Anda di halaman 1dari 6

Managemen Reaksi Transfusi

Made T Ardhana

PENDAHULUAN

Tranfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari seseorang
(donor) ke orang lain (resipien). Komponen darah yang dimaksud yaitu sel darah merah, sel
darah putih, trombosit, plasma dan faktor koagulasi. Tranfusi komponen darah ini dapat
menggantikan bagian darah yang hilang saat terjadi perdarahan atau ketika tubuh tidak dapat
memproduksi komponen darah tertentu dalam jumlah cukup.
Tranfusi darah atau komponen darah hanya diberikan bila ada indikasi dan untuk
menyelamatkan jiwa, sebab tranfusi darah memiliki banyak resiko dan komplikasi. Reaksi
transfusi adalah semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita yang timbul
selama/sesudah pemberian transfusi dan yang berkaitan dengan pemberian transfusi
darah/komponen/fraksi darah.
Data dari National Blood Collection and Utilization Survey di (USA) tahun 2011,
terdapat 20.933.000 unit darah ditransfusikan ke 8.000.000 pasien. Dari jumlah itu terdapat
51.000 reaksi transfusi yang dilaporkan. Hanya dilaporkan 371 reaksi berat yang membutuhkan
perawatan ICU dan atau intubasi ventilator. Di Indonesia setiap tahun PMI memenuhi kebutuhan
nasional 4.500.000 kantong darah (ww.pmi.or.id). Jumlah yang mengalami reaksi transfusi
belum ada data lengkap

REAKSI TRANSFUSI
Berdasarkan mekanisme dan waktu terjadinya reaksi trasnfusi dibagi menjadi 4. Reaksi
imunologik dan non Imunologik. Reaksi akut yang terjadi sebelum 48 jam dan reaksi lambat
1. Imunologi: adanya produksi antibodi terhadap aloantigen pada eritrosit, lekosit trombosit atau
protein plasma donor
2. Non imunologi: reaksi transfusi yang berhubungan dengan bahan fisika/ kimia komponen
darah atau kontaminan (bakteri)
Berikut ini akan dijelaskan beberapa reaksi transfusi, cara mengenali dan penatalaksanaannya.
Reaksi Transfusi Cepat
1. Reaksi transfusi panas
Reaksi yang paling sering terjadi dan disebabkan adanya antibody terhadap antigen
lekosit dan atau adanya sitokin pada storage darah
Gejala timbul dalam waktu - 3 jam setelah transfusi dimulai berupa demam, suhu meningkat
> 10 C, nadi cepat, tekanan darah normal.
Pengelolaan meliputi :
a. Segera hentikan transfusi dan diganti infus NaCL 0,9%
b. Antipiretika
c. Setelah demam mereda dan terbukti bukan reaksi Hemolitik atau rekasi septik, darah
tersebut dapat dilanjutkan. Jika ragu transfusi dilanjutkan dengan unit darah yang lain.
2. Reaksi Transfusi Hemolitik
Hemolisis akut intravskuler karena inkompatibilitas ABO. Grejala reaksi yang ringan
berupa panas, mual, muntah dan nyeri pinggang. Reaksi yang berat disertai shock, gagal ginjal
(oliguria, anuria) dan dapat terjadi perdarahan dari bekas suntikan atau luka operasi.
Diagnosis berupa gejala-gejala diatas dan tanda-tanda laboratorik berupa :
a. Hemoglobinemia
b. Hemoglobinuria (urine berwarna merah coklat sampai hitam) dan urobilinogen urine
positif.
Pengelolaan meliputi :
1. Hentikan transfusi segera dan diganti Infus NaCL 0.9%.
2. Atasi shock dengan cairan dan vasopresor
3. Bila urine < 1 cc/KgBB/jam, maka segera berikan furosemid 1 - 2 mg/KgBB untuk
mempertahankan urine > 100 cc/jam.
4. Atasi demam dengan antipiretik.
5. Periksa faal hemostasis untuk mengawasi kemungkinan DIC.

3. Reaksi Transfusi Alergi


Terjadi pada 1-3% transfusi karena adanya antibody kepada protein plasma yang
dianggap sebagai allergen. Reaksi dapat ringan berupa urticaria sampai reaksi yang berat berupa
anafilaksis.
Gejala :
a. pruritus dan atau urticaria, adanya wheel dan flare
b. Dapat disertai bronchospasme (wheezing) dan sesak nafas.
Pengelolaan :
a. Transfusi dihentikan dan diganti dengan Infus NaCL 0.9%.
b. Antihistamin (IM atau IV).
Setelah gejala hilang, transfusi dapat dilanjutkan, atau sebaiknya diganti dengan unit darah yang
lain.

4. Reaksi Anafilaksis
Gejala yang menonjol adalah shock (circulatory collaps) dan bronchospasme/
laryngospasme.
Pengelolaan :
a. Tinggikan kedua tungkai untuk memperbaiki venous return.
b. Hentikan transfusi dan diganti dengan infus NaCl 0.9%.
c. Adrenalin 1: 1000, 03 cc im/iv diulang tiap 5 - 15 menit sampai sirkulasi membaik. Bila
perlu dilanjutkan dopamin drip.
d. Berikan antihistamin (IM atau IV).
e. Steroid (hidrokortison 100 mg IV, deksametason 4 - 5 mg IV).
f. Oksigen

Setelah menghentikan tranfusi darah setelah timbul reaksi transfusi, darah sisa donor
tersebut harus dicatat dan diidentifikasi lagi, selanjutnya dilaporkan ke unit bank darah untuk
ditindaklanjuti.

Reaksi Transfusi Bakteremia/Septik


Disebabkan darah donor yang tercemar bakteri dari jenis mampu tumbuh dan
berkembang baik pada suhu 40 C : E Coli; Proteus; P.Aeruginosa; K.Pneumoniae. Kuman-kuman
ini mengeluarkan endotoksin yang dapat menyebabkan shock.
Jarang terjadi, tetapi mortalitas dapat tinggi. Gejala klinis segera timbul saat transfusi
baru masuk 50 cc -100 cc berupa : menggigil; mual muntah; demam tinggi; tekanan darah turun
dan shock berat. Diagnosis pasti dari biakan darah penderita dan sisa darah dalam kantung yang
positif dengan jenis kuman yang sama.
Pengelolaan :
a. Hentikan transfusi segera dan diganti infus NaCl 0.9%.
b. Shock diatasi dengan cairan dan vasopresor.
c. Antibiotika spektrum luas dan dosis tinggi.
Pencegahan sangat penting karena reaksi septik ini sering fatal. Periksa plasma dalam
kantong darah sebelum transfusi, jika ragu-ragu unit tersebut jangan diberikan.

Reaksi Transfusi Lambat


Hemolisis yang lambat dapat terjadi 3-21 hari setelah transfusi. Penyebabnya adalah
antibodi yang terbentuk oleh rangsangan berulang dan tidak terdeteksi waktu reaksi silang
Antigen yang terlibat adalah Rhesus dan antibodinya.,
Gejala berupa : demam, badan terasa sakit, ikterus dan anemia. Bilirubin serum naik dan
urobilinogen urine positif. Kelainan ini biasanya sembuh dengan sendirinya.

Trasnfusion Associated Circulatory Overload (TACO)


Terjadi jika pemberian transfusi terlalu cepat atau terlalu banyak jumlahnya, terutama bila
sudah ada gejala gagal jantung sebelumnya
Gejala meliputi sesak nafas, batuk-batuk, CVP meningkat seperti yang dijumpai pada payah
jantung kiri dengan edema paru.
Pengelolaan :
a. Hentikan transfusi
b. Posisi penderita setengah duduk dan berikan oksigen
c. Furosemid 1 - 2 mg/KgBB IV
d. Pertimbangkan phlebotomi, darah dikeluarkan 500 cc.
e. Pada edema paru berat (pink frothy sputum) perlu diberikan morfin IV dengan titrasi

Trasnsfusion Related Acute Lung Injury (TRALI)


Transfusion related acute lung injury (TRALI) jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang
mengancam nyawa dari suatu terapi transfusi. Gambarannya mirip dengan ARDS namun dengan
prognosis yang jauh lebih baik. Dilaporkan angka kematian 5-10%, dibanding 50-60% pada
ARDS (19). Reaksi biasanya dimulai 6 jam setelah transfusi dengan tampilan edema paru berat,
hipoksemia berat, hipotensi, menggigil, dan demam. Penyebab kardiogenik dan penyebab
gangguan respirasi lain harus dieksklusi. Pada sebagian besar kasus, TRALI membaik secara
klinis dalam 48-96 jam setelah onset.
Tatalaksana
1. Stop transfusi
2. O2 support, pada kasus berat membutuhkan ventilator dan perawatan ICU
3. Support sirkulasi : cairan dan vassopresor
4. Kortikosteroid

Penularan Penyakit
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah seperti : Hepatitis,
Malaria, Sifilis, HIV/AIDS, Cyto Megalo Virus, Epstein Barr Virus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ashariati A (2010). The role of hemapheresis in the future. Dalam: Naskah lengkap Surabaya
HOM Update VIII. Editor: Boediwarsono, Soebandiri, Sugianto, Ashariati A, Sedana MP,
Urgroseno YB. Surabaya: FK Unair-RSUD Dr. Soetomo. Hal 128-133.
2. Galel SA, Malone JM, Vielle MK (2004). Transfusion Medicine. In: Wintrobes Clinical
Hematology, 11th edition. Editors : Greer et al. Philadelphia: Lippincot William and
Wilkins. P831-882.
3. Government of Western Australia Departemen of Health. Transfusion Medicine Protocol. Downloaded at
October 1st 2017 available at www. Wnhs.haem.org.id
4. Wrobleski R. Severe Transfusion Reaction and their ED focused Management. Downloaded at Mar 6 th
2017. Available at www.ERdocfinder.com

Anda mungkin juga menyukai