Anda di halaman 1dari 203

RENCANA AKSI KLASTER EKONOMI SUPERHUB IKN

SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI BARU INDONESIA

Outline Business Case (OBC)


INDUSTRI PERAKITAN SOLAR PV
TAHUN ANGGARAN 2021

Disusun Oleh LAPI ITB - SUCOFINDO

DIREKTORAT PEMBANGUNAN DAERAH


JAKARTA, 2021
KATA PENGANTAR
Pada tahun 2017 pemerintah memulai kajian teknokratis mengenai konsep pemindahan
Ibu Kota Negara (IKN) termasuk alternatif skenario pemindahan hingga kriteria penentuan
lokasi. Pada tahun berikutnya dilaksanakan telaah kesesuaian lahan dan aspek sosial
budaya, ekonomi dan kependudukan. Kemudian pada tahun 2019 dilakukan analisis
mendalam lanjutan yang menghasilkan dokumen dalam bentuk Master Plan IKN.

Konsep master plan yang disusun menggambarkan konsep ideal dan visi pengembangan
dari IKN baru, yaitu IKN sebagai simbol identitas bangsa, yang modern dan berstandar
internasional, serta kota cerdas, hijau, indah dan berkelanjutan dengan menerapkan
konsep forest city yang berwawasan pelestarian lingkungan dan berteknologi tinggi.

Sebagai aksi kongkrit dan keberlanjutan Master Plan IKN, diimplementasikan dalam
rencana aksi Klaster Ekonomi Superhub IKN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru
Indonesia. Salah satu prioritas yang diusung adalah pengembangan Industri Perakitan
Solar PV di IKN. Untuk mewujudkan misi tersebut diperlukan dokumen analisis dalam
bentuk Outline Business Case (OBC) Industri Perakitan Solar PV sebagai rujukan hasil
analisis dan bahan interaksi dengan calon investor.

Sangat disadari bahwa OBC Industri Perakitan Solar PV ini masih jauh dari sempurna dan
memerlukan banyak perbaikan. Oleh sebab itu, masukan dan saran yang membangun
dari Pembaca tetap sangat diharapkan, agar hasil penyusunan OBC ini lebih optimal.

i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Sektor energi secara total telah menyumbang 49% dari emisi karbon tahun 2017,
termasuk didalamnya emisi pada kegiatan pertambangan, migas, transportasi dan
pembangkitan listrik. Khusus pembangkit listrik dan transportasi menyumbang 34% dari
total emisi karbon Indonesia pada tahun 2017. Pada tahun 2019, sektor transportasi
menjadi penyumbang emisi karbon Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27
%) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).

Berkaitan dengan Paris Agreement 2015 yang telah diratifikasi dengan UU RI No.16 tahun
2016, Indonesia berkomitmen akan memenuhi pengurangan emisi karbon sebesar 29%
(dengan usaha sendiri) hingga 41% (jika ada bantuan internasional) pada tahun 2030.

Merealisasikan komitmen Indonesia pada Paris Agreement 2015 tetap perlu diupayakan.
Karena bentuk komitmen ini tidak semata penguatan hubungan antar negara, tetapi juga
sebagai aksi untuk mewujudkan wilayah lingkungan bersih berkelanjutan dan
berkontribusi pada pencegahan perubahan iklim global. Salah satunya melalui penetrasi
penggunaan Solar PV sebagai alternatif sumber energi listrik dan penggunaan kendaraan
listrik (EV) untuk mengurangi emisi karbon.

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki LCOE (Levelized Cost of
Electricity) energi surya tertinggi. LCOE yang tinggi ini menyebabkan energi surya kurang
menguntungkan jika dibandingkan dengan sumber energi lain seperti gas dan batu bara.
Untuk mengurangi LCOE energi surya, ada beberapa faktor keberhasilan lainnya yang
dapat dipertimbangkan, seperti skala, teknologi, desain, pembiayaan, pengadaan, serta
operasional dan pemeliharaan.

LCOE Indonesia untuk membangkitkan listrik dari tenaga surya pada tahun 2018 adalah
9,2 sen hingga 12,3 sen $US per kWh. Biaya capex yang tinggi ini didorong oleh
persyaratan kandungan lokal dan volume yang rendah, sehingga menyebabkan proyek
energi terbarukan hanya menguntungkan di daerah terpencil dengan potensi
pembangkitan listrik skala besar yang lebih rendah.

ii
Pelonggaran persyaratan kandungan lokal juga dapat menurunkan LCOE. Saat ini,
peraturan yang berlaku mengharuskan pengembang Solar PV untuk mendapatkan barang
dan jasa dari penyedia lokal. Namun, penyedia lokal tidak memiliki ukuran dan skala
ekonomi yang memadai, sehingga kelayakan ekonomi industri manufaktur Solar PV
menjadi kurang menguntungkan. Saat ini, Indonesia dapat fokus pada industri
perakitannya saja.

Beberapa perusahaan yang memproduksi perakitan Solar PV di dalam negeri tertinggi


dengan kapasitas per tahun 120 MWp. Total semua produksi hanya mencapai 620 MWp
per tahun. Diperlukan masih cukup banyak waktu dan upaya untuk memenuhi kebutuhan
di Indonesia.

Jika dilihat dari sisi energi surya yang diterima di Indonesia, pengembangan industri
perakitan Solar PV memiliki potensi besar di Indonesia. Energi surya yang menyinari
Indonesia diproyeksikan sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara. Di samping itu, belanja
modal (capex) yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi dari matahari terus menurun
(sekitar 2% per tahun) di Asia, sementara demand untuk energi surya semakin meningkat
(sekitar 12% per tahun).

Tantangan untuk mengemban misi mencapai 100% suplai listrik mandiri dari sumber
energi terbarukan di Ibu Kota Negara (IKN), selisih kebutuhan energi dapat dipenuhi
dengan pembangkit listrik energi terbarukan skala besar.

Kapasitas permintaan puncak Solar PV tahunan IKN diproyeksikan meningkat dari 1.2 GW
pada tahun 2025 menjadi sekitar 4.5 GW pada tahun 2045. Sementara hidrogen dan
baterai akan berfungsi sebagai sumber cadangan sekunder. Berdasarkan perhitungan,
pabrik pembuatan Solar PV baru layak secara ekonomi jika kapasitas minimum
produksinya mencapai 300 – 500 MW pertahun.

Tiga faktor penting yang harus terpenuhi untuk membangun Industri Perakitan Solar PV di
IKN, yaitu:

1. Penyelarasan dan eksekusi pengembangan listrik tenaga surya setidaknya 5,9 GW di


IKN. Pembangunan pabrik pembuatan Solar PV baru di Kalimantan Timur perlu
memastikan demand yang mencukupi di IKN dan Kalimantan Timur;

iii
2. LCOE untuk Solar PV lebih rendah dari harga listrik saat ini. LCOE Solar PV perlu turun
sekitar 30-40% agar dapat bersaing dengan sumber listrik lain seperti gas atau batu
bara. Untuk itu, diperlukan dukungan regulasi terkait persyaratan kandungan lokal
untuk mengurangi LCOE energi surya secara keseluruhan; dan
3. Peningkatan signifikan dalam komitmen PLN untuk meningkatkan permintaan
domestik. PLN perlu berkomitmen untuk meningkatkan pengembangan Solar PV
sebesar 5 kali hingga 10 kali lipat dalam 10 tahun ke depan guna memastikan
demand yang cukup untuk kapasitas tambahan yang akan tersedia.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................I
RINGKASAN EKSEKUTIF...................................................................................................II
DAFTAR ISI.....................................................................................................................V
DAFTAR TABEL.............................................................................................................VIII
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................IX
DAFTAR ISTILAH.............................................................................................................X
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan..................................................................................................6
1.3 Ruang Lingkup..........................................................................................................7
1.4 Luaran Kegiatan........................................................................................................7
1.5 Lokasi........................................................................................................................8
1.6 Gambaran Wilayah...................................................................................................8
BAB 2 KAJIAN HUKUM DAN KELEMBAGAAN................................................................9
2.1 Asumsi dan Kualifikasi..............................................................................................9
2.2 Kajian Kepatuhan...................................................................................................10
2.2.1 Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)................................................................10
2.2.2 Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)...............................................11
2.2.3 Kesesuaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah.....................13
2.2.4 Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).................................................15
2.3 Kajian Peraturan Perundang-undangan.................................................................19
2.3.1 Aspek Pendirian Badan Usaha................................................................................19
2.3.2 Aspek Penanaman Modal......................................................................................21
2.3.3 Aspek Persaingan Usaha........................................................................................28
2.3.4 Aspek Lingkungan..................................................................................................34
2.3.5 Aspek Keselamatan Kerja.......................................................................................39
2.3.6 Aspek Pengadaan Tanah........................................................................................42
2.3.7 Aspek Pembiayaan.................................................................................................49
2.3.8 Aspek Perizinan......................................................................................................52
2.3.9 Aspek Pajak............................................................................................................55
2.3.10 Aspek Peraturan Terkait Lainnya............................................................................57
2.4 Penyempurnaan atau Penerbitan Peraturan Perundang-undangan.....................66
2.5 Barang Milik Negara dan/atau Barang Milik Daerah yang Diperlukan..................67
2.6 Jenis Perizinan/Persetujuan yang Diperlukan........................................................75
2.7 Analisis Kelembagaan.............................................................................................77
2.7.1 Kewenangan Sebagai PJPK.....................................................................................77
2.7.2 Identifikasi Pemangku Kepentingan.......................................................................78
2.7.3 Peran dan Tanggung Jawab Perangkat Organisasi Kelembagaan...........................79
2.7.4 Kerangka Acuan Pengambilan Keputusan..............................................................81
BAB 3 KAJIAN TEKNIS.................................................................................................85
v
3.1 Review Kelayakan Lokasi Kawasan Industri...........................................................85
3.2 Review Daya Dukung Lahan dan Kerawanan Bencana..........................................86
3.3 Pengadaan Tanah, Peruntukan Lahan, dan Pembebasan Tanah...........................87
3.4 Infrastruktur Logistik Penunjang Klaster................................................................88
3.5 Ringkasan Rencana Pengembangan Kawasan Industri..........................................89
3.6 Analisa Ekosistem Pendukung Industri dan Infrastruktur Pendukung..................89
3.7 Dampak Perubahan Iklim dan Mitigasinya............................................................90
3.8 Konsep Pengelolaan Limbah..................................................................................91
3.9 Pra-Amdal...............................................................................................................91
BAB 4 KAJIAN KOMERSIAL.........................................................................................92
4.1 Analisa Pangsa Pasar..............................................................................................92
4.2 Kebutuhan Investasi.............................................................................................100
4.3 Kajian Komersial...................................................................................................103
4.3.1 Konsep Pengembangan Industri Perakitan Solar PV............................................103
4.3.2 Lokasi/layout........................................................................................................105
4.3.3 Konsep Utilitas.....................................................................................................106
4.4 Analisis kelayakan finansial..................................................................................106
4.4.1 Metoda yang digunakan......................................................................................106
4.4.2 Data dan Asumsi..................................................................................................107
4.4.3 Biaya investasi......................................................................................................108
4.4.4 Biaya operasi........................................................................................................110
4.4.5 Pemasukan/Pendapatan......................................................................................110
BAB 5 KAJIAN EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN...............................................112
5.1 Arah Kebijakan Industri dan Investasi..................................................................112
5.1.1 Roadmap Pengembangan Industri Nasional........................................................113
5.1.2 Kebijakan FDI (Negative list, Transfer of Technology)..........................................121
5.1.3 Import Substitution and Export-oriented.............................................................130
5.2 Analisa Dampak Sosial..........................................................................................132
5.2.1 Pemetaan Kebutuhan Tenaga Kerja dan Syarat Kualifikasi-nya...........................136
5.2.2 Ketersediaan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan................................................144
5.2.3 Dampak Sosial......................................................................................................146
5.2.4 Realokasi Penduduk – Displacement....................................................................154
5.2.5 Lembaga yang Bertanggungjawab dalam Pembebasan Tanah serta Pemukiman
Kembali Penduduk – Displacement..................................................................................156
5.3 Analisa Dampak Lingkungan................................................................................167
BAB 6 KAJIAN BENTUK KERJA SAMA........................................................................168
6.1 Bentuk Usaha Secara Umum................................................................................168
6.2 Bentuk KPBU – BUMN/Swasta.............................................................................172
6.2.1 Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha.....................................................172
6.2.2 Skema Kerja Sama Swasta....................................................................................172
6.3 Pendekatan Terhadap Investor............................................................................173
6.3.1 Lembaga yang Menangani Investor.....................................................................173
6.3.2 Jenis Investor – Financial & Non-Financial...........................................................176
6.3.3 Instrumen Investasi..............................................................................................178
BAB 7 KAJIAN RISIKO...............................................................................................181
7.1 Risiko Permintaan Pasar.......................................................................................182
7.2 Risiko Investasi.....................................................................................................183

vi
7.3 Risiko Finansial.....................................................................................................183
7.4 Risiko Keamanan dan Lingkungan........................................................................184
7.5 Risiko Hukum........................................................................................................185
7.6 Risiko Politik.........................................................................................................187
BAB 8 REKOMENDASI DUKUNGAN PEMERINTAH.....................................................188
REFERENSI..................................................................................................................189

vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kapasitas PLTS Terpasang.....................................................................................11
Tabel 2.2 Rencana Pembangunan PLTS Sesuai RUPTL 2021 - 2030.....................................13
Tabel 2.3 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.........................................................30
Tabel 2.4 Bidang Usaha Prioritas sesuai Perpres 10/2021..................................................32
Tabel 2.5 Jenis Usaha dan Besaran Amdal...........................................................................42
Tabel 2.6 Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN.............................................................76
Tabel 2.7 Jenis Perizinan/Persetujuan.................................................................................83
Tabel 2.8 Identifikasi Pemangku Kepentingan.....................................................................86
Tabel 2.9 Kerangka Acuan Pengambilan Keputusan............................................................89
Tabel 4.1 Industri Perakitan Solar PV di Indonesia............................................................102
Tabel 4.2 Rencana Pengembangan Pembangkit EBT (MW)..............................................102
Tabel 4.3 Rencana Kebutuhan Lahan Pabrik Perakitan Solar PV.......................................113
Tabel 4.4 Rincian Biaya Investasi (Capex) Kapasitas 500 MW/Tahun...............................116
Tabel 4.5 Expenditure Per Tahun (Produksi 500 MWp)....................................................117
Tabel 4.6 Financial Analysis...............................................................................................119
Tabel 5.1 Sasaran Pembangunan Industri Nasional...........................................................124
Tabel 5.2 Hambatan Investasi PMA...................................................................................131
Tabel 5.3 UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Insentif Investasi Terkini..................................137
Tabel 5.4 Peran Pemangki Kepentingan dalam Pengembangan Kapabilitas.....................149
Tabel 5.5 Contoh Praktik Terbaik Pendidikan Non Formal................................................151
Tabel 5.6 Proses Penyelenggaraan Pengadaan Tanah.......................................................165
Tabel 7.1 Risiko Permintaan Pasar.....................................................................................191
Tabel 7.2 Risiko Investasi...................................................................................................192
Tabel 7.3 Risiko Finansial...................................................................................................193
Tabel 7.4 Risiko Keamanan dan Lingkungan......................................................................193
Tabel 7.5 Risiko Hukum......................................................................................................195
Tabel 7.6 Risiko Politik.......................................................................................................196

viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Rata-rata Sinar Matahari Harian dan Tahunan yang Diterima Indonesia..........4
Gambar 2.1 Penggunaan Solar PV tanpa Baterai.................................................................71
Gambar 2.2 Penggunaan Solar PV dengan Baterai..............................................................71
Gambar 3.1 Peta Provinsi Kalimantan Timur.......................................................................95
Gambar 4.1 Kapasitas Penggunaan Solar PV dan Perkembangan Pengguna, 2018-2019 105
Gambar 4.2 Perkembangan Penggunaan Solar PV Berdasarkan Segmen, 2019-2020......105
Gambar 4.3 Perkembangan Penggunaan Solar PV Beberapa Provinsi..............................107
Gambar 4.4 Alur Riset Peningkatan Efisiensi Solar PV Module.........................................110
Gambar 4.5 Proses Perakitan Solar Cell Menjadi PV Module............................................112
Gambar 4.6 Proses Perakitan Solar PV di Pabrik Perakitan...............................................113
Gambar 4.7 Konsep Pengembangan Industri Solar PV di Indonesia.................................115
Gambar 4.8 Biaya Produksi Silicon Wafer pada Tahun 2018.............................................118
Gambar 5.1 Sistem Industri Nasional.................................................................................124
Gambar 5.2 Arah Rencana Industrialisasi Indonesia.........................................................127
Gambar 5.3 Industri 4.0 Indonesia: Katalisator Kebangkitan Industri Indonesia..............128
Gambar 5.4 Industri 4.0 Indonesia: Katalisator Kebangkitan Industri Indonesia..............130
Gambar 5.5 Contoh Sektor Beserta Lapangan Kerja Yang Tercipta di IKN Hingga 2045...150
Gambar 5.6 Obyek-obyek Pengadaan Tanah.....................................................................172
Gambar 6.1 Pendanaan Melalui Daur Ulang Aset.............................................................193
Gambar 6.2 Beberapa Keberhasilan Penerbitan KPBU......................................................194

ix
DAFTAR ISTILAH

x
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kerjasama antar negara akan memberikan solusi lebih cepat terkait transformasi energi.
Inti dari transformasi energi secara global adalah upaya bersama seluruh negara dalam
mengurangi emisi CO₂ yang dihasilkan, dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil
menuju energi terbarukan yang lebih bersih, sebagaimana yang disepakati oleh beberapa
negara yang tertuang dalam Paris Agreement 2015.

Beberapa aksi secara global dalam transformasi ini diantaranya:

 Penurunan dalam Hal Biaya Produksi Energi Terbarukan


Biaya rata-rata global untuk listrik dari semua energi terbarukan yang tersedia
secara komersial terus turun pada tahun 2018. Salah satu contohnya adalah
penurunan biaya listrik dari proyek photovoltaik (PV) sejak 2010. Antara 2010 dan
2018 biaya listrik rata-rata dari Solar PV menurun hingga 77% (IRENA, 2018).
Demikian pula, di lepas pantai Eropa dikembangkan proyek penghasil energi
berbasis hydro yang semakin bersaing dengan sumber berbahan bakar fosil. Di
Amerika sumber daya energi terbarukan non-tenaga air seperti Solar PV dan
hydro diharapkan menjadi sumber pembangkit listrik yang tumbuh paling cepat
dua tahun ke depan.
 Peningkatan Kualitas Udara
Polusi udara merupakan pemicu meningkatnya krisis kesehatan masyarakat yang
besar, salah satunya berasal dari produksi pembakaran bahan bakar fosil yang
menghasilkan gas emisi buangan. Beralihnya penggunaan sumber energi ke
sumber energi bersih terbarukan akan meningkatkan kualitas udara di kota-kota,
yang pada akhirnya akan mengurangi kesehatan buruk yang akan meningkatkan
produktifitas.
Peningkatan kualitas udara diwujudkan juga melalui upaya pengurangan emisi
karbon, yang telah disepakati secara internasional. Transformasi sistem energi
global perlu dipercepat secara substansial untuk memenuhi tujuan Paris
1
Agreement 2015, yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata
mendekati 1,5°C. Diperkirakan 70% pengurangan emisi energi dibandingkan
dengan level saat ini akan dicapai pada tahun 2050 (IRENA, 2019a).
 Peningkatan Ketahanan Energi
Untuk beberapa negara, ketergantungan pada bahan bakar fosil impor dan
permasalahan ketahanan energi merupakan masalah yang signifikan. Energi
terbarukan dapat memberikan alternatif dengan meningkatkan keragaman
sumber energi melalui pengupayaan sumber energi lokal. Sehingga ketahanan
energi suatu negara tidak hanya bergantung pada produksi energi negara lain.
Saat ini akses energi yang berbasis teknologi energi terbarukan masih belum
merata, sehingga banyak daerah-daerah pedesaan yang masih belum terjangkau.
Untuk itu permasalahan elektrifikasi pedesaan salah satunya dapat ditangani
dengan inisiatif energi yang dihasilkan masyarakat secara mandiri dan dari sumber
daya energi terdistribusi.

Dari uraian di atas terlihat bahwa transformasi energi global ini akan berdampak pada isu
sosial-ekonomi dan juga berpengaruh kepada keputusan politik. Pengembangan industri
energi terbarukan setiap negara memiliki kontribusi yang besar pada kesuksesan
pencapaian transformasi energi global. Selain untuk menekan penggunaan bahan bakar
fosil, juga menciptakan ketahanan energi di negara tersebut. Negara tidak hanya akan
mengurangi atau bahkan menghilangkan impor bahan bakar bersumber fosil, tetapi juga
dapat menyediakan sendiri energi baru dan terbarukan. (IRENA, 2019a; IRENA, 2019b)

Dalam upaya ikut serta dalam transformasi energi, Indonesia menjadi bagian dari aksi
global pada Paris Agreement 2015. Tujuan Paris Agreement 2015 adalah menekan laju
pemanasan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan membatasi kenaikan
suhu global di bawah 20C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya
membatasinya hingga di bawah 1,50C. Paris Agreement 2015 hanya berlaku apabila
diratifikasi oleh setidaknya 55 negara.

Pada Paris Agreement 2015, Indonesia berkomitmen akan memenuhi pengurangan emisi
karbon sebesar 29% (dengan usaha sendiri) hingga 41% (jika ada bantuan internasional)

2
pada tahun 2030 yang kemudian meratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention
on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Indonesia menjanjikan transisi dari penggunaan
energi fosil ke energi terbarukan dengan target bauran energi terbarukan mencapai 23%
pada tahun 2025.

Namun, situasinya masih jauh dari harapan. Sektor energi secara total telah menyumbang
49% dari emisi karbon tahun 2017, termasuk didalamnya emisi pada kegiatan
pertambangan, migas, transportasi dan pembangkitan listrik. Khusus pembangkit listrik
dan transportasi menyumbang 34% dari total emisi karbon Indonesia pada tahun 2017.

Walaupun masih menjadi tantangan, merealisasikan komitmen Indonesia pada Paris


Agreement 2015 tetap perlu diupayakan. Karena bentuk komitmen ini tidak semata
penguatan hubungan antar negara, tetapi juga sebagai aksi untuk mewujudkan wilayah
lingkungan bersih berkelanjutan dan berkontribusi pada pencegahan perubahan iklim
global. Salah satunya melalui penetrasi penggunaan Solar PV sebagai alternatif sumber
energi listrik.

Industri Perakitan Solar PV merupakan salah satu sektor yang diharapkan berkontribusi
dalam pengembangan sistem ketenagalistrikan nasional dengan mengubah sinar
matahari menjadi listrik, sebagai alternatif dari penggunaan energi fosil. Pengembangan
Industri Perakitan Solar PV dalam negeri sangat potensial, mengingat posisi Indonesia
berada di Kawasan ‘Sabuk Sinar Matahari’ (Sunshine Belt).

Kawasan Sabuk Sinar Matahari adalah kawasan yang terletak antara 35 derajat Lintang
Utara dan 35 derajat Lintang Selatan. Kawasan ini mendapat pancaran sinar matahari
terbanyak sepanjang tahun dengan berpenghuni lebih dari 70% populasi penduduk dunia.

Berbeda dengan negara di wilayah Utara, misalnya negara-negara Eropa atau Kanada,
yang selalu siaga menghadapi musim dingin dengan kondisi matahari bersinar sangat
minim, di Indonesia justru lebih membutuhkan alat pendingin ruangan karena udara yang
semakin panas.

3
Sumber: Globalsolaratlas.info

Gambar 1.1 Rata-rata Sinar Matahari Harian dan Tahunan yang Diterima Indonesia

Rata-rata potensi sinar matahari harian yang diterima Indonesia (Global Horizontal
Irradiance) sebesar 4,8 kWh/m2. Lebih tinggi dari Jepang sebesar 3,9 kWh/m2, Tiongkok
sebesar 3,8 kWh/m2, atau Jerman 2,9 kWh/m2. (Globalsolaratlas, 2021) Walaupun
potensi yang dimiliki besar, pada tahun 2019 kapasitas Solar PV di Indonesia baru
mencapai 0,23 GW. (Kementerian ESDM, 2020)

Sejalan dengan kebutuhan akan peningkatan kapasitas produksi bauran energi


terbarukan yang sangat tinggi, rencana pemindahan IKN juga mengusung misi untuk
Pengembangan Industri Perakitan Solar PV.

Kebijakan pemindahan IKN yang telah ditetapkan secara resmi sebagai salah satu agenda
proyek prioritas strategis nasional tertuang di dalam RPJMN 2020-2024. Kebijakan ini
memberikan manfaat diantaranya:

1 Memberikan akses yang lebih merata bagi seluruh wilayah NKRI;


2 Mendorong pemerataan pembangunan ke luar Jawa;
3 Reorientasi pembangunan dari Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris;
4 Membangun kota percontohan yang sustainable, kota masa depan yang the best on
earth.

4
Dalam persiapannya, pemindahan IKN membutuhkan arahan kebijakan yang tertuang
dalam bentuk Superhub IKN Sektor Ekonomi (IKN economic Superhub). Superhub IKN
Sektor Ekonomi dirancang untuk menjawab berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi
oleh Indonesia melalui strategi ekonomi dan ekosistem relevan, yang dalam
penerapannya beroperasi pada tiga tingkatan saling bersilangan (domestik, global, dan
universal) yang dirangkum dalam visi Reimagined Indonesia: Locally Integrated, Globally
Connected dan Universally Inspired.

Visi Superhub IKN Sektor Ekonomi akan dikembangkan dalam 6 klaster ekonomi yang
strategis, resilien dan inovatif, yaitu:

1 Klaster Industri Teknologi Bersih;


2 Klaster Farmasi Terintegrasi;
3 Klaster Industri Pertanian Berkelanjutan;
4 Klaster Ekowisata;
5 Klaster Kimia dan produk turunan kimia;
6 Klaster Energi Rendah karbon.

Selanjutnya 6 klaster ekonomi ini diperkuat dengan 2 klaster pemampu (enabler), yaitu:
Klaster Pendidikan abad ke 21 serta Smart City dan Pusat Industri 4.0.

Dalam hal pengembangan Klaster Industri Teknologi Bersih, ditekankan untuk


membangun industri teknologi yang terselenggara secara berkelanjutan dalam hal
mobilitas, utilitas, serta lingkungan lebih bersih. Salah satunya adalah Industri Perakitan
Solar PV.

Jika dilihat dari rencana penyediaan infrastruktur listrik Distamben Kaltim, pembangunan
PLTA Babang Kutai Kertanegara akan menjadi salah satu pemasok kebutuhan listrik yang
bersumber dari energi terbarukan.

Kajian dari Kementerian ESDM juga menunjukkan adanya potensi PLTA lain sebesar 9,2
MW di Penajam Paser Utara (PPU) dan PLT Panas Bumi sebesar 17 MW di Kutai
Kertanegara (Kukar). Sebagai wilayah operasional agroindustri yang cukup besar,

5
biomassa yang berasal dari limbah sawit (tandan kosong) pun berpotensi menjadi sumber
energi terbarukan lain. Besar potensinya mencapai 3,3 MW di PPU dan 6,7 MW di Kukar.

Potensi energi surya di kedua daerah ini juga cukup besar. Perhitungan yang dilakukan
IESR untuk potensi Solar PV di bangunan perumahan mencapai 218,7 MWp. Jika total
supply energi listrik dari semua sumber potensi energi terbarukan diakumulasi, jumlah
energi listrik yang dapat dihasilkan adalah sebesar 1.707,6 GWh (akumulasi 1 tahun).

Tantangan untuk mengemban misi mencapai 100% suplai listrik mandiri dari sumber
energi terbarukan dalam hitungan tersebut masih kurang, selisih kebutuhan energi dapat
dipenuhi dengan pembangkit listrik energi terbarukan skala besar.

Kapasitas permintaan puncak Solar PV tahunan IKN diproyeksikan meningkat dari 1.2 GW
pada tahun 2025 menjadi sekitar 4.5 GW pada tahun 2045. Sementara hidrogen dan
baterai akan berfungsi sebagai sumber cadangan sekunder. Berdasarkan perhitungan,
pembangunan Industri Perakitan Solar PV layak secara ekonomi jika kapasitas minimum
produksinya mencapai 300 – 500 MW pertahun.

Melihat dari potensi dan tantangan yang telah diuraikan diatas, pengembangan Industri
Perakitan Solar PV yang menjadi bagian dari Klaster Indutri Teknologi Bersih dalam
rencana aksi Superhub IKN Sektor Ekonomi perlu dikaji lebih dalam. Upaya untuk
menciptakan wilayah industri teknologi yang terselenggara secara berkelanjutan dalam
hal mobilitas, utilitas, serta lingkungan lebih bersih tetap perlu mempertimbangkan
segala aspek agar penerapannya dapat berjalan sesuai harapan dan menarik para investor
untuk ikut berkontribusi dalam pengembangan industri. Karena itu diperlukan dokumen
analisis dalam bentuk Outline Business Case Industri Perakitan Solar PV sebagai rujukan
hasil analisis dan bahan interaksi dengan calon investor.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan ini adalah membuat analisis pembangunan Industri Perakitan Solar
PV sesuai konsep yang tercantum dalam Masterplan IKN sebagai wujud keberlanjutan
aksi pengembangan Superhub IKN Sektor Ekonomi dalam bentuk dokumen detail Outline
Business Case sebagai dokumen penawaran investasi industri.
6
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah

a. Menyusun analisis dan rancangan detail kelayakan ekonomi dan finansial


pengembangan Klaster Industri Teknologi Bersih yang menjadi satu kesatuan dalam
Superhub IKN Sektor Ekonomi pada periode 2025-2035 dalam bentuk Outline
Business Case (OBC) untuk sektor prioritas Industri Perakitan Solar PV;
b. Menyusun ringkasan analisis ekonomi dan finansial Industri Perakitan Solar PV.
c. Membuat rekomendasi spesifik berbagai aspek dalam pengembangan Industri
Perakitan Solar PV.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang Lingkup kegiatan ini meliputi:

a. Mengumpulkan berbagai data dan informasi terkait isu yang berhubungan dengan
Industri Perakitan Solar PV berupa data sekunder, data primer, maupun informasi
dari kegiatan seminar dan Focus Group Discussion (FGD).
b. Menyusun analisis dan rancangan detail kelayakan ekonomi dan finansial
pengembangan Industri Perakitan Solar PV yang memuat:
- Kajian hukum dan kelembagaan;
- Kajian teknis;
- Kajian komersial;
- Kajian ekonomi, sosial, dan lingkungan;
- Kajian bentuk kerja sama;
- Rekomendasi dukungan pemerintah;
- Rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti.
c. Menyusun analisis dan rancangan ringkas kelayakan ekonomi dan finansial Industri
Perakitan Solar PV.

1.4 Luaran Kegiatan

Luaran dari Kegiatan ini berupa:

7
1. Dokumen Outline Business Case yang berisikan rencana detail pengembangan
Industri Perakitan Solar PV serta memberikan rekomendasi kebijakan pada sektor
tersebut meliputi:
- Rekomendasi kebijakan bidang regulasi
- Rekomendasi kebijakan bidang sumber daya manusia
- Rekomendasi kebijakan bidang tenaga kerja
- Rekomendasi kebijakan bidang ekosistem penunjang (enabler)
2. Dokumen ringkasan analisis ekonomi dan finansial Industri Perakitan Solar PV.

1.5 Lokasi

Industri Perakitan Solar PV akan berlokasi di Muara Jawa. Pemilihan lokasi tersebut sesuai
arahan dari Master Plan IKN.

1.6 Gambaran Wilayah

Muara Jawa merupakan sebuah kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Kecamatan Muara Jawa terletak antara 116º59' BT – 117º24' BT dan 0º43' LS – 0º55' LS
dengan luas wilayah mencapai 754,5 km2. Secara administratif, kecamatan ini terbagi
dalam 8 kelurahan dengan jumlah penduduk mencapai 22.260 jiwa (2005).

Kecamatan Muara Jawa juga merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya
alam. Disamping memiliki deposit batubara yang melimpah, Kecamatan Muara Jawa juga
merupakan penghasil minyak bumi dan gas alam (migas).

Pada sisi energi, khususnya terkait ketenagalistrikan, semua desa/kelurahan di Muara


Jawa telah dialiri listrik.

8
BAB 2 KAJIAN HUKUM DAN KELEMBAGAAN
2.1 Asumsi dan Kualifikasi

Laporan ini tunduk pada asumsi dan kualifikasi sebagai berikut:

a. Informasi yang diberikan kepada kami (termasuk tetapi tidak terbatas pada
pernyataan fakta yang dibuat dalam keputusan menteri, peraturan atau
administrasi, keputusan atau pernyataan) adalah akurat, lengkap dan tidak
menyesatkan ketika diberikan dan tetap demikian;
b. Semua informasi yang diberikan kepada kami selama setiap pertemuan
konsultasi/diskusi yang dijelaskan dalam Laporan adalah akurat, lengkap dan tidak
menyesatkan ketika diberikan dan tetap demikian;
c. Setiap salinan dari dokumen yang dieksekusi yang diberikan atau ditunjukkan
kepada kami sesuai dengan aslinya dan bahwa aslinya lengkap dan setiap tanda
tangan dan meterai atau stempel asli;
d. Setiap dokumen yang dieksekusi yang diberikan kepada kami memiliki kekuatan
penuh dan belum diakhiri atau diamandemen (selain dari yang tampak jelas pada
wajah dokumen) dan tidak ada kewajiban berdasarkan dokumen yang telah
dihapuskan;
e. Dokumen perencanaan publik yang telah disediakan atau disajikan kepada kami
tanpa bukti persetujuan peraturan atau administrasi yang sama adalah dalam
bentuk yang disetujui;
f. Tidak ada pertanggungjawaban atas informasi tertulis atau tidak tertulis dan /
atau dokumen lain yang belum disampaikan / disampaikan kepada kami, termasuk
kebijakan atau panduan pemerintah yang belum tersedia untuk umum, yang
dapat mempengaruhi analisis hukum dalam Laporan ini;
g. Analisis hukum dan peraturan yang disediakan dalam Laporan ini adalah hukum
Indonesia yang berlaku pada tanggal penerbitan Laporan ini, dan kami tidak
memiliki kualifikasi untuk memberi nasihat selain hukum Indonesia; dan
h. Tidak ada dalam Laporan ini yang mencerminkan analisis hukum dari masalah
pajak atau persyaratan asuransi, atau harus ditafsirkan sebagai nasihat tentang
masalah bisnis atau komersial.

9
2.2 Kajian Kepatuhan

2.2.1 Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22


Tahun 2017 tentang REUN, bahwa REUN adalah kebijakan pemerintah pusat mengenai
rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang merupakan penjabaran dan rencana
pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang bersifat lintas sektor untuk mencapai
sasaran Kebijakan Energi Nasional. RUEN disusun oleh Pemerintah Pusat dan ditetapkan
oleh Dewan Energi Nasional untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050, yang mana
diantaranya memuat mengenai visi, misi, tujuan dan sasaran energi nasional serta
kebijakan dan strategi pengelolaan energi nasional.

Salah satu sasaran dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan energi nasional
sebagaimana tercantum dalam KEN adalah tercapainya bauran energi primer yang
optimal:

a) EBT paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050.
b) Minyak bumi kurang dari 25% pada tahun 2025 dan kurang dari 20% pada tahun
2050.
c) Batubara minimal 30% pada tahun 2025 dan minimal 25% pada tahun 2050.
d) Gas Bumi minimal 22% pada tahun 2025 dan minimal 24% pada tahun 2050.

Adapun acuan indikasi rencana pengembangan surya untuk provinsi Kalimantan Timur
berdasarkan konsumsi listrik provinsi per kapita dan ketersediaan potensi surya sebagai
berikut (Dalam satuan MW) :

Tabel 2.1 Kapasitas PLTS Terpasang

Total Kapasitas Terpasang per Tahun (MW)

2021 2022 2023 2024 2025

56,1 89,3 132,5 178,9 232,1

10
2.2.2 Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)

Dalam hal ini RUPTL dilakukan oleh PT PLN (Persero) yang selanjutnya disebut PLN saja.
RUPTL adalah rencana pengadaan tenaga listrik meliputi bidang pembangkitan, transmisi,
distribusi, dan/atau penjualan tenaga listrik kepada konsumen dalam suatu Wilayah
Usaha. RUPTL digunakan oleh pemegang Wilayah Usaha sebagai dasar:

a. Pelaksanaan kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum;


b. Pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan tenaga listrik dengan pemegang
IUPTLU lainnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 118.K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik PLN Tahun 2021 Sampai Dengan Tahun 2030, RUPTL PLN tahun 2021
sampai dengan tahun 2030 diantaranya memuat mengenai target bauran energi
pembangkitan mulai akhir tahun 2025, dengan rincian:

1) Batubara sebesar 48% (empat puluh delapan persen);

2) Energi baru dan energi terbarukan sebesar 23% (dua puluh tiga persen);

3) Gas bumi sebesar 31% (tiga puluh satu persen); dan

4) Bahan bakar minyak sebesar 0,4% (nol koma empat persen).

Proyek pembangunan Industri Perakitan Solar PV di IKN bersesuaian dengan RUPTL


mengenai rencana implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (Solar PV
Rooftop) sehubungan dengan strategi pengembangan sistem distribusi. Solar PV Rooftop
merupakan pengembangan sistem ketenagalistrikan secara terdistribusi. Pemanfaatan
energi matahari di sisi pelanggan dapat dilakukan dan umumnya paralel dengan sistem
kelistrikan dari utilitas terkait.

Selain itu, dengan adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49
Tahun 2018 yang terkait Penggunaan Solar PV Rooftop oleh konsumen PLN, membuka
peluang bagi pelanggan PLN untuk membangun Solar PV Rooftop pada atap
bangunannya. Dukungan PLN atas pengembangan Solar PV Rooftop antara lain
mendukung Solar PV Rooftop dengan menyediakan fasilitas paralel, membuat sistem
11
pembayaran untuk mengakomodasi export-import offset dan memberi credit deposit dari
konsumen Solar PV, menyediakan reserve margin yang cukup dan tepat untuk
mengimbangi intermitten Solar PV dan tetap menjaga keandalan dan kualitas konsumen
Solar PV Rooftop dan lingkungannya dengan memelihara keseimbangan suplai lokal dan
demand.

Namun saat ini Permen ESDM 49/2018 telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2019, yang kedua peraturan tersebut sudah
dicabut.

Selanjutnya, sebagaimana disebutkan dalam RUPTL, PLN merencanakan pengembangan


Energi Baru dan erbarukan (EBT) yang diantaranya mencakup EBT skala kecil tersebar
berupa PLTS. Rencana pengembangan pembangkit EBT mencakup PLTS dengan kapasitas
sebagai berikut:

Tabel 2.2 Rencana Pembangunan PLTS Sesuai RUPTL 2021 - 2030

Pembangkit
Kapasitas 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 Jumlah
EBT

PLTS MWp 45 959 315 217 460 17 12 25 32 18 2100

Rencana pemasangan PLTS di Indonesia mulai tahun 2022 akan meningkat tajam sampai
dengan tahun 2025. Hal ini tentunya perlu didukung dengan tersedianya komponen Solar
PV dan bahan baku lainnya seperti kabel, konektor, inverter, transformator dan
mounting.

Demikian pula dengan rencana pengembangan pembangkit EBT diatas, program PLTS
1000 pulau/lokasi merupakan program pengembangan Solar PV oleh PLN disiapkan
melalui program pembangunan di lokasi/pulau yang memiliki kendala ekspansi/akses
jaringan dan kesulitan transportasi. Lokasi ini pada umumnya berada di wilayah/pulau
kecil yang terluar maupun yang terisolasi.

12
2.2.3 Kesesuaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah

A. Kesesuaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

Pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 berisi tentang Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Pada Undang-Undang tersebut
mendefinisikan RPJPN 2005 – 2025 sebagai dokumen perencanaan pembangunan
nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan
tahun 2025.

Termasuk dalam Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 adalah


mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari. Untuk mewujudkan Indonesia yang maju,
mandiri, dan adil, sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dikelola secara
seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-
prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi
prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.

Mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari diantaranya dengan mendayagunakan


sumber daya alam yang terbarukan dan mengendalikan pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Sumber daya alam terbarukan, baik di darat dan di laut, harus dikelola dan
dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien, dan bertanggung jawab dengan
mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Pembangunan ekonomi
diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan yang ramah lingkungan sehingga tidak
mempercepat terjadinya degradasi dan pencemaran lingkungan.

B. Kesesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, salah satu
hal yang dipertimbangkan dalam identifikasi penyediaan infrastruktur adalah kesesuaian
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah adalah dokumen perencanaan untuk periode 5


(lima) tahun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah terdiri dari:
13
1. RPJMN
RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,
kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga,
kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam
rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.

Saat ini RPJMN diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Berdasarkan pada Lampiran
RPJMN 2020-2024, pembangunan Industri Perakitan Solar PV belum termasuk dalam
Daftar Proyek Prioritas Strategis. Meskipun begitu, salah satu proyek yang termasuk
dalam Daftar Proyek Prioritas Strategis adalah Pembangkit Listrik 27.000 MW, Transmisi
19.000 KMS dan Gardu Induk 38.000 MVA. Proyek ini memiliki beberapa manfaat yaitu:
mendukung target EBT pada bauran energi primer pada akhir tahun 2024 sebesar 19,5%
dan penurunan Emisi CO2 Pembangkit sebesar 6,07 juta ton CO2 pada 2024.

Sehubungan dengan hal ini, tenaga surya merupakan salah satu dari EBT, oleh karena itu
Solar PV merupakan salah satu kegiatan usaha yang dapat mendukung pemenuhan
proyek prioritas strategis.

2. RPJMD
RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang
penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) dan memperhatikan RPJMN, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi
pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), lintas SKPD, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja
dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Rancangan RPJMN dan rancangan RPJMD menjadi bahan bagi Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Jangka Menengah. Musrenbang Jangka Menengah Daerah
dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. RPJMD
14
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala
Daerah dilantik.

Rencana Pembangunan Provinsi Kalimantan Timur yang ditetapkan melalui Peraturan


Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2023 menyebutkan
bahwa salah satu misi pembangunan adalah berdaulat dalam pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan. Sehubungan dengan misi pembangunan ini, salah satu tujuan
yang telah ditetapkan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang salah satu
sasarannya adalah Menurunnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam hal ini proyek
Industri Perakitan Solar PV dapat membantu mencapai sasaran tersebut.

2.2.4 Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Pemerintah berpedoman pada rencana penataan ruang dalam merumuskan dokumen-


dokumen perencanaan nasional. Saat ini, ketentuan mengenai penataan ruang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana
diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagaimana
disebutkan dalam UU 26/2007, penataan ruang adalah suatu sistem perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang
diharapkan:
(i) Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta
mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan;
(ii) Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang;
(iii) Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.

Salah satu kegiatan yang termasuk dalam perencanaan KPBU adalah identifikasi dan
penetapan KPBU. Diantaranya, identifikasi penyediaan infrastruktur dilakukan dengan
mempertimbangkan mengenai kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah.

Adapun rencana umum tata ruang terdiri dari beberapa jenis dengan hierarki sebagai
berikut:

15
A. RTRW Nasional

RTRW Nasional menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang dan pengendalian


pemanfaatan ruang di wilayah nasional, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Jangka waktu RTRW
Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima
tahun). RTRW Nasional diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, persyaratan-
persyaratan yang lebih spesifik terkait perencanaan tata ruang dan wilayah pada wilayah
tertentu dimuat dalam setiap peraturan pemerintah daerah.

Adapun, RTRW Nasional dijabarkan secara lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana telah
diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017. Sebagaimana disebutkan
dalam peraturan pemerintah tersebut, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
Sebagai bagian dari kebijakan pengembangan struktur ruang, salah satu strategi yang
dicanangkan adalah meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi
terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem
penyediaan tenaga listrik.

B. RTRW Provinsi Kalimantan Timur

RTRW Provinsi menjadi acuan bagi instansi pemerintah daerah serta masyarakat untuk
mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan
yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu,
rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan
pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:

1) RTRW Nasional;
2) Pedoman bidang penataan ruang;
3) RPJPD.

Jangka waktu RTRW Provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun serta rencana tata ruang
wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Penetapan rancangan

16
peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci
tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri.

Saat ini, RTRW Provinsi Kalimantan Timur diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Kalimantan Timur Tahun 2016-2036. Sebagaimana diatur dalam Perda Kaltim 1/2016,
rencana struktur ruang wilayah provinsi mencakup sistem jaringan prasarana lainnya,
yang mana mencakup sistem jaringan energi.

Sistem jaringan energi dimaksudkan untuk menunjang penyediaan energi listrik dan
pemenuhan energi lainnya, terdiri atas:

a. Pembangkit tenaga listrik;


b. Gardu induk;
c. Jaringan transmisi tenaga listrik;
d. Jaringan pipa minyak dan gas bumi.

Pembangkit tenaga listrik diantaranya mencakup pembangunan, pengembangan dan


pemeliharaan pembangkit listrik serta pengembangan energi baru dan terbarukan.
Dalam hal ini maka Industri Perakitan Solar PV bersesuaian dengan rencana struktur
ruang wilayah provinsi sebagaimana dimuat dalam Perda Kaltim 1/2016. Selain itu
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1), rencana pola ruang untuk kawasan budidaya
mencakup kawasan peruntukan lainnya. Berhubungan dengan hal ini, berdasarkan Pasal
37, rencana kawasan peruntukan lainnya mencakup instalasi pembangkit energi listrik.

C. RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara

RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2013-2033 diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2013. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Perda
9/2013, kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten meliputi:

a. Pemantapan fungsi dan kedudukan Kabupaten dalam kawasan andalan;


b. Pengembangan pemanfaatan potensi tambang dan migas dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan;
c. Pengembangan dan optimalisasi kawasan peruntukan pertanian;
d. Pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan;
e. Pengembangan kegiatan perikanan;
17
f. Pengembangan pusat kegiatan yang terkendali dan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
g. Peningkatan pengelolaan kawasan lindung;
h. Pengoptimalan potensi lahan budidaya dan sumberdaya alam;
i. Pengembangan dan optimalisasi kawasan strategis sesuai penetapannya;
j. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1), sistem jaringan energi mencakup
pembangkit tenaga listrik. Namun dalam hal ini pembangkit listrik tenaga surya tidak
termasuk didalamnya. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27, kawasan budidaya
mencakup kawasan peruntukan perindustrian. Namun perakitan Solar PV tidak termasuk
dalam fokus perindustrian tersebut.

D. RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara

RTRW Kabupaten/Kota menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menetapkan


lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun
program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut
dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan
ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai
dengan RTRW Kabupaten/Kota.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada:


1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
2) pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
3) rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Jangka waktu RTRW Kabupaten/Kota adalah 20 (dua puluh) tahun serta rencana tata
ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten. Penetapan
rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang RTRW Kabupaten/Kota dan
rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari
menteri setelah mendapatkan rekomendasi gubernur.

Mengingat bahwa IKN berlokasi pada Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian
Kabupaten Kutai Kartanegara, maka RTRW yang harus diperhatikan adalah RTRW

18
Kabupaten Penajam Paser Utara dan RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara. RTRW
Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013-2033 diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 3 Tahun 2014. Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (2)
Perda 3/2014, kebijakan penataan ruang wilayah meliputi:
a. Pengembangan kawasan agribisnis berbasis potensi lokal;
b. Pengembangan industri lokal dan agroindustri yang berdaya saing dan berpotensi
yang berwawasan lingkungan;
c. Pengembangan perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek ekologis;
d. Pengembangan potensi pertambangan yang berlandaskan pada aspek keseimbangan
ekologis dan sosial budaya lingkungan sekitar
e. Pengembangan pengaturan resiko pada kawasan rawan bencana;
f. Pengembangan prasarana wilayah dan prasarana lingkungan; dan
g. Pengendalian secara ketat pada kawasan lindung dengan berbasis pembangunan
berkelanjutan.
h. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15, sistem jaringan energi mencakup pembangkit tenaga
listrik. Namun, pembangkit listrik tenaga surya tidak termasuk didalamnya.

2.3 Kajian Peraturan Perundang-undangan

2.3.1 Aspek Pendirian Badan Usaha

Apabila pengembangan proyek dilakukan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha (KPBU), aspek pendirian badan usaha merupakan salah satu aspek yang
perlu dikaji dalam rangka pendirian Badan Uaha Pelaksana (BUP). Sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2/2020, Pemenang lelang harus mendirikan BUP yang akan
menandatangani Perjanjian KPBU. BUP harus telah didirikan secara sah selambat-
19
lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya Surat Penetapan
Pemenang Lelang oleh PJPK. Perjanjian KPBU akan ditandatangani oleh PJPK dan Badan
Usaha Pelaksana, selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja setelah terbentuknya
Badan Usaha Pelaksana. Pendirian BUP dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
perundang-undangan negara Republik Indonesia, yang mana mengacu pada Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah oleh
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dan dicabut sebagian oleh Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 dan peraturan terkait lainnya.

Berikut merupakan beberapa hal mengenai pendirian BUP:

A. Maksud dan Tujuan BUP

Sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU 40/2007, perseroan harus mempunyai maksud


dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar BUP sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Jangka Waktu Berdirinya BUP

Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar perseroan.

C. Persyaratan Modal

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 Modal Dasar Perseroan
Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, Dan Pembubaran Perseroan Yang Memenuhi
Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil, Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan,
yang mana besaran modal dasar Perseroan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri
Perseroan.

Selanjutnya modal dasar perseroan harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit
25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
Perseroan yang melaksanakan kegiatan usaha tertentu, besaran minimum modal dasar
Perseroan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20
Sehubungan dengan proyek ini maka tidak terdapat ketentuan yang menyatakan
minimum modal tertentu untuk Industri Perakitan Solar PV.

D. Jumlah Minimal Pemegang Saham

Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 40/2007, Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang
atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Setiap pendiri
Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.

E. Pengalihan Saham BUP sebelum tanggal operasi komersial;

Dalam anggaran dasar Perseroan ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemindahan hak atas saham
dilakukan dengan akta pemindahan hak. Selanjutnya Direksi wajib mencatat pemindahan
hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang
saham atau daftar khusus dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham
kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak.

Selanjutnya berdasarkan Perpres 38/2015, Pengalihan saham BUP sebelum Penyediaan


Infrastruktur beroperasi secara komersial hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dan berdasarkan kriteria yang ditetapkan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.

Sehubungan dengan proyek ini, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha
swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga
listrik. Badan usaha milik negara diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum.

2.3.2 Aspek Penanaman Modal

Ketentuan mengenai Penanaman Modal dimuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun


2007 tentang Penanaman Modal sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penanaman modal didefinisikan sebagai segala bentuk

21
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam
modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Penanam
modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha
Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di
wilayah negara Republik Indonesia. Sementara itu, penanam modal asing adalah
perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

A. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Online Single Submission (OSS)

Berdasarkan Pasal 167 PP 5/2021, Pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik (Sistem OSS). Sistem OSS adalah sistem elektronik
terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diatur
penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko, dimana merupakan metode standar berdasarkan tingkat Risiko suatu kegiatan
usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan.

Berdasarkan Pasal 22 PP 5/2021, Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Pemerintah Pusat


dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat. Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh:
a. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS, yaitu lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal;
b. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;
c. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)
Provinsi atas nama gubernur;
d. Kepala DPMPTSP Kabupaten/Kota atas nama bupati/walikota;
e. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
f. Kepala Badan Pengusahaan KPBPB, sesuai dengan kewenangan masing-masing yang
tercantum dalam Lampiran I PP 5/2021.
22
Perizinan Berusaha sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah legalitas
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi:
a. Persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yaitu Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat
Risiko kegiatan usaha.

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan
peringkat skala kegiatan usaha meliputi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Penetapan tingkat Risiko dilakukan berdasarkan hasil analisis Risiko, yang mana tingkat
risiko menentukan jenis Perizinan Berusaha.

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi pengaturan:


a. Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), judul KBLI, ruang lingkup
kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa
berlaku dan kewenangan Perizinan Berusaha;
b. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
c. Pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
d. Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk.

Berdasarkan Pasal 10 PP 5/2021, kegiatan usaha berdasarkan penilaian tingkat bahaya,


penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat Risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan
usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi:
a. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah;
b. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah;
c. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi.

Perizinan Berusaha untuk berbagai tingkat risiko di atas antara lain:


a. Nomor Induk Berusaha (NIB), sebagaimana dalam Pasal 1 angka 12 PP 5/2021 adalah
bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan
sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya;

23
b. Sertifikat Standar, berdasarkan Pasal 1 angka 13 PP 5/2021 adalah pernyataan
dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha; dan/atau
c. Izin, berdasarkan Pasal 1 angka 14 PP 5/2021 adalah persetujuan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh
Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

Selanjutnya berdasarkan PP 5/2021, untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha,


Pelaku Usaha wajib memenuhi:
a. Persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko
kegiatan usaha. Diantaranya, penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko meliputi
sektor energi dan sumber daya mineral dan perindustrian. Lebih lanjut, perizinan
berusaha sektor energi dan sumber daya mineral meliputi subsektor ketenagalistrikan
dan energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.

Perizinan Berusaha pada subsektor ketenagalistrikan yang ditetapkan berdasarkan hasil


analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. Penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
b. Jasa penunjang tenaga listrik.

Perizinan Berusaha subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi yang
ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. Pengusahaan panas bumi; dan
b. Niaga bahan bakar nabati (biofuet) sebagai bahan bakar lain.

B. Penanaman Modal dan Ketentuan Kepemilikan oleh Asing

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 25/2007, penanaman modal asing wajib dalam bentuk
perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah
negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2021
Tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan

24
Fasilitas Penanaman Modal, badan usaha yang tergolong PMA dikategorikan sebagai
usaha besar dan wajib mengikuti ketentuan minimum nilai investasi, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan minimum nilai investasi bagi PMA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu total investasi lebih besar dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan per bidang
usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek.

Ketentuan total investasi dikecualikan untuk beberapa kegiatan usaha:


a. Khusus untuk kegiatan usaha perdagangan besar, lebih besar dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 4
(empat) digit awal KBLI;
b. Khusus untuk kegiatan usaha jasa makanan dan minuman, lebih besar dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 2
(dua) digit awal KBLI per satu titik lokasi;
c. Khusus untuk kegiatan usaha jasa konstruksi, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan dalam satu kegiatan, adalah per 4
(empat) digit awal KBLI;
d. Khusus untuk kegiatan usaha industri yang menghasilkan jenis produk dengan KBLI 5
(lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) lini produksi, lebih besar dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan.

Selanjutnya dalam Perka BKPM 4/2021 juga diatur mengenai ketentuan minimum
permodalan bagi PMA. Ketentuan minimum permodalan bagi PMA sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) merupakan modal ditempatkan/disetor paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.

Selain ketentuan nilai investasi dan permodalan, Pelaku Usaha juga harus
memperhatikan:
a. KBLI;
b. Bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas;
c. Bidang usaha dengan persyaratan tertentu;

25
d. Bidang usaha yang dialokasikan bagi koperasi dan UMKM dan bidang usaha yang
terbuka untuk usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan UMKM;
e. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal;
f. Bidang usaha khusus (single purpose dan single majority);
g. Peraturan perundang-undangan yang terkait.

Ketentuan mengenai bidang usaha diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun
2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Berdasarkan
Perpres 49/2021, semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali
Bidang Usaha:
a. Dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal;
b. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Bidang Usaha terbuka adalah Bidang Usaha yang bersifat komersial. Bidang Usaha yang
dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal adalah:
a. Bidang Usaha yang tidak dapat diusahakan sebagaimana Bidang Usaha yang
tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; dan
b. Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol (KBLI 11010), Industri Minuman
Mengandung Alkohol: Anggur (KBLI 11020), dan Industri Minuman Mengandung Malt
(KBLI 11031).

Penentuan kategori bidang usaha bergantung paa KBLI yang diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia. KBLI adalah mengklasifikasikan aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia
yang menghasilkan produk/output, baik berupa barang maupun jasa, berdasarkan
lapangan usaha yang digunakan sebagai acuan standar dan alat koordinasi, intergrasi,
serta sinkronisasi penyelenggaraan statistik.

Berkaitan dengan Proyek, terdapat beberapa nomor KBLI yang dapat digunakan, yaitu:

26
Tabel 2.3 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

No. KBLI Judul Uraian

1. 26120 Industri Semi Konduktor dan Kelompok ini mencakup pembuatan semi
Komponen Elektronik Lainnya konduktor dan komponen elektronik lainnya,
seperti transistor dan peralatan semi
konduktor yang sejenis, integrated circuits,
printed circuits, induktor, resistor, kapasitor
dan berbagai komponen elektronik lainnya.
Termasuk didalamnya adalah pembuatan sel
fotovoltaik.

4. 27900 Industri Peralatan Listrik Lainnya Diantaranya kelompok ini mencakup


pembuatan peralatan modul fotovoltaik (panel
surya).

7. 35111 Pembangkitan Tenaga Listrik Kelompok ini mencakup usaha memproduksi


tenaga listrik melalui pembangkitan tenaga
listrik yang menggunakan berbagai jenis
sumber energi. Diantaranya sumber energi
terbarukan seperti panas bumi, angin,
bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan
air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

8. 35114 Penjualan Tenaga Listrik Kelompok ini mencakup usaha penjualan


tenaga listrik kepada konsumen akhir.

9. 35115 Pembangkit, Transmisi, Distribusi Kelompok ini mencakup kegiatan


Dan Penjualan Tenaga Listrik memproduksi tenaga listrik, penyaluran
Dalam Satu Kesatuan Usaha tenaga listrik melalui jaringan transmisi dan
distribusi tenaga listrik, serta penjualan tenaga
listrik kepada konsumen akhir yang
dilaksanakan dalam satu kesatuan usaha.

10. 35116 Pembangkit, Transmisi, Dan Kelompok ini mencakup kegiatan


Penjualan Tenaga Listrik Dalam memproduksi tenaga listrik, penyaluran
Satu Kesatuan Usaha tenaga listrik melalui jaringan transmisi, dan
penjualan tenaga listrik kepada konsumen
akhir yang dilaksanakan dalam satu kesatuan
usaha.

11. 35117 Pembangkit, Distribusi, Dan Kelompok ini mencakup kegiatan


Penjualan Tenaga Listrik Dalam memproduksi tenaga listrik, penyaluran
Satu Kesatuan Usaha tenaga listrik melalui jaringan distribusi dan
penjualan tenaga listrik kepada konsumen
akhir yang dilaksanakan dalam satu kesatuan
usaha.

12. 35121 Pengoperasian Instalasi Kelompok ini mencakup usaha pengoperasian

27
No. KBLI Judul Uraian

Penyediaan Tenaga Listrik yang dilakukan oleh pihak lain atas fasilitas
pembangkit yang menghasilkan energi listrik,
fasilitas sistem transmisi tenaga listrik dan
sistem distribusi tenaga listrik.

13. 35122 Pengoperasian Instalasi Kelompok ini mencakup usaha pengoperasian


Pemanfaatan Tenaga Listrik yang dilakukan oleh pihak lain atas fasilitas
instalasi pemanfaatan tenaga listrik mencakup
instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan
tinggi, instalasi pemanfaatan tenaga listrik
tegangan menengah, dan instalasi
pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah.

Perpres 10/2021 tidak mengatur persyaratan tertentu mengenai kepemilikan modal oleh
asing untuk KBLI dan bidang usaha sebagaimana pada tabel di atas bukan merupakan
bidang usaha tertutup. Diantara KBLI diatas, yang termasuk dalam daftar bidang usaha
prioritas sebagaimana dimuat dalam Lampiran Perpres 10/2021 adalah:

Tabel 2.4 Bidang Usaha Prioritas sesuai Perpres 10/2021

No. KBLI Cakupan Produk

1. 26120 Semua cakupan produk yang termasuk dalam KBLI ini,


kecuali produk-produk yang telah masuk dalam cakupan
fasilitas pengurangan PPh badan sebagaimana diatur dengan
PMK Nomor 130/PMK.OrOl2O2O dan perubahannya

2.3.3 Aspek Persaingan Usaha

Persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Terdapat beberapa bentuk perjanjian yang dilarang dalam UU 5/1999 yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
yaitu:

28
A. Oligopoli

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa, dimana 2 (dua) atau lebih kelompok pelaku usaha menguasi lebih dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

B. Penetapan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian:


1) dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama. Namun, larangan tersebut tidak berlaku dalam hal suatu
perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan undang-
undang yang berlaku;
2) yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk harga dan/atau
jasa yang sama.
3) dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar;
4) dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaraan penerima barang dan/atau
jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang
diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan.

C. Pembagian wilayah

Pasal 9 UU 5/1999 melarang para pelaku usaha untuk membuat perjanjian dalam hal
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang atau jasa.

D. Pemboikotan

Pasal 10 UU 5/1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemboikotan


dengan cara menghalangi pelaku usaha lain di bidang usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri, atau menolak menjual setiap barang
dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut merugikan pelaku
29
usaha lain, atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

E. Kartel

Pasal 11 UU 5/1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dalam hal
pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa dengan tujuan
untuk mempengaruhi harga, sehingga mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

F. Trust

Pasal 12 UU 5/1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan yang lebih besar dengan tujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

G. Oligosopni

Pasal 13 UU 5/1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian


dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa
dalam pasar bersangkutan, dimana 2 (dua) atau lebih kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.

H. Integrasi vertikal

Pasal 14 UU 5/1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan


pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa terentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengelolah atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.

I. Perjanjian tertutup

Pasal 15 UU 5/1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain dimana pihak tersebut harus memasok atau tidak memasok, membeli atau
30
tidak membeli barang atau jasa tertentu dari pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.

J. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pasal 16 UU 5/1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian


dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

K. Monopoli

Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang atau jasa, dimana:
1) barang dan atau jasa tersebut belum ada substitusinya; atau
2) mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
3) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

L. Monopsoni

Pasal 19 UU 5/1999 melarang pelaku usaha untuk menguasai penerimaan pasokan


atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat, dimana 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.

M. Penguasaan pasar

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri atau
bersama-sama dengan pelaku usaha lain untuk:

1) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegaitan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

31
2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha denga pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3) membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
4) melakukan praktek diskiriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Selain itu, pelaku usaha dilarang memasok barang dan atau jasa dengan cara
menjual rugi atau dengan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan pelaku usaha pesaingnya dalam pasar yang sama.
Pasal 21 UU 5/1999 juga melarang pelaku usaha melakukan kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi atau biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen
harga barang dan atau jasa.

N. Persekongkolan

Pelaku usaha dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk:


1) mengatur dan atau menentukan pemenang tender;
2) mendapatkan infromasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai
rahasia perusahaan; atau
3) menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaingnya dengan maksud untuk menjadikan penurunan jumlah, kualitas,
maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Berdasarkan Pasal 50 UU 5/199, terdapat pengecualian terhadap UU 5/1999, dalam hal:

a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-


undangan yang berlaku;
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan;

32
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga
yang telah diperjanjikan;
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas;
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h. pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pelanggaran terhadap perjanjian atau kegiatan usaha yang dilarang dalam UU 5/1999
diatur dalam Pasal 47, dikenakan sanksi berupa tindakan administratif, yang dapat
berupa:

a. penetapan pembatalan perjanjian;


b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau
merugikan masyarakat;
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha atau
pengambilalihan saham yang mengakibatkan terjadinya praktik monopi dan/atau
persaingan usaha tidak sehat;
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
g. pengenaan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 51 UU 5/1999 mengecualikan bahwa monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang
berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dana atau jasa yang menguasai
hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

33
Sehubungan dengan proyek ini, dalam memenuhi kebutuhan energi di IKN, sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU 30/2009, badan usaha milik negara diberi prioritas
pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

2.3.4 Aspek Lingkungan

Dalam hal melakukan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan, terdapat aspek dalam
lingkungan hidup yang wajib dipenuhi berdasarkan dampak terhadap lingkungan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Nomor 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

a. Wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila setiap usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. AMDAL
adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta
termuat dalam Perizinan Berusaha, atau perseutjuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
(1) besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
(2) luas wilayah penyebaran dampak;
(3) intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
(4) banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
(5) sifat kumulatif dampak;
(6) berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
(7) kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL terdiri atas:

(1) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

34
(2) eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
(3) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
(4) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
(5) proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
(6) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
(7) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
(8) kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
(9) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.

Terdapat pengecualian kewajiban memiliki AMDAL sebagaimana dimaksud diatas


berdasarkan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bagi rencana
usaha dan/atau kegiatan yang:

(1) lokasi rencana usaha dan/atau kegiatannya berada pada kabupaten/kota yang
memiliki rencana detail tata ruang yang telah dilengkapi dengan kajian
lingkungan hidup strategis yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif
dan rinci sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) lokasi rencana usaha dan/atau kegiatannya berada pada kawasan hutan yang
telah memiliki rencana kelola hutan yang telah dilengkapi dengan kajian
lingkungan hidup strategis yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif
dan rinci sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang telah memiliki kebijakan,
rencana, dan/atau program berupa rencana induk yang telah dilengkapi dengan
kajian lingkungan hidup strategis yang dibuat dan dilaksanakan secara
35
komprehensif dan rinci sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
(4) rencana usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan di dalam dan/atau berbatasan
langsung dengan kawasan lindung yang dikecualikan antara lain:
(i) eksplorasi pertambangan, minyak dan gas bumi, dan panas bumi yang
tidak diikuti dengan usaha dan/atau kegiatan penduku yang
skala/besarannya wajib AMDAL;
(ii) penelitian dan pengembangan nonkomersial di bidang ilmu pengetahuan
yang tidak mengganggu fungsi kawasan lindung;
(iii) kegiatan yang menunjang/mendukung pelestarian kawasan lindung;
(iv) kegiatan yang terkait kepentingan pertahanan dan keamanan negara yang
tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup;
(v) kegiatan secara nyata tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan
hidup; dan/atau
(vi) budidaya yang diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap dan tidak
mempengaruhi fungsi lindung kawasan dan di bawah pengawasan ketat.
(5) merupakan kegiatan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang dilakukan
dalam rangka penelitian dan bukan untuk tujuan komersial;
(6) rencana usaha dan/atau kegiatan yang berada di dalam kawasan yang telah
dilengkapi dengan AMDAL kawasan dan Persetujuan lingkungan kawasan;
(7) rencana usaha dan/atau kegiatan yang berada di dalam kawasan yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, usaha dan/atau kegiatan di dalam
kawasan dipersyaratkan menyusun RKL-RPL rinci yang telah dilengkapi dengan
AMDAL kawasan dan Persetujuan Lingkungan kawasan;
(8) dilakukan dalam kondisi tanggap darurat bencana;
(9) dalam rangka pemulihan fungsi lingkungan hidup yang dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah di kawasan yang tidak dibebani Perizinan Berusaha;
dan/atau
(10) rencana usaha dan/atau kegiatan selain rencana usaha dan/atau kegiatan
yang besarannya wajib AMDAL, yang berbatasan langsung atau berada dalam
kawasan lindung, yang telah mendapatkan penetapan pengecualian wajib
36
AMDAL dari instansi yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap
pengelolaan kawasan lindung.

b. wajib memenuhi standar Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan


Lingkungan (UKL-UPL) dalam hal bagi setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup. UKL-UPL adalah rangkaian proses
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam dokumen
standar yang digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha,
atau perseutjuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Pemenuhan standar
UKL-UPL dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL antara lain:

1) jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki dampak penting;

2) jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang lokasi usaha dan/atau kegiatan
dilakukan di luar dan/atau tidak berbatasan langsung dengan kawasan lindung;

3) termasuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikecualikan dari wajib
AMDAL.

c. Wajib membuat Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan


Lingkungan Hidup (SPPL) yang diintegrasikan ke dalam Nomor Induk Berusaha, apabila
usaha dan/ atau kegiatan tidak wajib dilengkapi UKL-UPL.
Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan dilakukan terhadap kegiatan yang termasuk
dalam kategori berisiko rendah.

Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki SPPL antara lain:

1) jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki dampak penting dan
tidak wajib UKL-UPL;
2) merupakan usaha dan/atau kegiatan usaha mikro dan kecil yagn tidak memiliki
dampak penting terhadap lingkungan hidup; dan/atau
3) termasuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikecualikan dari wajib
UKL-UPL.

37
Dari penyusunan AMDAL dan uji kelayakan AMDAL atau penyusunan formulir UKL-UPL
dan pemeriksaan formulir UKL UPL, akan diterbitkan Persetujuan Lingkungan.

Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Hidup atau pernyataan


Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari
pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Persetujuan Lingkungan menjadi prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha atau


Persetujuan Pemerintah, yang masa berlakunya sama dengan Perizinan Berusaha atau
Persetujuan Pemerintah.

Daftar usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup.

Jenis usaha dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan proyek ini diatur dalam
Lampiran Permen LHK 4/2021 sebagai berikut:

Tabel 2.5 Jenis Usaha dan Besaran Amdal

KBLI Jenis Usaha Skala/ Skala/ Skala/ Alasan Ilmiah Kategori


Besaran Besaran Besaran AMDAL AMDAL/UKL
AMDAL UKL-UPL SPPL -UPL

26120 Industri semi Sesuai Sesuai Sesuai A. Berpotensi Kategori C


konduktor dan besaran di besaran di besaran di menyebabkan
komponen multisektor multisektor multisektor konflik sosial
elektronik
lainnya B. Menyebakan
pencemaran
udara,
penurunan
kualitas air
permukaan

35111, Pembangunan
35115, Pembangkit
35116,

38
KBLI Jenis Usaha Skala/ Skala/ Skala/ Alasan Ilmiah Kategori
Besaran Besaran Besaran AMDAL AMDAL/UKL
AMDAL UKL-UPL SPPL -UPL

35117 Listrik

PLTU, PLTG, ≥ 100 MW < 100 MW PLTD < 5 Berpotensi Kategori B


PLTGU, PLTD, (dalam satu (dalam satu MW menimbulkan
PLTDG, lokasi) lokasi) Untuk dampak pada:
PLTMG, PLTD : 5 - <
PLTMGU, 100 MW
IGCC, Marine
a. Aspek fisik
Vessel Power
kimia,
Plant, Mobile
terutama
Power Plant
pada kualitas
dan termasuk
udara (emisi
pembangkit
ambient dan
Hybrid EBT
kebisingan)
dan kualitas
air (ceceran
minyak
pelumas,
limbah
bahang) serta
air tanah.

b. aspek sosial,
ekonomi dan
budaya
terutama
pada
pembebasan
lahan dan
keresahan
masyarakat.

2.3.5 Aspek Keselamatan Kerja

Tenaga kerja memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja diatur dalam Undang-Udang Nomor 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja. Kewajiban dan/atau hak dari pekerja terkait dengan
keselamatan kerja yang meliputi:

39
a. memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja;
b. memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. memenuhi dan menaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang
diwajibkan;
d. meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan
yang diwajibkan;
e. menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan
kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya
kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-
batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.

Pengurus selaku pimpinan langsung tempat kerja memiliki kewajiban sebagai berikut:

a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat
keselamatan kerja yang diwajibkan, sesuai dengan UU 1/1970 dan semua peraturan
pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-
tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli kesehatan kerja;
b. memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja
yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja;
c. menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada
tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang
lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

Lebih lanjut, setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan cara menyelenggarakan upaya
keselamatan dan kesehatan kerja seperti pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan
rehabilitasi. Untuk memastikan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja

40
tersebut, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem perusahaan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, setiap perusahaan wajib menerapkan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di perusahaannya. Lebih
lanjut, aturan ini menjelaskan bahwa kewajiban tersebut berlaku untuk perusahaan yang
mempekerjakan minimal 100 (seratus) orang atau memiliki potensi bahaya yang tinggi.
SMK3 yang dimaksud meliputi:
a. penetapan kebijakan K3;
b. perencanaan K3;
c. pelaksanaan rencana K3;
d. pemantauan dan evaluasi kinerja K3; dan
e. peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3. Pelaksanaan SMK3 mengacu pada PP
50/2012.
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan penerapan SMK3, dilakukan penilaian
penerapan SMK3 melalui audit eksternal SMK3 oleh lembaga audit SMK3 yang ditunjuk
oleh menteri. Penilaian penerapan SMK3 tersebut dilakukan terhadap:
a. perusahaan yang secara sukarela mengajukan permohonan audit SMK3;
b. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi antara lain perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan, minyak, dan gas bumi; dan atau
c. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi berdasarkan penetapan
direktur jenderal dan/atau kepala dinas provinsi. Penetapan ini didasarkan pada
hasil pemeriksaan dan pengujian di perusahaan oleh pengawas ketenagakerjaan.

Sehubungan dengan proyek ini, UU 1/1970 menyebutkan bahwa diantaranya undang-


undang ini mengatur keselamatan kerja dalam tempat kerja dimana dibangkitkan, diubah,
dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
Selanjutnya, dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja
diantaranya untuk mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.

41
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2015 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja sebagaimana diubah dengan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja, pengusaha dan/atau Pengurus wajib
melaksanakan K3 listrik di tempat kerja. Pelaksanaan K3 listrik merupakan pelaksanaan
persyaratan K3 yang meliputi:

a. perencanaan, pemasangan, penggunaan, perubahan, pemeliharaan;


b. pemeriksaan dan pengujian.

Persyaratan K3 dilaksanakan pada kegiatan:

a. pembangkitan listrik;
b. transmisi listrik;
c. distribusi listrik; dan
d. pemanfaatan listrik;

yang beroperasi dengan tegangan lebih dari 50 (lima puluh) volt arus bolak balik atau 120
(seratus dua puluh) volt arus searah.

2.3.6 Aspek Pengadaan Tanah

Salah satu tujuan penyelenggaraan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Cipta Kerja adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.
Berdasarkan Pasal 6 UU 11/2020, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
meliputi:

a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko


b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Lebih lanjut, penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha meliputi:


a. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR);
b. persetujuan lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.
42
KKPR merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR). Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR
dalam bentuk digital dan sesuai standar. Penyediaan RDTR dalam bentuk digital dilakukan
sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk
mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya
dengan RDTR. Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital ke
dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan
informasi rencana lokasi kegiatan usahanya telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha
mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik dengan mengisi koordinat
lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang. Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Pelaku
Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha.

Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR, Pelaku Usaha
mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara
elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat
memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang. Rencana tata ruang terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
d. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

KKPR diatur secara lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021.
Berdasarkan PP 21/2021, Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui:

a. pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan


b. pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang.

Pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang terdiri atas:


43
a. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha;
b. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha; dan
c. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan yang bersifat strategis
nasional.

Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang diterbitkan oleh Menteri. Lebih lanjut,


Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan
oleh Menteri. Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang dapat berupa keputusan:

a. disetujui; atau
b. ditolak dengan disertai alasan penolakan.

A. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Untuk Kegiatan Berusaha

Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha diperoleh


melalui OSS. Setelah memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, Pelaku
Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pelaku Usaha dapat melaksanakan kegiatan
Pemanfaatan Ruang setelah memperoleh Perizinan Berusaha. Lebih lanjut, Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha meliputi:

a. kegiatan berusaha untuk non-UMK; dan


b. kegiatan berusaha untuk UMK.

Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha


dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan:

a. pendaftaran;
b. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan
c. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Selanjutnya, Pendaftaran paling sedikit dilengkapi dengan:

a. koordinat lokasi;
b. kebutuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. informasi penguasaan tanah;
44
d. informasi jenis usaha;
e. rencana jumlah lantai bangunan; dan
f. rencana luas lantai bangunan.

Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang paling sedikit memuat:


a. lokasi kegiatan;
b. jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. koefisien dasar bangunan;
d. koefisien lantai bangunan;
e. ketentuan tata bangunan; dan
f. persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Jangka waktu penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk


kegiatan berusaha paling lama 1 (satu) Hari sejak pendaftaran atau pembayaran
penerimaan negara bukan pajak.

B. Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Berdasarkan PP 21/2021, Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah
usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah sebagaimana diubah oleh Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan
tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah
lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap
sektor usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang


Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikelompokkan berdasarkan kriteria
modal usaha atau hasil penjualan tahunan. Kriteria modal usaha tersebut digunakan
untuk pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha.
45
Kriteria modal usaha terdiri atas:

a. Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
b. Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; dan
c. Usaha Menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Dalam hal pelaku usaha telah melaksanakan kegiatan usaha sebelum Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan
diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memenuhi kriteria hasil
penjualan tahunan.

Kriteria hasil penjualan tahunan terdiri atas:

a. Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan Paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
b. Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) sampai dengan Paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah); dan
c. Usaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).

Untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan,
kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai
investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau
penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.

46
C. Pembangunan Industri Perakitan Solar PV

Dalam penahapan pengembangan industri teknologi bersih manufaktur Solar PV,


dicanangkan untuk menarik minat pelaku industri pelopor internasional untuk
membangun pabrik perakitan Solar PV. Apabila dilihat dalam ketentuan Perka BKPM
4/2021, badan usaha yang tergolong PMA dikategorikan sebagai usaha besar dan wajib
mengikuti ketentuan minimum nilai investasi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan. Ketentuan minimum nilai investasi bagi PMA yaitu total investasi
lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan
per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek. Dengan mempertimbangkan hal ini,
maka modal yang dibutuhkan untuk pembangunan pabrik perakitan Solar PV melebihi
kriteria usaha UMK.

Sebagaimana diatur dalam PP 21/2021, Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan


Ruang untuk kegiatan berusaha non-UMK dilakukan melalui:

a. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; atau


b. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang diberikan berdasarkan kesesuaian


rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR. Persetujuan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha diberikan dalam hal belum
tersedia RDTR di lokasi rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha


dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan:

a. pendaftaran;
b. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terharlap RTR, RZ KSNT, dan
RZ KAW; dan
c. penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha diberikan


tanpa melalui tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk
permohonan yang berlokasi di:
47
a. kawasan industri dan kawasan pariwisata yang telah memiliki Perizinan Berusaha
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. kawasan ekonomi khusus yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

Pendaftaran paling sedikit dilengkapi dengan:

a. koordinat lokasi;
b. kebutuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. informasi penguasaan tanah;
d. informasi jenis usaha;
e. rencana jumlah lantai bangunan;
f. rencana luas lantai bangunan; dan
g. rencana teknis bangunan dan/atau rencana induk kawasan.

Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha diberikan


setelah dilakukan kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer
berdasarkan:

a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;


b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. RTR KSN;
d. RZ KSNT;
e. RZ KAW;
f. RTR pulau/kepulauan; dan/ atau
g. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha diberikan


dengan memperhatikan pertimbangan teknis pertanahan. Pertimbangan teknis
pertanahan terkait lokasi usaha dilaksanakan oleh kantor pertanahan. Selanjutnya Kantor
pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan paling lama 10 (sepuluh)
Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak.
Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka
waktu tersebut, kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan
48
teknis. Berdasarkan kajian dan pertimbangan teknis pertanahan, Menteri menerbitkan
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, paling sedikit memuat:

a. lokasi kegiatan;
b. jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang;
c. koefisien dasar bangunan;
d. koefisien lantai bangunan;
e. indikasi program Pemanfaatan Ruang; dan
f. persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

2.3.7 Aspek Pembiayaan

Sumber pembiayaan dapat berasal dari:

A. Pembiayaan dari Sumber Pendanaan Domestik

Industri Perakitan Solar PV dapat memperoleh pembiayaan melalui pinjaman yang


diberikan oleh bank domestik yang menawarkan pinjaman dan pembiayaan. Berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 32/POJK.03/2018 tahun
2018 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit dan Penyediaan Dasna Besar Bagi Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik
Indonesia Nomor 38/POJK.03/2019 Tahun 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai
lembaga regulator dan pengawas sektor jasa keuangan mengatur mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk Bank Umum domestik.

BMPK adalah presentase maksimum penyediaan dana terhadap modal bank yang mana
penyediaan dana dapat berbentuk:

1) penempatan;
2) transaksi derivatif;
3) surat berharga;
4) surat berharga yagn dijual dengan janji dibeli kembali (repo);
5) tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo);

49
6) tagihan akseptasi;
7) kredit;
8) penyertaan modal;
9) penyertaan modal sementaral
10) transaksi rekening administratif; dan
11) bentuk penyediaan dana lain yang dapat dipersamakan dengan nomor 1) sampai
dengan nomor 10) di atas.

BMPK untuk Penerima Pinjaman Terafiliasi

Berdasarkan Pasal 5 POJK 32/2018, BMPK untuk penerima pinjaman terafiliasi dengan
bank yang bersangkutan secara keseluruhan adalah maksimum 10% (sepuluh persen) dari
Modal Bank.

BMPK untuk Penerima Pinjaman selain Terafiliasi

Berdasarkan Pasal 16 POJK 32/2018, BMPK untuk penerima pinjaman selain terafiliasi
dengan bank yang bersangkutan secara keseluruhan adalah maksimum 25% (dua puluh
lima persen) dari Modal Bank.

BMPK untuk Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”)

Berdasarkan Pasal 39 POJK 32/2018, BMPK untuk BUMN dengan bank yang bersangkutan
secara keseluruhan adalah maksimum 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank.

B. Pembiayaan dari Luar Negeri

Untuk proyek dengan total biaya yang besar pada umumnya memerlukan pembiayaan
dari bank asing. Sebagai penerima pinjaman, Industri Farmasi wajib mempersiapkan dan
menyerahkan laporan lalu lintas devisa mengenai pinjaman dari luar negeri yang
dilakukan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2/PBI/2019 tahun 2019 tentang Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa mengatur sebagai beriku:

1) Penduduk Indonesia yang didalamnya termasuk badan usaha bukan lembaga


keuangan wajib menyampakan laporan Lalu Lintas Devisa (LLD) kepada Bank
50
Indonesia yang meliputi data dan keterangan mengenai data pokok Utang Luar Negeri
(ULN) dan/atau Transaksi Partisipasi Risiko (TPR).
2) Laporan LLD meliputi data dan keterangan mengenai:
(a) Transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk
dengan bukan Penduduk;
(b) Data pokok ULN dan/atau TPR;
(c) Rencana penarikan dana dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR;
(d) Realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR;
(e) Posisi dan perubahan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN), Kewajiban Finansial Luar
Negeri (KFLN), dan/atau TPR; dan/atau
(f) Rencana ULN baru dan/atau perubahannya.

Pelapor wajib menyampaikan laporan LLD secara paling bulanan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya. Khusus untuk rencana ULN baru disampaika setiap awal tahun, paling
lambat tanggal 15 Maret, dan perubahan rencana ULN baru disampaikan paling lambat
tanggal 15 Juni.

Kewajiban Penggunaan Rupiah

Berdasarkan Pasal 21 UU 7/2011 tentang Mata Uang (“UU 7/2011’), mata uang Rupiah
wajib digunakan dalam:

1) Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;


2) Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
3) Transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Namun, kewajiban penggunaan Rupiah tidak berlaku bagi:

1) Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja


negara;
2) Penerimaan atau penerimaan hibah dari atau ke luar negeri;
3) Transaksi perdagangan internasional;
4) Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau

51
5) Transaksi pembiayaan internasional.

Selain itu, sesuai degnan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang
Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
kewajiban penggunaan rupiah juga dapat dikecualikan terhadap proyek infrastruktur
strategis serta telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.

2.3.8 Aspek Perizinan

A. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Berdasarkan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11
Tahun 2021 (“Permen ESDM 11/2021”), Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
kepentingan umum meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik.

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum wajib mendapatkan


Perizinan Berusaha sesuai dengan kegiatan usahanya. Perizinan Berusaha sesuai
dengan kegiatan usahanya meliputi:
a. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“IUPTLU”);
b. penetapan Wilayah Usaha;
c. pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“RUPTL”); dan
d. izin penjualan, izin pembelian, dan/atau izin interkoneksi jaringan tenaga listrik
lintas negara.

IUPTLU adalah izin untuk melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
kepentingan umum. IUPTLU wajib dimiliki oleh Badan Usaha yang menjalankan setiap
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum. Sebelum mendapatkan
IUPTLU, Badan Usaha yang menjalankan usaha:
a. distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik; atau

52
b. penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi, wajib mendapatkan penetapan
Wilayah Usaha dan pengesahan RUPTL.

Wilayah Usaha adalah wilayah yang ditetapkan menteri yang menyelenggarakan


urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagai tempat
badan usaha melakukan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik. Penetapan
Wilayah Usaha dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria:
a. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu menyediakan tenaga
listrik;
b. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu memenuhi tingkat mutu
dan keandalan;
c. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada mengembalikan sebagian atau seluruh
wilayah usahanya kepada Menteri;
d. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha belum terjangkau oleh
pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada; dan/atau
e. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha merupakan kawasan terpadu
yang mengelola sumber daya energi secara terintegrasi sesuai pola kebutuhan
listrik usahanya.

B. Sertifikat Laik Operasi

Sebagaimana dalam Pasal 15 Permen ESDM 26/2021, Sistem Solar PV dengan total
kapasitas:

a. Lebih dari 500 kW (lima ratus kilo watt) yang terhubung dalam 1 (satu) sistem instalasi
tenaga listrik; dan
b. Sampai dengan 500 kW (lima ratus kilo watt) dengan spesifikasi teknis kontrol panel
menjadi 1 (satu) bagian terpisahkan, wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO). SLO
adalah bukti pengakuan formal suatu instalasi tenaga listrik telah berfungsi
sebagaimana kesesuian persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan laik operasi.

53
C. Izin Usaha Industri

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 Tentang Izin Usaha Industri,
setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI). IUI adalah izin yang
diberikan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan usaha Industri. Berdasarkan
jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi, kegiatan usaha Industri diklasifikasikan
sebagai berikut:

a. Industri kecil;
b. Industri menengah; dan
c. Industri besar.

IUI meliputi:
a. IUI kecil untuk Industri kecil;
b. IUI menengah untuk Industri menengah; dan
c. IUI besar untuk Industri besar.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016


Tahun 2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi
Usaha Industri, Industri Kecil merupakan Industri yang mempekerjakan paling banyak 19
(sembilan belas) orang Tenaga Kerja dan memiliki Nilai Investasi kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha. Tanah dan bangunan tempat usaha tersebut merupakan tanah dan bangunan yang
lokasinya menjadi satu dengan lokasi tempat tinggal pemilik usaha.

Kemudian berdasarkan Pasal 4, Industri Menengah merupakan Industri yang memenuhi


ketentuan sebagai berikut:

a. mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan belas) orang Tenaga Kerja dan memiliki
Nilai Investasi paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); atau
b. mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh) orang Tenaga Kerja dan memiliki Nilai
Investasi paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

54
Selanjutnya berdasarkan Pasal 5, Industri Besar merupakan Industri yang mempekerjakan
paling sedikit 20 (dua puluh) orang Tenaga Kerja dan memiliki Nilai Investasi lebih dari
Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Selanjutnya, IUI paling sedikit memuat:

a. identitas perusahaan;
b. nomor pokok wajib pajak;
c. jumlah tenaga kerja;
d. nilai investasi;
e. luas lahan lokasi Industri;
f. kelompok Industri sesuai dengan KBLI; dan
g. kapasitas produksi terpasang untuk Industri yang menghasilkan barang atau kapasitas
jasa untuk Jasa Industri.

IUI diberikan kepada perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri, yang
mana perusahaan tersebut wajib berlokasi di Kawasan Industri. IUI dapat diberikan
kepada perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri dan berlokasi di luar
Kawasan Industri, dengan ketentuan:

a. berlokasi di daerah Kabupaten/Kota yang:


1. belum memiliki Kawasan Industri; atau
2. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan
Industrinya telah habis;
b. termasuk klasifikasi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
c. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya
memerlukan lokasi khusus.

2.3.9 Aspek Pajak

A. Pajak Penghasilan Badan (“PPh”)

Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan
55
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sehubungan dengan proyek
pembangunan pabrik Solar PV di IKN, badan usaha milik negara diberi prioritas pertama
melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Oleh karena itu
maka berdasarkan Pasal 2 UU 7/1983 maka badan usaha milik negara merupakan subjek
PPh.

B. Pajak Bea Masuk

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (“UU
10/1995”), barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai
barang impor dan terutang bea masuk. Yang dimaksud dengan Bea masuk adalah
pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang
diimpor. Lebih lanjut, barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-
tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk.

C. Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”)

Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

PPN dikenakan atas:

1) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
2) Impor barang kena pajak;
3) Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean;
5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
6) Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak;
7) Ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak; dan

56
8) Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Selanjutnya, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah


penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian, yang mana pengertian
perjanjian mencakup jual beli.

Mengenai Kewajiban Melaporkan Usaha dan Kewajiban Memungut, Menyetor dan


Melaporkan Pajak Yang Terutang diatur dalam Pasal 3A UU 8/1983. Sebagaimana diatur
dalam pasal tersebut, Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. Kewajiban ini tidak berlaku untuk
pengusaha kecil yaitu pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010
Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.

Sebagaimana dalam Pasal 7 UU 8/1983, Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen). Namun,
tarif PPN diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen) berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan.

Sehubungan dengan proyek ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun


2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat
Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Sebagaimana Diubah
Oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2020, listrik, termasuk biaya penyambungan
listrik dan biaya beban listrik, kecuali untuk rumah dengan daya di atas 6.600 (enam ribu
enam ratus) Voltase Amper, termasuk sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat
strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

57
2.3.10 Aspek Peraturan Terkait Lainnya

Dalam pembuatan laporan ini, kami meninjau peraturan terkait lainnya selain peraturan
terhadap aspek-aspek yang sudah diuraikan sebelumnya. Berikut merupakan daftar
peraturan terkait dalam penyelenggaraan manufaktur dan perakitan Solar PV di IKN,
yaitu:

1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 Tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga
Listrik
4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012
tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang
Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik sebagaimana diubah dengan
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun
2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang diubah
kedua kalinya dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10
Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik;
7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang
Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan
untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang diubah kedua kalinya dengan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan
58
Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun
2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga
Listrik
8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9 Tahun 2018 Tentang
Pencabutan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Terkait Kegiatan Di
Bidang Energi Baru, Terbarukan, Dan Konservasi Energi
9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik
Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.

A. Ketenagalistrikan

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang


Ketenagalistrikan sebagaimana diubah oleh UU 11/2020, ketenagalistrikan adalah segala
sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha
penunjang tenaga listrik. Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin
ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang
wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah sesuai
dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan,
dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah. Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat
dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

59
Usaha ketenagalistrikan terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik;


b. usaha penunjang tenaga listrik.

Usaha penyediaan tenaga listrik terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;


b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha:

a. pembangkitan tenaga listrik;


b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik.

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara
terintegrasi. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi
dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya
masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara
diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum.

Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan sebagaimana diubah oleh
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017, Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
yang selanjutnya disingkat PIK adalah kegiatan perencanaan, pengadaan, dan
pelaksanaan dalam rangka penyediaan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Pemerintah Pusat menugaskan PT PLN (Persero) untuk menyelenggarakan PIK.


Pembinaan teknis penyelenggaraan PIK oleh PT PLN (Persero) dilakukan oleh menteri

60
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pelaksanaan PIK oleh PT PLN (Persero) dilakukan melalui:

a. Swakelola; dan
b. kerja sama penyediaan tenaga listrik.

Pelaksanaan PIK oleh PLN melalui kerja sama penyediaan tenaga listrik dilakukan dengan
badan usaha penyedia tenaga listrik, yaitu:

a. anak perusahaan PLN; atau


b. Pengembang Pembangkit Listrik (PPL).

B. Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (Solar PV Rooftop)

Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Permen ESDM 26/2021, Sistem Pembangkit Listrik Tenaga
Surya Atap (Solar PV Rooftop) adalah proses pembangkitan tenaga listrik menggunakan
modul fotovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap, dinding atau bagian lain dari
bangunan milik pelanggan Solar PV serta menyalurkan energi listrik melalui sitem
sambungan listrik pelanggan Solar PV.

Sistem Solar PV dapat dilengkapi dengan baterai atau media penyimpanan energi listrik
lainnya dengan tetap memenuhi ketentuan ketenagalistrikan.

Sistem Solar PV yang instalasinya terpasang menyatu pada satu rumah atau bangunan
yang sama, digolongkan sebagai sistem pembangkit tenaga lsitrik yang dimiliki kontrol
panel yang tidak terpisahkan sesuai dengan diagram instalasi sistem Solar PV berikut ini:

61
Sumber:

Gambar 2.2 Penggunaan Solar PV tanpa Baterai

Sumber:

Gambar 2.3 Penggunaan Solar PV dengan Baterai

62
a. besaran daya terpasang Sistem Solar PV;
b. spesifikasi teknis peralatan yang akan dipasang; dan
c. diagram satu garis.

Sistem Solar PV yang akan dipasang oleh calon Pelanggan Solar PV:

a. Di wilayah usaha BUMN Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
Kepentingan Umum, kapasitasnya dibatasi paling tinggi 100% (seratus persen) dari
daya tersambung Pelanggan Solar PV;
b. Untuk Pemegang IUPLTU selain BUMN, kapasitas sistem Solar PV yang akan dipasang
dibatasi oleh sistem ketenagalistrikan setempat yang dideklarasikan oleh Pemegang
IUPTLU;

Kapasitas Sistem Solar PV ditentukan berdasarkan kapasitas total inverter dalam satuan
volt ampere (VA).

C. Pembangunan dan Pemasangan Solar PV

Berdasarkan Permen ESDM 26/2021, sebelum membangun dan memasang Sistem Solar
PV, Calon Pelanggan Solar PV harus mengajukan permohonan kepada Pemegang IUPTLU
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi (Ditjen EBTKE) dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan. Dalam hal calon pelanggan
Solar PV telah memiliki Perjanjian Jual Beli Listrk (PJBL) dengan Pemegang IUPTLU dan
memerlukan penyesuaian, permohonan berlaku sebagai permohonan penyesuaian PJBL.

Apabila pembangunan dan pemasangan Sistem Solar PV dengan total kapasitas lebih dari
500kW (lima ratus kilo watt) yang terhubung dalam 1 (satu) sistem instalasi tenaga listrik,
wajib memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. Izin
diberikan oleh Menteri ESDM atau gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang ketenagalistrikan.

Sesuai dengan Pasal 14 Permen ESDM 26/2021, sistem Solar PV hanya dapat dibangun
dan dipasang oleh Pelanggan Solar PV setelah mendapatkan persetujuan dari Pemegang
IUPTLU. Pelaksanaan pembangunan dan pemasangan wajib dilakukan oleh Badan Usaha
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.
63
Pemegang IUPTLU wajib menyediakan dan memasang Meter kWh Ekspor-Impor energi
listrik bagi pelanggan Solar PV yang telah memenuhi ketentuan wajib SLO, dengan biaya
penyediaan dan pemasangan ditanggung oleh Pelanggan Solar PV.

Sistem Solar PV yang dibangun dan dipasang oleh Pelanggan Solar PV tidak dikenai biaya
kapasitas (capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat (emergency energy
charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi paralel.

Dalam hal dipasang oleh Pelanggan Solar PV dari golongan tarif untuk keperluan industri,
dikenai biaya kapasitas (capacity charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi
paralel. Biaya kapasitas dibayarkan setiap bulan dan dihitung berdasarkan perhitungan
kapasitas total inverter satuan kilo Watt (kW) dikali waktu 5 (lima) jam dikali tarif tenaga
listrik.

D. Tingkat Komponen Dalam Negeri

Tingkat Komponen Dalam Negeri diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor 05/M-Ind/Per/2/2017 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 54/M-Ind/Per/3/2012 Tentang Pedoman Penggunaan
Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Yang
dimaksud dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut TKDN,
adalah besaran komponen dalam negeri yang merupakan gabungan barang dan jasa pada
suatu rangkaian barang dan jasa pada setiap pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan. Berdasarkan Pasal 11 Permenperin 05/2017, Besaran nilai TKDN Barang
dan Jasa untuk PLTS terdiri dari:

a. PLTS Tersebar Berdiri Sendiri;


b. PLTS Terpusat Berdiri Sendiri; dan
c. PLTS Terpusat Terhubung.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Permenperin 05/2017, PLTS Tersebar Berdiri
Sendiri terdiri dari:

64
a. komponen utama terdiri dari modul surya, baterai, battery control unit, penyangga
modul, kabel, dan aksesoris; dan
b. Jasa terdiri dari jasa pengiriman dan jasa pemasangan.

Besaran nilai TKDN barang dan jasa untuk PLTS Tersebar Berdiri Sendiri yaitu:

a. TKDN barang minimal sebesar 39,87%;


b. TKDN jasa sebesar 100%; dan
c. TKDN gabungan barang dan jasa minimal sebesar 45,90%.

Lebih lanjut, TKDN barang minimal terdiri dari:

a. modul surya dengan TKDN minimal sebesar 40%;


b. baterai dengan TKDN minimal sebesar 40%;
c. battery control unit dengan TKDN minimal sebesar 10%;
d. penyangga modul dengan TKDN minimal sebesar 42,40%; dan
e. kabel dengan TKDN minimal sebesar 90,00%.

Sementara itu PLTS Terpusat Berdiri Sendiri diatur dalam Pasal 13 yang menyatakan
bahwa, PLTS Terpusat Berdiri Sendiri terdiri dari:

a. komponen utama terdiri dari modul surya, inverter dan solar charge controller, DC
combiner box, distribution panel, baterai, kabel (AC dan DC), sistem proteksi,
penyangga modul, dan energy limiter, dan
b. Jasa terdiri dari jasa pengiriman, jasa pemasangan, dan jasa konstruksi.

Besaran nilai TKDN barang dan jasa untuk PLTS Terpusat Berdiri Sendiri dengan kapasitas
terpasang per unit, yaitu:

a. TKDN barang minimal sebesar 37,47%;


b. TKDN jasa sebesar 100%; dan
c. TKDN gabungan barang dan jasa minimal sebesar 43,72%.

Selanjutnya, TKDN barang minimal terdiri dari:

a. modul surya dengan TKDN minimal sebesar 40%;


65
b. DC combiner box dengan TKDN minimal sebesar 20%;
c. distribution panel dengan TKDN minimal sebesar 40,00%;
d. baterai dengan TKDN minimal sebesar 40,00%;
e. kabel dengan TKDN minimal sebesar 90,00%;
f. sistem proteksi dengan TKDN minimal 20,00%;
g. penyangga modul dengan TKDN minimal sebesar 42,40%; dan
h. energy limiter dengan TKDN minimal sebesar 40%.

Sedangkan, mengenai PLTS Terpusat Terhubung diatur dalam Pasal 13A yang menyatakan
bahwa, PLTS Terpusat Terhubung terdiri dari:

a. komponen utama terdiri dari modul surya, inverter, DC combiner box, distribution
panel, travo, kabel (AC dan DC), sistem proteksi, dan penyangga modul; dan
b. Jasa terdiri dari jasa pengiriman, jasa pemasangan, dan jasa konstruksi.

Besaran nilai TKDN barang dan jasa untuk PLTS Terpusat Terhubung dengan kapasitas
terpasang per unit, yaitu:

a. TKDN barang minimal sebesar 34,09%;


b. TKDN jasa sebesar 100%; dan
c. TKDN gabungan barang dan jasa minimal sebesar 40,68%.

Lebih lanjut, TKDN barang minimal terdiri dari:

a. modul surya dengan TKDN minimal sebesar 40%;


b. DC combiner box dengan TKDN minimal sebesar 20%;
c. distribution panel dengan TKDN minimal sebesar 40,00%;
d. travo dengan TKDN minimal sebesar 40,00%;
e. kabel dengan TKDN minimal sebesar 90,00%;
f. sistem proteksi dengan TKDN minimal 20,00%; dan g. penyangga modul dengan TKDN
minimal sebesar 42,40%.

Selain itu Pasal 13B juga mengatur bahwa Nilai TKDN minimal untuk modul surya PLTS
Tersebar Berdiri Sendiri, PLTS Terpusat Berdiri Sendiri, dan PLTS Terpusat Terhubung:

66
a. menjadi minimal 50%, dengan ketentuan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2018; dan
b. menjadi minimal 60%, dengan ketentuan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2019.”

2.4 Penyempurnaan atau Penerbitan Peraturan Perundang-undangan

Sebagaimana dalam kajian kepatuhan, proyek perakitan Solar PV tidak termasuk dalam
RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara dan RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara. Oleh
karena itu, diperlukan adanya pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan
mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2013-2033
yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2013, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013-2033 yaitu Peraturan
Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 3 Tahun 2014.

2.5 Barang Milik Negara dan/atau Barang Milik Daerah yang Diperlukan

Yang dimaksud dengan Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, sedangkan
Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang


Milik Negara/Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, barang dari perolehan lainnya yang sah, yaitu:

a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;


b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.

67
Pemanfaatan sebagaimana dalam PP 27/2014 adalah pendayagunaan BMN yang tidak
digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau
optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.

Bentuk Pemanfaatan BMN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor


115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara (“PMK 115/2020”), berupa:

a. sewa;
Sewa adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan uang tunai.
b. pinjam pakai;
Pinjam pakai adalah Pemanfaatan BMN melalui penyerahan penggunaan BMN dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau pemerintah desa dalam jangka waktu
tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir
diserahkan kembali kepada Pengelola Barang/Pengguna Barang.
c. Kerja Sama Pemanfaatan (KSP);
KSP adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.
d. Bangun Guna Serah (BGS)/ Bangun Serah Guna (BSG);
BGS adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak
lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakatai, untuk selanjutnya
diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya
setelah berakhirnya jangka waktu.
BSG adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya
diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu
tertentu yang disepakati.
e. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI); dan
KSPI adalah Pemanfaatan BMN melalui kerja sama antara pemerintah dan badan
usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
68
f. Kerja Sama Terbatas untuk Pembiayaan Infrastruktur (KETUPI).
KETUPI adalah Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMNuntuk meningkatkan
fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan
penyediaan infrastruktur lainnya.

Tabel 2.6 Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN

Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

Tujuan a. mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak digunakan dalam


pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara;
b. memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan/atau menunjang tugas dan fungsi instansi pengguna barang;
dan/atau
c. mencegah penggunaan BMN oleh pihak lain secara tidak sah

Subjek Pihak yang menyewakan:

a. Pengelola Barang, untuk BMN yang berada pada Pengelola Barang; dan
Yang dimaksud dengan Pengelola Barang adalah Menteri Keuangan (pejabat
yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman
serta melakukan pengelolaan BMN).

b. Pengguna Barang, dengan persetujuan dari Pengelola Barang, untuk BMN yang
berada pada Pengguna Barang.
Yang dimaksud dengan Pengguna Barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga
(pejabat yang bertanggung jawab atas penggunaan BMN pada
kementerian/lembaga yang bersangkutan).

Pihak yang menyewa:

a. Badan Usaha Milik Negara/Daerah/Desa;


b. peorangan;
c. unit penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/negara, meliputi:
1) persatuan/perhimpunan aparatur sipil negara/ tentara nasional/kepolisian
negara Republik Indonesia;
2) persatuan /perhimpunan istri aparatur sipil negara/ tentara
nasional/kepolisian negara Republik Indonesia; atau
3) unit penunjang kegiatan lainnya;
dan/atau

d. badan usaha lainnya, melitputi:


1) perseroan terbatas;
2) yayasan;
3) koperasi;
4) persekutuan perdata;

69
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

5) persekutuan firma; atau


6) persekutuan komanditer.

Objek a. tanah dan/atau bangunan; atau


b. selain tanah dan/atau bangunan,

yang berada pada Pengelola Barang/Pengguna Barang.

Jangka Waktu Paling lama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian dan dapat
diperpanjang dengan persetujuan dari Pengelola Barang, kecuali:

a. jangka waktu sewa dalam rangka kerja sama infrastruktur paling lama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperpanjang;
b. jangka waktu sewa untuk kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan
waktu sewa lebih dari 5 (lima) tahun, paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat
diperpanjang;
c. jangka waktu sewa yang ditentukan lain dalam undang-undang, mengikuti
ketentuan mengenai jangka waktu yang diatur dalam undang-undang; atau
paling lama 10 (sepuluh) tahun dalam hal jangka waktu tidak diatur dalam
undang-undang, dan dapat diperpanjang.

Mekanisme dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Pengelola Barang/Pengguna


Pemilihan Mitra Barang dengan mekanisme lelang dalam rangka pemilihan penyewa.

Biaya yang Biaya sewa, yang merupakan hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor
dikenakan penyesuai sewa.

Pinjam Pakai

Tujuan a. mengoptimalkan BMN yang belum atau tidak dilakukan penggunaan untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengelola Barang/Pengguna Barang;
b. menunjang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa; dan/atau
c. memberikan manfaat ekonomi dna/atau sosial bagi pemerintah daerah,
pemerintah desa, dan/atau masyarakat.

Subjek Pihak yang dapat meminjampakaikan BMN:

a. pengelola barang, untuk BMN yang berada pada pengelola barang;


b. pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang, untuk BMN yang
berada pada pengguna barang.

Pihak yang dapat menjadi peminjam pakai BMN:

a. pemerintah daerah;
b. pemerintah desa.

Objek a. tanah dan/atau bangunan; dan

70
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

b. selain tanah dan/atau bangunan,

yang berada pada pengelola barang/pengguna barang. Objek pinjam pakai beruapa
tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan untuk sebagian atau keseluruhannya.

Jangka Waktu Paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan
dilakukan dengan pertimbangan tujuan di atas.

Permohonan perpanjangan jangka waktu harus sudah diterima pengelola barang


paling lambat 2 (dua) bulan sebelum jangka waktu pinjam pakai berakhir.

Mekanisme -
Pemilihan Mitra

Biaya yang -
dikenakan

KSP

Tujuan a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna BMN;


b. meningkatakan penerimaan negara; dan/atau
c. memenuhi biaya operasional, pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang
diperlukan terhadap BMN.

Subjek Pihak yang dapat melaksanakan KSP meliputi:

a. Pengelola Barang, untuk BMN yang berada pada Pengelola Barang;


b. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk BMN yang
berada pada Pengguna Barang.

Pihak yang dapat menjadi mitra KSP meliputi:

a. Badan Usaha Milik Negara;


b. Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c. swasta, kecuali perorangan.

Objek a. tanah dan/atau bangunan; dan


b. selain tanah dan/atau bangunan,

yang berada pada pengelola barang/pengguna barang. Objek berupa tanah


dan/atau bangunan dapat dilakukan untuk sebagian atau keseluruhannya.

Dalam hal KSP dilakukan dalam rangka penyediaan infrastruktur, jenis-jenis


infrastruktur mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang penyediaan
infrastruktur.

Jangka Waktu Paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian KSP ditandatangani dan dapat

71
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

diperpanjang.

Dalam hal KSP dilakukan dalam rangka penyediaan infrastruktur, jangka waktu KSP
paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak KSP ditandatangani dan dapat
diperpanjang.

Permohonan perpanjangan jangka waktu KSP harus sudah diterima Pengelola


Barang paling lambat 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu KSP berakhir.

Mekanisme Melalui tender atau penunjukan langsung dalam hal objek Pemanfaatan BMN
Pemilihan Mitra bersifat khusus.

BMN yang bersifat khusus meliputi:

a. barang yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan


perundang-undangan;
b. barang yang memiliki tingkat kompleksitas khusus seperti bandar udara,
pelabuhan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan umum, kilang, instalasi
tengaa listrik, dan bendungan/waduk;
c. barang yang dikerjsamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian
hubungan bilateral antar negara;
d. barang yang bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
e. barang yang mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan
khusus;
f. barang yang dikerjasamakan dalam rangka menjalankan tugas negara;
g. barang yang dikerjasamakan dalam proyek kerja sama sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan
badan saha dalam penyediaan infrastruktur;atau
h. barang lain yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.

Biaya yang Mitra KSP wajib menyetorkan penerimaan negara selama jangka waktu
dikenakan pengoperasian KSP, yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.

BSG/BGS

Tujuan a. Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan


pemeritnahan negara untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
b. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBN untuk penyediaan
dan bangunan dan fasilitas tersebut.

Subjek Pihak yang dapat melaksanakan BSG/ BGS meliputi:

a. Pengelola Barang, untuk BMN yang berada pada Pengelola Barang; atau
b. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang, terhadap

72
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

BMN yang berada pada Pengguna Barang.

Pihak yang dapat menjadi mitra BSG/BGS meliputi:

a. Badan Usaha Milik Negara;


b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. swasta, kecuali perorangan; atau
d. badan hukum lainnya

Objek a. BMN berupa tanah yang berada pada Pengelola Barang; atau
b. BMN berupa tanah yang berada pada Pengguna Barang.

Jangka Waktu Paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.

Jangka waktu BGS/BSG hanya berlaku untuk 1 (satu) kali perjanjian dan tidak dapat
dilakukan perpanjangan.

Jangka waktu pengoperasian BSG/BGS dimulai sejak aset BGS/BSG siap beroperasi,
dengan ketentuan tidak melampaui 2 (dua) tahun sejak perjanjian ditandatangani.

Mekanisme Melalui Tender, atau dapat dilakukan penunjukan langsung terhadap BGS/BSG
Pemilihan Mitra tertentu yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.

Biaya yang Kontribusi tahunan


dikenakan

KSPI

Pertimbangan a. kepentingan negara dan kepentingan umum;


b. kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan;
c. keterbatasan dana APBN untuk penyediaan infastruktur; dan
d. daftar prioritas proyek program penyediaan infrastruktur yang ditetapkan
pemerintah untuk penyediaan infrastruktur.

Subjek Pihak yang dapat melaksanakan KSPI adalah:

a. Pengelola Barang, terhadap BMN yang berada pada Pengelola Barang; atau
b. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang, terhadap
BMN yang berada pada Pengguna Barang.

Pihak yang dapat menjadi mitra KSPI, terdiri atas:

a. badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas;


b. badan hukum asing (perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebelum
73
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

ditetapkan sebagai mitra KSPI);


c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah;
e. anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan
badan usaha milik negara sesuai ketentuan peraturan pemerintah yang
mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara
pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas; atau
f. koperasi.

Objek a. tanah dan/atau bangunan; dan


b. selain tanah dan/atau bangunan,

yang berada pada pengelola barang/pengguna barang. Objek berupa tanah


dan/atau bangunan dapat dilakukan untuk sebagian atau keseluruhannya.

Jangka Waktu Paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.

Perpanjangan jangka waktu KSPI hanya dapat dilakukan apabila terjadi government
force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh
terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan, serta diajukan
permohonannya paling lama 6 (enam) bulan setelah government force majeure
nyata-nyata terjadi.

Mekanisme Berdasarkan hasil pengadaan badan usaha pelaksana proyek kerja sama sesuai
Pemilihan Mitra dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama
pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur

Biaya yang Pembagian kelebihan keuntungan (clawback)


dikenakan

KETUPI

Tujuan a. optimalisasi BMN;


b. meningkatkan fungsi operasional BMN; dan
c. mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur.

Subjek Pihak yang dapat melaksanakan KETUPI meliputi:

a. Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN (PJPB) dalah pihak yang bertanggung


jawab terhadap pelaksanaan Pemanfaatan BMN dalam rangka penyediaan
infrastruktur dalam bentuk kerja sama penyediaan infrastruktur dan kerja sama
terbatas untuk pembiayaan infrastruktur; dan
b. Badan Layanan Umum (BLU) adalah Badan Layanan Umum pada Pengelola
Barang yang bertugas mengelola BMN berupa aset infrastruktur dan mengelola

74
Matriks Opsi Bentuk Pemanfaatan BMN (berdasarkan PMK 115/2020)

Sewa

pendanaan hasil hak pengelolaan terbatas atas aset infastruktur BMN.

Pihak yang dapat menjadi mitra KETUPI, meliputi:

a. Badan Usaha Milik Negara;


b. Badan usaha Milik Daerah;
c. Swasta berbentuk Perseroan Terbatas;
d. Badan hukum asing; atau
e. koperasi.

Objek BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Pengguna Barang.

KETUPI dapat dilakukan terhadap BMN:

a. infrastruktur transportasi, meliputi kepelabuhan, kebandarudaraan,


perkeretaapian, dan terminal bus;
b. infrastruktur jalan tol;
c. infrastruktur sumber daya air;
d. infrastruktur air minum;
e. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah;
f. infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
g. infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
h. infrastruktur ketenagalistrikan; dan
i. infrastruktur minyak, gas bumi, dan energi terbarukan.

Jangka Waktu Paling lama 50 (lima) puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.

Mekanisme Dilakukan oleh PJPB dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan


Pemilihan Mitra yang mengatur mengenai hak pengelolaan terbatas atas aset infrastruktur.

Biaya yang Pembayaran dana di muka (upfront payment)


dikenakan

Mengenai Proyek, sampai saat ini, kami belum menerima informasi mengenai
penggunaan BMN/BMD yang diperlukan dalam Proyek ini, dan akan ditambahkan
kemudian apabila telah terdapat informasi atau data yang berhubungan dengan
penggunaan BMN/BMD.

2.6 Jenis Perizinan/Persetujuan yang Diperlukan

Tabel 2.7 Jenis Perizinan/Persetujuan

75
No. Jenis Perizinan/Persetujuan Institusi Penerbit Dasar Hukum
Izin/Persetujuan

Penyediaan Tenaga Listrik

1. Perizinan Berusaha, meliputi: Gubernur Kalimantan Permen ESDM 11/2021


Timur
a. Izin Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (“IUPTLU”)
b. penetapan Wilayah Usaha
c. pengesahan Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik
(“RUPTL”);
d. izin penjualan, izin pembelian,
dan/atau izin interkoneksi
jaringan tenaga listrik lintas
negara.

2. Sertifikat Laik Operasi Lembaga Inspeksi Permen ESDM 26/2021


Teknik

Industri

3. Izin Usaha Industri (“IUI”), meliputi: IUI diberikan oleh PP 107/2015


Menteri, gubernur, atau
a. IUI kecil untuk Industri kecil; bupati/walikota sesuai Permenperin
b. menengah untuk Industri dengan
menengah; 15/2019
kewenangannya.
c. IUI besar untuk Industri besar.

Lingkungan

4. AMDAL Kementerian UU 32/2009


Lingkungan dan
Kehutanan

5. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Kementerian UU 32/2009


Lingkungan dan
Kehutanan

Perizinan Berusaha

6. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Lembaga OSS PP 5/2021

76
terdiri atas: Perka BKPM 4/2021

a. NIB;
b. Sertifikat Standar; dan
c. Izin.

7. Keputusan Pengesahan Badan Hukum Menteri Hukum dan Hak UU 40/2007


Perseroan Asasi Manusia Permenkumham 4/2014

8. Berita Negara berisi publikasi Menteri Hukum dan Hak UU 40/2007


pengesahan dan akta pendirian badan Asasi Manusia
usaha

2.7 Analisis Kelembagaan

2.7.1 Kewenangan Sebagai PJPK

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Permen PPN 4/2015, Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama
yang selanjutnya disingkat PJPK adalah menteri/kepala lembaga/kepala daerah, atau
direksi badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah sebagai penyedia atau
penyelenggara Infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan.

UU 30/2009 mengatur bahwa penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan
prinsip otonomi daerah. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Selanjutnya usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan
swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Khususnya badan
usaha milik negara diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum.

Selain itu dalam urusan ketenagalistrikan, pemerintah daerah provinsi diantaranya


memiliki kewenangan yaitu:

77
 penerbitan izin usaha penyediaan tenaga listrik non badan usaha milik negara dan
penjualan tenaga listrik serta penyewaan jaringan kepada penyedia tenaga listrik
dalam Daerah provinsi;
 penerbitan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam Daerah provinsi,
 penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dan penerbitan izin pemanfaatan
jaringan untuk telekomunikasi, multimedia, dan informatika dari pemegang izin yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
 Persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, rencana usaha
penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.

Lebih lanjut berdasarkan Pasal 3 Perpres 4/2016, Pemerintah Pusat menugaskan PT PLN
(Persero) untuk menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PJK),
yaitu kegiatan perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan dalam rangka penyediaan
Infrastruktur Ketenagalistrikan. Pembinaan teknis penyelenggaraan PIK oleh PT PLN
(Persero) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
energi dan sumber daya mineral.

Berdasarkan Perpres 4/2016, PT PLN (Persero) dapat bertindak sebagai PJPK.

2.7.2 Identifikasi Pemangku Kepentingan

Berikut ini merupakan tabel identifikasi pemangku kepentingan, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.8 Identifikasi Pemangku Kepentingan

No Pihak Peran

1. PLN  Penyelenggara Pembangunan Infrastruktur


Ketenagalistrikan (“PIK”) yang meliputi,
kegiatan perencanaan, pengadaan, dan
pelaksanaan dalam rangka penyediaan
Infrastruktur Ketenagalistrikan
 Melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum
 Bertindak sebagai PJPK

2. Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha  Melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik

78
No Pihak Peran

Milik Daerah, Badan Usaha Swasta, untuk kepentingan umum


Koperasi dan swadaya masyarakat

4. Pemerintah Daerah Provinsi  Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk


Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana
maupun energi listriknya lintas
kabupaten/kota.

5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Memberikan pembinaan teknis


(ESDM) penyelenggaraan PIK oleh PT PLN
 Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan
ketenagalistrikan nasional.
 Penetapan peraturan perundang-undangan di
bidang energi dan ketenagalistrikan.
 Penetapan wilayah usaha penyediaan tenaga
listrik dan izin jual beli tenaga listrik lintas
negara
 Penerbitan IUPTL lintas daerah provinsi,
BUMN, dan penjualan tenaga listrik serta
penyewaan jaringan kepada penyedia tenaga
listrik lintas daerah provinsi atau BUMN
 Penetapan tarif tenaga listrik
 Persetujuan harga jual tenaga listrk
 Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat
tidak mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga lsitrik belum berkembang,
daerah terpencil, dan pedesaan.

6. BAPPENAS/PPN  Selaku Koordinator KPBU

2.7.3 Peran dan Tanggung Jawab Perangkat Organisasi Kelembagaan

Apabila Proyek ini dikembangkan dengan skema KPBU, adapun perangkat organisasi
kelembagaan yang harus dibentuk, meliputi:

A. Tim KPBU

Tim KPBU adalah tim yang dibentuk oleh PJPK yang membantu pengelolaan KPBU pada
tahap penyiapan dan transaksi hingga tercapai pemenuhan pembiayaan (financial close),

79
termasuk membantu panitia pengadaan dalam kegiatan Pengadaan Badan Usaha
Pelaksana, apabila diperlukan.

Berdasarkan Bab III Lampiran Permen PPN 4/2015, Tim KPBU memiliki peran dan
tanggung jawab sebagai berikut:

a. melakukan kegiatan tahap penyiapan KPBU;


b. melakukan kegiatan tahap transaksi KPBU hingga tercapainya pemenuhan
pembiayaan (financial close), termasuk berkoordinasi dengan Panitia Pengadaan
dalam kegiatan pengadaan badan usaha pelaksana, apabila diperlukan;
c. menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui simpul KPBU; dan
d. melakukan koordinasi dengan simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.

B. Panitia Pengadaan

Panitia Pengadaan Badan Usaha Pelaksana yang selanjutnya disebut Panitia Pengadaan
adalah tim yang dibentuk PJPK yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mempersiapkan dan melaksanakan proses Pengadaan Badan Usaha Pelaksana pada tahap
transaksi.

C. Simpul KPBU

Simpul KPBU dapat melekat pada unit kerja yang sudah ada di lingkungan
Kementerian/Lembaga/Daerah atau unit kerja baru yang dibentuk dalam lingkungan
Kementerian/Lembaga/Daerah. Selanjutnya, Simpul KPBU dibentuk dengan tujuan untuk
melakukan perumusan kebijakan dan/atau sinkronisasi dan/atau koordinasi dan/atau
pengawasan, dan/atau evaluasi terhadap kegiatan KPBU.

Simpul KPBU dibantu oleh:

a. tim KPBU dalam melaksanakan kegiatan pada tahap penyiapan dan tahap transaksi
KPBU; dan
b. panitia pengadaan dalam melaksanakan kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana.

80
D. Tim Pengendali

Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Permen PPN 4/2015, Tim Pengendalian Pelaksanaan


Perjanjian KPBU yang selanjutnya disebut Tim Pengendali adalah tim yang dibentuk atau
ditunjuk oleh PJPK untuk membantu PJPK dalan tahap pelaksanaan perjanjian KPBU.

Sebagaimana dalam Lampiran IVA Permen PPN 4/2015, Tim Pengendali membantu PJPK
melaksanakan pengendalian pelaksanaan perjanjian KPBU. Pembentukan atau
penunjukan Tim Pengendali dilaksanakan sebelum penandatanganan perjanjian KPBU.

Tim Pengendali mempunyai tugas dan wewenang:

1) menyusun dan menetapkan dokumen petunjuk pengendalian pelaksanaan perjanjian


KPBU dan diajukan kepada PJPK untuk mendapatkan persetujuan;
2) mengumpulkan dokumen yang dihasilkan pada tahap perencanaan, penyiapan, dan
transaksi proyek KPBU. Dalam melaksanakan kegiatan ini, Tim Pengendali
berkoordinasi dengan Tim KPBU dan Panitia Pengadaan terkait kelengkapan
dan/atau penjelasan dokumen tersebut.
3) melaksanakan pengendalian pelaksanaan KPBU, termasuk penilaian pencapaian
standar layanan minimal;
4) melaporkan secara berkala mengenai hasil pelaksanaan perjanjian KPBU; dan
5) melakukan koordinasi secara berkala dengan simpul KPBU.
Tim Pengendali berisikan personel yang berasal dari instansi PJPK yang memahami
tentang ruang lingkup pekerjaan proyek KPBU. Dalam hal diperlukan, Tim Pengendali
dapat melibatkan personel dari luar instansi PJPK dan/atau konsultan/tenaga ahli.

2.7.4 Kerangka Acuan Pengambilan Keputusan

Apabila Proyek ini dikembangkan dengan skema KPBU, berikut merupakan kerangka
acuan pengambilan keputusan pada tahap Proyek KPBU berdasarkan Permen PPN
4/2015:

Tabel 2.9 Kerangka Acuan Pengambilan Keputusan

81
No Keputusan Penanggung Persyaratan/Catatan
Jawab

Tahap Perencanaan KPBU

1. 2. Penyusunan rencana Menteri/Kepala Rencana anggaran dapat bersumber


anggaran untuk dana Lembaga/Kepala dari APBN atau APBD, pinjaman/hibah,
pelaksanaan KPBU Daerah dan/atau sumber lainnya sesuai
ketentuan perundang-undangan

2. Identifikasi Penyediaan Menteri/Kepala Dilakukan dengan menyusun Studi


Infrastruktur yang akan Lembaga/Kepala Pendahuluan dan Konsultasi Publik
dikerjasamakan melalui Daerah
skema KPBU

3 Keputusan melanjutkan atau Menteri/Kepala Didasarkan pada hasil Studi


tidak melanjutkan rencana Lembaga/Kepala Pendahuluan dan Konsultasi Publik
Penyediaan Infrastruktur Daerah
melalui mekanisme KPBU

4 Penyusunan Daftar Rencana Menteri Berdasarkan pada:


KPBU Perencanaan
a. usulan Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah/direksi Badan
Usaha Milik Negara/direksi Badan
Usaha Milik Daerah yang diindikasikan
membutuhkan Dukungan dan/atau
Jaminan Pemerintah; dan

b. hasil identifikasi Menteri


Perencanaan berdasarkan prioritas
pembangunan nasional.

5. Menetapkan Daftar Rencana Menteri Daftar Rencana KPBU terdiri atas:


KPBU Perencanaan

a. KPBU siap ditawarkan; dan

b. KPBU dalam proses penyiapan.

Penyiapan KPBU

82
No Keputusan Penanggung Persyaratan/Catatan
Jawab

6 Penyusunan Prastudi Menteri/Kepala Prastudi Kelayakan menghasilkan


Kelayakan atas Infrastruktur Lembaga/Kepala kesimpulan antara lain:
yang akan dikerjasamakan Daerah

a. sumber pembiayaan KPBU;

b. identifikasi kerangka kontraktual,


pengaturan, dan kelembagaan;

c. rancangan KPBU dari aspek teknis; d.


usulan Dukungan Pemerintah dan
Jaminan Pemerintah yang diperlukan;

e. identifikasi risiko dan rekomendasi


mitigasi, serta pengalokasian risiko
tersebut; dan

f. bentuk pengembalian investasi Badan


Usaha Pelaksana.

7 Penyiapan dokumen kajian Menteri/Kepala Dokumen kajian lingkungan hidup


lingkungan hidup Lembaga/Kepala disusun berdasarkan ketentuan
Daerah/direksi peraturan perundang-undangan.
Badan Usaha
Milik
Negara/direksi
Badan Usaha
Milik Daerah
(“PJPK”)

8 Identifikasi kebutuhan atas PJPK Apabila hasil identifikasi menunjukkan


tanah untuk KPBU kebutuhan akan pengadaan tanah, PJPK
berdasarkan hasil kajian akhir melakukan perencanaan dan
Prastudi Kelayakan penyusunan dokumen pengadaan
tanah untuk memperoleh penetapan
lokasi.

9 Pelaksanaan Konsultasi PJPK Bertujuan untuk:


Publik pada tahap penyiapan
KPBU a. menjajaki kepatuhan terhadap
norma sosial dan norma lingkungan

83
No Keputusan Penanggung Persyaratan/Catatan
Jawab

sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup; b. mendapat
masukan mengenai kebutuhan
masyarakat terkait dengan KPBU; dan c.
memastikan kesiapan KPBU.

10 Pelaksanaan Penjajakan PJPK Bertujuan untuk memperoleh masukan


Minat Pasar (Market dan tanggapan terhadap KPBU dari
Sounding) pada tahap pemangku kepentingan.
penyiapan.

Transaksi KPBU

11 Pelaksanaan transaksi KPBU PJPK Dilakukan setelah terpenuhinya syarat


dan ketentuan untuk memanfaatkan
Barang Milik Negara dan/atau Barang
Milik Daerah untuk pelaksanaan KPBU
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

12 Pelaksanaan Konsultasi Pasar PJPK Bertujuan untuk memperoleh masukan,


(Market Consultation) dalam tanggapan dan mengetahui minat
tahap transaksi KPBU. pemangku kepentingan terhadap KPBU.

13 Pengadaan Badan Usaha PJPK Pengadaan Badan Usaha Pelaksana


Pelaksana dilakukan setelah memperoleh
penetapan lokasi.

14 Penandatanganan perjanjian PJPK Badan Usaha Pelaksana wajib


KPBU dilakukan oleh PJPK memperoleh pembiayaan atas KPBU
dengan Badan Usaha paling lambat dalam jangka waktu 12
Pelaksana. (dua belas) bulan setelah
menandatangani perjanjian KPBU.

Pelaksanaan Perjanjian KPBU

15 Tahap pelaksanaan PJPK Tahap pengendalian pelaksanaan


perjanjian KPBU terdiri atas: perjanjian KPBU dilaksanakan pada

84
No Keputusan Penanggung Persyaratan/Catatan
Jawab

a. persiapan masa:
pengendalian
pelaksanaan
perjanjian KPBU;
a. konstruksi;
dan
b. pengendalian b. penyediaan layanan; dan
pelaksanaan
perjanjian KPBU. c. berakhirnya perjanjian KPBU.

85
BAB 3 KAJIAN TEKNIS
3.1 Review Kelayakan Lokasi Kawasan Industri

Kalimantan Timur memiliki luas wilayah daratan 127.267,52 km2 dan luas pengelolaan
laut 25.656 km2 terletak antara 113º44’ Bujur Timur dan 119º00’ Bujur Timur serta di
antara 2º33’ Lintang Utara dan 2º25’ Lintang Selatan. Dengan adanya perkembangan dan
pemekaran wilayah, Kalimantan Timur yang merupakan provinsi terluas ketiga di
Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Tengah.

Sumber:

Gambar 3.4 Peta Provinsi Kalimantan Timur

Secara administratif Provinsi Kalimantan Timur memiliki batas sebagai berikut:

 Wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kalimantan Utara

 Wilayah Timur berbatasan dengan sebagian (12 Mil) Selat Makasar dan Laut Sulawesi

86
 Wilayah Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan

 Wilayah Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi


Kalimantan Barat serta Negara Bagian Serawak Malaysia Timur.

Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari dibagi menjadi 7 (tujuh) kabupaten, 3 (tiga) Kota,
107 kecamatan dan 1.032 desa/kelurahan. Sepuluh kabupaten dan kota tersebut adalah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten
Berau, Kabupaten Paser, Kota Samarinda, Kabupaten Mahulu, Kota Balikpapan,
Kabupaten Panajam Paser Utara, dan Kota Bontang.

Provinsi ini mempunyai topografi bergelombang dari kemiringan landai sampai curam,
dengan ketinggian berkisar antara 0-1500 meter di atas permukaan laut dengan
kemiringan antara 0-60 persen. Daerah dataran rendah pada umunya dijumpai pada
kawasan sepanjang sungai.

Sedangkan daerah perbukitan dan pegunungan memiliki ketinggian rata-rata lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan 300 persen, terdapat dibagian
barat laut yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Kondisi topografi tersebut
sangat berpengaruh terhadap peluang budidaya suatu jenis komoditi, potensi dan
persediaan air, dinamika hidrologi dan kerentanan terhadap erosi.

Dilihat dari topografi, sebagian besar atau 43,35 persen wilayah daratan termasuk dalam
kemiringan di atas 40 persen persen dan 43,22 persen terletak pada ketinggian 100-1000
m di atas permukaan laut, sehingga pemanfaatan lahan di Provinsi Kalimantan Timur
harus memperhatikan karakteristik lahan tersebut.

3.2 Review Daya Dukung Lahan dan Kerawanan Bencana

Menilik kondisi alam Provinsi Kalimantan Timur dan Degradasi Alam yang ditemukan di
wilayah ini, tidak mengherankan jika provinsi ini menyimpan potensi bencana yang cukup
besar. Dari hasil identifikasi yang dilakukan terhadap wilayah ini maka terdapat beberapa
potensi bencana yang ada di wilayah ini:

1. Banjir

87
Bencana banjir selama sepuluh tahun terakhir sering melanda seluruh wilayah
kabupaten/kota setiap tahunnya. Bencana ini bersifat temporer dan terjadi di setiap awal
musim penghujan dan umumnya terjadi antara 2 hingga 6 hari. Daerah-daerah yang
diidentifikasi sering mengalami banjir dan paling rawan banjir adalah kawasan perkotaan
di sepanjang hilir sungai dan pesisir laut.

2. Tanah Longsor

Di Provinsi Kalimantan Timur, wilayah yang rentan terhadap tanah longsor adalah
Balikpapan, Samarinda, Bontang, Sengata dan Sendawar. Potensi kejadian ini di masa
yang akan datang kemungkinan akan bertambah mengingat terjadinya perubahan fungsi
lahan yang cukup besar di wilayah Provinsi Kalimantan Timur.

3. Tsunami

Walaupun wilayah Kalimantan berdasarkan kondisi geologisnya merupakan kawasan yang


relatif aman dari bencana gempa bumi, akan tetapi bencana gempa bumi yang berpotensi
tsunami harus tetap diwaspadai terutama di kawasan pesisir laut sekitar Tarakan, karena
diidentifikasi pada kawasan tersebut memiliki sesar aktif yang berpotensi gempa tektonik.

4. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang berulang di Kalimantan Timur pada
musim kemarau. Jika ditinjau dari sisi penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan
Timur tidak semata-mata disebabkan oleh ulah manusia, tetapi juga oleh kondisi alam.
Pada musim kemarau, suhu udara di beberapa wilayah di Kalimantan Timur bahkan
mencapai 34.50C hingga 39.50C.

3.3 Pengadaan Tanah, Peruntukan Lahan, dan Pembebasan Tanah

Berdasarkan analisis kebutuhan infrastruktur dan karakteristik Industri Perakitan Solar PV


maka, lokasi industri yang diperlukan adalah:

1. Luas area industri masing-masing adalah 10 hektar.

2. Lokasi Industri dekat dengan Pelabuhan bongkar/muat (dry port)

88
3. Akses jalan yang memadai (lebar dan kuat/kokoh)

4. Daerah yang bebas banjir dan tanah longsor

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh tim survey ditentukan alternatif lokasi
industri adalah:

a. Alternatif 1 : Kawasan Industri Muara Jawa

b. Alternatif 2 : Kawasan Industri Buluminung

3.4 Infrastruktur Logistik Penunjang Klaster

Rencana pengembangan infrastruktur transportasi wilayah memerlukan suatu pola


pengembangan sistem infrastruktur transportasi yang terpadu dalam satu kesatuan
sistem transportasi darat, laut, dan udara, yang terintegrasi dengan struktur tata ruang
wilayah KSN Calon Ibukota Negara. Rencana pengembangan sistem transportasi wilayah
meliputi peningkatan fungsi dan tingkat pelayanan dari masing-masing sistem prasarana
transportasi yang ada di KSN Calon Ibukota Negara. Pengembangan sistem jaringan
transportasi dalam rangka menciptakan keterkaitan antarpusat perkotaan serta
mewujudkan keselarasan dan keterpaduan antara pusat perkotaan dengan sektor
kegiatan ekonomi masyarakat yang menghubungkan antarpulau serta kawasan perkotaan
dengan kawasan produksi sebagai bentuk kesatuan untuk menunjang kegiatan sosial,
ekonomi, serta pertahanan dan keamanan negara dalam rangka memantapkan
kedaulatan wilayah nasional.

1. Jaringan Darat

Jaringan di jalan provinsi Kalimantan Timur saat ini mencapai 8.189,78 Km, baik yang
dibangun Pemerintah Pusat, Pemerintah provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Sedangkan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah adalah sebesar 52,53 Km per 1000
Km². Jaringan jalan lintas Kalimantan di Wilayah Kalimantan Timur dapat dikelompokan
menjadi tiga poros yaitu :

89
a. Poros Selatan, menghubungkan kawasan Kalimantan Selatan - Batu Aji/Kerang Dayu -
Tanah Grogot - Kuaro - Penajam - Balikpapan - Samarinda - Bontang - Sangatta -
Muara Wahau - Tanjung Redep - Tanjung Selor.

b. Poros Tengah, menghubungkan kawasan Samarinda - Tenggarong - Kota Bangun -


Melak - Barong Tongkok - Kalimantan Tengah.

c. Poros Utara, menghubungkan kawasan Samarinda - Sangatta - Muara Wahau - Berau -


Bulungan, jaringan jalan ini tengah di upayakan untuk mencapai kabupaten Malinau
dan Nunukan.

2. Jaringan Laut

Transportasi Laut di Kalimantan Timur hingga saat ini masih mendominasi orang dan
barang, terlebih untuk angkutan barang antar pulau serta ekspor dan impor. Setidaknya
ada 15 pelabuhan laut.

3. Jaringan Udara

Di provinsi yang memiliki daerah-daerah pengeboran minyak, batubara dan lain-lain,


mobilitas antar daerah terutama untuk tujuan Jakarta sangatlah tinggi. Di Kalimantan
Timur terdapat 53 buah Pelabuhan Udara, satu diantaranya adalah Bandara Internasional
Sepinggan di Balikpapan dan 15 buah berstatus domestik, selebihnya berstatus perintis.

3.5 Ringkasan Rencana Pengembangan Kawasan Industri

Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan
industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.6 Analisa Ekosistem Pendukung Industri dan Infrastruktur Pendukung

1. Jaringan kelistrikan

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
jaringan kelistrikan untuk mendukung aktivitasnya.

90
2. Jaringan telekomunikasi

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
jaringan telekomunikasi untuk mendukung aktivitasnya.

3. Jaringan air bersih

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
jaringan air bersih untuk mendukung aktivitasnya.

4. Jaringan drainase

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
jaringan drainase untuk mendukung aktivitasnya.

5. Jaringan air limbah

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
air limbah untuk dapat mengelola air limbah agar tidak mencemari lingkungan.

6. Sistem pengelolaan limbah

Perusahaan atau pabrik dalam Klaster Teknologi Industri Bersih membutuhkan sistem
pengelolaan limbah pada untuk dapat mengelola limbah padat agar tidak mencemari
lingkungan.

3.7 Dampak Perubahan Iklim dan Mitigasinya

Seperti iklim wilayah Indonesia pada umumnya, Kalimantan Timur beriklim tropis dan
mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau
biasanya terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, sedang musim penghujan
terjadi pada bulan November sampai dengan bulan April. Keadaan ini terus berlangsung
setiap tahun yang diselingi dengan musim peralihan pada bulan-bulan tertentu.

Selain itu, karena letaknya di daerah khatulistiwa maka iklim di Kalimantan Timur juga
dipengaruhi oleh angin Muson, yaitu angin Muson Barat November-April dan angin
Muson Timur Mei-Oktober. Namun dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan musim di
Kalimantan Timur kadang tidak menentu. Pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan

91
dalam kenyataannya tidak ada hujan sama sekali, atau sebaliknya pada bulan-bulan yang
seharusnya kemarau justru terjadi hujan dengan waktu yang jauh lebih panjang.

Secara umum, Kalimantan Timur beriklim panas dengan suhu pada tahun 2013 berkisar
antara 21,6 ⁰C di Berau pada bulan Oktober sampai 35,6 ⁰C di Berau pada bulan
September. Rata-rata suhu terendah adalah 22,1⁰C dan tertinggi 35,1⁰C terjadi di Berau.
Selain sebagai daerah tropis dengan hutan yang luas, pada tahun 2013 rata-rata
kelembaban udara Kalimantan Timur antara 83-87 persen. Kelembaban udara terendah
diamati oleh stasiun meteorologi Samarinda terjadi pada beberapa bulan dengan
kelembaban 82 persen. Sedangkan tertinggi terjadi di Berau pada bulan Februari dengan
kelembaban 91 persen.

Curah hujan di daerah Kalimantan Timur sangat beragam menurut bulan dan letak stasiun
pengamat. Rata-rata curah hujan tertinggi tercatat pada Stasiun Meteorologi Berau
sebesar 245,1 mm dan terendah selama tahun 2013 tercatat pada Stasiun Meteorologi
Samarinda yaitu 237,8 mm. Pada beberapa stasiun pengamat memantau kondisi angin di
Kalimantan Timur pada 2013. Pengamatan menunjukkan bahwa kecepatan angin antara 3
sampai 4 knot. Kecepatan angin tertinggi adalah 4 knot terjadi di Balikpapan dan Berau,
sementara yang terendah adalah 3 knot di Samarinda.

3.8 Konsep Pengelolaan Limbah

Pengolahan limbah adalah proses penghilangan kontaminan dari limbah meliputi proses
fisika, kimia, dan biologi untuk menghilangkan kontaminan fisik, kimia dan biologis.

3.9 Pra-Amdal

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu dokumen kajian
studi kelayakan untuk memastikan dampak lingkungan dari suatu tahapan
pengembangan proyek, sebagai bahan pertimbangan untuk pembuat keputusan dalam
penerbitan suatu Izin Usaha.

92
BAB 4 KAJIAN KOMERSIAL
4.1 Analisa Pangsa Pasar

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki LCOE tenaga surya tertinggi.
Nilai LCOE diperoleh dengan menghitung total jumlah biaya suatu pembangkit dibagi
dengan dengan total jumlah listrik yang dihasilkan selama teknologi tersebut digunakan.
Nilai LCOE merupakan parameter umum yang digunakan untuk membandingkan biaya
pembangkitan listrik dari berbagai penerapan teknologi. LCOE yang tinggi ini
menyebabkan energi surya kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan sumber
energi lain seperti gas dan batu bara. Untuk mengurangi LCOE energi surya, ada beberapa
faktor keberhasilan lainnya yang dapat dipertimbangkan, seperti skala, teknologi, desain,
pembiayaan, pengadaan, serta operasional dan pemeliharaan. Selain itu, pelonggaran
persyaratan kandungan lokal juga dapat menurunkan LCOE. Saat ini, peraturan yang
berlaku mengharuskan pengembang panel surya untuk mendapatkan barang dan jasa
dari penyedia lokal. Namun, penyedia lokal tidak memiliki ukuran dan skala ekonomi yang
memadai, sehingga kelayakan ekonomi industri manufaktur Solar PV menjadi kurang
menguntungkan.

Secara global, tahun 2019, total Solar PV mencapai kapasitas total 115 GW, sehingga total
kumulatif Solar PV seluruh dunia telah mencapai 627 GW. Harga yang semakin turun dan
bersaing dengan pembangkit fosil menjadi pemicu pesatnya perkembangan Solar PV di
seluruh dunia.

Australia:

Australia mencapai target bauran 24% energi terbarukan tahun 2019 dan menargetkan
50% pada tahun 2025. Australia berhasil menambahkan 2,2 GW pembangkit energi
terbarukan skala besar hanya di tahun 2019, sebagian besar Solar PV total kapasitas 1,4
GW. Australia mengembangkan energi terbarukan sebesar 250 Watt per orang, 10 kali
lebih cepat dibandingkan rata-rata dunia, dan 4 kali lebih cepat dibandingkan Eropa,
China, Jepang atau Amerika Serikat.

93
China:

Dalam tiga tahun terakhir, China memproduksi Solar PV sebanyak 126,5 GW. China
memiliki Solar PV total kumulatif 204,7 GW, angka ini sepertiga dari total kapasitas Solar
PV di seluruh dunia.

India:

Tahun 2019, India membangun Solar PV sebanyak 9,9 GW. India telah membangun Solar
PV dengan total kapasitas 32 GW dari target 100 GW yang optimis akan dicapai pada
tahun 2022.

Vietnam:

Kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan di Vietnam sudah mencapai 24,6 GW.
Tahun lalu Vietnam berhasil membangun Solar PV baru sebesar 4,8 GW.

Perkembangan Solar PV yang terus membaik, berpengaruh terhadap saham perusahaan


energi surya di Amerika Serikat. Sunrun, perusahaan energi surya atap terbesar di
Amerika, sahamnya melonjak lebih dari 300% sepanjang tahun 2020. Perusahaan energi
surya lainnya, Invesco Solar ETF juga mengalami peningkatan harga saham lebih dari dua
kali lipat.

Kenaikan ini bagian dari unjuk rasa yang didorong oleh harapan energi lebih bersih yang
mengarah pada dukungan federal untuk energi terbarukan, karena Joe Biden telah
menyerukan untuk menghapus emisi karbon pada tahun 2035.

Investor tidak lagi memfavoritkan saham bahan bakar fosil, terutama perusahaan minyak
besar, di tengah maraknya tata kelola lingkungan yang lebih bersih, dan investasi yang
sadar akan lingkungan hidup. ExxonMobil bukan lagi perusahaan energi terbesar di
Amerika berdasarkan nilai pasar. Predikat tersebut telah diambil oleh perusahaan surya
dan angin NextEra Energy. (CNN Business, 2020)

94
Di sisi lain, produksi Perakitan Solar PV tertinggi di Indonesia baru mencapai 120 MWp.
Beberapa perusahaan yang memproduksi Perakitan Solar PV di dalam negeri terlihat pada
tabel.

Tabel 4.10 Industri Perakitan Solar PV di Indonesia

PT Canadian Solar tertinggi dengan kapasitas per tahun 120 MWp. Dilanjutkan dengan PT.
Len Industri (Persero) dengan kapasitas 75 MWp per tahun. Total semua produksi hanya
mencapai 620 MWp. Diperlukan masih cukup banyak energi untuk memenuhi kebutuhan
di Indonesia.

Jika melihat dari rencana pengembangan EBT pada RUPTL 2021 – 2030 terlihat pada tabel
berikut:

Tabel 4.11 Rencana Pengembangan Pembangkit EBT (MW)

Kebutuhan pengembangan PLT Surya sampai dengan tahun 2030 mencapai kapasitas
2100 MWp. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan pengembangan industri
perakitan Solar PV yang lebih besar dari kapasitas produksi perusahaan yang sudah ada.

95
Sementara itu, animo masyarakat Indonesia untuk menggunakan Solar PV menunjukkan
tren positif.

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan listrik masa depan yang memicu peningkatan
biaya listrik, maka penggunaan Solar PV semakin diminati skala industri atau pabrik. Solar
PV didorong untuk mengakselerasi target bauran EBT 23% di 2025, pertumbuhannya
masif, terlihat dari kapasitas terpasang saat ini. Per Januari 2021 terdapat 3.152
pelanggan dengan total kapasitas terpasang mencapai 22,632 Mega Watt peak (MWp)
((EBTKE), 2021).

Sumber: (Deon Arinaldo, 2021)

Gambar 4.5 Penggunaan Solar PV dan Perkembangan Pengguna, 2018-2020

Sumber: (Deon Arinaldo, 2021)

Gambar 4.6 Perkembangan Penggunaan Solar PV Berdasarkan Segmen, 2019-2020

96
Disamping itu, Industri dan pabrik dalam operasionalnya juga perlu mempertimbangkan
sistem operasional dan produksi yang ramah lingkungan. Penggunaan Solar PV jauh lebih
ramah lingkungan, dimana 1 kWp energi surya dapat mengurangi emisi CO2 sebanyak 9
ton per tahunnya (Djamin, 2010). Pada industri, pabrik dan juga gedung komersial,
penggunaan Solar PV yang semakin besar mengakibatkan emisi gas karbondioksida yang
dihasilkan juga semakin banyak berkurang. Sebagai perbandingan, penggunaan listrik di
rumah 10 kWp/bulan, maka emisi yang dapat dihasilkan adalah sebesar 10 kg CO2.
(IESR.org, 2012)

Untuk penghematan biaya dan energi, Solar PV akan banyak digunakan untuk kebutuhan
industri atau pun pabrik. Kementerian ESDM mencatat total 30,38 MWp kapasitas
terpasang hingga Oktober 2020. Hal ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan
data pada akhir 2019 yang mencapai 16,16 MW. Dari total tersebut, hampir dua pertiga
kapasitas terpasang berasal dari pelanggan PLN di berbagai sektor, namun belum banyak
yang disumbangkan oleh proyek-proyek industri lainnya, misalnya pemasangan terbesar
dilakukan oleh PT Coca Cola di Cikarang, Jawa Barat, yakni 7,2 MWp yang merupakan
instalasi terbesar di kawasan Asia Tenggara ((EBTKE), 2021). Contoh lain adalah
pemasangan di pabrik Danone-AQUA Klaten (2,91 MWp), Softex (0,63 MWp), Fonterra
(0,38 MWp) (Deon Arinaldo, 2021), Solar PV Refinery (3,36 MWp) dan Solar PV Sei
Mangkei (2 MWp) ((EBTKE), 2021).

Tidak hanya sektor industri, sektor perumahan pun memiliki potensi pertumbuhan
penggunaan Solar PV. Hal ini terlihat dari data pada bulan Oktober 2020, kapasitas
terpasang solar cell pada perumahan meningkat sebesar 2,5 MWp menjadi 5,68 MWp,
dibandingkan 3,17 MWp pada akhir 2019. Hingga Oktober 2020, penggunaan solar cell
pada perumahan masih merupakan bagian terbesar dari 84% total pengguna atap surya
semua sektor, sebagian besar pangsa pasar Solar PV Rooftop pada perumahan ini
terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat (Deon
Arinaldo, 2021). Dilihat dari sebaran wilayah, Jakarta Raya masih mendominasi dengan
516 pengguna, disusul oleh Jawa Barat dengan 397 pengguna dan Banten dengan 395
97
pengguna Solar PV. Adapun, total kapasitas terpasang Solar PV berjumlah 4,92 Megawatt
(MW). Dari golongan/tarif pelanggan PT PLN (Persero), pemakaian Solar PV terbanyak
berasal dari golongan rumah tangga dengan 1.404 pelanggan dan sektor bisnis sebanyak
120 pelanggan. Selanjutnya, fasilitas pemerintah yang sudah memakai Solar PV berjumlah
34 pengguna dan fasilitas sosial sebanyak 18. Sedangkan dari sektor industri baru ada 4
pelanggan yang memakai Solar PV. (Wed Solar Indoneisa, 2021)

Hingga Januari 2021 sudah ada 3.152 pelanggan dengan total kapasitas terpasang
mencapai 22,632 MWp

Sumber: (Deon Arinaldo, 2021)

Gambar 4.7 Perkembangan Penggunaan Solar PV Beberapa Provinsi

Dalam Rencana Strategis Energi Nasional, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi
program prioritas Kementerian ESDM sebagai strategi menggenjot bauran energi baru
dan energi terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025. Indonesia merupakan negara
tropis, sehingga energi alternatif sinar matahari ini dapat dimanfaatkan secara maksimal
dalam berbagai sektor. Instansi pemerintahan, fasilitas publik, dan kawasan komersial
pun semakin banyak yang memanfaatkan energi bersih melalui Solar PV dan untuk
penerangan outdoor sehingga anggaran bisa lebih dihemat.
98
Penggunaan energi alternatif berbasis PV pada gedung perkantoran dan instansi
pemerintahan telah mulai diterapkan untuk mendukung program infrastruktur atau
pembangunan.

Pada bulan September 2020 Jawa Tengah menyatakan sebagai provinsi surya pertama di
Indonesia, dengan total 5,1 MWp kapasitas terpasang surya baru dengan total 147
pengguna, dibandingkan dengan hanya 155,2 kWp dan 40 pengguna pada September
2019.

Penambahan terbesar berasal dari sektor industri sebesar 73%. (3,7 MWp) dari total
penambahan kapasitas terpasang, dengan hanya 5 baru proyek. Kontributor terbesar
adalah 2,91 MWp dari Danone-AQUA baru-baru ini pemasangan solar rooftop di pabrik
Klaten (Deon Arinaldo, 2021), selebihnya adalah pemasangan yang tersebar di berbagai
sektor, termasuk di lingkungan Dinas ESDM bangunan, proyek APBD provinsi, dan sektor
perumahan.

Disamping itu penggunaan Solar PV ini juga telah diterapkan di KESDM (859 kWp),
Angkasa Pura II (241 kWp) dan SPBU Pertamina (52 kWp) ((EBTKE), 2021).

Penggunaan Solar PV ini juga dapat mendukung program elektrifikasi pedesaan. Hingga
September 2019, rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 98,86%, naik 0,56% dari
Desember 2018 yang sebesar 98,3%. (Indonesia K. E., 2019)

Masih ada dua provinsi yang rasio elektrifikasi di bawah rasio nasional, yaitu Nusa
Tenggara Timur (74%) dan Papua (94%), yang diupayakan agar bisa menyamai rasio yang
dicapai provinsi lain di Indonesia dengan rata-rata sudah mencapai 99%. Secara
terperinci, 433 desa tersebut terbagi di daerah Papua sebanyak 325 desa, Papua Barat
sebanyak 102 desa, Nusa Tenggara Timur sebanyak 5 desa, dan Maluku 1 desa. Dengan
menggunakan energi alternatif dari tenaga surya, diharapkan akses listrik akan dapat
segera dinikmati secara merata oleh semua masyarakat Indonesia.

Beberapa kondisi perkembangan konsumen dalam negeri, terlihat menunjukkan tren


yang terus meningkat.

99
Proyeksi dalam Rencana Umum Kelistrikan Nasional menyatakan bahwa kebutuhan listrik
pada tahun 2038 nanti akan mencapai 1.000 TWh atau setara 3,3 MWh per kapita. Jika
tren ini terus berlanjut, maka pada tahun 2050 nanti, konsumsi per kapita diperkirakan
akan mencapai sebesar 7,7 MWh atau sebesar 2.600 TWh. Maka perlu tambahan
pembangkit untuk memenuhi kebutuhan ini. Selain kebutuhan listrik pada sektor industri
dan bisnis yang terus tumbuh, kebutuhan akan mesin AC yang terus meningkat, peralihan
menggunakan kompor listrik, dan transisi pada kendaraan bermotor listrik, menjadi faktor
pendorong dari tumbuhnya konsumsi listrik Indonesia hingga tahun 2050 nanti.

Secara global, tren harga listrik dari pembangkit energi terbarukan terus mengalami
penurunan, seiring pesatnya riset Solar PV. Harga Solar PV tercatat turun dari 37,8 cent
USD per kWh di tahun 2010, menjadi 6,8 cent USD per kWh pada tahun 2019.

Riset Solar PV terus berkembang di berbagai institusi/lembaga riset dunia. Diantaranya


adalah NREL (National Renewable Energy Laboratory), Sharp, Sanyo, Mitsubishi, dan
Spectrolab. Tujuan utama dari riset tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi solar
cell. Faktor efisiensi ini merupakan faktor kunci untuk meningkatkan output daya listrik
yang dapat dihasilkan dari suatu PV module. Meningkatkan efisiensi ini juga akan
menurunkan luasan area PV modul per watts ( m2/W), sehingga akan menghemat
penggunaan luasan lahan.

Berdasarkan data tahun 2015, NREL dan Spectrolab telah berhasil membuat solar cell
yang efisiensinya mencapai lebih dari 40%, dengan menggunakan bahan Ga As, namun
belum sampai tingkat komersial.

100
Sumber: (Laboratory, 2015)

Gambar 4.8 Alur Riset Peningkatan Efisiensi Solar PV Module

Di sisi lain, pembangkit dari energi fosil yang saat ini sedang beroperasi akan semakin tua
dan mencapai lifetimenya. Bahkan yang baru mulai beroperasi tahun ini pun, 20 – 30
tahun lagi akan keluar dari sistem karena habis umur operasinya.

Khusus di wilayah IKN, kapasitas permintaan puncak Solar PV tahunan IKN diproyeksikan
meningkat dari 1.2 GW pada tahun 2025 menjadi sekitar 4.5 GW pada tahun 2045.
Sementara hidrogen dan baterai akan berfungsi sebagai sumber cadangan sekunder.
Berdasarkan perhitungan, pabrik pembuatan Solar PV baru layak secara ekonomi jika
kapasitas minimum produksinya mencapai 300 – 500 MW pertahun.

4.2 Kebutuhan Investasi

Pengembangan Industri Perakitan Solar PV di IKN menghadapi tantangan.

Pengembangan industri Perakitan Solar PV memiliki potensi besar di Indonesia. Energi


surya yang didapatkan Indonesia diproyeksikan sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara. Di

101
samping itu, belanja modal (capex) yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi dari
matahari terus menurun (sekitar 2% per tahun) di Asia, sementara demand untuk energi
surya semakin meningkat (sekitar 12% per tahun).

LCOE Indonesia untuk membangkitkan listrik dari tenaga surya pada tahun 2018 adalah
9,2 sen hingga 12,3 sen $US per kWh. Biaya capex yang tinggi ini didorong oleh
persyaratan kandungan lokal dan volume yang rendah, sehingga menyebabkan proyek
energi terbarukan hanya menguntungkan di daerah terpencil dengan potensi
pembangkitan listrik skala besar yang lebih rendah.

Aspirasi ini dituangkan dalam dua poin KPI Masterplan IKN yaitu: (1) Instalasi kapasitas
energi baru terbarukan yang akan memenuhi 100% kebutuhan energi IKN; (2) Net zero
emission untuk IKN pada saat beroperasi di tahun 2045 di KP-IKN.

Ada 3 faktor penting pengembangan Industri Perakitan Solar PV di IKN.

Tiga faktor penting yang harus terpenuhi untuk membangun pabrik pembuatan Solar PV
di IKN, yaitu :

1. Penyelarasan dan eksekusi pengembangan listrik tenaga surya setidaknya 5,9 GW di


IKN. Pembangunan pabrik pembuatan Solar PV baru di Kalimantan Timur perlu
memastikan demand yang mencukupi di IKN dan Kalimantan Timur;
2. LCOE untuk Solar PV lebih rendah dari harga listrik saat ini. LCOE Solar PV perlu turun
sekitar 30-40% agar dapat bersaing dengan sumber listrik lain seperti gas atau batu
bara. Untuk itu, diperlukan dukungan regulasi terkait persyaratan kandungan lokal
untuk mengurangi LCOE energi surya secara keseluruhan; dan
3. Peningkatan signifikan dalam komitmen PLN untuk meningkatkan permintaan
domestik. PLN perlu berkomitmen untuk meningkatkan pengembangan Solar PV
sebesar 5 kali hingga 10 kali lipat dalam 10 tahun ke depan guna memastikan
demand yang cukup untuk kapasitas tambahan yang akan tersedia.

Perakitan Solar PV

102
Perakitan Solar PV mulai dari bahan baku berupa wafer silicon (solar cell) dengan daya
2,5 Watt dan tegangan 0.5 Volt untuk menghasilkan satu buah modul PV dengan
kapasitas tertentu.

Sumber:

Gambar 4.9 Proses Perakitan Solar Cell Menjadi PV Module

Langkah perakitan modul dalam rantai pasokan c-Si melibatkan sel-sel yang
menghubungkan secara elektrik ke dalam string, mengatur string sel paralel menjadi
array, menghubungkan string secara elektrik dengan pita logam, memasang susunan ke
lapisan enkapsulan di atas selembar kaca atau lembar belakang, dan melaminasi lembar
enkapsulan dan kaca depan lainnya ke seluruh rakitan. Enkapsulan depan dan belakang
yang khas adalah bahan termoplastik yang meleleh saat dipanaskan selamaproses
laminasi—sehingga membungkus seluruh rakitan di antara selembar kaca didepan dan
lembaran belakang atau lembaran kaca lain di belakang

103
Sumber:

Gambar 4.10 Proses Perakitan Solar PV di Pabrik Perakitan

Tahapan perakitan Solar PV adalah sebagai berikut :


1. Penyiapan solar cell ( wafer silicon) sebagai bahan baku.
2. Proses cell wire tabbing
3. Proses cell matrixing
4. Pembentukan array cell
5. Glass printing
6. Pembentukan struktur sandwich
7. Proses lay-up
8. Proses laminasi
9. Framing untuk pembentukan modul

4.3 Kajian Komersial

4.3.1 Konsep Pengembangan Industri Perakitan Solar PV

Perakitan Solar PV yang akan dikembangkan di Superhub IKN sesuai master plan IKN
bertujuan untuk dapat menunjang kebutuhan energy bersih yaitu tenaga surya di Ibu
Kota Negara (IKN) yang diproyeksikan meningkat sampai dengan 1.2 GW pada tahun 2025
dan menjadi sekitar 4.5 GW pada tahun 2045. Energi surya diperkirakan dapat memenuhi
104
sebagian besar kebutuhan energi di IKN, sementara FC hidrogen dan baterai akan
berfungsi sebagai sumber cadangan sekunder. Berdasarkan perhitungan, industry
perakitan Solar PV baru layak secara ekonomi jika kapasitas minimum produksinya
mencapai 300 – 500 MW pertahun.
Dengan mengacu pada potensi dan kebutuhan Solar PV di Indonesia yang mencapai 207
GW, maka diperlukan percepatan pengembangan industri perakitan Solar PV, sampai
dengan tahun 2025. Fokus pemasaran produksi solar PV akan diarahkan ke wilayah
Indonesia Timur dan wilayah lain yang masih menggunakan pembangkit berbahan bakar
batubara dan BBM serta wilayah lain yang rasio elektrifikasinya masih rendah.
Pada tahap pertama industry perakitan solar PV akan dibangun di kawasan industri
Muara Jawa dengan kapasitas awal produksi sekitar 300 MW per tahun , yang selanjutnya
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan permintaan (demand forcast) akan
dikembangkan sampai 500 MW per tahun. Bahan baku Solar PV berupa PV cell (silicon
wafer) di impor dari China , Taiwan atau Korea yang saat ini menjadi produsen solar PV
terbesar di dunia yang mensuplai 95% kebutuhan dunia.
Pengembangan industry solar PV akan dilakukan dalam program jangka pendek dan
jangka panjang (Gambar 3.1). Dalam program jangka pendek (2021 – 2024) , akan
diupayakan penciptaan pasar solar PV dengan menggalakkan penggunaan PLTS roof top
dan PLTS skala besar (baik ground mounting ataupun floating), dan pengembangan
indutri solar PV dalam negeri yang difasilitasi oleh Permen ESDM, Permen Perindustrian
dan Permen PUPR yang terkait. Pada program Jangka Panjang (2024 – 2030) , Industri
Perakitan Solar PV akan di pacu dengan membangun industry perakitan dan manufaktur
solar cell (silicon wafer) dalam negeri yang mandiri , sehingga bisa mengurangi
ketergantungan bahan baku dari luar negeri dan bisa bersaing dengan produk PV dari luar
negeri.
Untuk program jangka pendek diharapkan industry perakitan ini akan dikembangkan oleh
pihak swasta dalam negeri atau juga mancanegara (PMA) dengan pola bisnis B to B dan
skema BOO (build, operational, own). Dengan produksi sekitar 300 – 500 MW per tahun
diharapkan industry ini dapat mensuplai kebutuhan Pembangkit Tenaga Surya pada tahun
2024 sebesar 217 MW dan tahun 2025 sebesar 460 MW , sesuai yang di amanatkan
RUPTL 2021 – 2030.

105
Sumber:

Gambar 4.11 Konsep Pengembangan Industri Perakitan Solar PV di Indonesia

4.3.2 Lokasi/layout

Berdasarkan analisis kebutuhan infrastruktur dan karakteristik Industri Perakitan Solar PV


maka luas area industri yang diperlukan adalah sekitar 10 hektar (100.000 m2), dekat
dengan pelabuhan bongkar/muat, akses jalan yang memadai (lebar dan kuat/kokoh) dan
daerah yang bebas banjir atau tanah longsor. Berdasarkan hasil survei ditentukan
alternatif lokasi industri adalah Kawasan Industri Muara Jawa atau Kawasan Industri
Buluminung. Lokasi Industri Perakitan Solar PV direncanakan ditempatkan di wilayah
industri Muara Jawa yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Samarinda sehingga
kebutuhan infrastruktur penunjang seperti jaringan listrik, air dan jalan raya telah
tersedia.

Rencana layout dan kebutuhan lahan pabrik perakitan solar PV adalah sebagai berikut:

Tabel 4.12 Rencana Kebutuhan Lahan Pabrik Perakitan Solar PV

No Fasilitas Luas (m2) Total Luas (m2)


.
1. Bangunan Kantor 5000 5000
106
2. Bangunan Pabrik 20.000 20.000
3. Pergudangan 5000 5000
4. Fasilitas Pendukung 3000
a. Laboratorium 1000
b. Fasilitas Pengujian 1000
c. Workshop, Ruang K3 1000
5. Fasilitas Penunjang 17.000
a. Ruang Klinik Kesehatan 1000
b. Tempat Ibadah 3000
c. Ruang Makan 1000
d. Hall (ged. Pertemuan) 2000
e. Gedung Parkir kendaraan 10.000
f. Jalan dan Ruang Hijau 50.000
Kebutuhan lahan fasilitas pabrik 100.000 m2

4.3.3 Konsep Utilitas

Peralatan penunjang dan pendukung yang diperlukan untuk operasional dari pabrik
perakitan solar PV adalah kebutuhan daya listrik, gas dan air. Daya listrik yang
diperlukan adalah sebesar 5 MVA , yang dilengkapi dengan gardu trafo tegangan
menengah 20 kV dan juga tegangan rendah 3 phasa , 380 V. Selain itu diperlukan juga
suplai gas dan juga suplai air bersih dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan untuk
proses produksi dan juga untuk kebutuhan fasilitas pendukung dan penunjang.

4.4 Analisis kelayakan finansial

4.4.1 Metoda yang digunakan

Metoda yang digunakan adalah menghitung Capex dan Opex serta biaya produksi
pada tahun pertama. Selanjutnya dengan menghitung Net Present Value (NPV)
dengan memperhitungkan bunga bank (interest rate) sebesar 10 %, dihitung NPV

107
dan IRR sampai dengan 10 tahun masa operasi dari mesin. Kelayakan proyek dari
aspek financial akan di lihat dari nilai NPV, IRR dan pay back periodenya. Selanjutnya
dengan metode Sensitivity Analysis bisa di tinjau parameter financial mana yang
dapat di sesuaikan untuk didapatkan hasil analisis yang optimal.

4.4.2 Data dan Asumsi

Data dan assumsi yang digunakan adalah:

1. Kebutuhan lahan untuk industri Perakitan Solar PV adalah sekitar 10 Ha


2. Lokasi pabrik ada di wilayah industri Muara Jawa dengan harga lahan pabrik
Rp.1.000.000,- per m2
3. Bahan baku solar PV didatangkan dari China dengan referensi harga wafer tahun
2018 sebesar US$ 0.53 per wafer (2.5 watt), Gambar 3.2.
4. Mesin manufaktur masih menggunakan tipe semi automatic (belum full
automatic) dengan life time sekitar 10 tahun.
5. Kebutuhan daya listrik sebesar 5 MVA, dengan jam operasi pabrik selama 10 jam
per hari.
6. Harga jual Solar PV modul ditentukan sekitar US$ 0.92 per Watt.
Biaya produksi silicon wafer di China adalah US$ 0.53, Taiwan US$ 57 dan Korea US$
0.68, berdasarkan data tahun 2018 dari NREL (National Renewable Energy
Laboratory), seperti tercantum pada gambar.

108
Sumber:

Gambar 4.12 Biaya Produksi Silicon Wafer pada Tahun 2018

4.4.3 Biaya investasi

Biaya investasi terdiri dari pengadaan lahan, pembangunan gedung perkantoran,


pembangunan pabrik, fasilitas pergudangan, fasilitas pendukung dan penunjang
(Tabel 2).

Tabel 4.13 Rincian Biaya Investasi (Capex) Kapasitas 500 MW/Tahun

No MATERIAL Kapasitas Nilai Biaya Total


. (US$) (US $)
1. Lahan 10 hektar 690.000,- 6.900.000,-
2. Bangunan 5000m2 350,- 1.750.000,-
Perkantoran
3. Bangunan Pabrik 20.000 m2 250,- 5.000.000,-
4. Fasilitas 5.000 m2 200,- 1.000.000,-

109
Pergudangan
5. Fasilitas Pendukung 3.000 m2 200,- 600.000,-
6. Fasilitas Penjunjang 17.000 m2 200,- 3.400.000,-
6. Mesin Industri
perakitan PV :
a. Stringer 10 30.000 1.500.000,-
Machine
MW/tahun
b. Lay-up Machine 10 45.000 2.250.000,-
MW/tahun
c. El-Tester 10 50.000 2.500.000,-
Machine
MW/tahun
d. Laminator 10 40.000 2.000.000,-
MW/tahun
e. Framing 10 25.000 1.250.000,-
MW/tahun
f. Flasher 10 20.000 1.000.000,-
MW/tahun
7. Peralatan Lab dan 5 unit 150.000 750.000,-
Pengujian
8. Infrastruktur Listrik 5 MVA 100.000,- 500.000,-
9. Biaya engineering 1 lot 0.001/W 500.000,-
Biaya Investasi infrastruktur pabrik perakitan solar 30.900.000,-
PV

Selain itu dihitung pula biaya pengeluaran untuk pengadaan bahan baku , biaya
operasional dan biaya pegawai untuk satu tahun. (Tabel 3).

Selain itu diperlukan juga kebutuhan operasional lainnya yaitu kebutuhan akan air
dan gas, pemeliharaan peralatan serta transportasi dimana pengeluaran ini masuk
pada biaya operasional (OPEX).

110
Tabel 4.14 Expenditure Per Tahun (Produksi 500 MWp)

No Item Nilai (US $)


.
1. Capital Expenditur 30.900.000,-
(CAPEX)
2. Operational 1% x Capex 3.090.000,-
Expenditur (OPEX) per
tahun
3. Biaya material (cell US$ 0.21/W 105.000.000,-
dan modul) per tahun
(500 MW)
4. Biaya pegawai US $ 0.01/W 5.000.000,-

Biaya investasi tahun pertama : 143.990.000,-


5. Harga Jual PV Modul US $ 0.92/W 260.000.000,-

4.4.4 Biaya operasi

Biaya operasi pabrik adalah terdiri dari biaya listrik, air, gas dan fasilitas transportasi
barang/material dan juga manusia, termasuk biaya gaji pegawai dan karyawan yang
diperhitungkan selama satu tahun.

Daya listrik terpasang dari industry ini adalah sebesar 5 MW. Dengan operasional
pabrik selama 10 jam rata-rata perhari maka kebutuhan daya listrik total adalah 365
x 10 jam x 5 MW = 18.250 MWh = 18.250.000 kWh. Dengan biaya listrik per kWh =
Rp. 1400, , biaya listrik pertahun adalah 18.250.000 x Rp. 1400,- = Rp.
25.550.000.000,- atau setara dengan US$ 1.762.068,-. Kebutuhan daya listrik
tersebut digunakan untuk proses produksi, lampu penerangan, dan kebutuhan
fasilitas pendukung dan penunjang.

111
4.4.5 Pemasukan/Pendapatan.

Produksi perakitan solar PV modul dengan total kapasitas per tahun 500 MWp, di
asumsikan atau di skenariokan akan di produksi dalam 8 tipe :

a. Tipe Monokristalin 500 Wp sebanyak 200.000 modul : 100.000.000 Wp


b. Tipe Monokristalin 400 Wp sebanyak 200.000 modul : 80.000.000 Wp
c. Tipe Monokristalin 300 Wp sebanyak 200.000 modul : 60.000.000 Wp
d. Tipe monokristalin 200 Wp sebanyak 50.000 modul : 10.000.000 Wp
e. Tipe Polykristalin 500 Wp sebanyak 200.000 modul : 100.000.000 Wp
f. Tipe Polykristalin 400 Wp sebanyak 200.000 modul : 80.000.000 Wp
g. Tipe Polykristalin 300 Wp sebanyak 200.000 modul : 60.000.000 Wp
h. Tipe Polykristalin 200 Wp sebanyak 50.000 modul : 10.000.000 Wp.
Dengan scenario seperti diatas maka dengan harga jual rata-rata per PV modul
sebesar US$ 0.52/ W, maka akan didapat hasil penjualan sebesar US$ 260.000.000,
belum termasuk pemotongan pajak penjualan.

Kelayakan financial dapat dilihat dari Tabel 4, yang menghasilkan IRR = 17%, NPV =
US$ 3.329.536 dan Payback Periode selama 7 tahun.

Tabel 4.15 Financial Analysis

No. Item Nilai


1. Debt : Equity Ratio 70 % : 30 %
2. Interest rate 15.4 %
3. Life Time
a. Manufacturing Machines 10 tahun
b. Building infrastructure 25 tahun
4. Internal Rate of Return (IRR) 17.0%
5. NPV US$ 3.329.536
6. Payback Period (PCFF) 7 year

112
BAB 5 KAJIAN EKONOMI, SOSIAL DAN
LINGKUNGAN
5.1 Arah Kebijakan Industri dan Investasi

Daya saing industri sangat bergantung kepada spesialisasi industri dalam konsentrasi
geografik tertentu, sebuah gagasan yang dikemukakan Alfred Marshall, ekonom terkenal
dari Universitas Cambridge, pada akhir abad 19.

Gagasan ini pada akhir 1990an dikembangkan oleh Michael Porter, ekonom dari
Universitas Harvard. Berdasarkan penelitian empirik di beberapa negara ternyata
industri-intustri yang kompetitif secara internasional cenderung berkonsentrasi pada
lokasi-lokasi tertentu. Kecenderungan yang sama juga dikemukakan oleh Paul Krugman,
ekonom dari Universitas Princeton, untuk negara-negara Asia Timur dan Tenggara.

Kluster industri adalah “Konsentrasi geografik dari perusahaan yang saling berkaitan,
suppliers khusus, penyedia jasa-jasa, dan lembaga-lembaga lain yang terkait (universitas,
riset, training centres) yang tidak saja saling bersaing akan tetapi juga bekerja-sama”. 1
Keberhasilan kluster industri tergantung kepada dinamikanya, karena itu interaksi antara
perusahaan dan organisasi yang berada di dalamnya menjadi sangat penting.

Terdapat dua jenis kluster industri:


1. Kluster dengan integrasi vertical (hulu – hilir)
2. Kluster dengan integrasi horizontal

Kebijakan kluster:
1. Adalah pengembangan sistem industri, bukan pengembangan perusahaan tertentu
2. Memberikan tekanan kepada sistem industri-industri dari berbagai sektor agar
supaya bersinergi dengan pembangunan ekonomi
3. Merupakan kerangka kebijakan sebagai landasan untuk mengerahkan sumber-
sumber daya pembangunan
1
Michael E Porter, Clusters and the new economics of competition, hal.77-90, Harvard Business Review, 12
Nov.1998

113
4. Pembentukan jaringan kerja (network) dan kelembagaan
1. Promosi bidang-bidang teknologi baru
2. Pembentukan pusat-pusat teknologi (dengan kerjasama dengan pemerintah
lokal, universitas dan pengusaha)
3. Pembentukan pusat business start-ups yang melibatkan pengembangan
teknologi, R&D, pelatihan, pemasaran dan pembiayaan
4. Kegiatan-kegiatan tersebut di atas dikelola berdasarkan partnership antar
berbagai pihak seperti pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, pusat-pusat
riset dan pelatihan, dan organisasi pendukung pembiayaan

5.1.1 Roadmap Pengembangan Industri Nasional

Pedoman Kebijakan Industri Nasional: Sistem Industri Nasional

Berdasarkan konsep dan definisi sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka komponen-


komponen utama dari Sistem Industri Nasional (lihat Gambar berikut) telah dirumuskan
dan ditentukan oleh Pemerintah melalui sejumlah peraturan-peraturan yaitu diantaranya:
1. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2015 yang diantaranya memberikan arahan-
arahan tentang Visi, Misi, Strategi dan Target yang ingin dicapai selama 20 tahun
mendatang (2015 – 2035).
2. Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Industri
Nasional Tahun 2015-2019
3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pengukuran
Tingkat Kesiapan Industri Dalam Bertransformasi Menuju Industri 4 .0

114
Sumber: Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015

Gambar 5.13 Sistem Industri Nasional

Pembangunan kluster-kluster ekonomi IKN sebagai bagian Sistem Industri Nasional 2


Dalam konteks nasional terkini (periode JKW II), secara normatif (kebijakan yang bersifat
teknokratik dan “top-down) maka setiap kluster-kluster IKN 3 berada dalam komponen-
komponen berikut:

1. Industri Andalan:
• Prioritas I (lihat KAK) : Kluster Ekonomi/Industri Pertanian berkelanjutan, dgn
Flagships (Plant-based Proteins, Plant Extracts, Produk Herbal, Biosimilars);
• Prioritas II (lihat KAK): Perakitan Solar PV dan Kendaraan Listrik Roda Dua;
2. Industri Pendukung:
• Prioritas I (lihat KAK): Kluster Ekonomi/ Industri Farmasi teriintegrasi dengan
Flagship API, Industry 4.0 hub untuk industri yang sudah berkembang

2
Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2015
3
Catatan: diluar pengelompokan industri dari kluster-kluster ekonomi IKN, maka Master Plan IKN juga
merencanakan pembangunan kluster ekonomi berbasis jasa Pariwisata terintegrasi dan berkelanjutan
(urban and eco-wellness tourism, termasuk medical tourism) dan Kluster Industri di Muara Jawa sebagai
lokasi flagships industri Plant-based Proteins, Plant Extracts, Produk Herbal, Biosimilars
115
• Prioritas II (lihat KAK): Berbasis Energi Rendah Karbon terintegrasi termasuk coal
gasification, biofuels dan OEM hub.
3. Industri Hulu
• Prioritas II (lihat KAK): Kimia terintegrasi berorientasi ekspor (petrokimia dan
oleokimia);
Didalam perjalanan waktu, sesuai dengan kewenangan Presiden terpilih sebagaimana
diatur didalam UU, maka perumusan masing-masing komponen (Visi, Misi dan lain-lain)
dapat berubah. Perubahan-perubahan komponen tersebut akan berakibat kepada
perubahan-perubahan kebijakan yang bersifat strategik (sebagaimana yang diatur melalui
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden), termasuk diantaranya prioritas
pembangunan secara sectoral maupun lintas sectoral yang akan berdampak kepada
alokasi anggaran Pemerintah (termasuk diantaranya Investasi Pemerintah melalui
Peraturan Menteri Keuangan).

Secara operasional sesuai dengan kewenangan masing-masing Kementerian akan


menjabarkankannya ke dalam suatu regulasi Teknis (Permen dan turunannya)

Capaian-capaian yang diharapkan: Sasaran Pengembangan Industri 2015-2035


dengan tumpuan industri non-migas

1. Dalam jangka panjang, sektor industri non migas diharapkan dapat menjadi
tumpuan industri nasionalz. Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhannya (6,85% -
10,5%) maupun kontribusi sektor tersebut terhadap PDB ( 21,2% - 30%) dengan
orientasi pasar ekspor yang memberikan sumbangan devisa yang terbesar (hampir
79% diakhir 2035). Melalui capaian-capaian tersebut maka diharapkan akan
berdampak kepada penciptaan lapangan kerja, kebutuhan impor untuk bahan
baku dan/atau penolong serta nilai investasi untuk mendukung pembangunan
sektor industri non-migas.
2. Dalam konteks kewilayahan yang berdampak secara potensial kepada
pengurangan disparitas regional, sektor ini diharapkan akan menciptakan nilai
tambah sebesar 40% di luar Pulau Jawa pada akhir 2035.

116
3. Indikator-indikator sektoral tersebut merupakan rujukan kebijakan dalam
pembangunan kluster-kluster ekonomi IKN
Gambar berikut memberikan rencana sasaran pembangunan sektor industri yang ingin
dicapai pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2035.

Tabel 5.16 Sasaran Pembangunan Industri Nasional

Asumsi Sasaran Kebijakan (Key Success Factors)

Sasaran kuantitatif diatas ditentukan berdasarkan asumsi yang didukung oleh komitmen
pemerintah untuk tercapainya kondisi4 sebagai berikut:
1. stabilitas politik dan ekonomi yang mendukung peningkatan pertumbuhan
ekonomi nasional antara 6% (enam persen) sampai dengan 9% (sembilan persen)
per tahun;
2. perkembangan ekonomi global yang dapat mendukung pertumbuhan ekspor
nasional khususnya produk industri;
3. iklim investasi dan pembiayaan yang mendorong peningkatan investasi di sektor
industri;

4
Namun dengan berlangsungnya pandemi Covid-19 maka dalam proses perencanaan kluster-kluster
Ekonomi IKN perlu dipertimbangkan kembali asumsi-asumsi yang digunakan untuk tingkat pertumbuhan
ekonomi secara nasional, regional dan sektoral.

117
4. ketersediaan infrastruktur yang dapat mendukung peningkatan produksi
dan kelancaran distribusi;
5. kualitas dan kompetensi SDM industri berkembang dan mendukung peningkatan
penggunaan teknologi dan inovasi di sektor industri;
6. kebijakan terkait sumber daya alam yang mendukung pelaksanaan program
hilirisasi

Arah rencana industrialisasi Indonesia

Sumber:

Gambar 5.14 Arah Rencana Industrialisasi Indonesia

Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), tahapan dan
arah rencana pembangunan industri nasional diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap I (2015-2019). Arah rencana pembangunan industri nasional pada tahap ini
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam pada industri
hulu berbasis agro, mineral dan migas, yang diikuti dengan pembangunan industri
pendukung dan andalan secara selektif melalui penyiapan SDM yang ahli dan
kompeten di bidang industri, serta meningkatkan penguasaan teknologi.

118
2. Tahap II (2020-2024). Arah rencana pembangunan industri nasional pada tahap ini
dimaksudkan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan
melalui penguatan struktur industri dan penguasaan teknologi, serta didukung
oleh SDM yang berkualitas.
3. Tahap III (2025-2035). Arah rencana pembangunan industri nasional pada tahap
ini dimaksudkan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Industri Tangguh
yang bercirikan struktur industri nasional yang kuat dan dalam, berdaya saing
tinggi di tingkat global, serta berbasis inovasi dan teknologi.

Industri 4.0 Indonesia : Katalisator Kebangkitan Industri Indonesia

Sumber: Making Indonesia 4.0, Kemenperin, 2018

Gambar 5.15 Industri 4.0 Indonesia: Katalisator Kebangkitan Industri Indonesia

1. Tahun 2018, pemerintah mulai mencanangkan peta jalan penggunaan teknologi


berbasis kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), wearables, robotika
canggih, dan 3D printing di seluruh kegiatan ekonomi.
2. Untuk kegiatan-kegiatan industri akan difokuskan kepada lima sektor manufaktur:
a. Makanan dan minuman

119
b. Tekstil dan pakaian
c. Otomotif
d. Kimia
e. Elektronik
2. Sasaran Kebijakan:
a. PDB Indonesia 2040 menjadi salah satu dari 10 kekuatan ekonomi terbesar
di dunia.
b. Secara sektoral, 5 sektor industri diatas diharapkan memberikan
sumbangan kepada:
i. Output Industri Nasional = 60%
ii. Ekspor komoditas manufaktur = 65%
iii. Penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur = 60%

Model Pengembangan Industri 4.0 berbasis inovasi dan pengembangan SDM

Sumber: https://bpsdmi.kemenperin.go.id/program/pidi-4-0/

Gambar 5.16 Model Pengembangan Industri 4.0 Berbasis Inovasi dan Pengembangan SDM

• Industry 4.0 merupakan peluang untuk merevitalisasi sektor manufaktur dan


akselerator untuk mencapai visi Indonesia menjadi 10 ekonomi teratas di dunia.
120
•  Kementerian Perindustrian membangun Pusat Inovasi dan Pengembangan SDM
Industri 4.0 (PIDI 4.0) atau Digital Innovation and Capability Center untuk
mempercepat adopsi Industri 4.0 di Indonesia.
•  PIDI 4.0 akan berperan sebagai :
1)Showcase Center, etalase penerapan dan proses
transformasi industry 4.0. Desain konseptual untuk showcase, pada tahap
awal diarahkan untuk Food and Beverage Industry dengan
menampilkan showcase Ready-To-Drink (RTD) Tea dan teknologi kemasan,
serta untuk Automotive Industry untuk komponen otomotif dan
permesinan.
2) Capability Center  membangun keahlian industri 4.0 dari level eksekutif
puncak sampai dengan operator di lapangan, dengan
target upskilling terhadap lebih kurang 400.000 tenaga kerja industri atau
4000 perusahaan.
3) Ecosystem for Industry 4.0, membangun jejaring stakeholder industry
4.0 yang saling mendukung (Transfer Skill and Knowledge), dengan target
lebih kurang 100-200 mitra atau stakeholders yang tergabung dalam 5
tahun.
4) Delivery Center, pendampingan perusahaan dalam
adopsi/transformasi industry 4.0 dari assessment hingga implementasi dan
pengembangan (scale up), melalui layanan field and forum serta portal Do
It Yourself (DIY) untuk untuk self help bagi perusahaan.
5) Innovation Center, memfasilitasi jaringan riset terapan antara
perusahaan dan lembaga riset, sekaligus menyediakan test bed untuk
pengujian penerapan teknologi baru.
• Pelaksanaan fungsi PIDI 4.0 secara bertahap telah dibangun dengan
mengembangkan jaringan satelit PIDI 4.0 pada Satuan Kerja di
lingkungan Kementerian Perindustrian serta beberapa industri yang
menjadi lighthouse Industri 4.0.
• Dengan adanya satelit PIDI 4.0 di berbagai daerah dan bidang
keahlian, diharapkan target akselerasi transformasi industri 4.0
121
yang ditetapkan pada 5 pilar PIDI dapat tercapai dalam waktu yang
lebih cepat.
Konteks kluster ekonomi IKN dalam Kebijakan Industri Nasional (Peraturan Pemerintah
No.14 Tahun 2015 )
• Industri berbasis Kewilayahan
• Sebagai bagian dari Kebijakan Industri, Kemenperin telah menetapkan
pengelompokan industri sebagai berikut: Wilayah Pusat Pertumbuhan
Industri (WPPI), Kawasan Peruntukan Industri, Kawasan Industri, dan
Sentra Industri kecil dan industri menengah;
• Kluster ekonomi sebagaimana digambarkan dalam Master Plan
berdasarkan PP No.14/2015 dapat dikategorikan sebagai suatu Kawasan
Industri.
• Sebagai suatu Kawasan Industri, Kemenperin telah memberikan sejumlah
insentif kepada pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya. Disamping, bagi
calon-calon investor yang berhubungan melalui BKPM.

5.1.2 Kebijakan FDI (Negative list, Transfer of Technology)

Dalam konteks perlindungan terhadap industri domestik, Kementerian Perindustrian


telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang “dapat” menghambat minat investor asing
(Foreign Direct Investment), yaitu:
1) Tingkat komponen dalam negeri atau TKDN;
2) pembatasan investasi asing terhadap sektor-sektor strategis/tertentu
(negative list)
Suatu kebijakan domestik, yaitu proteksi industri domestik, juga akan mempengaruhi arus
perdagangan antar negara. Sebagai anggota WTO, Indonesia terikat kepada salah satu
prinsipnya yaitu “liberalisasi perdagangan”. Prinsip telah diatur melalui yaitu Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) merupakan peraturan
mengenai investasi di Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Investasi Asing dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Investasi
Domestik. Undang-undang ini tidak lagi membedakan antara investasi asing dan

122
domestik. Oleh karenanya, kebijakan proteksi, melalui sejumlah peraturan terkait diatas
dapat “ditafsirkan” oleh mitra dagang Indonesia sebagai suatu “hambatan investasi”.
Pada dasarnya hambatan perdagangan yang berdampak kepada investasi dapat
dikelompokan menjadi empat kategori :
1. tindakan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara seperti tarif,
kuota, aturan bea masuk, perizinan impor, dan peraturan-peraturan teknis seperti
pengujian dan sertifikasi.
2. peraturan internal dan praktek yang memiliki sifat proteksi seperti peraturan yang
berkaitan dengan produk dan jasa mencakup pendistribusian serta penjualan
produk dan jasa, subsidi, monopoli perdagangan oleh negara, kebijakan
pengadaan pemerintah, standar teknis persyaratan, serta langkah-langkah
keselamatan serta kesehatan.
3. praktik bisnis swasta dan adat istiadat meliputi pembatasan praktik bisnis, sosial,
serta perbedaan budaya yang mempengaruhi perilaku bisnis, dan preferensi
konsumen.
4. hambatan yang berasal dari karakteristik dan struktur ekonomi dari negara
pengimpor, seperti kebijakan pemerintah atas kredit dan investasi, kebijakan
idustrial, dan kebijakan ekonomi makro, contohnya mendorong penghematan
devisa dan mengurangi konsumsi impor.5

Tidak semua hambatan diatas dapat diatasi oleh organisasi internasional seperti WTO
(World Trade Organization). Hal tersebut dikarenakan WTO hanya bersifat sebagai
organisasi internasional saja yang hanya berfokus pada kendala perdagangan yang
eksplisit dan jelas yang dikenakan oleh pemerintah, seperti tarif, kuota, dan regulasi bea
cukai dan praktik.

Sejak tahun 2009, Pemerintah melalui Permenkeu No.176/PMK.011/2009 merupakan


landasan kebijakan industri terkait tingkat penggunaan komponen dalam negeri yang

5
Mitsuo matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C.Mavroidis, The World Trade Organization, Law,
Practice, And Policy, second edition, Oxford University Press, Hlm 258-259.
123
harus dipenuhi oleh suatu industri sebagaimana yang ditentukan dalam sejumlah
Peraturan Menteri Perindustrian.

Tabel 5.17 Hambatan Investasi PMA

Sebagai contoh, Aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk PLTS yang
mencapai 65% disebut Direktur Eksekutif Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby
6
Tumiwa sebagai salah satu kendala pengembangan PLTS. Dimana saat ini industri
penopang untuk memenuhi ketentuan TKDN belum memadai, selain itu masih mahalnya
produk dalam negeri masih menjadi tantangan terkait nilai keekonomian proyek PLTS.

6
https://www.youtube.com/watch?v=4zwuUgNRXqo&ab_channel=CNBCIndonesia

124
Selain contoh diatas, Vietnam merupakan salah satu negara ASEAN yang tengah menjadi
“favorit” bagi sejumlah investor yang melakukan relokasi industri dari Cina, khususnya
Ketika AS mulai melancarkan perang dagang dengan China maupun masa pandemi. Tabel
berikut memberikan gambaran tentang perbandingan Hambatan investasi antara
Vietnam dan Indonesia.

125
KEMUDAHAN INVESTASI

VIETNAM INDONESIA
1. Lebih terbuka terhadap FDI dengan 1. Sesuai UU No 25/2007, hanya dua
pembatasan yang lebih sedikit dan badan hukum yang diizinkan untuk
insentif yang lebih besar. orang asing: perseroan terbatas
2. Undang-Undang Vietnam tentang penanaman modal asing (PT PMA) dan
Investasi dan Komitmennya di WTO kantor perwakilan (KPPA).
membolehkan perusahaan asing 2. Pendirian perusahaan memerlukan
untuk mendirikan bisnis yang persetujuan dari BKPM (Badan
sepenuhnya diinvestasikan di Koordinasi Penanaman Modal) dan
Vietnam di sebagian besar sektor Kementerian Teknis terkait untuk
misalnya, perdagangan, TIK, dan industri tertentu.
manufaktur. 3. PT. PMA umumnya harus mematuhi
3. Jenis badan hukum yang hal-hal berikut:
diperbolehkan bagi investor asing a. Pembatasan kepemilikan asing
yang paling umum adalah Perseroan tergantung pada lini bisnis
Terbatas (LLC), Perusahaan Saham yang tercantum dalam daftar
Gabungan (Joint Stock Companies) Negatif Investasi.
dan Kantor Perwakilan. b. Modal minimum: USD 680.000
4. Di sebagian besar sektor juga c. Daftar Negatif Investasi 2016
dimungkinkan perusahaan asing terbaru mencakup bidang
membuka cabang. Penggabungan usaha yang dibatasi untuk
bisnis diatur oleh DPI (Departemen penanaman modal asing.
Perencanaan dan Investasi). Bidang-bidang yang
5. Undang-undang Vietnam tidak secara dicadangkan untuk investasi
eksplisit mensyaratkan jumlah oleh dan/ atau kemitraan
minimum modal investasi dalam dengan perusahaan dalam
mendirikan perusahaan. Namun, negeri termasuk jasa
Departemen Perencanaan dan konsultasi konstruksi dengan
Investasi akan menilai jumlah harga kurang dari USD
kontribusi modal dan melihat apakah 700.000.
itu sesuai dengan pengeluaran yang d. Bidang terbuka untuk
direncanakan perusahaan. kepemilikan asing sebagian
termasuk layanan internet,
kursus pelatihan profesional,
distribusi dan pergudangan,
department store dengan
ruang ritel 400 sampai 2.000
meter persegi, agen penjualan
umum untuk maskapai asing.
4. Kantor perwakilan memiliki
persyaratan operasional yang lebih
sedikit; namun, aktivitasnya terbatas
pada riset pasar, jaringan dan dilarang
melakukan kegiatan untuk
memperoleh keuntungan/pendapatan
atau terlibat dalam penjualan.
 
126
Sumber: https://www.viettonkinconsulting.com/global-business/comparison-of-doing-
business-in-vietnam-and-indonesia/

Selain sejumlah hambatan investasi, Pemerintah juga telah memberikan sejumlah insentif
fiskal dan non-fiskal terkait penanaman modal, dan pemberian pelayanan perizinan dan
fasilitas penanaman modal yang dilaksanakan melalui koordinasi Kementerian
Investasi/BKPM. Namun sesuai dengan wewenang masing-masing terdapat 15
Kementerian Teknis baik secara langsung dan tidak langsung mengeluarkan kebijakan-
kebijakan teknis yang dapat mempengaruhi proses investasi di Indonesia. Berikut adalah
sejumlah contoh-contoh kebijakan yang bersifat “pro investasi”.

Insentif Investasi di Kawasan Ekonomi Khusus


1. Definisi (PP No.2/2011)
a. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan
dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian
dan memperoleh fasilitas tertentu.
b. KEK terdiri atas satu atau beberapa zona yang dapat terdiri atas: a.
pengolahan ekspor; b.logistik; c.industri; d.pengembangan teknologi; e.
pariwisata; f.energi; dan g.ekonomi lain.
2. Opsi Insentif Fiskal
a. Tax Allowance (PP Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu)
b. Tax Holiday(PMKNo. 150/PMK.010/2018 tahun 2018)
3. Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi (KLIK) di 15 Kawasan Industri
(Keputusan Kepala BKPM Nomor 41 Tahun 2018)
4. Fasilitas dan Kemudahan (PP Nomor 12/2O2O)
5. REKOMENDASI KEBIJAKAN:
Kluster Ekonomi sebagaimana dinyatakan dalam Master Plan (KP-IKN) agar
memperoleh dukungan fasilitas Pemerintah perlu dikembangkan menjadi
127
Kawasan Ekonomi Khusus dengan zonasi sesuai dengan ketentuan PP No.2/2011
sehingga para investor dan pelaku usaha dapat memperoleh manfaat dari insentif
investasi yang diberikan pemerintah.

Kebijakan Investasi dalam konteks pandemi Covid 19 dan sesudahnya

Menperin menegaskan bahwa rencana perusahaan-perusahaan global yang akan


merelokasi pabrik dan investasinya dari China ke negara Asia Tenggara merupakan
peluang investasi bagi Indonesia untuk memulihkan ekonominya ditengah-tengah
pandemi yang sedang berlangsung7.

Namun, dilain pihak, masih terdapat sejumlah kebijakan sektoral yang menimbulkan
potensi “hambatan” bagi peningkatan investasi,khususnya PMA yang bergerak di
lapangan usaha industri manufaktur, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Sumber pendanaan bagi sektor Industri Nasional:


Investasi Tidak Langsung (Portofolio)

Kebijakan maupun peluang investasi ke sektor-sektor industri nasional sebagaimana yang


dibahas sebelumnya terkait kepada “a strategic investment” is a transaction that is
closely related to joint ventures. In strategic investments, one company makes an
investment in another. These two companies enter into agreements that are designed to
serve shared business goals8…. (investasi strategis adalah transaksi yang terkait erat
dengan usaha patungan. Dalam investasi strategis, satu perusahaan melakukan investasi
di perusahaan lain. Kedua perusahaan ini mengadakan perjanjian yang dirancang untuk
melayani tujuan bisnis bersama.)

Sedangkan, pengertian investasi portfolio adalah dikutip dari Investopedia, portofolio


adalah kumpulan investasi keuangan seperti saham, obligasi, uang tunai, komoditas,
reksadana, setara kas, dan semua instrumen investasi yang diperdagangkan di bursa. Arti
7
https://kemenperin.go.id/artikel/21792/Kebijakan-Insentif-yang-Tepat-Kunci-Maksimalkan-Investasi
8
https://www.economywatch.com/strategic-investment-strategic-investing
128
portofolio bagi sebagian orang seringkali hanya terbatas pada investasi di pasar modal.
Padahal, portofolio bisa lebih luas.9

Mekanisme investasi portfolio umumnya dilakukan melalui Pasar Modal dan


perkembangan terbaru, sebagai turunan dari Undang Undang Cipta Karya Nomor 11
Tahun 2020, yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LP) 10 dan secara populer, dikenal sebagai
SWF (Sovereign Wealth Fund) Indonesia.

9
https://money.kompas.com/read/2021/08/01/090844426/apa-itu-portofolio-dalam-investasi
10
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2020
129
UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Insentif Investasi terkini

Tabel 5.18 UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Insentif Investasi Terkini

Insentif fiskal Insentif non fiskal

fasilitas pembebasan bea masuk atas impor.

fasilitas pajak penghasilan (PPh) untuk


penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.

fasilitas pengurangan PPh badan.

fasilitas pengurangan PPh Badan?dan fasilitas


pajak penghasilan untuk penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu pada kawasan ekonomi
khusus (KEK).
rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan
menjadi izin tinggal terbatas, serta rekomendasi
fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas
alih status izin tinggal terbatas menjadi izin
kegiatan penelitian dan pengembangan
tinggal tetap
tertentu di Indonesia.

pemberian pengurangan penghasilan bruto atas


penyelenggaraan kegiatan praktik kerja,
pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam
rangka pembinaan dan pengembangan sumber
daya manusia berbasis kompetensi tertentu.

pemberian fasilitas pengurangan penghasilan


neto atas penanaman modal baru atau
perluasan usaha pada bidang usaha tertentu
yang merupakan industri padat karya.

Sumber: https://money.kompas.com/read/2021/05/06/210000026/17-sektor-yang-
berhak-dapat-insentif-fiskal-dan-non-fiskal?page=all.

Sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja. Pemerintah melalui telah mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan
investasi bagi 17 sektor usaha yaitu :
1.Kelautan dan perikanan;
2.Pertanian;

130
3.Lingkungan hidup dan kehutanan;
4.Energi dan sumber daya mineral;
5.Ketenaganukliran;
6.Perindustrian;
7.Perdagangan;
8.Pekerjaan umum dan perumahan rakyat
9.Transportasi;
10.Kesehatan, obat dan makanan;
11. Pendidikan dan kebudayaan ;
12.Pariwisata;
13.Keagamaan;
14.Pos, telekomunikasi, penyiaran, serta sistem dan transaksi elektronik;
15.Pertahanan dan keamanan dan
16.Ketenagakerjaan dalam bentuk 7 insentif fiskal dan non-fiskal sebagaimana
digambarkan dalam tabel diatas.

5.1.3 Import Substitution and Export-oriented

Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan “Pembangunan kluster-kluster ekonomi IKN


sebagai bagian Sistem Industri Nasional”, berikut akan dibahas terkait tentang arah
perdagangan dari unsur-unsur Industri Andalan, Industri Pendukung dan Industri Hulu.
• Kebijakan Industri Substitusi Impor dengan tujuan utama untuk mengurangi
ketergantungan bahan baku dan bahan penolong impor dari sejumlah
industri”Industri Pendukung”, yaitu Industri Farmasi teriintegrasi dengan
Flagship API, Industry 4.0 hub untuk industri yang sudah berkembang dan
Industri Berbasis Energi Rendah Karbon terintegrasi termasuk coal gasification,
biofuels dan OEM hub sebagai bagian dari Sistem Industri Nasional dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan mendukung peningkatan daya
saing “Industri Andalan”, yaitu Industri Pertanian berkelanjutan, dgn Flagships
(Plant-based Proteins, Plant Extracts, Produk Herbal, Biosimilars) dan industri
Perakitan Solar PV dan Kendaraan Listrik Roda Dua;
131
• Kebijakan Perdagangan berorientasi Ekspor sebagai perluasan pasar bagi
sejumlah produk-produk “Industri Andalan”( hilir), yaitu Industri Kimia
terintegrasi (petrokimia dan oleokimia); sebagai bagian dari Sistem Industri
Nasional dalam rangka peningkatan daya saing dan devisa.

Kebijakan Substitusi Impor11


1. Sasaran:
Substitusi produk impor sebesar 35 persen pada tahun 2022 dengan tujuan untuk
memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan
penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional
2. Strategi:
a. Perluasan industri, terutama produsen bahan baku eksisting, untuk
peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input
industri turunan
b. Investasi baru yang ditujukan ditujukan bagi pelaku industri yang melihat
prospek produksi bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.
c. Peningkatan utilisasi industri. Pendekatan ini merupakan salah satu
outcome yang diharapkan dapat meningkatkan utilisasi industri dalam
negeri dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan bahan
penolong.
3. Rekomendasi Kebijakan: KE(Kluster Ekonomi) IKN diusulkan sebagai bagian
Prioritas Nasional melalui jalur:
a. butir 2.a.diatas, bagi produsen2 eksisting di Jawa dan
b. butir 2.b diatas, bagi calon-calon investor

11
Sumber: https://kemenperin.go.id/artikel/22515/Tiga-Langkah-Strategis-Pacu-Substitusi-Impor-35-
Persen-Sektor-IKFT

132
5.2 Analisa Dampak Sosial

Presiden Joko Widodo telah membuat keputusan untuk memindahkan Ibu Kota Negara
(IKN) ke Kalimantan Timur yang disampaikan dalam konferensi pers di Istana Negara pada
tanggal 26 Agustus 2019. Berbagai faktor menjadi pertimbangan perlunya dilakukan
pemindahan IKN. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan kemanan,
bahkan sampai dengan potensi bencana alam menjadi pertimbangan pentingnya IKN
dipindahkan dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Kepadatan penduduk yang tidak
merata dan cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa telah berdampak pada kesenjangan
dalam berbagai aspek dan stagnasi ekonomi yang tidak kunjung dapat diperbaiki.

Kesenjangan sosial ekonomi dan kependudukan merupakan salah satu faktor pendorong
rencana pemindahan IKN Republik Indonesia. Sekitar 57,4% penduduk Indonesia
terkonsenterasi di Pulau Jawa. Sementara sebaran penduduk di Sumatera sebesar 17,9%,
Bali dan Nusa Tenggara 5,5%, Kalimantan 5,81%, Sulawesi 7,31%, Maluku dan Papua
2,61%. Padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menunjukkan adanya aglomerasi
pembangunan dan kemajuan yang tinggi di Jawa dan sebaliknya ketertinggalan di wilayah
lainnya. Pemindahan IKN ke luar Jawa bertujuan untuk mengurangi beban ekologis kota
Jakarta yang sudah sangat berat. Jakarta telah mengalami kemacetan parah, serta polusi
dan air yang semakin buruk.

Penetapan perpindahan ibu kota ke wilayah Timur Indonesia diharapkan dapat


mengurangi kesenjangan dan mewujudkan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan,
serta mewujudkan ibu kota baru yang sesuai dengan identitas bangsa. Secara spesifik,
lokasi inti yang ditetapkan sebagai IKN baru terletak di sebagian wilayah dari dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Penajem Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai
Kertanegara (KuKar). Ibu Kota Negara Baru mempunyai lima visi, yaitu sebagai simbol
identitas bangsa; sebagai kota yang smart, green, beautiful dan sustainable; modern dan
berstandar internasional; tata kelola pemerintahan yang efisien dan efektif; serta sebagai
pendorong pemerataan ekonomi di Kawasan Timur.

133
Total luas wilayah IKN adalah 256.142,72 hektar. Terdiri dari 5.664 hektar rencana
kawasan Inti Pusat Pemerintah, 56.180,87 hektar rencana kawasan IKN dan selebihnya
rencana kawasan perluasan IKN. Lokasi inti IKN direncanakan akan menempati sebagian
wilayah Kabupaten PPU dan Kabupten KuKar. Saat ini, penduduk di Kabupaten PPU
berjumlah 160,9 ribu jiwa, dan di Kabupaten Kukar berjumlah 786,1 ribu jiwa. Sedangkan
total penduduk Kalimantan Timur saat ini berjumlah 4.448.763 jiwa. Mayoritas penduduk
Kalimantan Timur saat ini didominasi oleh pendatang yang berasal dari Jawa, Bugis, dan
Banjar, serta berbagai etnis lainnya dalam jumlah yang relatif lebih kecil.

Dalam penentuan IKN perlu dilakukan analisis terhadap berbagai permasalahan dan
dampak negatif yang mungkin timbul dari pemindahan dan kehadiran IKN terhadap
masyarakat lokal untuk menjadi rumusan pegangan prinsip (guiding principles) kebijakan
sosial pemindahan IKN. Perkiraan kondisi sosial dan budaya yang akan terjadi nantinya di
IKN Baru, keberagaman budaya makin meningkat bukan hanya etnis tapi ekonomi dan
tingkat pendidikan, urbanisasi dan mengarah munculnya kota metropolitan, terbukanya
peluang usaha dan bekerja yang dapat memicu konflik sosial antar kelompok etnis serta
keberadaan simbolisasi nasional dan kekayaan budaya lokal di IKN.

Membangun manusia adalah membangun masyarakatnya, Robert Bellah mengatakan: ”It


is difficult to be a good person in the absence of good society”. Perencanaan sosial
seharusnya mendahului perencanaan fisik dan ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi,
krisis lingkungan dan kependudukan merupakan pendorong rencana pemindahan IKN
Republik Indonesia. Pembangunan Ibukota baru harus menjadi batu penjuru (model)
pembangunan kota yang mengembangkan Kualitas Kehidupan Sosial Budaya
(Pembangunan Sosial). Pembangunan IKN diharapkan tidak akan mengulang “kesalahan”
yang terjadi di Ibukota lama.

Keputusan pemerintah atas keberanian memilih lokasi IKN di Luar Jawa menunjukkan
bukti genuine semangat Nusantara. Di Jakarta telah terbentuk ekonomi anarkis yaitu
ekonomi yang menimbulkan pertarungan kepentingan yang merusak ekosistem sosial.
Pembangunan sosial diharapkan menjadi pembangunan sosietal bukan sekedar sectoral,

134
diharapkan dapat berbasis nilai (smart, green, beautiful dan sustainable). Elemen dasar
dari kehidupan sosial-budaya adalah elemen struktural, kultural dan prosesual.

Pemindahan IKN diharapkan dapat menguatkan ketahanan masyarakat Kalimantan, baik


secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya sehingga tidak menyebabkan terpinggirnya
masyarakat lokal oleh pendatang. Pendatang tidak hanya ASN namun juga keluarga dan
pelaku ekonomi lainnya. Dalam rencana pemindahan aparatur sipil negara (ASN),
berkembang dua skenario yang memperkirakan perpindahan sebesar 182.462 orang ASN
dan 118.513 orang ASN (jika dibatasi umur hingga 45 tahun). Perpindahan ASN tersebut
akan diikuti dengan keluarga dan pelaku ekonomi lainnya, yang diperkirakan sebesar 1,5
juta orang di masa mendatang. Masyarakat berharap agar integrasi kehidupan
masyarakat yang berkeadilan dapat terjadi sehingga manfaat pembangunan IKN
dirasakan oleh seluruh masyarakat Kalimantan khususnya dan Indonesia umumnya.

Saat ini jumlah penduduk setempat IKN tercatat 100 ribu jiwa. Jumlah tersebut
diperkirakan bertambah menjadi 700 ribu jiwa di 2025, kemudian berkembang menjadi
1,5-1,6 juta jiwa di 2035, hingga mencapai perkiraan 1,7-1,9 juta jiwa di 2045. Seiring
dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka perlu dibuat
rancangan design kota baik infrastruktur dalam hal ini sistem transportasi, bangunan
gedung, ruang terbuka, dan yang tidak kalah penting juga membangun sistem tatanan
sosialnya. Pembangunan juga diharapkan agar dapat memastikan aspek lingkungan
hidupnya dapat terjaga.

Kalimantan Timur sejak dulu telah memiliki struktur sosial yang beragam. Sekitar 1,5 juta
pendatang yang terdiri atas Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan POLRI beserta
keluarganya, serta pelaku ekonomi lainnya akan hadir di wilayah IKN. Oleh karena itu,
pemindahan IKN ke Kalimantan Timur perlu dipersiapkan sebaik mungkin agar tidak
menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Pemahaman yang komprehensif mengenai
kareakteristik sosial, ekonomi, maupun budaya masyarakat akan membantu Indonesia
mewujudkan IKN yang “Smart, Green, Beautiful, dan Sustainable”.

Perbedaan karakteristik sosial budaya antara masyarakat setempat dan pendatang perlu
diantisipasi sejak awal dan ketahanan masyarakat secara ekologi, ekonomi dan sosial
135
budaya dapat terwujud. Kearifan ekologi dan kebudayaan masyarakat yang
mempengaruhi cara hidup secara turun temurun, harus terus dilestarikan dan dapat
dimanfaatkan bagi pembangunan IKN. Kota hanya berarti kalo ada masyarakat, ketika
berbicara masyarakat maka bicara tentang konektivitas budaya, bukan sekadar beton,
bukan sekadar pabrik, dan bukan sekadar jalan, tapi yang terpenting adalah aspek
manusianya dimana manusia merupakan makhluk sosial.

Pembangunan IKN harus memperhatikan perspektif budaya yang menyeluruh.


Membangun IKN merupakan sebuah legacy yang dilakukan bangsa Indonesia dengan
memperhatikan perspektif kemanusian (sosial, budaya, dan lingkungan) sehingga
diharapkan nantinya IKN menjadi saujana pusaka yang tetap mempertahankan kearifan
lokal. Membangun kualitas kehidupan sosial budaya IKN dapat dilakukan dengan cara
menerapkan prinsip inklusif, lestari, berkelanjutan, serta mampu mendukung
pertumbuhan ekonomi yang mendorong pemerataan ke seluruh wilayah Indonesia.

Kerangka sosial IKN mengambil visi Kota Berkelas Dunia untuk semua sebagai prinsip inti.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, konsep pembangunan IKN mengambil landasan
teori filosofis bangsa Indonesia, Pancasila, yang kemudian dimasukkan ke dalam
rancangan fisik. Prinsip filosofis tersebut dikaitkan dengan prinsip-prinsip Masterplan dan
Key Performance Indicator (KPI) terpilih. Lebih lanjut lagi, strategi sosial dirancang untuk
mewujudkan prinsip serta KPI tersebut, khususnya yang terkait dengan: Selaras dengan
alam (KPI 1); Bhinneka Tunggal Ika (KPI 2); Terhubung, aktif, dan mudah diakses (KPI 3);
Sirkular dan Resilien (KPI 5); Aman dan terjangkau (KPI 6); dan Peluang Ekonomi untuk
semua (KPI 8). Semua KPI ini tidak hanya menjadi landasan pengembangan kota, tetapi
juga memastikan bahwa IKN adalah milik segenap rakyat Indonesia.

Secara umum, KPI menjadi pedoman bagi strategi sosial yang akan dilaksanakan
menjelang tahun 2045. Strategi sosial juga disusun dengan pertimbangan yang akan
membuka peluang daerah berkembang di dalam KIKN dan KIPP dengan memanfaatkan
perancangan strategi utama termasuk pemerataan akses dan partisipasi masyarakat sejak
awal pembangunan, khususnya strategi terkait Bhinneka Tunggal Ika untuk wilayah KIKN,
yakni:
136
 100% integrasi seluruh penduduk, baik masyarakat setempat dan baru –
penduduk lokal dan pendatang, yakni masyarakat adat dan masyarakat yang
sudah lama tinggal di IKN serta masyarakat yang akan terbentuk di dalam ataupun
di sekitar IKN (KPI butir 2.1): target yang sepenuhnya dicapai untuk tingkat wilayah
perkotaan yang dapat dikembangkan pada setiap fase;
 100% warga dapat mengakses layanan sosial atau masyarakat dalam waktu 10
menit (KPI butir 2.2): target sepenuhnya dicapai untuk mencapai tingkat wilayah
perkotaan yang dapat dikembangkan di setiap fase; dan
 100% tempat umum dirancang menggunakan prinsip akses universal, kearifan
lokal, dan desain inklusif (KPI butir 2.3): Mengasumsikan semua ruang publik baru
akan dirancang dengan kearifan lokal, untuk kesetaraan akses.

Keberhasilan strategi tata ruang untuk menciptakan kohesi dan inklusi sosial di IKN terkait
erat dengan pembangunan ekonomi, strategi komunikasi, dan strategi pembebasan lahan
dan potensi relokasi.

Strategi sosial mengakui keragaman komunitas, baik penduduk lokal maupun pendatang
baru, yang akan terhubung dengan IKN. Dengan demikian, masyarakat yang saat ini
tinggal di dalam dan di sekitar lokasi IKN tidak akan dikecualikan dari perencanaan dan
pengembangan kota dan akan mendapatkan manfaat dari pengembangan IKN, serta akan
memberikan kontribusi berharga bagi IKN, misalnya,dari berbagi kearifan lokal hingga
membentuk IKN sebagai “tempat” yang unik. Pendatang baru di wilayah IKN juga akan
mendapatkan keuntungan dari strategi sosial serta prinsip-prinsip perencanaan yang
dikembangkan, khususnya pada fase konstruksi, pengembangan, dan pertumbuhan kota.

5.2.1 Pemetaan Kebutuhan Tenaga Kerja dan Syarat Kualifikasi-nya

Pada 2018, jumlah penduduk Kalimantan Timur sebesar 3,6 juta jiwa diproyeksikan akan
meningkat menjadi 5-7 juta jiwa di 2025, kemudian 8,7-9,7 juta jiwa di 2035, dan
mencapai 10-11 juta jiwa di 2045. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak hanya
mengembangkan wilayah IKN saja, tetapi juga wilayah sekitarnya. Jangan sampai IKN
menjadi enclaved, sementara wilayah sekitarnya tidak berkembang atau didiamkan
secara alami. Pemerintah justru ingin memastikan pembangunan IKN dan wilayah
137
sekitarnya berimbang. Pemerintah diharapkan dapat menyiapkan pelatihan vokasi serta
Balai Latihan Kerja (BLK) untuk jenis pekerjaan yang akan dikembangkan. Pemerintah juga
diharapkan dapat melakukan pemetaan kebutuhan tenaga kerja dan syarat kualifikasi nya
untuk masing- masing klaster ekonomi yang akan dikembangkan.

Terdapat enam klaster ekonomi yang akan dikembangkan di Kawasan Superhub IKN,
diharapkan agar masyarakat setempat dapat turut berpartisipasi dalam pengembangan
tersebut. Pengembangan berbagai klaster ekonomi dengan berbagai flagship akan
menjadi gula dan menarik penduduk baru untuk datang ke sana. Dalam urbanisasi,
masyarakat tidak akan mau berpindah kalau tidak ada kesempatan dan peluang baru.
Pemerintah diharapkan dapat mempersiapkan masyarakat setempat agar dapat
berpartisipasi dalam pembangunan IKN tersebut. Pengembangan klaster ekonomi
Superhub IKN diharapkan akan menyerap tenaga kerja yang signifikan, belum lagi saat
nanti IKN sudah berkembang akan ada demand baru yang cukup signifikan dari berbagai
sektor yang tumbuh seiring dengan semakin padatnya kegiatan IKN.

Dalam mewujudkan IKN yang majemuk dan harmonis sesuai dengan identitas bangsa
Indonesia, diperlukan pemahaman dan perencanaan aspek sosial-budaya dan sosial-
ekonomi yang komprehensif. Perencanaan aspek sosial dilaksanakan dengan memastikan
faktor-faktor, seperti penerimaan masyarakat, peningkatan kualitas SDM, pemanfaatan
dan pengembangan kearifan lokal, sumber-sumber penghidupan masyarakat, serta peran
berbagai pihak termasuk generasi milenial dalam pembangunan IKN. Sektor penyerapan
tenaga kerja terbesar diperoleh dari pengembangan kawasan industri, perdagangan, jasa,
pertanian, dan lainnya.

Pada proses pengadaan tenaga kerja sumber daya manusia (SDM), sebelum lowongan
berlangsung, dapat mengidentifikasi talenta terbaik di suatu bidang. Kandidat potensial
dicari dengan mempertimbangkan tujuan pekerjaan jangka pendek, menengah dan
panjang. Pada proses people development dapat dilakukan talent mapping sebagai
kegiatan pemetaan kompetensi SDM yang dibutuhkan. Tujuan dari talent mapping ini
adalah agar HRD lebih fokus dalam mengembangkan bakat karyawan dan memperbaiki

138
atau meminimalisir kekurangan. Untuk melakukan talent mapping maka perlu diketahui
tipe kepribadian seseorang.

Salah satu cara untuk mengetahui tipe kepribadian seseorang dapat dilakukan tes Myers-
Briggs Type Indicator (MBTI), psikotes yang dirancang untuk mengukur preferensi dasar
murni psikologis seseorang dalam melihat dunia dan membuat keputusan. MBTI
dikembangkan oleh Isabel Briggs Myers pada sejak 1940. Psikotes ini dirancang untuk
mengukur kecerdasan individu, bakat, dan tipe kepribadian seseorang. MBTI merupakan
instrumen yang paling banyak digunakan. Telah diperbarui dan divalidasi secara ketat
selama lebih dari tujuh puluh tahun. MBTI didasari pada jenis dan preferensi kepribadian
dari Carl Gustav Jung, yang menulis Psychological Types pada tahun 1921.

Tujuan dari MBTI adalah membuat teori tipe psikologis dijelaskan oleh Carl Jung dapat
dimengerti dan berguna dalam kehidupan manusia. Sampai saat ini tes MBTI adalah tes
kepribadian yang paling banyak dipakai di dunia selain tes enneagram. Tes ini juga dipakai
untuk mengetahui karakter kepribadian karyawan perusahaan agar dapat ditempatkan
pada bidang-bidang yang membuat potensi karyawan tersebut optimal. Pengetahuan
akan kepribadian dipercaya dapat membantu tenaga kerja yang akan memasuki dunia
kerja di bidang industri. Setelah mengalami pengembangan, akhirnya Tes MBTI ini
pertama kali dipublikasikan pada tahun 1962. MBTI didasarkan dari teori tipologi yang
diusulkan oleh Carl Gustav Jung dalam bukunya berjudul "Psychological Type" yang
diterbitkan pada tahun 1921. Dalam bukunya, Jung berteori bahwa ada empat fungsi
psikologis utama yang digunakan manusia dalam menjalani kehidupan, yaitu: sensasi
(sensation), intuisi (intuition), perasaan (feeling), dan pemikiran (thinking).

Selain strategi sosial-spasial, pembangunan ekonomi yang tertuang dalam Masterplan


menjadi poin penting dalam mewujudkan kohesi sosial serta IKN yang inklusif. Saat ini,
strategi pembangunan ekonomi telah dikembangkan untuk membentuk nilai-nilai sosial
yang telah ada, membangun keterampilan masyarakat serta memungkinkan masyarakat
lokal menjadi bagian yang kuat pada pembangunan ekonomi IKN di masa depan.

Keberagaman latar belakang penduduk lokal, yang terdiri dari penduduk asli dan
pendatang, di wilayah Kalimantan Timur menghadirkan tantangan tersendiri bagi IKN. IKN
139
dirasa perlu untuk memerhatikan penduduk lokal terutama yang memiliki tingkat
keterampilan atau latar belakang pendidikan yang rendah untuk turut berpartisipasi
meramaikan sektor ekonomi IKN. Dengan adanya pengembangan sektor ekonomi IKN,
banyak lapangan kerja yang akan terbuka bagi seluruh lapisan penduduk. Namun, perlu
diupayakan supaya kesempatan kerja yang ditimbulkan dapat bersifat inklusif dan merata
sehingga akan mengoptimalkan peluang ekonomi jangka pendek penduduk lokal.

Gambar di bawah ini menunjukkan contoh dan jumlah sektor beserta lapangan kerja yang
tercipta oleh IKN hingga tahun 2045. Lapangan kerja dititikberatkan pada tingkat
keterampilan rendah hingga menengah untuk menyesuaikan latar belakang penduduk
lokal.

Sumber: Masterplan IKN, 2020

Gambar 5.17 Contoh Sektor Beserta Lapangan Kerja Yang Tercipta di IKN Hingga 2045

Klaster-klaster yang terbentuk dari sektor ekonomi IKN dapat mendorong kesempatan
kerja dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal. Di antara berbagai klaster tersebut,
terdapat dua klaster yang yang sudah melekat dengan penduduk lokal dan memiliki
partisipasi yang cukup tinggi. Yang pertama adalah klaster ekowisata dan pariwisata
kesehatan/kebugaran. Berikut adalah lapangan kerja yang tercipta dengan adanya klaster
tersebut:

140
1. Pemandu wisata beserta pemandu satwa liar, park ranger, ekowisata
komunitas dan budaya;
2. Pengrajin, toko cinderamata lokal, lokakarya kerajinan tangan;
3. Pusat kesehatan/kebugaran, spa lokal, klinik kecantikan dan penyembuhan
tradisional;
4. Manajer penginapan, staf perhotelan, kuliner;
5. Agro-ekowisata, koperasi pertanian, pasar petani; dan
6. Retail, makanan dan minuman, seni dan hiburan.

Studi kasus yang diangkat dalam kajian ini adalah mengenai ekowisata Monteverde di
Kosta Rika dan dampaknya terhadap lapangan kerja di kawasan tersebut. Salah satu
dampak dari ekowisata Monteverde adalah kuatnya rasa memiliki dari penduduk lokal
terhadap aset dan fasilitas wisata. Hal ini dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama,
banyaknya jumlah guesthouse, hostel, dan resort ramah lingkungan yang dioperasikan
penduduk lokal. Kedua, semua kerajinan tangan yang dijual di sana merupakan produksi
lokal. Ketiga, semua restoran membeli bahan pangan dari produsen lokal di kawasan
tersebut. Dampak lain yang dirasakan adalah kemajuan komunitas pengrajin Monteverde.
Koperasi pengrajin di sana mempekerjakan ratusan perempuan melalui lokakarya, serta
banyak museum memamerkan kerajinan tangan lokal dan mempertontonkan pengrajin
yang sedang bekerja. Inisiatif ini mirip dengan inisiatif One Village One Product yang
diimplementasikan di Indonesia. Terakhir, terdapat dampak integrasi di antara komunitas
agro-ekowisata. Beberapa koperasi pertanian di kawasan tersebut menawarkan
ekowisata sebagai bagian dari strategi mata pencaharian yang beragam, dengan
ekowisata sebagai sumber pendapatan utama yang melampaui peternakan sapi perah.

Klaster yang kedua adalah klaster industri pertanian yang berkelanjutan, terutama untuk
ekstrak tanaman dan produk herbal. Klaster ini perlu ditempatkan dengan strategis demi
meningkatkan nilai keluaran (output) pertanian dari penduduk lokal dan membuka
lapangan kerja hilir (downstream) yang baru. Berikut adalah lapangan kerja yang tercipta
dengan adanya klaster tersebut, misalnya untuk ekstrak tanaman:

1. Petani kecil;

141
2. Buruh tanam, panen, pengeringan, dan produksi;
3. Pengumpul hasil alam liar;
4. Manufaktur produk pertanian tradisional local;
5. Tengkulak dan pedagang; dan
6. Pengemasan dan pemasaran ke hilir (downstream).

Studi kasus yang dapat dilihat pada kajian ini adalah mengenai proyek tanaman obat dan
aromatik yang mendukung mata pencaharian penduduk Nepal di India, terutama bagi
perempuan. Dampak penting yang dirasakan adalah peningkatan mata pencaharian
penduduk yang tinggal di sekitar hutan. Proyek ini diimplementasikan di Nepal dan
sebagian kawasan di India guna meningkatkan pilihan mata pencaharian dan menciptakan
lapangan kerja dalam bidang pemrosesan, pengemasan, dan pemasaran, khususnya bagi
penduduk perempuan. Dampak penting lainnya adalah peningkatan rantai nilai melalui
pelatihan, contohnya seperti pelatihan dalam pemungutan panen yang berkelanjutan,
serta akses terhadap benih berkualitas juga ikut berkontribusi. Selain itu terdapat pula
dampak terhadap akses pasar yang efisien yang diikuti dengan kenaikan harga. Hal ini
dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama, upaya terpadu oleh badan pemerintah, sektor
swasta, dan NGO untuk membantu terbentuknya sertifikasi, misalnya untuk produk
organik. Kedua, meningkatnya kekuatan negosiasi karena adanya pengembangan pasar.
Ketiga, kenaikan harga bagi produsen dan pengumpul hasil alam seiring dengan
meningkatnya jumlah pembeli. Semua aspek tersebut mendorong terciptanya lapangan
kerja dan meningkatkan pendapatan bagi penduduk di Nepal.

Di luar sektor yang sudah digeluti penduduk lokal, strategi pembangunan kapabilitas dan
upskilling yang menyeluruh dapat diupayakan demi memastikan kesempatan kerja yang
inklusif dan merata. Berikut adalah uraian inisiatif jangka pendek dan jangka panjang
untuk membuka lapangan kerja dan upskilling bagi penduduk lokal:

Tabel 5.19 Peran Pemangki Kepentingan dalam Pengembangan Kapabilitas

Peran Jangka Pendek - Menengah Jangka Panjang


Pemerinta 1. Menegaskan kuota pengadaan atau 1.Membangun sistem pendidikan E2E
h rekrutmen lokal untuk terus melakukan upskilling
2. Menginsentifkan atau pendanaan bagi penduduk lokal sehingga
142
bersama untuk pelatihan korporat bagi sejalan dengan keterampilan yang
sektor tertentu dibutuhkan di masa kini dan masa
3. Mengembangkan pusat pelatihan mendatang
keterampilan bagi penduduk lokal 2.Menjamin pembiayaan bagi
pada sektor umum program pendidikan untuk dewasa
4. Menggerakkan dan memfasilitasi secara terus-menerus
berbagai jenis kemitraan beserta
model pendanaan untuk
pengembangan keterampilan
Pemberi 1. Memprioritaskan rekrutmen untuk Memperluas jangkauan upskilling
Kerja penduduk lokal sedapat mungkin ke masyarakat pada umumnya
2. Meluncurkan program upskilling dengan kemitraan bersama sektor
bertarget untuk sektor tertentu baik umum dan institusi pendidikan
bagi tenaga kerja saat ini maupun yang
akan datang
Sumber: MP IKN, 2020

Semua inisiatif tersebut tentunya didukung oleh lembaga dan pemangku kepentingan
lainnya seperti institusi pendidikan, serikat kerja/asosiasi industri, NGO dan yayasan, serta
organisasi dan himpunan komunitas agar penduduk lokal dapat turut berpartisipasi atau
menjadi bagian dari sektor ekonomi IKN.

Salah satu studi kasus upskilling yang dapat dikaji adalah program Skill India, yang
menggunakan contoh model Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan
pemerintah selaku fasilitator dan investor untuk menggerakkan para pemberi kerja dan
mitra industri dalam serangkaian luas inisiatif upskilling. Melalui KPBU, Skill India mampu
melakukan tiga hal berikut:

1. Memberikan nasihat dan pendanaan bagi perusahaan dan organisasi guna


membangun pelatihan keterampilan berskala besar;
2. Membangun sistem dukungan untuk jaminan kualitas, sistem informasi, dan
akademi train the trainer; dan
3. Mengoordinasi, mendukung, dan menambah inisiatif sektor swasta di 37 sektor
yang berbeda-beda.

143
Selain dari itu, Skill India mengupayakan berbagai model kemitraan antara pemerintah
dan industri untuk melakukan upskilling, diantaranya adalah:

1. Bersama membangun dan membiayai CoE untuk keterampilan sektor tertentu atau
institusi pelatihan keterampilan multi-sektoral;
2. Mensponsori kandidat untuk program keterampilan atau pemagangan pada sektor
prioritas melalui dana CSR;
3. Menyediakan hak guna terhadap lahan dan/atau fasilitas beserta perlengkapan
mesin supaya digunakan sebagai pusat pengembangan keterampilan; dan
4. Mengoperasionalkan pusat pelatihan yang sudah ada sebagai mitra implementasi,
infrastruktur, atau pengetahuan.

Dengan adanya KPBU dan berbagai upaya kemitraan lainnya, Skill India berhasil
menggandeng 538 mitra pelatihan, membentuk 37 Dewan Keterampilan Sektor,
mendirikan 10,373 pusat pelatihan, dan membuka lebih dari 15,000 lapangan kerja.
Memetik pembelajaran dari Skill India beserta dampak positifnya, Kalimantan Timur juga
diharapkan untuk menggali pemanfaatan jaringan BLK (Balai Latihan Kerja) saat ini yang
sudah terencana guna mendukung program upskilling menyeluruh yang serupa bagi
penduduk lokal.

Selain dari upskilling formal, IKN diharapkan menggali potensi untuk memperkuat
pendidikan non formal dengan bantuan masyarakat demi memastikan aksesibilitas dan
inklusivitas, terutama bagi kelompok berisiko seperti anggota masyarakat yang tidak
bekerja, usia lanjut, atau buta huruf. Dalam hal pendidikan non formal, UNESCO telah
menciptakan kerangka kerja untuk membangun lembaga pendidikan yang mendukung
pembelajaran sepanjang hayat bagi seluruh masyarakat, yang disebut dengan UNESCO
Learning Cities. Berikut ini merupakan praktik terbaik pendidikan non formal dengan
bantuan masyarakat dari beberapa kota ternama yang menjadi bagian dari UNESCO
Learning Cities:

Tabel 5.20 Contoh Praktik Terbaik Pendidikan Non Formal

Kota dan Negara Praktik Terbaik


Okayama, Jepang Citizens’ Universities merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat yang

144
dioperasikan secara sukarela, untuk menawarkan berbagai jenis kursus kepada
anggota masyarakat dari segala usia
Suwon, Korea Konsep “Anything School” bagi penduduk usia lanjut untuk mempelajari
apapun yang mereka inginkan atau “Anyone School” yang terbuka bagi siapapun
yang ingin belajar, ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang ingin berbagi
keterampilan
Giza, Mesir Inisiatif difokuskan pada peluang belajar bagi kelompok yang berkekurangan
atau marjinal, termasuk kelas berbasis masyarakat pada beberapa desa terpencil
bersama dengan NGO, selain itu ada juga program dari universitas yang
dilaksanakan oleh mahasiswa secara sukarela guna mengurangi tingkat buta huruf
di sana
Hangzhou, China Model pembelajaran berdasarkan ‘6 W’ guna memastikan bahwa
pembelajaran dapat diakses tanpa harus mempertanyakan Who, What, Where,
When, Why, atau How), dengan adanya “Migrant College” bagi pekerja migran
dewasa untuk memenuhi ketentuan dari calon pemberi kerja
Bristol, Inggris Tiga ratus kursus belajar non formal dengan bantuan masyarakat
diselenggarakan di berbagai tempat di seluruh kota dengan menjangkau
serangkaian luas topik, dari pembuatan kaca warna hingga sejarah lokal
Sumber: Masterplan IKN 2020

5.2.2 Ketersediaan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan

Pengembangan IKN diharapkan dapat merepresentasikan identitas dan persatuan bangsa


yang merefleksikan kebhinekaan Indonesia; modern dan berstandar internasional,
sebagai pusat pendidikan dan industri yang berkelas internasional; smart, green, beautiful
dan sustainable dengan menerapkan konsep forest city; tata kelola pemerintahan yang
efektif dengan masyarakat yang cerdas; dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
di Indonesia Timur yang merata. Untuk mendukung pengembangan IKN tersebut maka
diperlukan lembaga pendidikan dan pelatihan yang inklusif dan berstandar internasional.
Upaya untuk menanamkan proses inklusif dan partisipatif ke dalam desain dan
pengembangan tidak hanya merupakan sebuah praktik baik (good practice), tetapi juga
pada kenyataannya disarankan oleh lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia
dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank atau ADB). Oleh karena itu,
proses inklusif dan partisipatif penting merupakan hal yang penting untuk keberhasilan
IKN.
145
Menurut dokumen Bank Dunia yang bertajuk Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan
Sosial (2017), upaya untuk melakukan tindakan yang “tidak membahayakan bagi
lingkungan” saja tidak cukup, tetapi yang tidak kalah penting adalah memaksimalkan hasil
pembangunan. Dalam panduan kerangka kerja tersebut, Bank Dunia menyoroti
kebutuhan untuk.

a. Menghindari atau memitigasi dampak buruk terhadap manusia dan lingkungan;


b. Melestarikan atau merehabilitasi keanekaragaman hayati dan habitat alam, serta
mempromosikan penggunaan sumber daya alam dan jasa ekosistem secara efisien
dan adil;
c. Mempromosikan kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat;
d. Memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap individu atau komunitas yang
terkena dampak proyek dan memberikan pertimbangan kepada penduduk asli,
kelompok minoritas, dan mereka yang dirugikan atau rentan, terutama di lokasi
yang dapat menimbulkan dampak merugikan, atau sebaliknya dalam memastikan
manfaat pembangunan secara merata;
e. Mengatasi dampak tingkat proyek terhadap perubahan iklim dan
mempertimbangkan dampak perubahan iklim pada pemilihan, penentuan lokasi,
perencanaan, desain dan implementasi serta penghentian proyek; dan
f. Memaksimalkan keterlibatan pemangku kepentingan melalui peningkatan
konsultasi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Dampak sosial yang dikehendaki dari proses pembangunan itu sendiri dapat dicapai sejak
awal melalui konsultasi yang bermakna dan dilakukan secara berkelanjutan bersama para
pemangku kepentingan dan penduduk asli yang dilibatkan secara aktif.

Publikasi ADB, Enabling Inclusive Cities (2016), memberi penekanan bahwa pembangunan
kota yang inklusif memerlukan pendekatan multisektor dan terintegrasi. Hal ini
disebabkan oleh dampak kebijakan dan proyek di satu sektor kerap dapat memengaruhi
fungsi sektor lainnya dan terkadang menimbulkan dampak merugikan terhadap
masyarakat miskin perkotaan. Pedoman tersebut menyoroti serangkaian analisis pada
siklus proyek pembangunan (Tahap 1: Memahami Konteks Perkotaan; Tahap 2:
146
Mengidentifikasi Prioritas; Tahap 3: Pemrograman Proyek) untuk mendukung desain dan
pengembangan yang inklusif.

Pedoman ini juga menyoroti serangkaian investasi inklusif yang meliputi keuangan mikro;
pengembangan UKM; reformasi pasar tenaga kerja; pengembangan kapasitas organisasi
berbasis komunitas; aksesibilitas/mobilitas; pendidikan inklusif gender; perawatan orang
lanjut usia; pendidikan kejuruan; infrastruktur dasar; energi terdesentralisasi; transportasi
inklusif; pembaruan perkotaan; rehabilitasi daerah kumuh; restorasi pusat kota
bersejarah; dan perumahan yang terjangkau.

Lebih lanjut lagi, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) telah menetapkan tujuan
dan sasaran, serta persyaratan wajib untuk kelestarian lingkungan dan sosial yang
dipublikasikan dalam Kerangka Lingkungan dan Sosial AIIB. Adapun dalam kerangka
tersebut, manajemen risiko dan dampak sosial merupakan “inti dari keberhasilan sebuah
proyek”. Kerangka ini juga mengacu pada integrasi inklusi sosial di seluruh siklus proyek
dengan cara memberdayakan partisipasi masyarakat, mempromosikan kesetaraan
peluang, serta dengan meningkatkan akses orang miskin, orang yang kurang beruntung,
dan difabel ke fasilitas pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, perumahan, kualitas
lingkungan, infrastruktur, energi yang terjangkau, air dan sanitasi, pekerjaan, jasa
keuangan, dan aset produktif. Pertimbangan ini menjadi dasar bagi pengembangan
strategi sosial Masterplan beserta pelibatan masyarakat dan strategi pembangunan
ekonomi untuk memberdayakan masyarakat lokal.

5.2.3 Dampak Sosial

A. Prakiraan kesenjangan sosial lokal dan pendatang

Strategi sosial-spasial pada Masterplan IKN memberikan panduan untuk mendukung


pemerataan akses ke fasilitas dan ruang publik. Strategi tersebut menghubungkan
komunitas satu dan lainnya, dengan warisan budaya komunitas yang ada, serta
membentuk identitas IKN dengan komunitas yang akan muncul nantinya. Panduan lebih
lanjut tentang pendekatan sosial-spasial dijelaskan di Bab 7 bersama dengan indikatif
pentahapan program dan kegiatan. Panduan ini mencakup panduan dari kerangka praktik

147
terbaik (global best practice) seperti Pengamanan Sosial Bank Dunia (WB Social
Safeguard), serta beberapa rekomendasi terkait pelibatan masyarakat berkelanjutan di
awal pembangunan, penyediaan infrastruktur sosial, dan intervensi warisan budaya
sebagai bentuk komitmen IKN untuk semua.

Implementasi strategi ini membutuhkan integrasi yang kuat antara kegiatan tata ruang,
pembangunan ekonomi dan komunikasi untuk IKN. Keterlibatan masyarakat yang
berkelanjutan, identifikasi pemangku kepentingan utama, dan beragam perwakilan
masyarakat akan sangat penting untuk keberhasilan IKN, serta untuk membentuk rencana
tata ruang IKN. Strategi sosial-spasial menyediakan kerangka kerja untuk desain rinci yang
dalam proses penyusunannya bekerja sama dengan masyarakat. Hal tersebut dilakukan
untuk memastikan kebutuhan dan representasi yang tepat dari masyarakat yang ada dan
yang baru muncul. Ini akan menjadi proses yang berkelanjutan.

Kohesi sosial juga sangat terkait dengan pengadaan lahan untuk IKN, dan kegiatan yang
terkait dengan pembebasan lahan. Pengadaan lahan harus memenuhi standar ketentuan
yang berlaku di Indonesia yang ditentukan berdasarkan aturan dan kebijakan atau
standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional yang bertujuan untuk memfasilitasi
perlindungan sosial. Direkomendasikan juga bahwa relokasi mempertimbangkan
keterkaitan dengan mata pencaharian dan keterikatan warisan sejarah dan budaya dari
komunitas yang ada.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, strategi yang mendukung inklusi dan kohesi
sosial merangkul beragam komunitas, baik penduduk lokal, masyarakat yang tinggal di
seputar kawasan IKN, maupun para pendatang baru. Pihak yang terkena dampak telah
diperhitungkan berdasarkan tingkat pengaruh dan penahapan dalam pengembangan IKN.
Berdasarkan tingkat pengaruh, masyarakat dapat merasakan dampak langsung apabila
rencana pengembangan atau koridor pengembangan yang diusulkan akan menempati
lokasi permukiman atau lahan sumber mata pencarian mereka. Selain itu, mereka juga
dapat merasakan dampak yang tidak langsung akibat kegiatan konstruksi, perubahan
harga kebutuhan barang dan jasa, atau kegiatan pengembangan yang dilakukan di situs-
situs yang bernilai tinggi secara sosial, budaya, sejarah, atau pendidikan.

148
Pengembangan IKN diharapkan dapat menjalin pelibatan masyarakat meliputi sejumah
kegiatan seperti pertemuan tingkat desa, wawancara langsung, observasi lokasi langsung,
dan diskusi tim. Peserta terdiri dari perwakilan lintas instansi, mulai dari tingkat
desa/kelurahan, kabupaten, pemerintah pusat, hingga perwakilan dari badan usaha
swasta dan organisasi kemasyarakatan.

Ruang lingkup kegiatan pelibatan masyarakat, yaitu

1. Aspek kepemilikan lahan (tenurial) dan pengelolaan sumber daya alam;


2. Aspek kelembagaan;
3. Aspek persepsi; dan
4. Aspek demografi dan perekonomian lokal.

Lima isu utama yang muncul dari contoh keterlibatan masyarakat dan telah menjadi
pedoman pengembangan strategi sosial, yaitu

1. Penyelesaian masalah tenurial;


2. Jaminan eksistensi masyarakat lokal (utamanya penduduk asli);
3. Prioritas pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan SDM;
4. Pengembangan infrastruktur yang masih minim; dan
5. Penyelesaian kepatuhan lingkungan.

Upaya pelibatan masyarakat dengan prinsip-prinsip yang berkelanjutan diperlukan untuk


memajukan strategi yang diuraikan dalam bab ini. Keterlibatan masyarakat juga
dibutuhkan untuk menentukan tingkat detail strategi berikutnya dan memastikan strategi
yang dirumuskan mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal dan masyarakat baru
setelah IKN dibangun.

B. Dampak Sosial Budaya Penduduk Lokal

Tiga kemungkinan dampak sosial budaya pada penduduk lokal yang akan terjadi
diantaranya:

 Akulturasi (dominasi budaya) dimana budaya pendatang mendominasi.


Masyarakat asli hanya bisa mengadopsi budaya pendatang pada tingkat

149
yang rendah (subordinat) atau hanya pinjam budaya (cultural borrowing).
Pembangunan mendahulukan yang kuat (growth pole (efisiensi) dengan
tetesan kemakmuran dan pada akhirnya mengulang kasus Jakarta.

 Konservasi (Pengawetan dan pengkerdilan Budaya). Pemerintah


melindungi budaya asli dari kepunahan, tetapi tidak mengembangkannya
menjadi setara dengan Budaya Modern (tidak ada inovasi dan modernisasi,
hanya jadi budaya rakyat, dapat dilihat pada contoh kasus Budaya Betawi).
Kompromistik dengan mengembangkan yang kuat dan melindungi
(mengawetkan/mengkerdilkan) yang lemah.

 Asimilasi (percampuran budaya bukan “win-lose” tetapi “win-win”, sinergi)


o Sinergi adalah synthesizing energy (creative synthesis). Kuenya
hanya satu yaitu long term relationship commitment (bukan
sesaat), bukan tergantung chemistry atau perjodohan, tetapi sikap
dan cara berpikir yang “mentransformasi” bukan kompromi.
o Filsafat win-win karena “loosers are dangerous”.
o Integrasi sosial bersifat integrasi normatif dan fungsional

Pembangunan IKN terhadap sosial dan budaya masyarakat lokal diharapkan:

 Kota yang menghargai nilai-nilai sosial dan budaya melalui inklusivitas


masyarakat lokal agar terwujud kemajemukan dan sesuai dengan identitas
bangsa  asimilasi
 Kota yang memberikan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan,
lingkungan, sarana dan permukiman yang berkualitas kepada warganya
 Kota yang terus mencari jalan keluar dari konflik lahan tidak hanya secara
administrasi dan hukum, namun mempertimbangkan juga budaya asli dan
sejarah kepemilikan masyarakat
 Kota yang memastikan ketahanan masyarakat, kelas bawah (konservasi)
atau sosietal (sinergis)
 Kota yang menjadi acuan bagi perencana kelas dunia, asimilasi yang
sinergis atau Cosmopolit
150
Diperlukan tiga jenis analisis yaitu analisis structural, cultural, dan prosesual terkait
dampak sosial dan ekonomi penduduk lokal.

 Analisis struktural diperlukan yang fokus pada :


o Tatanan sosial (social setting) : Stratifikasi dan Diferensiasi

o Penataan Sosial (Structural instrument): Kebijakan, Regulasi, Program,


Budget, kekuatan ekonomi.

 Diferensiasi (kesetaraan, segregasi, animosity, prejudice,


associative/ dissociative),

 Stratifikasi (kesenjangan, hubungan kekuasaan, dominasi, konflik,


associative/dissociative, closed/opened).

 Instrumen Struktural yang konsisten, jangan memberikan konsesi


pada Usaha besar (power accumulation, multiplier effect). Jangan
melupakan landasan nilai, misalnya kasus Menara Pancasila yang
menjamin asimilasi terjadi, keseimbangan anggaran untuk setiap
segmen budaya. Kebijakan yang inklusif-sinergis

Contoh Pembangunan Struktural diantaranya:

o Mendorong perusahaan untuk membuka kesempatan magang, CSR untuk


fasilitasi pelatihan dan modal usaha.

o Prioritas: penguasaan dan spekulasi tanah yang menyebabkan kesenjangan


sosial.

o Pemberdayaan dalam bentuk Pendidikan tinggi yang inovatif yang bisa


menyetarakan mereka dengan masyarakat lainnya, asimilasi/akulturasi.

o Memberikan kuota dan fasilitasi bagi masyarakat lokal yang telah


terdidik/terlatih untuk menjadi ASN atau terlibat dalam pembangunan IKN.

o Penggunaan insentif dan disinsentif serta affirmative action (kuota


kesempatan kerja termasuk ASN)

151
o Penerapan prinsip ekonomi hijau (dekat dengan alam), comparative
advantage, asimilasi

o Kapitalisasi budaya dan ekonomi kreatif, serta potensi Meetings,


Incentives, Conferences, Exhibitions (MICE), asimilasi

Analisis Kultural diantaranya:

o Melemahnya budaya asli: ritual, keyakinan,simbol-simbol (tempat yang


dikeramatkan), pemakaian nama-nama Jawa

o Rendahnya toleransi: penolakan terhadap rumah ibadah agama atau etnis


tertentu,

o Budaya tergantung dan menyesuaikan pada alam (hutan)

o Kurangnya pengalaman, pemahaman, pada budaya Modern

Contoh Pembangunan Kultural diantaranya:

o Membangun cagar budaya, festival budaya lokal untuk pariwisata lokal


melalui desa wisata terpadu (homestay dengan segala kaitannya).

o Membangun Struktur Hunian inklusif, Gelanggang Remaja dan/atau


Community Center di Komunitas.

o Membangun sikap toleran dan solidaritas antar Suku dan agama

o Memperjelas landasan hukum kepemilikan lahan dengan memperhatikan


hak-hak adat masyarakat

o Memelihara jaringan sungai, simbol budaya Kalimantan di Kota (Asimilasi)

o Pengembangan dan Modernisasi pangan organik, jamu, beras organik,


industri kreatif, pengobatan, atau produksi kerajinan lokal..

Analisis Proses diantaranya:


o Berkembangnya organisasi kemasyarakatan berbasis Primordial

152
o Adanya kemungkinan manipulasi berita, baik melalui media sosial maupun
lisan;

o Rasa kepercayaan masyarakat rendah terhadap golongan lain maupun


Pemerintah

Contoh Pembangunan Prosesual diantaranya:

o Mengembangkan literasi Digital secara masif

o Pembangunan Berbasis Komunitas

o Perlunya mengembangkan infrastruktur sosial di Komunitas (Lembaga


Musyawarah, Community Center), LMRW harus melaporkan
perkembangan social.

Dengan demikian, empat kelompok masyarakat yang diidentifikasi untuk terkena dampak
adalah:

1. Masyarakat di dalam K-IKN yang akan dampak langsung dari pembangunan di


Tahap Pertama pembangunan;
 Dibutuhkan strategi relokasi untuk wilayah inti pemerintah dan
pembangunan infrastruktur dan lainnya; serta
 Jika harus direlokasi, kawasan pengganti yang akan menampung
masyarakat harus mampu mendukung, memelihara, dan melestarikan
serta mengembangkan budaya dan program terkait dengan kegiatan
ekonomi dalam memenuhi kebutuhan mata pencarian masyarakat yang
terpengaruh.
2. Masyarakat di dalam K-IKN yang lahannya tidak terkena dampak langsung dari
pembangunan di Tahap Pertama pembangunan;
 Area yang diidentifikasi sebagai situs bernilai sosial, budaya, sejarah, dan
pendidikan tinggi dapat dimasukkan sebagai elemen kota yang menyatu
dengan lapisan perkotaan lainnya, serta diikuti dengan program-program
yang akan mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
153
 Proses pelibatan masyarakat harus berlangsung secara kontinu di kawasan
yang diidentifikasi sebagai sel yang dapat dikembangkan di tahap
selanjutnya (Tahap 2 – Tahap 5). Hal ini dilakukan untuk memastikan
integrasi
o Proses desain dapat dimulai dengan mengembangkan kantung
budaya sehingga memungkinkan komunitas setempat tetap berada
di wilayah K-IKN.
o Selama proses pengembangan IKN, masyarakat dapat berpindah
atau berkembang dari lokasi saat ini. Keterlibatan masyarakat yang
berkelanjutan sangat penting untuk memahami kebutuhan dan
aspirasi mereka serta mengintegrasikannya ke dalam rencana
pengembangan IKN.
3. Masyarakat di dalam KP-IKN dan di luar Kawasan Perluasan K-IKN; dan
 Masyarakat memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan perekonomian yang sudah ada, baik yang memiliki potensi nilai
prospektif maupun kegiatan ekonomi baru, seperti kegiatan perindustrian
yang berkaitan dengan pengelolaan makanan dan herbal.
 Menghubungkan masyarakat dengan kesempatan ekonomi yang akan
mendukung perencanaan KP-IKN (mengarahkan industri yang sejalan
dengan potensi lokal: pertanian, perikanan, peternakan, dan pariwisata).
 Sebisa mungkin memastikan peningkatan akses terhadap sarana
transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
 Pengembangan kegiatan pertanian dapat meningkatkan produktivitas
pangan dalam KP-IKN. Selain itu elemen-elemen terkait juga perlu
dipertimbangkan seperti akses jalan, air/irigasi, energi, jaringan
telekomunikasi, dan pendidikan.
4. Masyarakat di luar Batas Delineasi Kawasan IKN.
Kelompok masyarakat tersebut harus mendapatkan jaminan untuk
memperoleh akses terhadap infrastruktur dan transportasi dalam menjangkau

154
kesempatan yang ada. Hal ini dapat berupa rehabilitasi lingkungan binaan
maupun peningkatan kualitas infrastruktur dan transportasi.

Terkait dengan pengelompokan pihak tersebut di atas, setiap kelompok juga memiliki
keragaman internal yang perlu diakui keberadaannya. Oleh karena itu, kegiatan pelibatan
masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan aspirasi
mereka guna memastikan strategi sosial yang inklusif dan membawa manfaat bagi
masyarakat dan IKN. Strategi spesifik yang akan mengatasi berbagai kemungkinan
masalah bagi keempat kelompok masyarakat di atas akan diuraikan di bagian berikut ini.

5.2.4 Realokasi Penduduk – Displacement

Rencana pengembangan IKN juga dapat dipengaruhi oleh pengembangan strategi sosial.
Masyarakat yang terkena dampak pembangunan dan rencana infrastruktur pada Tahap 1
(periode beberapa tahun) memiliki kebutuhan yang lebih mendesak serta memerlukan
strategi pembebasan lahan dan relokasi untuk pemukiman kembali. Selain itu, dengan
mempertimbangkan pengaruh IKN secara keseluruhan pada tahap-tahap berikutnya,
terdapat potensi pergeseran di masyarakat, baik yang dimanifestasikan dengan
perubahan mata pencarian terkait pengembangan sektor ekonomi IKN maupun
perpindahan secara fisik ke permukiman di dalam kawasan IKN yang dapat
dikembangkan.

Adapun strategi bagi masyarakat dalam K-IKN yang tidak terkena dampak langsung
terhadap lahan mereka dalam Tahap 1 akan difokuskan pada partisipasi mereka di dalam
pengembangan ekonomi dan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan. Selain itu,
partisipasi aktif masyarakat yang terfokus dan berkesinambungan merupakan hal yang
penting untuk bersama-sama mendukung rencana pengembangan IKN dan memastikan
keberlangsungan penduduk lokal.

Perpindahan penduduk secara massif akan berdampak pada keteraturan sosial yang
anomik dengan tingkat konflik dan disintegrasi sosial yang tinggi perlu sosial learning dan
social adaptation (Sociability) yang berbasis Komunitas. Manajemen Sosial Kota dalam
pengembangan IKN sangat tergantung pada kualitas komunitas yang ada. Jenis komunitas

155
yang ada diantaranya Komunitas Spatial, Profesional, Primordial, Interest, Komunitas
Virtual. Seluruh komunitas yang ada tersbeut semuanya dapat bisa dimanfaatkan untuk
mengembangkan partisipasi warga kota.

Pembangunan Kota yang berbasis pada pemberian peran central dan wewenang pada
komunitas (diperkuat oleh PERDA) disebut dengan Central Business Development (CBD).
Dominasi elit kekuasaan di Kota bisa dikurangi dengan membagi wewenang dan peran
RT/RW. Melalui CBD segregasi sosial dapat dikontrol (percampuan etnis, agama, kelas).
CBD bisa menyeimbangkan Bonding-Bridging dan Linking Social Capital. CBD merupakan
perangkat “early warning system”. Melalui CBD, akan terbangun Educating City, kota yang
mendidik warganya menjadi smart citizen. CBD dapat menciptakan integrasi Sosial,
Integrasi Fungsional demi integrasi Normatif (affirmative action). CBD bersifat progresif
bukan defensive, memanfaatkan Modal sosial (Bonding, Bridging, Linking) sehingga
menciptakan Masyarakat Modern yang seimbang (Harmonis).

Kehidupan Komunitas yang baik akan membangun common value, belongingness, dan
common interests. Community Centre: Pengembangan kesenian, OR, pelatihan kerja,
kerukunan antar suku, agama di Kota. Festival Budaya (seni, OR) secara rutin di
Komunitas. Badan Usaha Milik Desa/Bumdes dan koperasi. Pengembangan desa wisata,
kampung adat revitalisasi budaya, berbagai pelatihan pariwisata, serta pengembangan
inkubasi bisnis dan industri kreatif. Membangun industri kecil berbasis komunitas untuk
mendukung agroindustri seperti pangan, herbal, farmasi, dan biokimia.

Jangan mengulang “kesalahan” yang terjadi di Ibukota lama dimana terjadi ekonomi
anarkis, pertarungan kepentingan yang merusak ekosistem social. Sejalan dengan tujuan
pembangunan IKN yaitu pembangunan sosietal bukan sekedar sectoral, membangun
kualitas kehidupan Sosial budaya berbasis nilai inklusif, smart, green, beautiful dan
sustainable. Elemen dasar dari kehidupan sosial-budaya adalah elemen struktural,
kultural dan prosesual. strategi pembangunan melalui konsep ”community-based
development”. Pembangunan ibukota baru harus menjadi batu penjuru (model)
pembangunan kota yang mengembangkan kualitas kehidupan sosial budaya
(pembangunan sosial).

156
5.2.5 Lembaga yang Bertanggungjawab dalam Pembebasan Tanah serta Pemukiman

Kembali Penduduk – Displacement

Mengacu kepada Masterplan IKN, strategi konsolidasi pembebasan tanah IKN dirancang
untuk mendukung pemenuhan KPI 2.1 100% integrasi seluruh penduduk – penduduk lokal
dan pendatang, serta butir-butir target yang tertuang di dalam KPI 6 Aman dan
Terjangkau dan KPI 8 Peluang Ekonomi untuk Semua. Proses yang jelas terkait konsolidasi
tanah untuk masyarakat dan pembuatan keputusan perlu didasari oleh pemahaman atas
aspek-aspek pemilikan, pengelolaan, dan penguasaan atas tanah. Dengan landasan ini,
strategi yang sesuai dapat disusun dan dijalankan guna meminimalkan dampak dan di
saat yang sama dapat memaksimalkan manfaat bagi masyarakat.

Pada dasarnya, Masterplan dirancang untuk sedapat mungkin meminimalkan relokasi


penduduk setempat. Jika tidak dimungkinkan, strategi bagi masyarakat yang perlu
dipindahkan harus disusun ke dalam rencana pengembangan IKN, termasuk pemberian
kompensasi yang memadai dan adil, serta dengan musyawarah yang melibatkan pihak-
pihak yang terkena dampak.

Lebih lanjut lagi, hasil diskusi yang melibatkan masyarakat umum dan berbagai tokoh
masyarakat sebagai bagian dari Masterplan IKN menyoroti adanya sambutan baik dari
sebagian masyarakat terhadap rencana pengembangan IKN. Sejumlah tokoh masyarakat
dan pelaku usaha mengutarakan adanya potensi kemanfaatan seperti stimulasi ekonomi
di masa mendatang. Proses pengembangan IKN sejatinya perlu menanggapi dan
mempertimbangkan pihak-pihak yang terkena dampak untuk memastikan rencana IKN
selalu menjunjung inklusivitas dan tidak memarjinalkan masyarakat.

Pertimbangan konsolidasi tanah yang diuraikan dalam sub-bab ini mencakup sejumlah
aspek sebagai berikut:

1. Garis besar proses penyelenggaraan pengadaan tanah;


2. Faktor-faktor utama yang perlu diindahkan dalam proses pengadaan tanah;

3. Objek tanah yang perlu dipertimbangkan untuk kompensasi;

157
4. Subjek dan pihak-pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi (baik yang terkena
dampak pengembangan area maupun koridor infrastruktur);

5. Estimasi nilai tanah di kawasan IKN sebagai landasan penyusunan biaya; dan

6. Ringkasan neraca penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, secara ringkas
disajikan pada Tabel …..

Tabel 5.21 Proses Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Tahap Tahap Persiapan Tahap Pelaksanaan Tahap Penyerahan


Perencanaan Hasil
Penanggungjawab: Penanggungjawab: Penanggungjawab: Penanggungjawab:
Entitas Hukum Gubernur Kantor Wilayah Kantor Wilayah
yang mengelola IKN Kalimantan Timur KATR/BPN Kalimantan KATR/BPN Kalimantan
Timur/Kantor Timur/Kantor
Pertanahan ATR Kutai Pertanahan ATR Kutai
Kertanegara & Penajam Kertanegara & Penajam
Paser Utara Paser Utara
Kegiatan Utama: Kegiatan Utama: Kegiatan Utama: Kegiatan Utama:
Studi kelayakan  pemberitahuan  inventarisasi dan  penyerahan hasil
rencana identifikasi pengadaan tanah;
penyiapan
pembangunan; penguasaan,  sertifikasi tanah yang
Dokumen Perencanaan  pendataan awal lokasi pemilikan, telah diperoleh; dan
rencana penggunaan, dan  pemantauan dan
Pengadaan Tanah
pembangunan; pemanfaatan tanah; evaluasi
(DPPT).  konsultasi publik  penilaian ganti
rencana kerugian;
pembangunan; dan  musyawarah
 10. penanganan penetapan ganti
keberatan. kerugian;
 pemberian ganti
kerugian;
 Pelepasan hak atas
tanah; dan
 penanganan
keberatan.
Keluaran: Keluaran: Keluaran: Keluaran:
Dokumen  Persetujuan lokasi Pelepasan  Dokumentasi Proses
rencana Pengadaan Tanah
Perencanaan hubungan yuridis objek
pembangunan; dan  Pendaftaran Hak atas
Pengadaan Tanah  Penetapan lokasi Pengadaan Tanah (SPH) tanah
pembangunan.
Sumber: Masterplan IKN, 2020

158
Beberapa faktor penting dan aksi awal perlu dilakukan dalam pengadaan tanah IKN untuk
mendukung tahap pertama pengadaan tanah diuraikan di bawah ini.

 Entitas hukum yang akan mengelola Kawasan IKN


Pengadaan tanah merupakan urusan yang menyangkut kepentingan umum,
khususnya untuk pembangunan. Sehubungan dengan hal ini, sebuah entitas
hukum yang jelas perlu ditetapkan untuk mengelola Kawasan IKN. Entitas ini kelak
dapat mengurus dan mengatur hal-hal terkait pertanahan, serta mengelola
kebutuhan tanah yang akan diajukan berbagai instansi di IKN.

Sehubungan dengan hal di atas, Badan Otorita IKN akan menjadi lembaga
pemerintah yang melaksanakan, mengawasi, dan mengatur segala hal terkait
pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Negara, dalam hal ini khususnya
urusan pertanahan. Selain sebagai pihak yang mengajukan kebutuhan tanah yang
akan dibebaskan, Badan Otorita IKN juga memiliki peran yang sangat vital dalam
menerima kawasan hutan yang akan dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menjadi Kawasan IKN. Tanpa instansi ini,
pelepasan kawasan hutan tidak dapat dilakukan.

 Batas administrasi yang jelas


Batas administrasi di wilayah kabupaten, kecamatan, dan desa perlu ditetapkan
dengan jelas karena akan berpengaruh pada kejelasan kedudukan subjek atau
pihak yang akan menerima ganti rugi. Selain itu, tumpang tindih atas klaim
kepemilikan, perizinan, konsesi, dan kontrak karya perlu diurai dan ditertibkan
untuk memastikan pihak yang berhak dan layak untuk menerima kompensasi atau
ganti rugi. Sebagai contoh, kasus saling klaim atas sejumlah bidang tanah di lokasi
IKN, yakni antara kerabat kesultanan Kutai Kertanegara yang menuntut hak hibah
dan Gubernur Kalimantan Timur yang menyatakan tanah tersebut telah menjadi
tanah negara, sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, perlu
diselesaikan sebelum memasuki tahap persiapan pengadaan tanah.

Lebih lanjut lagi, kejelasan kedudukan subjek-subjek tertentu perlu diselesaikan


sebelum proses pembangunan IKN. Sebagai contoh, terkait dengan pelepasan
159
hutan, proses penyelesaiannya perlu dimulai sejak tahap perencanaan pengadaan
tanah. Hal ini dilakukan sehingga status penyelesaiannya sudah jelas saat
penetapan lokasi (penlok) pada tahap persiapan. Contoh lainnya berupa
identifikasi yang teliti terkait tanah wakaf. Jika ditemukan adanya tanah wakaf,
proses tukar menukar tanah dengan status semacam ini akan memerlukan proses
yang panjang, sehingga proses identifikasinya harus dilakukan sejak dini dan tidak
berlarut-larut hingga tahap pelaksanaan pengadaan tanah. Sebagai contoh
terakhir, kejelasan eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Paser beserta
dengan wilayahnya juga perlu diidentifikasi sejak awal agar proses
penyelesaiannya memiliki cukup waktu yang dimulai dengan proses persetujuan
bebas tanpa paksaan (FPIC).

 Kompensasi yang adil jika relokasi tidak terhindarkan


Masterplan sedapat mungkin perlu menghindari relokasi penduduk setempat. Jika
tidak terhindarkan, dampak terhadap penduduk setempat harus diminimalkan.
Adapun jika relokasi akhirnya perlu dilakukan, strategi relokasi dan program perlu
disusun sejak tahap perencanaan yang dapat menjamin kehidupan masyarakat
akan lebih baik dari sebelumnya. Selama ini diketahui bahwa penduduk setempat
menyambut baik rencana pembangunan IKN, tetapi jika rencana ini akan
menggusur tempat tinggal dan mata pencarian, tentunya hal ini akan
menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Guna menghindari hal tersebut,
strategi mitigasi perlu direncanakan dengan baik dan bentuknya perlu
mendapatkan persetujuan dari penduduk setempat.

Contoh mitigasi yang dapat dilakukan dapat berupa pemberian ganti rugi yang
layak dan adil, serta pemukiman kembali penduduk yang daerahnya terkena
dampak proyek dengan pendekatan yang tidak hanya mengganti rumah dan
tanah, tetapi juga kehidupannya dengan program pemulihan kehidupan. Program
ini harus diberikan kepada penduduk yang terkena dampak proyek yang tergolong
rentan (vulnerable) dan terkena dampak serius (severely). Kelompok rentan
merupakan masyarakat yang tergolong keluarga miskin, kepala keluarga wanita,
manula, cacat, atau termarjinalkan secara sosial dan politik, serta kriteria lain yang
160
relevan. Kelompok yang terkena dampak serius diindikasikan dengan hilangnya
sumber pendapatan produktif lebih dari 10% (berdasarkan standar internasional
seperti SPS ADB - 2009).

Relokasi penduduk yang direncanakan dengan matang juga perlu melibatkan baik
penduduk yang akan dipindahkan maupun masyarakat yang akan menjadi tuan
rumah (host community). Relokasi tidak hanya mempertimbangkan pemindahan
rumah/tempat tinggal semata-mata, tetapi juga harus mempertimbangkan
keberlangsungan seluruh proses kehidupan penduduk yang direlokasi, utamanya
mata pencarian, interaksi sosial, budaya, agama, politik dan hukum, sehingga
kondisi mereka minimal sama atau lebih baik dari sebelumnya.

Sehubungan dengan mekanisme, seluruh proses/tahap pengadaan tanah harus


menerapkan prinsip konsultasi yang bermakna (meaningful consultation) untuk
menyelaraskan kesepahaman antara pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, pemetaan pemangku kepentingan harus dilakukan dengan saksama
untuk melibatkan semua pihak tanpa terkecuali, termasuk dalam aspek gender.
Mekanisme penanganan keluhan (grievance redress mechanism atau GRM) juga
perlu dibangun pada semua siklus proyek. Untuk proses pengadaan tanah, sistem
GRM harus dilekatkan pada semua tahapan. Selain itu, proyek juga perlu
melakukan transparansi informasi secara konsisten dengan prinsip keterbukaan
(disclosure) pada beberapa tahapan kunci, seperti hasil pendataan pihak yang
berhak mendapatkan ganti rugi dan aset yang terkena dampak. Mekanisme
pengaduan keberatan dan langkah-langkah penanggulangannya harus jelas, dan
jika jalur hukum harus ditempuh, seluruh prosesnya juga perlu dijelaskan dengan
gamblang.

Kelembagaan yang bertanggung jawab dan yang mendukung keberlangsungan


seluruh proses pengadaan tanah, termasuk proses relokasi dan program
pemulihan kehidupan penduduk yang rentan dan terkena dampak serius, harus
dibangun dengan baik. Untuk mendukung hal ini, anggaran yang memadai harus
disediakan untuk biaya pengadaan tanah yang layak dan adil, sehingga tidak

161
meninggalkan isu tanah yang tidak terselesaikan (land legacy issue) yang kompleks
dan akan mengganggu proses pembangunan dan operasi IKN di masa mendatang.
Selain itu, sistem pengawasan dan evaluasi juga perlu dibangun untuk menjamin
agar semua proses senantiasa taat asas dan prosedur, serta diterapkannya prinsip
penggantian yang layak dan adil. Di samping mekanisme pengawasan internal,
lembaga independen yang kredibel juga patut disertakan untuk memastikan
seluruh proses pengadaan tanah, termasuk relokasi dan pemulihan kehidupan
berjalan baik, berjalan sesuai koridor dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.

 Objek Pengadaan Tanah


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pada Pasal 33, objek
pengadaan tanah dan penilaian besarnya ganti rugi oleh penilai dilakukan bidang
per bidang tanah, yang meliputi enam objek pengadaan tanah. Jika ditemukan
jenis dampak yang tidak termasuk dari enam objek pengadaan tanah, upaya
penanganan terhadap objek tersebut perlu dilakukan yang ditunjukkan pada
Gambar …..

Gambar…. Obyek- obyek Pengadaan Tanah

Sumber: Masterplan IKN, 2020

Gambar 5.18 Obyek-obyek Pengadaan Tanah

Pada konteks IKN, semua jenis objek tersebut akan ditemukan, misalnya

162
1. Tanah (tanah milik Pemegang HGU, tanah milik warga transmigran, tanah milik
badan hukum lainnya);
2. Ruang atas tanah dan ruang bawah tanah (terowongan atau transmisi listrik);
3. Bangunan (pada area 5,6 ribu ha terdapat bangunan milik IHM, Pemda PPU,
dan sebagian rumah penduduk);
4. Tanaman (HTI, perkebunan sawit rakyat, perkebunan badan hukum);
5. Benda lain yang berkaitan dengan tanah (jika ada kabel listrik bawah tanah,
pipa PDAM); dan
6. Kerugian lain yang dapat dinilai, kerugian non fisik yang dapat dinilai dengan
uang (kerugian kerena kehilangan usaha warungan, penginapan, biaya pindah
tempat, biaya alih profesi, dan properti sisa).

 Subjek/Pihak yang Berhak mendapat Ganti Rugi


Sesuai Perpres 71/2012 Pasal 16-26, subjek/pihak yang berhak mendapat ganti
rugi adalah pemilik, penguasa, pengguna, dan pemanfaat dari enam objek
pengadaan tanah tersebut, yang meliputi:

1. Pemegang hak atas tanah,


2. Pemegang pengelolaan,
3. Nadzir untuk tanah wakaf,
4. Pemilik tanah bekas milik adat,
5. Masyarakat hukum adat,
6. Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik,
7. Pemegang dasar penguasaan atas tanah, dan/atau
8. Pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Subjek pengadaan tanah, jika ada, selain yang tercantum di atas, antara lain

1. Para buruh/atau penggarap lahan milik pihak lain,


2. Penghuni liar (squatters),
3. Pihak yang tidak memiliki bukti kepemilikan formal, dan

163
4. Pihak yang rentan (vulnerable) dan/atau terkena dampak serius (severely)
harus mendapat perhatian/bantuan khusus agar tidak termarginalkan
dengan adanya proyek ini.
 Penilaian untuk Ganti Rugi
Perkiraan ganti kerugian harus sudah diperoleh sejak tahap perencanaan yang
ditentukan berdasarkan hasil penilaian dari penilai publik (KJJP/MAPPI) yang
memiliki kualifikasi yang baik. Sebelum ditetapkan, proses penilaian perlu
dilakukan secara berulang (check and re-check) agar tidak menimbulkan
keberatan pihak yang berhak akibat kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.

Strategi Pengadaan Tanah di Kawasan IKN berdasarkan hasil analisis tata ruang terhadap
kawasan yang dapat dibangun dan permukiman menunjukkan bahwa sejumlah usulan
lokasi infrastruktur di area KP-IKN bersinggungan dengan permukiman warga. Selain itu,
di wilayah KIPP juga diketahui ada sejumlah permukiman dan bangunan sekitar 60 KK di
RT 10 Desa Bumi Harapan, kompleks perkantoran IKM, dan aset Pemda berupa gedung
dan kandang sapi yang berada di areal seluas 41 ha.

Sehubungan dengan kondisi di atas, penyusunan strategi pengadaan tanah untuk


pembangunan IKN perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Penyusunan DPPT (Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah) yang akurat, reliable


dan komprehensif. Dalam praktek pengadaan tanah di Indonesia kesiapan dan
keandalan DPPT manjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan proses
pengadaan tanah sekaligus percepatannya perolehan tanahnya. Sesuai dengan
Pasal 4 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 4/2021, tata cara penyusunan
DPPT dilakukan melalui suatu Studi Kelayakan yang mecakup (1) Survey sosial
ekonomi; (2) kelayakan lokasi; (3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi
wilayah dan masyarakat; (4) perkiraan nilai tanah; (5) dampak lingkungan dan
sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah; dan studi lain yang
diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Hasil Studi Kelayakan
tersebut dituangkan dalam suatu dokumen mencakup (1) maksud dan tujuan
rencana pembangunan; (2) kesesuaian dengan RTRW dan Prioritas Pembangunan

164
Nasional/Daerah; (3) letak tanah; (4) luas tanah yang dibutuhkan; (5) gambaran
umum status tanah; (6) perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah; (7)
perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; (8) perkiraan nilai tanah; dan
(9) rencana penganggaran. Apabila DPPT dapat disampaikan kepada Pemerintah
Provinsi (Gubernur) sesuai dengan syarat-syarat tersebut maka proses konsultasi
publik dengan warga yang terkena dampak dapat berjalan dan potensi-potensi
penolakan dapat diantisipasi sehingga penerbitan SK (Surat Keputusan) Gubernur
tentang Penetapan Lokasi dapat berjalan sesuai rencana. Penerbitan SK
Penetapan Lokasi merupakan salah satu bentuk “testing” terhadap skema
pengadaan tanah karena warga terkena dampak memiliki hak untuk menggugat
SK Penetapan Lokasi oleh Pemerintah Provinsi ke Peradilan Tata Usaha Milik
Negara (PTUN). Apabila DPPT disusun dengan tepat, cermat dan komprehensif
maka berbagai kemungkinan reaksi dari warga yang terkena dampak
pembangunan dapat diantisipasi termasuk meminimalkan resiko penolakan warga
yang terkena dampak terhadap rencana pembangunan.
2. Merumuskan strategi pengadaan tanah sejak dini – Proses pengadaan tanah perlu
disusun sejak Tahap Perencanaan Pengadaan Tanah, sesuai dengan PP No.
19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Pasal 6 ayat 1(k) mengatur salah satu muatan wajib Dokumen Perencanaan
Pengadaan Tanah (DPPT), adalah “Preferensi bentuk ganti kerugian”. Oleh karena
itu, pengadaan tanah dapat dikaji dan direncanakan sejak Tahap Perencanaan,
termasuk perencanaan lokasi kepindahan sebagai bagian dari upaya untuk
menyerap preferensi bentuk ganti kerugian. Hal ini penting mengingat pasal 80
ayat (3) PP 19/2021 menyebutkan, “Dalam hal permukiman kembali akibat
kegiatan yang termasuk kepentingan umum, penyediaan tanahnya dapat
dilakukan melalui tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum”. Lebih lanjut lagi, Pasal 80 ayat (7) menyebutkan
“Pelaksanaan penyediaan permukiman kembali, sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak penetapan bentuk Ganti Kerugian
oleh pelaksana Pengadaan Tanah”. Dengan demikian, jika pengadaan tanah harus
dilakukan melalui 4 tahapan pengadaan tanah dan pelaksanaan penyediaan
165
pemukiman kembali paling lama 1 (satu) tahun sejak penetapan bentuk ganti
kerugian, perancangan relokasi sebagai salah satu preferensi bentuk ganti
kerugian menjadi unsur yang sangat penting untuk dilakukan sejak Tahap
Perencanaan. Penetapan lokasi pengadaan tanah yang baru sepatutnya dilakukan
secara bersamaan dengan proses penetapan lokasi proyek pembangunan, alih-alih
diproses dalam jangka waktu 1 tahun setelah penetapan bentuk Ganti Kerugian.
3. Memberikan opsi-opsi yang melibatkan partisipasi masyarakat – Sesuai dengan
penjabaran di atas, strategi pengadaan tanah perlu disusun dengan matang dan
sedini mungkin, serta melibatkan penduduk yang akan direlokasi dan penduduk
tuan rumah (host community) dengan prinsip konsultasi yang bermakna
(meaningful consultation). Terkait dengan hal ini, sejumlah pilihan relokasi dapat
diberikan secara partisipatif, yaitu
a. pihak yang berhak (terkena dampak) akan melakukan relokasi secara
mandiri per keluarga atau berkelompok;
b. pihak yang berhak (terkena dampak) akan meminta proyek untuk
menyediakan tempat permukiman baru;
c. kombinasi antara alternatif a dan b, yaitu pindah secara mandiri, tetapi
dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dibangun pihak proyek.
4. Memastikan proses relokasi masyarakat adat yang menghormati budaya setempat
– Relokasi sebagai salah satu pilihan bentuk ganti kerugian bagi masyarakat
terdampak khususnya Masyarakat Adat Paser atau masyarakat adat lainnya. Oleh
karena itu, FPIC (Free and Prior Informed Consent) atau padiatapa akan diperlukan
untuk memberikan hak kepada masyarakat adat dalam menentukan jika suatu
proyek pembangunan dapat dilaksanakan, ditolak, atau disetujui dengan syarat-
syarat tertentu melalui proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan
musyawarah adat. Pengadaan tanah yang bersinggungan dengan wilayah
masyarakat adat memerlukan proses yang jauh lebih rumit dan oleh sebab itu
rencana pembangunan suatu proyek sedapat mungkin menghindari wilayah
tersebut. Akan tetapi, jika secara teknis hal ini tidak bisa dihindari, proses
pengadaan tanah harus dilakukan dengan mempertimbangkan hukum adat yang
berlaku secara saksama. Lebih lanjut lagi, relokasi masyarakat merupakan sebuah
166
proses yang tidak sekadar memindahkan fisik bangunan atau lahannya, tetapi juga
perlu memerhatikan tradisi atau budaya yang masih hidup di permukiman saat ini,
termasuk tata cara pemindahannya yang harus mendapatkan kesepakatan dari
semua pemangku kepentingan masyarakat adat. Jika secara fisik aset budaya tidak
dapat dipindahkan, musyawarah dengan para pemangku adat perlu dilakukan
terkait cara, kompensasi, atau upacara yang dibutuhkan agar hal tersebut tidak
bertentangan dengan hukum adat mereka. Semua pihak terkait di masyarakat
adat harus merasa yakin dan sepakat dengan penyelesaian tersebut untuk
menghindari resistensi akibat merasa tidak dilibatkan dalam musyawarah. Hal
penting lain yang harus mendapat perhatian adalah keberlangsungan kehidupan
ekonomi mereka setelah pindah di ke lokasi baru. Untuk tujuan ini, analisis yang
mendalam dan proses-proses diskusi kelompok terarah (FGD) perlu dilakukan agar
berbagai opsi program pemulihan kehidupan yang ditawarkan betul-betul sesuai
dengan aspirasi dan cara-cara hidup mereka.
5. Mempertimbangkan langkah-langkah berikutnya yang dapat memastikan
kehidupan masyarakat yang berkelanjutan, termasuk menyertakan program
pemulihan hidup (livelihood restoration program atau LRP) – Pada dasarnya
strategi relokasi tidak semata-mata hanya mempertimbangkan pemindahan
tempat tinggal, tetapi juga perlu memikirkan keberlangsungan seluruh proses
kehidupan penduduk, utamanya terkait mata pencarian, interaksi sosial, budaya,
agama, politik dan hukum, agar minimal sama atau lebih baik dari kondisi sebelum
direlokasi. Selain itu, program pengadaan tanah juga harus dibangun dengan
perspektif untuk membangun suatu kompleks permukiman baru dengan segala
pendukungnya yang memungkinkan masyarakat dapat menjalankan
kehidupannya, baik secara sosial, ekonomi, budaya, ekologi, maupun politik dan
hukum. Oleh karena itu, semua program yang terkait dengan pembangunan
rumah, baik mengenai bentuk/arsitektur maupun ukuran dan fungsi rumah, harus
disetujui oleh pihak yang terkena dampak. Demikian juga pembangunan fasilitas
umum, antara lain, jalan, drainase, puskesmas, sekolah, dan masjid harus setara
dengan kondisi sebelumnya atau lebih baik. Sarana prasarana perumahan dan
sumber mata pencarian juga perlu mendapat kesepakatan masyarakat. Untuk itu
167
dalam merancang program pengadaan tanah, diskusi-diskusi terarah dengan para
pihak terkait perlu dilakukan seintensif mungkin agar dapat menyerap aspirasi
warga, sehingga pembangunan perumahan baru dapat diterima dengan baik dan
warga bisa melanjutkan kehidupannya.
6. Melibatkan seluruh pihak yang terkait dalam proses koordinasi – Proses
perancangan program pengadaan tanah juga membutuhkan kerja sama berbagai
pihak, baik pihak proyek, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, maupun
Pemerintah Pusat, karena alokasi dan koordinasi sumber daya harus
diintegrasikan dari berbagai pihak tersebut.
7. Melakukan pencadangan lahan sejak awal – Gubernur Kalimantan Timur melalui
Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur No 6/2020 mencadangkan
kawasan seluas 490.000 hektar di 4 kecamatan di Kutai Kartanegara, 1 kecamatan
di Penajam Paser Utara, dan 3 Kecamatan di Kota Balikpapan untuk pembangunan
IKN. Sebagian dari lahan tersebut tentu bisa dicadangkan untuk program
pengadaan tanah penduduk yang terkena dampak pembangunan IKN.
8. Menyelenggarakan sistem pemantauan dan evaluasi secara berkala – Selama
proses pengadaan tanah berlangsung, sistem pemantauan dan evaluasi perlu
dijalankan untuk menjamin semua warga menerima hak mereka dan memastikan
pencapaian tujuan pengadaan tanah.
Menyediakan lokasi penampungan selama relokasi – Konstruksi tidak boleh dilakukan
sementara warga yang terkena dampak belum pindah ke tempat yang baru. Jika
pembangunan suatu proyek kepentingan umum sangat mendesak dan harus segera
dilakukan, Pemerintah wajib menyediakan rumah penampungan sementara dan
memberikan biaya pindah sebanyak dua kali, yaitu dari lokasi awal ke lokasi
penampungan sementara dan biaya dari lokasi penampungan sementara ke lokasi
relokasi yang sudah selesai dibangun.

5.3 Analisa Dampak Lingkungan

168
169
BAB 6 KAJIAN BENTUK KERJA SAMA
6.1 Bentuk Usaha Secara Umum

Pada prinsipnya suatu pelaksanaan proyek konstruksi selalu membutuhkan pihak investor
sebagai pihak yang memberikan sumber daya berupa pendanaan dimana hal tersebut
harus tertuang dalam suatu perjajian yang berupa kontrak, dalam kontrak pula diatur
bagaimana perjajnjian manajemen pengelolahan setelah proyek tersebut siap
dioperasikan.

Pada umumnya kontrak konstruksi terdiri dari kontrak yang berlaku di Indonesia dan
Kontrak Internasional. Pada dasarnya sumber pendanaan yang digunakan pada
pelaksanaan proyek konstruksi berasal dari :

 Pendanaan menggunakan sumber dana dari APBN/APBD yang diatur dalam Keputusan
Presiden No. 80 Tahun 2003 yang telah dirubah pada Per Pers 54 tahun 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. 

 Proyek-proyek konstruksi yang menggunakan sumber dana dari bantuan luar (Loan)
misalnya dari Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) harus
menggunakan kontrak yang berlaku secara internasional (Internasional Contract).

 Pendanaan dari pihak swasta dalam menjalankan suatu proyek konstruksi, baik modal
sendiri, saham, obligasi maupun melalui pinjaman. 

Bentuk pengelolahan suatu proyek konstruksi pada saat pelaksanaan serta tahap
pengoperasian harus ditentukan sebelumnya dalam kontrak, sehingga dapat diketahui
tata cara manajemen pelaksanaan,  pengelolahan/operasionanyal dan pembagian
labanya.

Menurut Internatioanal Monetary Fund – IMF, 2006, mengklasifikasikan beberapa bentuk


kerjasama  PPP yaitu:

1. Bulid Own Operate (BOO)

Yakni pemberian konsesi, investor punya hak mendapatkan pengembalian investasi,


keuntungan yang wajar, sehingga investor dapat menarik biaya dengan persetujuan
170
pemerintah dari pemakai jasa infrastruktur yang dibangunnya (Noor, 2007). Dalam hal ini
pihak swasta mendanai, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas, dengan
memperoleh insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut namun pihak pemerintah
mengatur harga dan kualitas layanan. Model ini banyak dipakai untuk menyediakan
fasilitas baru yang dapat diantisipasi agar permintaan pasar akan selalu ada.

2. Build Develop Operate (BDO) 

Swasta menyewa/membeli fasilitas dari pemerintah, melakukan ekspansi, modernisasi


kemudian mengoperasikannya berdasarkan kontrak. Pihak Swasta berharap dengan
melakukan investasi akan mendapat pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar

3.  Build Lease Transfer (BLT)

Pada jenis ini setelah fasilitas selesai dibagun (build), pemilik suatu fasilitas seolah-olah
meyewakan fasilitas yang baru dibangun untuk suatu kurun waktu tertentu (Lease)
kepada investor sebagai angsuran dari investasi yang sudah ditanamkan atau fasilitas
tersebut dapat pula disewakan kepada pihak lain. Tentu saja untuk ini diperlukan
perjanjian sewa (lease Agreement). Setelah masa sewa berakhir, fasilitas diserahkan
kepada pemilik fasilitas (Transfer). 

 4. Buy Build Operate (BBO)

Buy-Build-Operate (BBO) adalah suatu fasilitas publik yang ada dipindah tangankan ke


pihak swasta untuk dilakukan renovasi dan dioperasikan selama suatu periode tertentu
atau sampai biaya renovasi tertutup dengan suatu tingkat keuntungan tertentu, tetapi
kepemilikan berada di tangan pihak swasta. Bentuk kerja sama mengijinkan pihak
pemerintah untuk mengawasi terhadap keamanan, dampak lingkungan, harga, serta
mutu layanan kepada masyarakat.

5. Lease Develop Operate (LDO)

Pihak swasta menyewa fasilitas dari pemerintah, melakukan ekspansi, modernisasi


kemudian mengoperasikannya berdasarkan kontrak. Swasta berharap dengan melakukan
investasi akan mendapat pengembalian investasi dan keuntungan wajar.
171
6. Wrap Around Addition (WAA)

Pihak swasta membiayai dan melaksanakan pembangunan suatu pekerjaan tambahan


dan dapat mengoperasikannya untuk waktu tertentu dalam rangka pengembalian
investasi (S

. Built Operate Transfer (BOT)

 Sesunggunya bentuk kontrak ini adalah sebuah pola kerja sama antara pemilik
tanah/ lahan dan investor yang akan mengolah lahan tersebut menjadi satu fasilitas
untuk perdangan, hotel, resort atau jalan tol dan lain-lain. Terlibat. Investor dimulai
dari membangun fasilitas sebagaimana yang dikehendaki pemilik lahan/tanah.
Inilah yang dimaksud dengan istilah B(Build). 
 Setelah pembangunan fasilitas selesai, investor diberi hak untuk mengelola dan
memungut hasil dari fasilitas tersebut selama kurun waktu tetentu. Inilah yang
dimaksud dengan istilah (Operate).

 Setelah masa pengoperasian selesai, fasilitas tadi dikembalikan kepada pemilik


lahan (pengguna jasa). Inilah yang dimaksud dengan istilah T (Transfer). Sehingga
secara keseluruhan disebut Build, Operate and Transfer (BOT).

Konsekuensi atau risiko yang menjadi dampak dari penggunaan sistem BOT

 Dampak dari pihak investor yaitu status kepemilikan tanah dan bangunan tempat
usaha yang dimiliki bukan menjadi milik investor dikemudian hari karena harus
ditransfer ke pihak penyedia lahan, pihak investor beresiko tinggi dalam proses
konstruksi (Build) misalnya harga material naik atau inflasi, pihak investor  dihadapi
tingkat ketidakpastian pada saat tahap operasional usaha karena harus
mengembalikan modal pembangunan dan memperoleh laba selama masa operasi
tersebut sebelum ditransfer.

 Dampak dari pihak penyedia lahan yaitu tidak  dapat melakukan usaha pada lahan
yang dimilikinya selama masa pembangunan dan pengoperasian, proses perawatan
dan pengoperasian setelah masa transfer yang harus memerlukan pihak yang lebih
kompeten untuk melanjutkannya. 

172
8.  Build Own Operate Transfer (BOOT)

yaitu pihak swasta membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola


dan menghimpun pembayaran dari pengguna infrastruktur, dan pada akhir hak guna
pakai, kembali menjadi hak milik pemerintah.

9. Build Rent Own Transfer (BROT)

Yakni pemerintah menyerahkan aset berupa tanah/lahan kepada swasta untuk dibangun,
dikelola (termasuk menyewakan kepada pihak lain) selama waktu tertentu, kemudian
menyerahkan kembali kepada pemerintah setelah habis masa kontraknya.

10.  Build Lease Operate Transfer (BLOT)

Yakni pemerintah menyerahkan aset berupa tanah/lahan kepada swasta untuk dibangun,
dikelola (termasuk menyewakan kepada pihak lain) selama waktu tertentu, kemudian
menyerahkan kembali kepada pemerintah setelah habis masa kontraknya.

11. Build Transfer Operate (BTO)

Suatu praktek kerja sama di mana pihak swasta mendanai dan membangun fasilitas dan
selanjutnya memindahtangankan kepada instansi pemerintah pada saat selesai
pembangunannya. Selanjutnya pihak swasta mengoperasikannya untuk suatu periode
waktu tertentu sesuai dengan perjanjian.

12. Build Transfer Lease (BTL) 

Yakni swasta membangun infrastruktur di atas tanah pemerintah. Infrastruktur yang


dibangun menjadi milik pemerintah, swasta punya hak opsi atau pilihan untuk menyewa
atau tidak infrastruktur tersebut (Noor, 2007).

Dari sekian banyak bentuk kerja sama pelaksanaan, pendanaan, pengoperasian dan
pembagian laba, perluh dipertimbangkan oleh semua stakeholder sesuai dengan
kesepakatan bersama yang tentunya harus dilakukan dengan pembuatan kontrak
perjajnjian, sehingga tidak terjadi klaim dikemudian hari, tentunya semua bentuk kerja
173
sama tersebut harus dilandaskan kepada komitmen dan integritas dari setiap pihak yang
akan melakukan perjanjian tersebut. 

6.2 Bentuk KPBU – BUMN/Swasta

6.2.1 Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha

Sehubungan dengan proyek IKN, direncanakan pembangunan pabrik perakitan Solar PV.
Berkaitan dengan skema pembiayaannya, infrastruktur ketenagalistrikan dan
infrastruktur konservasi energi termasuk sebagai infrastruktur yang dapat dikerjasamakan
melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (“KPBU”), sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2/2020. Berdasarkan pasal 3 huruf i Permen PPN 4/2015, Infrastruktur
ketenagalistrikan meliputi:

1) pembangkit listrik;
2) transmisi tenaga listrik;
3) gardu induk; dan/atau
4) distribusi tenaga listrik.

Selanjutnya berdasarkan pasal 3 huruf k, infrastruktur konservasi energi meliputi:

1) penerangan jalan umum; dan/atau


2) efisiensi energi.

6.2.2 Skema Kerja Sama Swasta

Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik untuk Sistem Solar PV dapat dilakukan oleh pemegang
IUPTLU dan calon Pelanggan Solar PV, dengan permohonan tembusan kepada Dirjen
EBTKE dan Dirjen Ketenagalistrikan.

174
6.3 Pendekatan Terhadap Investor

6.3.1 Lembaga yang Menangani Investor

A. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal

Kementerian Investasi yang sebelumnya disebut Badan Koordinasi Penanaman Modal


merupakan Lembaga Pemerintah yang bertugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan
pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Sebagai penghubung utama antara dunia usaha dan pemerintah,Kementertian
Investasi diberi mandat untuk mendorong investasi langsung, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Setelah BKPM
dikembalikan statusnya menjadi lembaga setingkat kementerian di tahun 2009 dan
melapor langsung kepada Presiden Republik Indonesia, maka sasaran lembaga ini tidak
hanya untuk meningkatkan investasi yang lebih besar dari dalam maupun luar negeri,
namun juga untuk mendapatkan investasi berkualitas yang dapat menggerakkan
perekonomian Indonesia dan menyerap banyak tenaga kerja. [laman BKPM, 2021]

Sektor-sektor yang data dapat di-KPBU-kan adalah sebagai berikut dan dapat
mengundang kerjasama investasi dengan investor asing yang beraliansi dengan BUMN.

Keenam klaster dan kedua pemampu adalah sektor yang dapat di-KPBU-kan.

175
KLASTER KPBU SWASTA DALAM SWASTA ASING INA
NEGERI

Financial Strategic Financial Strategic

Kawasan Industri Muara V V V V


Jawa

Generic Active V V V
Pharmaceutical Ingredients

Ekowisata V V V

Kimia dan Produk Turunan V V


Kimia

Energi Rendah Karbon V V V

Industri Teknologi Bersih V V V V

Industri 4.0 V V V V V

PEMAMPU (ENABLER)

SmartCity V V V V V V

B. Lembaga Pengelolaan Investasi (INA)

Sekilas tentang Indonesia Investment Authority (Lembaga Pengelola Investasi)


176
Fitur lembaga

• INA memiliki kewenangan penuh dalam mengelola kegiatan investasinya 

• Penambahan/pengurangan modal diputuskan melalui Peraturan Pemerintah 

• Fleksibilitas investasi dan kemampuan mengadopsi praktik dalam dunia investasi


internasional (mis., membentuk fund di jurisdiksi internasional, mendelegasikan
pengelolaan pada manajer investasi professional, dll.) 

• Hak preferensi dalam transfer aset/ transaksi dengan BUMN (dengan tetap berpegang
pada nilai pasar wajar) 

• Bankruptcy protection 

• Perlakuan khusus perpajakan untuk INA dan entitas yang bertransaksi dengan INA 

Strategi Investasi

• Fokus awal pada ekuitas publik dan privat, tidak tertutup pada project financing dan
debt instruments

• Sektor prioritas di Indonesia (sector socio-economic) 

• Rentang waktu investasi menengah-panjang 

• Geografis: fokus awal pada aset dalam Negeri dengan potensi investasi diluar Negeri
(fase selanjutnya)

• Manajemen aktif pada board-level position(s) untuk mengawasi operasional dan


penciptaan nilai (presentasi Cyril Noerhadi, Dewan Pengawas INA, Sept 2021)

INA dapat diharapkan untuk berpartisipasi dalam investasi bidang infrastruktur yang akan
dibangun untuk mendukung IKN Economic Superhub selama sesuai dg kebijakan dan
strategi investasi yg telah ditetapkan.

177
6.3.2 Jenis Investor – Financial & Non-Financial

A. Investor Finansial

Investor Finansial ialah pihak pihak yang terlibat dalam bisnis melakukan investasi dalam
suatu entitas untuk memperoleh imbal hasil finansial dan termasuk entitas dengan
investasi kolektif untuk tujuan investasi seperti angel investments, pemodal ventura,
investor ekuitas swasta (private equity investors), investor institusi, investasi alternatif,
discretionary accounts yang dikelola oleh manajer investasi pihak ketiga, dana pensiun,
dana simpanan, sovereign wealth funds, hedge funds, bank, lembaga keuangan non-bank,
reksadana dan lembaga keuangan lainnya, dan pihak pihak. (Law Insider, website 2021)

Dana Investasi (Publik dan Swasta)

Dana investasi adalah cara menginvestasikan uang bersama investor lain untuk
mendapatkan tambahan manfaat akibat dari berinvestasi secara kolektif, seperti dapat
mengurangi risiko investasi dengan cukup signifikan.

Keuntungan dari penambahan manfaat ini termasuk kemampuan untuk:

• mempekerjakan manajer investasi profesional, yang mungkin dapat menawarkan imbal


hasil yang lebih baik dan manajemen risiko yang lebih memadai;

• manfaat dari skala ekonomi, yaitu, biaya transaksi yang lebih rendah;

• meningkatkan diversifikasi aset untuk mengurangi sejumlah risiko non-sistematis.


Dibawah pengawasan OJK, dana investasi ini dikenal sebagai Reksadana.

Dana Pensiun

Dana Pensiun adalah setiap rencana, dana, atau skema yang memberikan pendapatan
pensiun kepada pesertanya. Dana pensiun adalah kontribusi kolektif yang dikumpulkan
dari program pensiun yang dibentuk oleh pemberi kerja, serikat pekerja, atau organisasi
lain untuk menyediakan manfaat pensiun bagi karyawan atau pesertanya. Dana pensiun
sering menjadi investor terbesar disebagian besar negara-negara dan mendominasi pasar
saham tempat mereka berinvestasi. Ketika dikelola oleh manajer dana profesional,
mereka memebentuk sektor tersendiri yaitu investor institusional, bersama-sama dengan

178
perusahaan asuransi Jiwa dan dana kelolaan. Biasanya, dana pensiun diberikan
kemudahan pajak capital gain dan pajak pendapatan dari portofolio investasi mereka.

Perusahaan Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa adalah kontrak antara perusahaan asuransi dan pemilik polis. Polis asuransi
jiwa menjamin perusahaan asuransi membayar sejumlah uang kepada penerima manfaat
yang tercantum namanya ketika si tertanggung meninggal sebagai ganti atas jumlah
premi yang telah dibayarkan oleh pemegang polis selama masa hidup mereka.

Perusahaan asuransi jiwa dapat mengumpulkan sejumlah besar aset keuangan dengan
mengumpulkan premi tersebut. Mereka umumnya menginvestasikan premi yang mereka
terima dari pemegang polis. Mereka umumnya memilih aset dengan fitur-fitur yang
sesuai dengan karakteristik produk asuransi yang mereka jual. Misalnya, dana yang
terkumpul dari produk asuransi jangka panjang akan diinvestasikan dalam aset jangka
panjang. (Investopedia, 2021)

B. Investor Strategis

Investor yang berinvestasi dengan tujuan memperoleh keuntungan strategis daripada


sekadar imbal hasil finansial disebut Investor Strategis. Misalnya, berinvestasi dalam
produk atau ide baru untuk memiliki lebih banyak suara dalam pengembangan dan arah
selanjutnya, daripada mendapatkan uang dari hasil penjualannya belaka adalah Investasi
Strategis.

Seorang Investor Strategis sering menginginkan akses ke teknologi, ide, layanan, atau
produk bisnis yang diinvestasikan, untuk meningkatkan dan memperkaya model bisnisnya
sendiri. (The Business Professors, 2021)

6.3.3 Instrumen Investasi

A. Pendanaan Ekuitas

Pembiayaan ekuitas berarti menginvestasikan uang dalam suatu badan usaha dengan
imbalan kepemilikan dalam saham dengan ekspektasi penerimaan deviden.
179
Investor ekuitas dalam suatu badan usaha baik rintisan maupun usaha umum, biasanya
dipecah menjadi empat kelompok (Investopedia). Pembagian dibawah ini adalah
berdasarkan stages of growth dari perusahaan perusahaan investee.

Angel Investors - Angel investor adalah individu dengan beraset besar (high net worth
individuals) yang berinvestasi dalam usaha rintisan dengan harapan mendapatkan
keuntungan. Angel investor terkadang bergabung bersama dalam kelompok kecil untuk
secara kolektif berinvestasi dalam usaha tahap awal. Nilai investasi per perusahaan bisa
dari jutaan rupiah hingga miliara. Sering juga para investor itu berinvestasi secara
kelompok. Ini adalah investor ekuitas pihak ketiga yang paling awal.

Sekarang para angel investor sudah membentuk platform jaringan yang memudahkan
penjodohan antara investor dan investee; contohnya ialah
https://www.angelinvestmentnetwork.co.id, yang sudah memiliki jaringan di Indonesia.

Angel investment dapat merupakan sumber pendanaan yang relevan dengan


pengembangan cluster dalam proyek Superhub ini.

OJK belum mengatur secara spesifik kegiatan investasi jika dilakukan oleh individu beraset
besar yang menginvestasikan dananya sendiri.

Modal Ventura - Modal ventura adalah dana profesional yang dikelola oleh individu atau
sekelompok kecil manajer investasi. Orang-orang ini mengumpulkan dana dari investor
pihak ketiga. Mereka kemudian mengelola dana tersebut dengan berinvestasi pada usaha
rintisan yang menjanjikan. Modal ventura dapat menginvestasikan beberapa milyar
rupiah, hingga puluhan miliar dalam satu perusahaan.

Kegiatan modal ventura di Indonesia sudah diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
dengan Nomor 35 /POJK.05/2015. OJK juga sudah mengeluarkan mekanisme investasi
yang mirip dengan modal ventura tetapi berdasarkan teknologi yaitu crowd funding.

Modal ventura dapat berpartisipasi dalam KPBU pengembangan Economic Superhub IKN
ini, walupun dengan skala penggalangan dananya relatif kecil dan belum signifikan tetapi

180
arahnya sudah sangat jelas sebagai sumber pendanaan ekuitas yang makin mapan dan
berperan.

Investor Ekuitas Swasta (Private Equity Investors)- Ini adalah dana investasi kelolaan
profesional yang besar. Mereka diatur mirip dengan perusahaan modal ventura, tetapi
umumnya jauh lebih besar dalam jumlah dana kelolaan. Tujuan utama mereka adalah
untuk memperoleh posisi pengendali dalam perusahaan sehingga berkewenangan untuk
melakukan perubahan pada perusahaan (seperti perampingan operasional, merger,
akuisisi, dll.) dan kemudian menjual kembali perusahaan yang sudah diperbaiki kinerjanya
itu, baik kepada perusahaan-perusahaan ekuitas swasta lainnya, atau kepada publik
melalui Initial Public Offering.

Private Equity seharusnya menjadi sumber pendanaan ekuitas yang layaknya dapat paling
diandalkan untuk mendukung pengembangan KPBU di IKN ini.

Di luar negeri, infrastructure private equity funds sudah sangat berkembang dan
mendukung baik Public Private Partnership (atau KPBU) maupun inisiatif swasta.

Dalam peraturan OJK, Private Equity dimasukkan dalam kelompok Modal Ventura melalui
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dengan Nomor 35 /POJK.05/2015 dan reksadana
penyertaan terbatas (RDPT) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
34/POJK.04/2019 tentang Reksa Dana Berbentuk Contract Investasi Kolektif Penyertaan
Terbatas, beserta revisi dan turunan-turunannya

Going Public- adalah proses mendaftarkan, mencatat dan menjual saham perusahaan
kepada publik. Saham dapat dijual di bursa utama atau pengembangan. Siapapun dapat
membeli saham perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada titik ini, yaitu
pada saat Initial Public Offering dan seterusnya, perusahaan tidak lagi hanya dimiliki
kelompok kecil; melainkan dimiliki oleh masyarakat luas. (The Business Professor, 2021).

Regulasi untuk IPO dan pencatatan saham berikutnya sudah sangat jelas dalam
peraturan-peraturan OJK.

181
B. Pendanaan Mezzanine

Pembiayaan mezzanine adalah instrumen hibrida yang berada di antara pembiayaan


utang dan ekuitas, yang memberi pemberi pinjaman mezzanine hak untuk mengkonversi
menjadi instrumen ekuitas di perusahaan jika terjadi default, umumnya, setelah pemberi
pinjaman senior lainnya dilunasi. (Investopedia)

Dalam pembiayaan infrastruktur, pendanaan mezzanine di luar negeri sudah sangat


berkembang karena dapat diperlakukan sebagai ekuitas dalam pembiayaan bank, karena
bersifat subordinasi terhadap pinjaman dalam hirarkinya. Salah satu fitur menarik dalam
mezzanine financing ini adalah efek dilusi yang terbatas terhadap struktur pemegang
saham, jika pendanaan ini dilunasi.

Jenis pendanaan ini masuk dalam aturan OJK dalam modal ventura dan reksadana
penyertaan terbatas.

C. Pendanaan dengan Surat Hutang

Pembiayaan hutang terjadi ketika perusahaan menggalang pendanaan dengan menjual


instrumen/surat hutang kepada investor. Pembiayaan hutang adalah kebalikan dari
pembiayaan ekuitas, yang memerlukan penerbitan saham untuk mengumpulkan uang.
Pembiayaan hutang terjadi ketika perusahaan menjual instrumen berpendapatan tetap,
seperti obligasi dan surat-surat hutang lainnya.

OJK mengatur pendanaan surat hutang ini melalui instrumen obligasi yang ditawarkan ke
publik dan medium-term notes (MTN) untuk ditawarkan secara terbatas melalui
reksadana penyertaan terbatas.

Obligasi dalam pendanaan infrastruktur cukup marak, dengan keberhasilan obligasi Jasa
Marga sebagai contoh.

D. Daur Ulang Aset (Asset Recycling)

Pendanaan melalui daur ulang aset adalah inovasi yang baru-baru dicanangkan oleh

182
Sumber:

Gambar 6.19 Pendanaan Melalui Daur Ulang Aset

Pemerintah dan akan dijalankan melalui LPI dengan skala lebih besar. Sebenarnya secara
terbatas sudah dijalankan melalui beberapa perusahaan sekuritas BUMN dengan
program sekuritisasi aset.

Daur ulang melalui LPI diharapkan akan menghasilkan pendanaan dalam jumlah yang
lebih besar dibandingkan dengan melalui program sekuritasi.

BAB 7 KAJIAN RISIKO

Secara garis besar manajemen Risiko dimulai dengan mengidentifikasi risiko, penilaian
risiko dan dilanjutkan mitigasi risiko.

Identifikasi Risiko merupakan suatu proses untuk menentukan Risiko yang mungkin
terjadi pada proyek infrastruktur bandara dan mengenal karakteristiknya, dampak yang
mungkin dihasilkan, durasi, dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
mengantisipasinya. Tujuan dari dilakukannya identifikasi Risiko adalah hanya
mengidentifikasi segala Risiko yang mungkin terjadi dan bukan untuk mengeliminasi
Risiko maupun menciptakan solusi untuk mencegahnya.

183
Penilaian Risiko dalam manajemen Risiko adalah sebuah kegiatan dalam memprioritaskan
Risiko- Risiko untuk tindakan atau analisis selanjutnya dengan cara menilai dan
menyatukan kemungkinan terjadinya dan dampak dari Risiko tersebut. Dalam
menganalisis secara kualitatif, Risiko dapat dibedakan menjadi Risiko yang memiliki
dampak kecil, sedang, maupun besar. Penentuan tiap Risiko itulah yang dapat dianalisis
seberapa sering kemungkinan terjadinya dan seberapa besar dampaknya terhadap
proyek.

Dalam proses manajemen Risiko, diperlukan penanganan dan pengendalian (risk


treatment dan risk control). Secara garis besar, penanganan Risiko termasuk:
menanggung Risiko, menghindari Risiko, menghilangkan Risiko, meminimalisir Risiko, dan
mengalihkan atau mengalokasikan Risiko kepada pihak lain.
7.1 Risiko Permintaan Pasar

Risiko permintaan pasar diantaranya mencakup:

Tabel 7.22 Risiko Permintaan Pasar

Kategori Risiko
dan Peristiwa Deskripsi Strategi Mitigasi Nilai Risiko
Risiko

RISIKO PERMINTAAN PASAR


Rework yang substantial
Risiko perbedaan Kesepakatan standar/ metode yang
terkait perbedaan
standar/metode akan diterapkan para pihak sedini Menengah
standar / metode
layanan mungkin
layanan yang digunakan
Miskomunikasi di dalam
internal dan eksternal Sistem komunikasi dan koordinasi
organisasi, termasuk dirancang, disepakati, dan
Risiko relasi Menengah
mengakibatkan disosialisasikan dengan baik ke semua
keterlambatan/ pihak
kesalahan proses
Trend pengguna yang Update perkembangan riset atau
Risiko trend  
berubah teknologi terkini
Semakin tinggi tingkat
persaingan, permintaan
Risiko persaingan
akan semakin rendah. Riset pasar secara kontinyu Menengah
pasar
Mendorong penurunan
nilai tarif keuntungan.

184
7.2 Risiko Investasi

Risiko investasi diantaranya mencakup:

Tabel 7.23 Risiko Investasi

Kategori Risiko
dan Peristiwa Deskripsi Strategi Mitigasi Nilai Risiko
Risiko

RISIKO INVESTASI
Risiko nilai aset
Kebakaran, ledakan, dsb Asuransi Tinggi
turun
Proses transfer aset Pembuatan kontrak yang mengatur
terkendala karena ada perihal transfer aset dengan jelas.
Transfer aset
perbedaan mekanisme
setelah kontrak Menengah
pengalihan atau Penilaian dilakukan oleh penilai
KPBU berakhir
penilaian. [Tahap independen yang disepakati bersama
Operasi]
Jika di atas 6-12
bulan,dapat
mengganggu aspek
Setiap pihak dapat mengakhiri kontrak
Force majeure ekonomis pihak yang Menengah
dan memicu terminasi dini
terkena dampak
(terutama bila asuransi
tidak ada)

7.3 Risiko Finansial

Risiko finansial diantaranya mencakup:

Tabel 7.24 Risiko Finansial

Kategori Risiko
dan Peristiwa Deskripsi Strategi Mitigasi Nilai Risiko
Risiko

RISIKO FINANSIAL
Tidak tercapainya
financial close karena
Kegagalan
ketidakpastian kondisi Koordinasi BUP yang baik dengan pihak
mencapai Menengah
pasar atau struktur pembiaya yang kredibel dan potensial
financial close
modal proyek yang
tidak optimal
Pembiayaan dalam Rupiah;
Indeks harga pembelian
Risiko nilai tukar Fluktuasi (non ekstrim)
memperhitungkan fluktuasi mata uang; Rendah
mata uang nilai tukar
Instrumen lindung nilai, diantaranya
kontrak berjangka dan opsi mata uang
Kenaikan (non ekstrim)
Risiko tingkat
tingkat inflasi terhadap Faktor indeksasi tarif dan lindung nilai
inflasi dan suku Rendah
asumsi dalam life-cycle tingkat suku bunga
bunga
cost dan suku bunga

185
Cakupan asuransi untuk
Risiko tertentu tidak lagi
tersedia di pasaran dan Konsultansi dengan spesialis/broker
Risiko asuransi Rendah
kenaikan substansial asuransi
tingkat premi terhadap
estimasi awal

7.4 Risiko Keamanan dan Lingkungan

Risiko keamanan dan lingkungan diantaranya:

Tabel 7.25 Risiko Keamanan dan Lingkungan

Kategori Risiko
dan Peristiwa Deskripsi Strategi Mitigasi Nilai Risiko
Risiko

RISIKO KEAMANAN DAN LINGKUNGAN


Lahan tidak dapat
Kesulitan akses ke lahan Strategi komunikasi proyek termasuk,
digunakan
dikarenakan gangguan pemetaan isu sosial dan tokoh kunci Rendah
setelah
sosial yang terkait
dibebaskan.
Gagal menjaga Tingkat kecelakaan
keamanan dan selama pekerjaan Implementasi prosedur keamanan dan
Menengah
keselamatan konstruksi berlangsung keselamatan kerja yang baik
dalam lokasi tinggi
Kesepakatan prosedur persetujuan
perubahan volume dan ambang batas
Kenaikan akibat perubahan
Kenaikan biaya perubahan volume Akomodir perhitungan faktor eskalasi Rendah
konstruksi pekerjaan ataupun harga di dalam kontrak
harga material
Hubungan baik dengan supplier
Klausul penalti atas Liquidity Damages
Kontraktor/Sub- Proses pemilihan kontraktor &
Kinerja
kontraktor tidak subkontraktor yang kredibel
kontraktor/
mampu melakukan Menengah
subkontraktor
pekerjaan sesuai Penerapan penalti
yang buruk
kontrak

7.5 Risiko Hukum

Studi kelayakan belum memuat analisis risiko Studi kelayakan belum memuat analisis
risiko hukum serta strategi mitigasinya. Berdasarkan beberapa sumber, risiko hukum yang
mungkin terjadi pada proyek KPBU sektor ketenagalistrikan dan konservasi energi adalah
sebagai berikut:

 Risiko perubahan regulasi dan perundangan: risiko perubahan undang-undang,


peraturan atau kebijakan yang merugikan proyek.

186
 Risiko pembebasan lahan: risiko ini terhitung sebagai risiko hukum karena
memiliki potensi terjadinya sengketa atas status lahan antara pemilik lahan
dengan pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang dapat menimbulkan
keterlambatan pelaksanaan pembangunan dan/atau pengoperasian.
 Risiko perizinan: risiko dimana perizinan yang diperlukan dari suatu otoritas
pemerintah lainnya tidak dapat diperoleh atau, jika diperoleh, diperlukan biaya
yang lebih besar dari proyeksi.
 Risiko kontaminasi/polusi terhadap lingkungan lokasi pelaksanaan proyek
pembangunan pabrik manufaktur Solar PV
 Risiko keresahan masyarakat: risiko berupa potensi ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh masyarakat setempat akibat pelaksanaan proyek pembangunan
pabrik manufaktur Solar PV
 Risiko pengambilalihan: risiko tindakan pengambilalihan aset proyek (termasuk
nasionalisasi) oleh pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
dapat memicu pengakhiran kontrak proyek.
 Risiko hubungan industri: risiko setiap bentuk aksi industri – termasuk
demonstrasi, larangan bekerja, pemblokiran, tindakan perlambatan dan
pemogokan – yang terjadi dengan cara yang secara langsung atau tidak langsung
berdampak negatif terhadap uji operasi, penyediaan layanan atau kelayakan
proyek.
 Risiko gugatan hukum: risiko kewajiban hukum yang timbul akibat gugatan hukum
yang telah diajukan dan gugatan hukum di masa depan yang akan berdampak
pada menurunnya citra badan usaha.

Berdasarkan analisis hukum yang telah dijabarkan dan informasi yang kami terima, maka
teridentifikasi beberapa risiko hukum dan strategi mitigasi yang diilustrasikan dalam tabel
di bawah ini.

Tabel 7.26 Risiko Hukum

No. Risiko Hukum Strategi Mitigasi Penanggung Jawab

1 Kesesuaian Dengan ● Salah satu misi daerah dalam Badan Usaha dan Pemerintah
RPJMD RPJMD Kalimantan Timur Daerah
adalah berdaulat dalam
pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan.
● Diperlukannya koordinasi
antara para pemangku
kepentingan untuk memantau
kemajuan proyek sesuai

187
No. Risiko Hukum Strategi Mitigasi Penanggung Jawab

dengan indikator yang ada

2 Kesesuaian Dengan RTRW ● Diperlukan adanya Pemerintah Daerah


pembaharuan terhadap Perda
9/2013 dan Perda 3/2014
● Kesesuaian Proyek dengan
RTRW Kabupaten Kutai
Kartanegara dan RTRW
Penajam Paser dapat
berpengaruh terhadap
perizinan Proyek

3 Keputusan Kelayakan ● Memastikan Dokumen AMDAL Badan Usaha


Lingkungan Hidup disusun sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
ada

4 Perolehan Izin Usaha ● IUI diberikan kepada Badan Usaha


Industri perusahaan yang akan
menjalankan kegiatan usaha
Industri, yang mana
perusahaan wajib berlokasi di
Kawasan Industri. IUI dapat
diberikan kepada perusahaan
yang akan menjalankan
kegiatan usaha Industri dan
berlokasi di luar Kawasan
Industri dengan ketentuan
tertentu.
● Memastikan terpenuhinya
seluruh persyaratan untuk
memperoleh IUI

7.6 Risiko Politik

Risiko politik diantaranya:

Tabel 7.27 Risiko Politik

188
Kategori Risiko dan
Deskripsi Strategi Mitigasi Nilai Risiko
Peristiwa Risiko

RISIKO POLITIK
Pembiayaan domestik Akun
Mata uang asing Tidak tersedianya dan/atau pembiayaan luar negeri
tidak dapat tidak bisa dikonversinya mata Penjaminan dari bank Menengah
dikonversi uang asing ke/dari Rupiah
sentral
Nasionalisasi/pengambilalihan
Risiko ekspropriasi tanpa kompensasi (yang Mediasi,negosiasi Menengah
memadai)
Perubahan regulasi
Berbentuk kebijakan pajak
(dan pajak) yang
oleh otoritas terkait (pusat Mediasi,negosiasi Tinggi
diskriminatif dan
dan/atau daerah)
spesifik
Keterlambatan
Hanya jika dipicu keputusan
perolehan Pengaturan kontrak yang jelas
sepihak/tidak wajar dari Rendah
persetujuan termasuk kompensasinya
otoritas terkait
perencanaan
Gagal/terlambatnya Hanya jika dipicu keputusan
Pengaturan kontrak yang jelas
perolehan sepihak/tidak wajar dari Menengah
termasuk kompensasinya
persetujuan otoritas terkait
Keterlambatan Hanya jika dipicu keputusan
Pengaturan kontrak yang jelas
perolehan akses ke sepihak/tidak wajar dari Tinggi
termasuk kompensasinya
lokasi proyek otoritas terkait
Wanprestasi kewajiban
Risiko parastatal Asuransi Risiko Politik Menengah
kontraktual PJPK

189
BAB 8 REKOMENDASI DUKUNGAN
PEMERINTAH

190
REFERENSI

(EBTKE), D. J. (2021). https://ebtke.esdm.go.id. Retrieved from https://ebtke.esdm.go.id

(IESR), I. F. (2019). Indonesia Clean Energy Outlook. Tracking Progress and Review of
Clean Energy Development in Indonesia. www.iesr.or.id.

(PLN), P. L. (n.d.). www.pln.co.id. (Perusahaan Listrik Negara (PLN))

CNN Business. (2020, November 3). Retrieved from CNN:


https://edition.cnn.com/2020/11/03/business/solar-stocks-sunrun-biden-trump-
election/index.html

Deon Arinaldo, H. P. (2021). Indonesia Energy Transition Outlook 2021: Tracking Progress
of Energy. IESR.

Djamin, M. (2010). Penelitian Penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Jurnal Teknik
Lingkungan, 11(2), 221-225.

Globalsolaratlas. (2021, September 9). Retrieved from Globalsolaratlas:


https://globalsolaratlas.info/download/indonesia

IESR Siaran Pers. (2020, December 21). Retrieved from IESR: https://iesr.or.id/program-
kendaraan-listrik-berhasil-akselerasi-iesr-dorong-pemberian-insentif-oleh-
pemerintah

IESR.org. (2012). http://www.iesr.or.id. Retrieved from


http://www.iesr.or.id/kkv3/tentang-jejak-karbon/

Indonesia, K. E. (2019). https://www.esdm.go.id/. Retrieved from


https://www.esdm.go.id/en/media-center/news-archives/growing-by-3-per-year-
electrification-ratio-in-3rd-quarter-reaches-9886

Indonesia, K. P. (2020). https://kemenperin.go.id/. Retrieved from


https://kemenperin.go.id/artikel/22111/Kemenperin-Fokus-Akselerasi-
191
Pengembangan-Kendaraan-Listrik

Indonesia, P. P. (2019). Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan


Program kendaraan bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle)
untuk Transportasi jalan .

Julius Christian Adiatma, I. M. (2020). Peranan Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi


Sektor Transportasi Darat Indonesia. IESR, Climate Transparency.

Kementerian ESDM. (2020, Januari). Retrieved from Kementeriaan ESDM:


https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-capaian-kinerja-2019-
dan-program-2020.pdf

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman & Investasi, D. B. (2020). Strategi


Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai /KBLBB (BEV). Jakarta.

Laboratory, N. R. (2015). https://www.nrel.gov/publications. Retrieved from


https://www.nrel.gov/publications

Wed Solar Indoneisa. (2021). (Wed Solar Indoneisa) Retrieved from


https://www.wedosolarindonesia.com

192

Anda mungkin juga menyukai