAN

Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang


ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam
dan leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab
utamanya yakni kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus.
Patofisiologi kolesistitis akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti. Penegakkan diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih
banyak ditemukan pada wanita, usia > 40 tahun dan pada wanita hamil atau
yang mengkonsumsi obat hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu
seperti itu.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan
(tanda Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat
teraba pula massa di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering
menunjukkan leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali
fosfatase, serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat
merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena
kesensitifitasannya sampai 95%.
Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan
kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-
emetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih
sering dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi
keuntungan pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek
masa perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
2. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL.
Harrison: Prinsip Harrison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC.
Jakarta. 2009.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Dasar
Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.
4. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
5. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
6. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
7. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol
Obstet. Jan 2008;170(1):25-31.
8. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.
2009;3:131-147
9. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is
not associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-
10.
10. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of
acute cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.

19
11. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT
findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis.
Clin Imaging. Jul-Aug 2009;33(4):274-80.
12. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and
laparoscopic cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of
intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc.
Mar 2009;49(3 Pt 1):334-43.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta :
EGC. 2009.
14. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value
of information analysis of early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-
9.
15. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder
drainage for acute cholecystitis: technical and clinical results.
Endoscopy. Jun 2009;41(6):539-46.
16. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
17. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for
acute inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-
4.
18. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and
leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep
2009;28(3):273-7.
19. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg.
Sep 2009;188(3):325-6.
20. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.

20
21. Sartelli M, Tran C. A focus on acute cholecystitis and acute cholangitis.
J Acute Dis. 2012;7781.
22. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med.
2008;280411.
23. Huffman JL, Schenker S. Acute Acalculous Cholecystitis: A Review. J
Clin Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2010;8(1):1522. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cgh.2009.08.034
24. Hasbahec M, Almolu O, Baak F, Canbak T, k A. Review of
clinical experience with acute cholecystitis on the development of
subsequent gallstone-related complications. Turkish J Med Sci.
2014;44:8838.

21

Anda mungkin juga menyukai

  • LAPORAN KASUS Hemorrhoid
    LAPORAN KASUS Hemorrhoid
    Dokumen29 halaman
    LAPORAN KASUS Hemorrhoid
    Silviana Sari
    25% (4)
  • Mioma Uteri
    Mioma Uteri
    Dokumen16 halaman
    Mioma Uteri
    Nimas Dwiastuti
    100% (2)
  • Trauma Abdomen
    Trauma Abdomen
    Dokumen29 halaman
    Trauma Abdomen
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Haemaptoe
    Haemaptoe
    Dokumen1 halaman
    Haemaptoe
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • BAB I App 2
    BAB I App 2
    Dokumen32 halaman
    BAB I App 2
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Refarat Appendicitis
    Refarat Appendicitis
    Dokumen22 halaman
    Refarat Appendicitis
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Sleep Walking
    Sleep Walking
    Dokumen2 halaman
    Sleep Walking
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Deep Vein Thrombosis
    Deep Vein Thrombosis
    Dokumen14 halaman
    Deep Vein Thrombosis
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Refarat Appendicitis
    Refarat Appendicitis
    Dokumen22 halaman
    Refarat Appendicitis
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 (Kusta)
    BAB 3 (Kusta)
    Dokumen11 halaman
    BAB 3 (Kusta)
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Haemaptoe
    Haemaptoe
    Dokumen1 halaman
    Haemaptoe
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Pneumonia
    Lapkas Pneumonia
    Dokumen27 halaman
    Lapkas Pneumonia
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen14 halaman
    Bab 2
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat
  • AKI Anestesi
    AKI Anestesi
    Dokumen10 halaman
    AKI Anestesi
    Christin Iglesia
    Belum ada peringkat