Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR


RHINOSINUSITIS

Disusun oleh :

Fkk 1 /kelompok B-2

1. Akhmad Rizki Fajar (20144062A)


2. Siti Indah Fitriani (20144075A)
3. Dinny Fitriani (20144076A)
4. Istiqomah (20144079A)

UNIVERSITAS SETIA BUDI

FAKULTAS FARMASI

SURAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan
gejala berupa buntu hidung, nyeri fasial dan pilek kental (purulen). Secara teoritik
penyakit ini dapat ditemukan pada bay/ (infant), karena sinus maksila dan etmoid sudah
terbentuk sejak lahir. Penderita sinusitis biasanya datang berobat ke dokter umum atau
Spesialis THT. Penyakit ini cukup sering diketemukan yaitu sekitar 20 % dari penderita
yang datang di praktek dokter. Di Amerika tahun 1995, sinusitis merupakan salah satu
dari 10 penyakit terbanyak yang datang ke praktek dengan estimasi 25 juta kunjungan ke
dokter. Sayangnya, cukup banyak kasus sinusitis yang tidak dapat diatasi dengan
pengobatan konservatif sehingga harus ditangani dengan cara operasi. Sampai sekarang
sinusitis masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara berkembang maupun
negara maju.
Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery
mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis. Istilah
rinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses penyakit dengan lebih
akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari perubahan "sinusitis" menjadi
"rinosinusitis" adalah 1) membran mukosa hidung dan sinus secara embriologis
berhubungan satu sama lain (contiguous), 2) sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, 3) gejala pilek, buntu hidung dan
berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis, dan 4) foto CT
scan dari penderita common cold menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasal secara simultan. Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa sinusitis
merupakan kelanjutan dari rinitis. Hal ini mendukung konsep "one airway disease", yaitu
penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang
lain. Inflamasi di mukosa hidung akan di ikuti inflamasi mukosa sinus paranasal dengan
atau tanpa disertai cairan sinus. Keadaan ini menunjukkan rinosinusitis sebenarnya
merupakan kondisi atau manifestasi dari suatu respon inflamasi mukosa sinus paranasal.
Biaya pengobatan rinosinusitis tergolong mahal. Di Amerika tahun 1996,
pengeluaran total untuk pelayanan kesehatan yang berkaitan langsung dengan
rinosinusitis diperkirakan sebesar 5,8 milyar dollar. Dari angka tersebut, 58,7% (sekitar
3,5 milyar dollar) berkaitan dengan rinosinusitis kronik. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25
juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan rinosinusitis dan / atau
akibatnya.15 Meskipun rinosinusitis kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus dan
sebagian besar sembuh tanpa terapi antibiotika, penyakit ini dilaporkan sebagai salah satu
dari lima penyakit terbanyak yang diberi antibiotika dengan hampir 13 juta resep ditulis
dokter setiap tahunnya.12-7 Tindakan operasi selama tahun 1994 berupa bedah sinus
dilakukan pada sekitar 170. 000 sampai 200.000 kasus.
Indikasi operasi yang paling sering adalah sinusitis hiperplastik kronik disertai
polip hidun (chronic hyperplastic sinusitis with nasal polyposis). Disamping biaya
langsung yang tingg rinosinusitis kronik dikaitkan dengan biaya tak langsung yang
besarnya sulit dinilai berup. meningkatnya angka absensi di sekolah atau tempat bekerja
dan menurunnya produktivita di tempat kerja. Data diatas menunjukkan bahwa
rinosinusitis merupakan penyakit dengai dampak sosia! yang tinggi disertai penurunan
kualitas hidup. Oleh sebab itu diperlukai pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi
penyakit ini agar pengobatan lebih efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan rhinosinusitis?
2. Apa yang menyebabkan timbulnya penyakit rhinosinusitis?
3. Bagaimana cara pengatasan/penanganan dari penyakit rhinosinusitis?
4. Apa saja terapi yang didapat dalam pengobatan rhinosinusitis?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang penyakit rhinosinusitis, dan memahami apa saja yang harus
dilakukan untuk menangani dari penyakit tersebut.
2. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit rhinosinusitis.
3. Untuk mengetahui cara pengatasan/ penanganan dari penyakit rhinosinusitis.
4. Untuk mengetahui terapi apa saja yang akan didapat dan pengobatan yang di dapat
dalam penyakit rhinosinusitis.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya, antara lain :
1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus,
Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak dapat
disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya hiperplasia
mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa, keluhan dan gejala
berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat empat episode atau lebih
sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung minimal sepuluh hari, berkaitan
dengan perubahan persisten pada CT-scan setelah terapi selama empat minggu tanpa
ada pengaruh infeksi akut
2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American
Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery(AAO-HNS), disebut
rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu dan
diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau
tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan faktor klinis mayor
dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau
lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka
kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua
faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi diferensial diagnose.
3. Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun 2007
yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama
dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya
adalah buntu hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge
(anterior/posterior nasal drip) :
- Nyeri fasial/pressure
- Penurunan/hilangnya daya penciuman

Dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain:

a. Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang berasal


dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius
b. CT scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus
paranasal.
Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat
dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi.
EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer
sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik. Alasan rasional
rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi berdasarkan
pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi jaringan sinus dan
konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.

B. Epidemiologi
Kekerapan rinosinusitis terutama pada anak di Indonesia belum diketahui dengan
pasti, tetapi diperkirakan cukup tinggi mengingat inflamasi di sinus paranasal dapat
terjadi pada setiap infeksi saluran napas atas. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan
mengenai 10% hingga 30% populasi. Insiden di Amerika dilaporkan sebesar 135 per
1000 populasi per tahun dengan 12 juta kunjungan kedokterselama tahun 1995.11
Diperkirakan 31- 35 juta penduduk Amerika menderita rinosinusitis (akut, kronik atau
rekuren) setiap tahunnya. Sebanyak 14% penduduk Amerika paling sedikitnya pernah
sekali mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya. Sekitar 15% penduduk Amerika
diperkirakan menderita rinosinusitis kronik.
Kebanyakan kasus rinosinusitis mengenai satu atau lebih sinus paranasal,
terutama sinus maksila dan sinus etmoid. Berdasarkan teknik eksplorasi endoskopik pada
dinding lateral rongga hidung, Messerklinger mengatakan sebagian besar penyakit sinus
paranasal disebabkan faktor rinogenik. Secara jelas ditunjukkan proses terjadinya
keradangan-di sinus paranasal diawali oleh inflamasi atau kelainan di daerah kompleks
ostiomeatal (KOM). Untuk dapat menjelaskan etiologi dan konsep terkini patofisiologi
rinosinusitis, akan disampaikan terlebih dulu anatomi sinus paranasal.

C. Etiologi
Faktor yang berperan pada kronisitas rhinosinusitis:
1. Obstruksi (blokade) ostium sinus

Patensi ostium sinus ini merupakan hal yang sangat penting. Dikatakan,
"kesehatan sinus pada pasien bergantung pada sekresi mukosa dengan viskositas,
volume, dan komposisi yang normal, aliran mukosilier yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan infeksi, ostium sinus yang selalu terbuka untuk drainase dan
humidifikasi yang memadai". Pernyataan diatas berlaku untuk semua sinus,
khususnya yang sekresinya mengalir melalui kompleks ostiomeatal. Obstruksi ostium
sinus yang berlangsung lama oleh karena berbagai sebab sering menyebabkan
penebalan mukosa, disfungsi silia, kerusakan mukosa, penurunan klirens mukosilier
dan pembentukan jaringan (polip, kista retensi / mukokel).

2. Inflamasi
Sangat jelas pentingnya peranan inflamasi pada patogenesis rinosinusitis
kronik. Keberhasilan pengobatan dalam mengatasi inflamasi akan mengembalikan
klirens mukus dan ventilasi menjadi normal. Kegagalan mengatasi inflamasi akut
akan menyebabkan proses berlanjut menjadi inflamasi kronik. Ada dua jenis
inflamasi yang berkontribusi secara berbeda pada ekspresi klinis rinosinusitis yaitu
inflamasi infeksius dan non-infeksius.
Inflamasi infeksius berhubungan dengan rinosinusitis akut yang disebabkan
infeksi bakteri atau virus. Pada jaringan sinus dari pasien rinosinusitis akut bakterial
ditemukan IL-ip, IL-6 dan IL-8. Demikian pula di beberapa lokasi jaringan sinus
dijumpai neutrofil dalam jumlah banyak. Sebaliknya, kadar GM-CSF dan IL-5 tidak
mengalami peningkatan. Peningkatan IL-ip, IL-6, IL-8 dan TNF-a diduga berkaitan
dengan kemampuan sel epitel jalan napas menghasilkan berbagai sitokin tersebut
sebagai respons terhadap stimulus bakteri. Berbagai sitokin pro-inflamasi tersebut
kemungkinan berperan penting dalam penebalan mukosa akut yang berkaitan dengan
eksaserbasi sinusitis.

Inflamasi non-infeksius dihubungkan dengan tingginya penebalan mukosa


sinus tanpa disertai rasa tidak enak atau nyeri pada sinus, atau tanda infeksi lain.
Karena itu, tipe inflamasi ini dianggap "non-infeksius". Inflamasi non-infeksius
terutama dijumpai pada rinosinusitis kronik. Dinamakan inflamasi non-infeksius
karena terdapat dominasi eosinofil dan sel sel mononuklear serta relatif sedikitnya
neutrofil yang biasa dijumpai pada rinosinusitis kronik. Meskipun penyebabnya tidak
diketahui, diduga berkaitan dengan meningkatnya keberadaan eosinofil dan limfosit T
penghasil IL-5. Gambaran patologik yang dijumpai pada mukosa rinosinusitis kronik
kemungkinan merupakan akibat tumpang tindih stimuli inflamasi infeksius dan non-
infeksius.

3. Kelainan anatomi

Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal


dapat menyebabkan obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang berlangsung
lama. Variasi anatomi yang sering dijumpai adalah septum deviasi (tonjolan, taji /
spur), sel agger nasi, prosesus unsinatus (menekuk kearah lateral, double middle
turbinate, kontak dengan lamina papirasea atau konka), konka bulosa, bula etmoidalis
yang besar, sel Halleryang menyempitkan infundibulum etmoidalis.

4. Kelambatan pemulihan fungsi mukosilier

Mukostasis, hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat


menyebabkan penurunan fungsi mukosilier sinus paranasal. Faktor lain yang
berkontribusi pada kelambatan klirens mukosilier yaitu perubahan sifat viskoelastik
mukus, penurunan jumlah silia, dan tanda ultrastruktur lain dari kerusakan
epitel.Penelitian yang dilakukan pada pasien sebelum dan sesudah operasi perbaikan
ventilasi sinus menunjukkan bahwa fungsi mukosilier secara berangsurkembali
normal dalam waktu 1 sampai 6 bulan pasca operasi. Pasien dengan mukosa sinus
hiperplasia menunjukkan laju perbaikan yang lambat dan pemulihan klirens
mukosilier yang tidak lengkap setelah operasi sinus. Hal ini menggambarkan arti
penting penanganan medis yangcermat bagi pasien setelah restorasi patensi sinus baik
dengan operasi maupun perawatan medis. Pada sebagian besar kasus, lama pemulihan
klirens mukosilier jelas melebihi periode pengobatan antibiotik. Karena itu,salah satu
sebab kekambuhan penyakit ini setelah pengobatan medis maupun operasi adalah
gangguan residual pada klirens mukosilier.

5. Resirkulasi mukus dan osteitis

Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila yang
menyebabkan terjadinya resirkulasi mukus. Sekret mukus yang keluar dari sinus
melalui ostium sinus naturalis biasanya menuju meatus medius. Sejumlah mukus
akan memasuki lagi sinus maksilaris melalui ostium asesoris yang biasanya terletak
inferior terhadap ostiomeatal unit, pada dinding nasalis lateralis. Analisis histologik
dari tulang etmoidalis yang diambil dari pasien dengan sinusitis kronik menunjukkan
adanya osteitis. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau operasi
sinus disertai kurangnya preservasi mukosa. Temuan histologik meliputi peningkatan
akselerasi turnover tulang disertai pembentukan tulang baru, fibrosis, dan keberadaan
sel inflamasi. Berbagai perubahan ini menyerupai osteomielitis rahang. Osteitis
merupakan salah satu penyebab utama kekambuhan penyakit meskipun sudah
dilakukan operasi atau pemberian antibiotik.

6. Faktor mikroba

Sebagian besar penelitian menunjukkan perbedaan antara rinosinusitis akut


dan kronik berkenaan dengan kuman patogen. Organisme yang dominan pada
rinosinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae dan
(pada anak) Moraxella catarrhalis. Sedangkan pada rinosinusitis kronik yang tersering
ditemukan adalah kuman tersebut diatas ditambah dengan Staphylococcus aureus,
Staphylococcus koagulase negatif, dan kuman anaerob. Infeksi kuman anaerob terjadi
setelah serangan awal infeksi kuman purulen. Pertumbuhan kuman anaerob ini
sebagai akibat dari berbagai faktor yang menguntungkan yaitu stasis mukus, obstruksi
ostium sinus, dan hipoksia. Keterbatasan utama pada pengobatan rinosinusitis kronik
adalah kesulitan mendapatkan kultur mikroba. Kultur bakteri biasanya dilakukan
setelah kegagalan satu atau dua kali pemberian antibiotik. Hanya sekitar 5% kasus
yang berhasil di biakkan, bakteri anaerob lebih sukar dibiakkan. Besarnya perbedaan
prevalensi anaerob pada aspirat sinusitis maksilaris kronik antara 80% - 100%. Hal
ini menyebabkan ketidakpastian dalam pemberian antibiotika khususnya untuk
kuman anaerob. Resistensi antimikroba selama pengobatan antibiotik cukup tinggi.
Resistensi yang disebabkan perubahan protein pengikat penisilin berkisar antara 28%
sampai 44% untuk isolat Streptococcus pneumoniae. Isolat pneumococci yang
resisten terhadap penisilin paling sering dijumpai pada pasien yang sedang
menggunakan dua atau lebih antibiotik.

D. Patofisiologi

Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan

inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal (KOM). Secara skematik

patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut:

Inflamasi mukosa hidung -> pembengkakan (udem) dan eksudasi -> obstruksi

(blokade) ostium sinus - gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang ada di

rongga sinus -> hipoksi (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif) ->

permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat -Mransudasi, peningkatan

eksudasi serus, penurunan fungsi silia -> retensi sekresi di sinus a pertumbuhan kuman.

Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibatdari colds (infeksi

virus) dan rinitis alergi.9-16 Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal

menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab

tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial

virus (RSV).

Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada kerentanan individu.

Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa
akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi

terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat

kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan sehingga

terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total)

maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus

paranasal.

Sekitar 0,5% - 5% dari rinosinusitis virus (RSV) pada dewasa berkembang

menjadi rinosinusitis akut bakterial, sedangkan pada hanya sekitar 5 % - 10% saja.

Peneliti lain mengatakan, infeksi saluran napas atas akut yang disertai komplikasi

rinosinusitis akut bakterial tidak lebih dari 13%. Duabakteri yang paling sering dijumpai

pada rinosinusitis akut dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus

influenzae, sedangkan pada anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis.iU-y-n-15 Bakteri

ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen

kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk pertumbuhannya.

Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons bakteri mengambil alih,

lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi

semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus

pyogenes (microaero-philic streptococci), -dan Staphylococcus aureus. Perubahan

lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan

menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus.3

Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik

menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat.7
Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu

rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel

inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin

yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian

melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang

menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini

akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder

seperti halnya pada infeksi virus.

Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.

Inflamasi yang berlangsung iama (kronik) sering berakibat penebalan mukosa disertai

kerusakan silia sehinggaostium sinus makin buntu. Mukosa yang tidak dapat kembali

normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan-mengarah pada

rinosinusitis kronik. Bakten yang sering dijumpai pada rinosinusitis kronik adalah

Staphylococcus coagulase negative (51%), Staphylococcus aureus (20%), anaerob (3%),

Streptococcus pneumoniae, dan bakteri yang sering dijumpai pada rinosinusitis akut

bakterial.

E. Diagnosis

Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal,

CT-scan dan lainnya.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS

2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari

12 minggu:

1. Buntu hidung, kongesti atau sesak

2. Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen

3. Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan

4. Penurunan / hilangnya penciuman

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.

Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal

polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi

anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan

bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI),

pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan

pemeriksaan laboratorium.

1. Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai

gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis

kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya

latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat

dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu

berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,

faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah

dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat


dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif

yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:

a. Obstruksi nasal

Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran

udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya

b. Sekret/discharge nasal

Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip

c. Abnormalitas penciuman

Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang

mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa

alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius

d. Nyeri/tekanan fasial

Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada

rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan

untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi

penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk

menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering

digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome

test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga

hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)1,2,18 Dengan


rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan

rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi

septum, tumor atau polip.

b. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga

hidung.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi

sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan

transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.

b. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi

kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi

adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila

pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi

nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.

c. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto

posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam

menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut

bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan

pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh gambaran CT-

scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa.

d. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:

1) Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi

2) Tes alergi
3) Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop

elektron

4) Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,

rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri

5) Tes fungsi olfaktori: threshold testing

6) Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

BAB III

STUDY KASUS

A. Kasus

NamaPasien : Ibu Y BB/TB : 60 kg/157 cm


Umur :68 tahun
Alamat : Jlnmenur 76, Kota Lama, Yogyakarta
Sex : perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Status Perkawinan: : -
Riwayat Pasien Masuk Rumah Sakit : Pasien masuk ke RS atas rujukan dari RSD, dengan
keluhan demam terus menerus, kepala sangat sakit, seluruh mulut sariawan, dari hidung
dan telinga keluar lendir, kemampuan mendengar berkurang, telinga terasa sakit hingga
belakang kepala. Sebelum ini pasien telah dirawat di RSD selama 1 minggu dengan
diagnosa rhinosinusitis dan Otitis Media Akut.
Anamnese Dokter :
AL : 28.000 mg/dL ----- leukositosis
HB : 7,5 mg/dL ---- anemia
Albumin 3,2 ---- hipoalbuminemia
Pemeriksaan Fisik :
a. KeadaanUmum : letih,lesu, mual, muntah
b. Kepala Leher : dbn
c. Thorax : weezingdanronchi ++
d. Abdomen : dbn
e. Extremitas : dbn
f. Status Neorologis : dbn
Diagnosa : Acute Bacterial Rhinosinusitis dan Otitis Media
Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi stage 1, sejak 4 tahun lalu pasien rutin
mengkonsumsi aspilet 80 mg tablet 1x1

Catatan Perkembangan Penyakit :

Tanggal/jam Pengobatan, diet dan tindakan Catatan

16/9/2011 Infuse RL 20 tpm Demam 39,6 C

dorbigot 500 mg 3x1 Muntah ++, mulut sakit krn


sariawan
candistatin drop ,teteskan 3x1
AL = 25.000 mg/dL
cefotaxim iv 1 gr 2x1 pagi, malam
Albumin = 3,2 g/dL (N=
fladex iv 500 mg 1x1 3,5-5g/dL)
neurobion tablet 1x1

medixon injeksi 125 mg iv 1x1

17/9/2011 Infuse RL 20 tpm Demam 39,6 C

dorbigot 500 mg 3x1 Muntah ++, mulut sakit krn


sariawan
candistatin drop ,teteskan 3x1
AL = 20 .000 mg/dL
cefotaxim iv 1 gr 2x1 pagi, malam
Albumin = 2,8 g/dL (N=
fladex iv 500 mg 1x1 3,5-5g/dL)
neurobion tablet 1x1 Kulturkuman : H
medixon injeksi 125 mg iv 1x1 influenzae, resistenthd
amoxicillin, doksisiklin,
levofloxacin

B. Penyelesain Kasus dengan Metode SOAP


1. Subyektif
Nama: Ibu Y
Umur: 68 tahun
Riwayat penyakit: hipertensi stage 1
Keluhan: Demam terus menerus, kepala sangat sakit, seluruh mulut sariawan, dari
hidung dan telinga keluar lendir, kemampuan mendengar berkurang, telinga terasa
sakit hingga belakang kepala.
2. Obyektif
Keadaan Umum : letih,lesu, mual, muntah
Kepala Leher : dbn
Thorax : weezing dan ronchi ++
Abdomen : dbn
Extremitas : dbn
Status Neorologis : dbn
BB/TB : 60 kg/157 cm

3. Assesment

Problem Medik Subyektif Obyektif Terapi ADR

Hipertensi stag1kemampuan letih,lesu, Aspilet 80 mg Tidak tepat


mendengar mual, muntah
Acute Bacterial berkurang, Infuse RL 20 Tepat
Rhinosinusitis telinga terasa tpm

Otitis media sakit hingga weezing dan Dorbigot 500


belakang ronchi ++ mg Tepat
kepala, demam
Candistatin Tepat
terus menerus,
kepala sangat drop
sakit, seluruh
Cefotaxim iv 1 Tidak tepat
mulut sariawan,
gr
dari hidung dan
telinga keluar Fladex iv 500
lendir mg Tidak tepat

Neurobion Tepat
tablet

Medixon
Tepat
injeksi 125 mg
iv

4. Algoritma Terapi
5. Permasalahan

Pada pemberian cefotaxime tidak tepat dikarenakan golongan antibiotik generasi

ke 3 tidak lagi direkomendasikan untuk monoterapi empiris ABRS karena tingkat

resistensinya tinggi.

Pada pemberian fladex (metronidazole) tidak tepat karena fladex di gunakan

untuk bakteri pengobatan infeksi trichomonal vaginitis, dan bakterial vaginosis

(infeksi Gardnerella vaginalis).

6. Rekomendasi Terapi

Infuse RL 20 tpm

Dorbigot 500 mg 3x1


Candistatin drop , teteskan 3x1

Co-amoxiclav tablet 90 mg/kg/hari 2x1

Neurobion tablet 1x1

Medixon injeksi 125 mg iv 1x1

7. Terapi Non Farmakologi

Mengatur faktor resiko

Mengatur pola hidup sehat

Istirahat yang cukup dan tidur berkualitas

Perbanyak minum air putih

Kenakan masker apabila sedang membersihkan rumah atau keluar rumah

Konsumsi menu sehat secara teratur

Berolahraga ringan secara teratur seperti jalan kaki

8. Monitoring

Monitoring penggunaan antibiotik yang tepat

Monitoring implikasi bakteri resisten antibiotik di otitis media dan rhinosinusitis

Monitoring tanda vital pasien

Monitoring efek samping obat

9. KIE

Mengedukasi pasien tentang penggunaan antibiotik yang tepat, untuk mencegah

terjadinya resistensi

Memberikan informasi kepada pasien agar dapat belajar menghindari faktor

resiko, faktor lingkungan, dan faktor makanan yang memperburuk otitis media

dan rhinosinusitis.
BAB IV

KESIMPULAN

Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal.

Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan

tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri pathogen yang terdapat

di saluran napas bagian atas. Otitis media adalah inflamasi pada telinga bagian tengah. Otitis

media akut melibatkan onset tanda dan simtom yang cepat dari inflamasi pada telinga bagian

tengah dengan manifestasi salah satu atau lebih dari yang berikut: otalgia (ditandai dengan

telinga tertarik pada beberapa anak), hilangnya pendengaran, demam, atau iritabilita. Otitis

media dengan effusi (akumulasi cairan di rongga telinga tengah) berbeda dari otitis media akut

dimana tanda dan simtom infeksi akut tidak terdapat. Untuk pengobatan pada otitis media bisa

menggunakan obat antibiotik dan untuk rhinosinusitis bisa menggunakan obat golongan

kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo Ario Kentjono. Rinosinusitis : Etiologi Dan Patofisiologi. Surabaya, Agustus


2004.
2. Selvianti, Irwan Kristyono.Patofisiologi, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 2013
3. Dipiro 9th Ed
4. Medscape
5. IDSA guidelines
6. Canadian guidelines for rhinosinusitis

Anda mungkin juga menyukai