Anda di halaman 1dari 7

Concept Paper:

HUTAN TANAMAN ENERGI


SUMBER DAYA BIO-ENERGI GENERASI II
PELUANG BISNIS MASA DEPAN SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA
Oleh :
Ir. Nanang Roffandi Ahmad1

Latar belakang
1. Sejak isu perubahan iklim diangkat secara besar-besaran kurang lebih dua puluh tahun
yang lalu, masyarakat dunia sudah mulai memikirkan untuk mengganti bahan bakar fosil
dengan enegi baru dan terbaharukan. Penyebab utamanya adalah pembangunan
ekonomi konvensional yang didukung oleh energi yang tidak terbaharukan yang
menghasilkan emisi GHG kurang lebih 80% dari jumlah emisi global total. Sejak saat itu,
bio-energi mulai dipikirkan banyak orang sebagai salah satu sumber energi potensial yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan.
2. Perubahan iklim bukan satu-satunya isu global, tetapi dikaitkan dengan pembangunan
yang berkelanjutan, maka tantangan ke depan juga terkait dengan isu-isu lainnya,
termasuk ketersediaan energi, pangan dan air yang semakin langka, sumberdaya alam
yang semakin rusak, dan bencana alam yang semakin sering terjadi secara simultan di
berbagai belahan dunia. Oleh karena itu maka didalam perencanaan pembangunan yang
berwawasan lingkungan, tantangan dan krisis tersebut harus di-internalisasikan kedalam
perencanaannya.
3. Negara industri maju (Annex I Countries) didorong oleh komitmen global, telah
menggunakan sumber daya keuangannya untuk mendorong R&D teknologi baru yang
dapat menghasilkan energi alternatif, yaitu Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
4. Dari seluruh jenis EBT, di dalam UU Energi No. 30 Tahun 2007 dan PP KEN No. 79 Tahun
2014, hanya ada satu yang terkait dengan biomassa hutan, yaitu bio-energi. Riset energi
biomassa, di negara industri maju jumlah riset tumbuh sangat tinggi 27,5% di banding
energi baru dan terbarukan lainnya yang tidak melampaui angka 5%. Biomassa hutan
dapat menghasilkan panas (heat), tenaga (power), maupun bahan bakar (fuels)
transportasi yang ramah lingkungan.

Bio-energi Generasi I dan II


5. Dilihat dari sumber bahan bakunya (feedstock) serta teknologi konversinya, para pakar
Uni Eropa, mengelompokan bio-energi kedalam 2 (dua) kelompok besar : Bio-energi
Generasi I dan Generasi II. Generasi I adalah bio-energi yang umumnya menggunakan
bahan baku yang berbasis tanaman pangan (food crops) sedangkan Bio-energi Generasi II
menggunakan bahan baku lignoselulosa yang sangat luas sumbernya, mulai dari limbah
sampai dengan tanaman kayu energi (energy crops).
6. Jenis Bio-energi Generasi II memiliki variasi keluaran yang banyak, baik kelompok sumber
energi padat, cair maupun gas. Begitu pula teknologi konversinya. Oleh Karena itu perlu
kesepakatan nasional dalam memilih jenis prioritas keluaran dan teknologinya. Sumber
energi padat, paling banyak variasinya, mulai yang paling sederhana sampai yang
berteknologi maju, seperti kayu bakar, kayu serpih (chips), briket kayu, pellet kayu, arang

1
Ketua Masyarakat Penggiat Biomassa Hutan Indonesia (MAPEBHI);
1
biasa (black charcoal), arang putih (white charcoal -metal cookes), biocoal (murni dan
hibrid), dan arang pelet (wood torrefaction). Sementara itu, sumber energi cair bisa
berupa bio ethanol (selulosa), bio-methanol, dan bio-diesel; dan sumber energi gas,
antara lain berupa syngas, di-methyl sther (DME), dan bio-hidrogen.
7. Pemilihan jenis bio-energi yang akan dikembangkan di Indonesia, haruslah dengan
mempertimbangkan tantangan dan krisis yang di hadapi dalam pembangunan
berkelanjutan. Dengan demikian, pemilihan Bio-energi Generasi II lebih tepat untuk
Indonesia. Alasan lainnya adalah bahwa bio-energi yang berbasis biomassa hutan akan
menghasilkan lignoselulosa yang dapat di budidayakan dan dikelola secara berkelanjutan
dalam bentuk Hutan Tanaman Energi (HTE) serta tidak bertabrakan dengan kepentingan
pangan.
8. Pengembangan HTE juga akan membantu mengurangi tekanan pada hutan alam dan
meningkatkan upaya konservasi, merehabilitasi lahan yang rusak, dan memelihara/
melindungi bumi serta menyimpan cadangan karbon. Namun demikian, pengembangan
HTE harus dijamin penyerapan hasil kayunya dengan harga yang kompetitif dan adil.
Berdasarkan pengalaman di Jerman, petani hutan diberi jaminan keuntungan 100% oleh
industri untuk menjamin keberlangsungan pasokannya. Bio-energi dapat dipergunakan
untuk sumber tenaga listrik, transportasi, industri (sumber energi dan/atau bahan
baku/bahan pembantu) dan keperluan rumah tangga.

Tantangan
9. Mengembangkan Bio-energi Generasi II bukanlah tanpa masalah dan hambatan, serta
sangat bergantung pada keberadaan sumber bahan baku potensial dan terukur
(committed projection), dan tidak dapat mengandalkan produk sampingan dan/atau
limbah. Terlebih lagi apabila akan diperankan dalam mengupayakan kemandirian dan
ketahanan energi nasional.
10. Jenis kayu energi yang akan dikembangkan dalam HTE sangat tergantung pada kondisi
tempatan yang variasinya cukup besar mengingat luasnya wilayah NKRI. Akan tetapi
Indonesia sangat unggul dalam kepemilikan jenis-jenis kayu energi yang potensial untuk
dikembangkan, sekurang-kurangya ada 13 jenis kayu energi dan bambu berdaur pendek
teridentifikasi layak untuk dikembangkan. Walaupun saat ini masih terbatas kepada 6
(enam) jenis yang pengembangannya (tree breeding) sudah dimulai. Penyebabnya oleh
kondisi yang klise yakni keterbatasan anggaran.
11. Negara industri maju pun sedang mengembangkan kayu energi yang mereka sebut Short
Rotation Forestry (SRF) dengan jenis Poplar, Willow dan Robina. Poplar paling banyak
ditanam di Amerika, Kanada, Uni Eropa, India dan Tiongkok. Riap (MAI) Poplar di Jerman
mencapai 37 m3/ha/th. Di Jerman petani yang mengubah sebagian lahan pertaniannya
dengan tanaman hutan SRF dibayar oleh pemerintah Euro 500/ha, karena dianggap telah
memperbaiki lingkungan.
12. Untuk Indonesia diperlukan dukungan Litbang (R&D), yang didukung sumber pendanaan
yang kondusif (APBN, APBD, Donor, dll), yang dikelola secara khusus dan berkelanjutan,
utamanya untuk pengkayaan jenis-jenis kayu energi, peningkatan produktivitas dan nilai
kalor, sistem silvikultur (teknik budidaya dan daur), pemuliaan pohon (tree breeding), dan
pengkayaan variasi genetik.
Dukungan litbang ini sudah sangat mendesak dan perlu selaras dengan perkembangan
teknologi konversinya.

2
13. Namun demikian, tidak mudah untuk mempromosikan bioenergi biomassa hutan di
Indonesia, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, antara lain :
a. Ekonomi
Saat ini Bio-energi Generasi II masih mahal, karena pasar masih baru serta unsur
eksternalitas positif (lingkungan dan sosial) belum diperhitungkan. Daya saing masih
rendah. Indonesia belum memiliki payung hukum yang mengatur instrumen ekonomi
lingkungan hidup yang mendorong industri melakukan internalisasi kedua
eksternalitas diatas kedalam biaya produksinya. Begitu juga pemerintah Indonesia
belum menerapkan pajak lingkungan terhadap polluters misalnya dalam bentuk Pajak
Tambahan ataupun Carbon Tax atau yang serupa, sesuai prinsip Environment Service
Payment (ESP/PES). Instrumen pajak paling umum digunakan di dunia.
b. Teknis
Teknologi masih terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) yang
telah dapat di produksi di dalam negeri. Teknologi bioenergi cair dan gas belum
masuk di Indonesia. Upaya mendatangkan teknologi harus segera dilakukan melalui
kemitraan mamanfaatkan transfers of technology yang telah dicanangkan dari
berbagai forum UNFCCC. Apalagi setelah Paris Agreement diratifikasi Pemerintah
Republik Indonesia tanggal 25 Oktober 2016 melalui UU No. 16 Tahun 2016.
c. Perdagangan
Masih sangat terbatas pada jenis sumber energi padat, kayu bakar, arang, sedikit
pellet. Sesungguhnya potensi pasar energi terbarukan Generasi II ini sangat besar
sekali, dan captive market, baik untuk ketenagalistrikan, transportasi, industri
maupun rumah tangga. Masalahnya keberadaan teknologi konversi yang sangat
mahal dan bahkan belum bisa masuk ke Indonesia, terutama untuk jenis energi cair
dan gas. Sementara itu untuk pemanfaatan energi padat misalnya untuk
ketenagalistrikan melalui PLTBm tidak mampu bersaing dengan batubara yang sangat
murah. FIT untuk PLTBm biomassa hutan belum ada, tidak dapat dan tidak adil
apabila menggunakan Feed In Tariff (FIT) limbah sawit yang telah ada. Pemerintah
harus membeli energi listrik dari PLTBm berbasis HTE lebih adil dan diatur dengan FIT
tersendiri yang telah memperhitungkan nilai eksternalitas.
d. Infrastruktur
Keberadaan Infrastruktur dapat meningkatkan aksesibilitas, mengingat sumber daya
alam hutan sebagai sumber daya bio-energi terletak di daerah-daerah terpencil.
Keberadaan jaringan transmisi PLN untuk ketenagalistrikan juga menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan PLTBm biomassa hutan. Untuk jenis sumber
energi cair untuk transportasi, kedekatan dengan infrastruktur jalan raya merupakan
pertimbangan yang sangat penting. Saat ini kondisi infrastruktur tersebut masih
kurang mendukung.
e. Dilema ayam dan telur
Adanya kesan saling menunggu antara pengelola sumber daya energi dengan
pengelola energi. Sementara dari sektor bisnis kehutanan menganggap bahwa produk
hasil hutan kayu utamanya, banyak alternatif penggunaannya yang dianggap lebih
menguntungkan secara bisnis. Sementara itu untuk masuk ke bisnis Bio-energi
Generasi II para pengusaha belum teryakini viabilitasnya dan memang di Indonesia
belum ada contohnya. Yang sudah ada saat ini sebatas kepada jenis bio-energi padat
yang memanfaatkan limbah, dan pemanfaatan limbah untuk bioenergi bukan sebuah

3
bisnis utama, hanya sekedar memanfaatkan kelebihan limbah dalam rangka
mencapai tujuan manajemen industri zero waste.
Harus ada kerjasama antara Kementerian LHK dan Kementerian ESDM melalui
konsorsium BUMN terkait, sebagai agen pembangunan, untuk membangun sebuah
pilot/model misalnya PLTBm dalam skala komersial. Dari pilot/model itulah akan
muncul masukan-masukan yang berguna bagi berbagai kebijakan kondusif yang pada
akhirnya dapat menarik sektor swasta mengikutinya.
f. Etik
Belum timbulnya konflik dengan pangan menyebabkan Bio-energi Generasi I di
Indonesia masih menjadi andalan jangka pendek dan menengah. Dampaknya
dukungan bagi pengembangan Bio-energi Generasi II belum mendapat dukungan
yang kondusif. Sebaliknya, konflik akan terjadi apabila permintaan Bio-energi
Generasi II meningkat dan besar, seiring dengan ramainya penolakan dan
pembatasan penggunaan Bio-energi Generasi I utamanya yang berbahan baku
tanaman pangan (food crops), seperti yang telah terjadi di negara industri maju
contohnya Uni Eropa
g. Pemahaman
Keberadaan Bio-energi Generasi II belum menjadi kesepahaman nasional di
Indonesia. Contoh konkrit adalah, adanya Inpres No. 1 Tahun 2006 yang
memposisikan Kementerian Kehutanan hanya sebagai penyedia lahan. Patut diduga
bahwa pemerintah belum paham bahwa hutan dengan biomassanya dapat
menghasilkan energi terbarukan. Inpres tersebut perlu direvisi dan diubah.
Kementerian-LHK dan Kementerian ESDM ditugaskan untuk menghasilkan bio-energi
berbasis biomassa hutan, untuk mengatasi krisis energi yang sedang dihadapi
Indonesia. Begitu pula dengan pemerintah daerah.
h. Politik
Kebijakan pemerintah seperti pada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan PP No.
79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) belum menyentuh Bio-energi
Generasi II. Padahal, menurut para pakar energi, lifting minyak bumi akan habis
sebelum tahun 2030 dan gas alam tahun 2045. Alasan logisnya adalah, keberadaan
sumber daya hutan untuk energi terbarukan belum terukur, masih berupa potential
projections dan belum menjadi commited projections. Akses ke sumber dana juga
masih bermasalah. Sesungguhnya kebijakan pembiayaan bagi pengembangan EBT
sudah ada niatnya, seperti pada Undang-undang Energi Tahun 2007 dan PP KEN
Tahun 2014 serta kebijakan Sustainable Financing dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
akan tetapi belum jelas aturan pelaksanaannya apakah pengembangan Bio-energi
Generasi II termasuk didalamnya. Untuk memberikan kepastian diperlukan terobosan
politik, karena salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan Bio-energi
Generasi II adalah akses ke sumber dana. Pemerintah yang telah meratifikasi
Perjanjian Paris sudah semestinya memberi dukungan politik yang positif terhadap
pengembangan Bio-energi Generasi II.
i. Conflic of interest
Usaha energi fosil, khususnya BBM, masih menjadi andalan pemerintah dan banyak
pihak. Berkembangnya usaha bio-energi oleh beberapa pihak bahkan sepertinya
dianggap sebagai ancaman. Ratifikasi Perjanjian Paris sudah semestinya mendorong
pemerintah untuk mengatasi hambatan ini.

4
Peluang
14. Kelebihan / keuntungan penggunaan Bio-energi Generasi II, sangat banyak, seperti :
Sumber bahan baku dapat dibangun dan dikelola secara berkelanjutan dalam,
bentuk: Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat; Hutan Desa; Hutan
Kemasyarakatan; Hutan Rakyat; Hutan Adat dan Hutan/Kebun energi.
Dalam pembangunan sumber bahan bakunya dapat meningkatkan penyerapan dan
penyimpanan karbon dan konservasi, karena ditempatkan pada kawasan
hutan/lahan yang kurang/tidak produktif.
Pemanfaatan limbah logging dapat mencegah emisi dan bahaya kebakaran.
Tidak bertabrakan dengan kepentingan pangan
Dapat dibangun dalam skala kecil (untuk daerah terpencil) dan besar (fleksibel)
Dapat dibangun secara desentralisasi sampai ke pedesaan.
Biaya paling murah dibanding dengan EBT lainnya
Investasi lebih murah dengan waktu relatip lebih pendek.
Mampu berkompetisi dengan industri pengolahan kayu lain dalam membayar bahan
baku.
Teknologi yang dipergunakan hemat bahan baku (effisien) dan menghasilkan produk
energi yang memiliki nilai tambah tinggi.
Tidak perlu infrastruktur khusus dan mahal
Limbah abu dan terra preta dapat dipakai untuk memperbaiki tekstur dan kesuburan
tanah.
Bisa diintegrasikan (co-existence / co-firing) dengan sumber energi lainnya yang telah
ada.
Carbon neutral / zero emission.
Tidak ada biaya tambahan untuk lingkungan dan perlindungan iklim.
Menggantikan methanol fosil dalam memproduksi bio-fuel sebagai bahan campuran
bahan bakar minyak fosil.
Dapat mensubstitusi energi premier fosil untuk memenuhi kriteria energi hijau.
Membantu meningkatkan ketahanan energi : kemandirian, diversifikasi dan
konservasi energi.
Membantu menjawab tantangan krisis energi nasional dan krisis energi daerah.
Berperan nyata dalam pelaksanaan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi
29% pada tahun 2030 dan 23% bauran energi tahun 2025 serta 31% tahun 2050.
Membantu pembangunan Desa Mandiri.
Membuka lapangan kerja dan lapangan usaha baru.
Menghasilkan effek ganda yang besar / luas.
Dapat membantu menekan defisit neraca perdagangan luar negeri dan beban subsidi
APBN.
Sesuai dengan program pemerintah : pro growth, pro jobs, pro poors, dan pro
environment

5
15. Masa Depan Bio-energi Generasi II :
a. Pengembangan riset teknologi Bio-energi Generasi II untuk kelompok cair dan gas
(BtL) sedang dalam tahap pengembangan skala besar dan komersial. Diperkirakan
atara tahun 2020 2025 sudah mulai masuk pasar.
b. Indonesia perlu memanfaatkan kondisi tersebut diatas dengan turut aktif melalui
kerjasama G to G dengan negara pengembang teknologi, karena diperlukan
dukungan feedstock yang besar yang mana hal tersebut menjadi masalah bagi
mereka, sementara Indonesia memilikinya. Perlu di upayakan kerjasama
pengembangan tersebut dilanjutkan di Indonesia.
c. Sejalan dengan itu, Indonesia harus mengimbangi dari sisi feedstock-nya (HTE),
merubah dari potential projection menjadi committed projection, baik dari aspek
kuantitas maupun kualitas keberadaannya sehingga menjadi terukur dan jelas
lokasinya. Kementerian LHK harus memprioritaskan pemberian izin baru HTI kepada
para pengembang bio-energi. Menurut Statistik Kehutanan Tahun 2014, masih
tersedia arahan alokasi pemanfaatan hutan produksi untuk HTI dan HTR di seluruh
Indonesia seluas 3,2 juta Ha, dan untuk Hutan Desa dan HKM seluas 530 ribu Ha.
Mengembangkan Bio-energi Generasi II berbasis HTE semenjak pembangunan
tanamannya sampai dengan penggunaan sumber energinya akan membantu
melindungi bumi dengan menurunkan emisi GRH. Apalagi setelah Paris Agreement
diratifikasi pemerintah, maka sejak tahun 2020 Indonesia menjadi wajib menurunkan
emisi sesuai dengan Indonesias Nationally Determined Contribution (NCD)-nya
d. Bio-energi Generasi II padat untuk ketenagalistrikan sudah cukup banyak dan tidak
jadi prioritas lagi pengembangannya, karena sulit bersaing dengan sumber daya
energi fosil batubara yang cadangannya sangat besar dan murah, serta akan
berkembangnya sumber energi nuklir. Sumber energi padat generasi II yang perlu
dikembangkan adalah yang berteknologi tinggi dan berkualitas metal cookes untuk
menunjang sektor industri dasar (industri baja dan smelter).
e. Pengembangan Bio-energi Generasi II untuk keperluan transportasi harus jadi
prioritas, karena lifting minyak bumi akan habis sebelum tahun 2030 dan harga crued
oil diperkirakan sebelum tahun 2020 sudah akan kembali ke level harga US$ 80 per
barell, bahkan lebih, seperti tahun 1997, menurut Sekjen OPEC.
f. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah pengembangan teknologi otomotive
(vechicle). Teknologi Euro 4 sudah masuk ke Indonesia. Modernisasi ALUTSISTA
TNI/POLRI konon sudah menuntut bahan bakar setara Euro 4. Bio-methanol dan bio-
diesel berbasis lignoselulosa dapat menjawab tantangan tersebut. Karena memiliki
nilai RON 114, serta Angka Setana 59.
g. Pemanfaatan Bio-energi Generasi II BtL juga sejalan dengan revolusi teknologi mesin
industri otomotive. Tahap awal, gasolin (fosil fuel) diganti dengan bio-fuel (bio-
methanol dan bio-diesel) tanpa merubah secara prinsip sistem pembakaran yang ada.
Tahap kedua, merubah sistem pembakaran (busi) dengan fuel cell. Begitu pula pada
mobil listrik merubah batrei dengan fuel cell, atau dipakai keduanya sebagai mobil
hibrid (hybrid vehicles). Revolusi teknologi pada mesin otomotive sudah terjadi
sekarang dan puncaknya, menurut para pakar, setelah tahun 2030, yang akan
menghasilkan mobil-mobil yang ramah lingkungan dan Zero Emission, dengan sumber
Energi Generasi II dan fuel cell. Penggunaan biomethanol untuk transportasi sudah
diujikembangkan di 11 Negara Bagian Pantai Barat Amerika Serikat dalam campuran

6
dengan gasolin 15% bio-methanol. Produsen dan pengguna methanol terbesar saat
ini adalah Tiongkok yang sudah mengembangkan pula tanaman jenis Poplar seluas 7
juta ha sebagai sumber bahan bakunya untuk menggantikan bahan baku batubara
dan gas bumi.
h. Untuk Bio-energi Generasi II jenis gas (liquid) bio-hidrogen perlu diperhatikan karena
dapat menjadi pengganti gas alam yang akan habis sebelum tahun 2045 serta dapat
menyaingi energi terbarukan panas bumi bagi ketenagalistrikan. Kelebihan lain dari
bio-hidrogen tidak akan mengganggu kawasan hutan konservasi, biaya investasi lebih
rendah, masa konstruksi lebih pendek. Pabrik bio-hidrogen yang paling ideal untuk
dikembangkan di Indonesia adalah 500 MWe dan minimal 50 MWe. Syaratnya,
sumber bahan baku kayu HTE harus seragam (sejenis) dan itu bukan masalah. Bio-
hidrogen dikombinasikan dengan fuel cell saat ini telah menjadi penggerak kendaraan
besar (bus) di Eropa dan kedepan akan menjadi sumber bahan bakar bebas karbon
bagi transportasi secara umum.
i. Indonesia juga jangan menutup peluang ekspor, baik jenis bio-energi padat maupun
cair dan gas. Pertimbangan logisnya karena Indonesia terletak sangat strategis
dipusat pertumbuhan ekonomi saat ini dan masa depan yaitu APEC Region.

Kesimpulan
16. Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki sumber daya hutan nomor tiga terluas di
dunia, mempunyai peluang besar untuk mengembangkan Energi Terbarukan berbasis
biomassa hutan.
17. Dalam 10 tahun kedepan HTE dan Bio-energi Generasi II akan menjadi salah satu
pengungkit bagi bangkitnya kembali peran ekonomi kehutanan dalam pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi hijau Indonesia, dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Semoga.

Jakarta, 31 Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai