Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan

determinan dari suatu masalah kesehatan atau peristiwa (mencakup penyakit), dan

aplikasi dari ilmu yang digunakan untuk mengontrol suatu penyakit dan masalah

kesehatan lainnya. Beberapa metode dapat digunakan untuk melakukan

penyelidikan epidemiologi, surveilan, dan studi deskriptif yang dapat digunakan

untuk mempelajari distribusi, serta studi analisis yang digunakan untuk

mempelajari faktor-faktor tertentu.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksius nomor dua terbanyak yang

menyebabkan kematian di dunia setelah penyakit Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Berdasarkan data WHO dalam Global Tuberkulosis Report pada tahun

2015, terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis dan 1,4 juta orang meninggal

akibat penyakit Tuberkulosis.

Enam negara yang memiliki jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2015

adalah (dalam urutan) India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika

Selatan. Dari jumlah tersebut, China, India dan Indonesia sendiri menyumbang

45% dari kasus global dalam 2015. (WHO, 2016)

Kasus Tuberkulosis paru pada tahun 2015 di Puskesmas Pesantren 1

berjumlah 16 kasus dan pada tahun 2016 menurun menjadi 15 kasus. Angka

tersebut harus tetap di pantau untuk mencegah peningkatan jumlah kasus setiap

tahun. Diharapkan agar seluruh tenaga kesehatan Puskesmas Pesantren 1 lebih

1
waspada terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatan jumlah kasus

tuberkulosis paru serta melakukan upaya-upaya agar dapat mencegah peningkatan

jumlah kasus tuberkulosis paru. Koordinasi yang baik antar tenaga kesehatan

dapat meningkatkan usaha untuk melawan penyakit Tuberkulosis Paru.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Menggambarkan angka penyakit tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Pesantren 1 Kota Kediri tahun 2015 dan 2016.

1.2.2 Tujuan Khusus

- Menggambarkan secara khusus angka kejadian penyakit tuberkulosis

paru berdasarkan jenis kelamin, usia, kelurahan, mulai pengobatan

perbulan, pemeriksaan sputum BTA pertama, kategori pengobatan,

rujukan, tipe pasien, konversi BTA, dan hasil pengobatan tuberkulosis di

wilayah kerja Puskesmas Pesantren 1 Kota Kediri tahun 2015 dan 2016.

- Menjelaskan tentang indikator-indikator penanggulangan tuberkulosis

paru di Puskesmas Pesantren 1 Kota Kediri

- Menjelaskan intervensi yang telah dilakukan Puskesmas Pesantren 1

Kota Kediri dalam menangani tuberkulosis paru.

- Menjelaskan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi penyakit

tuberkulosis paru.

- Memberikan beberapa upaya pencegahan penularan dan pencegahan

terjadinya tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Pesantren 1

Kota Kediri periode tahun 2015 dan 2016.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberkulosis yang menyerang organ paru dan ekstra paru

(tulang, kulit, abdomen, dan lain-lain). (Kemenkes RI, 2014)

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus TB baru pada tahun 2015 (termasuk

1,2 juta di antara orang HIV-positif), diantaranya 5,9 juta pada laki-laki, 3,5 pada

perempuan dan 1,0 juta pada anak-anak. Secara keseluruhan, 90% kasus adalah

orang dewasa dan 10% anak-anak, dan rasio laki-laki: perempuan adalah 1,6: 1.

Jumlah kematian karena TB sebanyak 1,4 juta kematian pada tahun 2015, dan

tambahan 0,4 juta kematian akibat penyakit TB di antara orang HIV-positif.

Kasus TB meningkat dari tahun 2013-2015, enam negara yang memiliki

jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2015 adalah (dalam urutan) India,

Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Dari jumlah tersebut,

China, India dan Indonesia sendiri menyumbang 45% dari kasus global dalam

2015. Di seluruh dunia, tingkat penurunan kejadian TB tetap berada di angka

1,5% dari 2014 ke 2015. Penurunan ini perlu dipercepat hingga 4-5% pada tahun

2020 untuk mencapai target dalam strategi akhir TB. (WHO, 2016)

2.3 Penyebab TB

Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain M. tuberkulosis, M.

africanum, M. Bovis, M. leprae, yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam

3
(BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberkulosis

yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(Mycobacterium Other Than Tuberkulosis) yang terkadang bisa mengganggu

penekatan diagnosis dan pengobatan TB. (Kemenkes RI, 2014)

2.4 Cara Penularan TB

Cara penularan TB antara lain :

- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik yang

dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil

pemerisaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal

tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam

contoh uji < dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui

pemeriksaan mikroskopis langsung.

- Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65% pasien

BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB

dengan hasil kultur negatif dan foto Thoraks positif adalah 17%

- Infeksi akan menjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung

percikan dahak yang diinfeksius tersebut.

- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebabkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droblet nuclei / percik ranik). Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. (Kemenkes RI, 2014)

4
2.5 Pengendalian TB di Indonesia

2.5.1 Kebijakan pengendalian TB

- Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai azas desentralisasi dalam

kerangka otonomi dengan kabupaten / kota sebagai titik berat manajemen

program yang meliputi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi

serta menjamin ketersediaan sumber daya.

- Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai

kerangka dasar dan memperhatikan srategi global untuk mengendalikan TB

(Global Stop TB Strategi).

- Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah

terhadap program pengendalian TB

- Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap

peningkatan mutu pelayanan kemudahan akses untuk penemuan dan

pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya TB resistan obat.

- Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan

oleh seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan Fasilitas

Kesehatan Rujukan Tingkat Lajut (FKRTL), meliputi Puskesmas, Rumah

Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah sakit Paru (RSP), Balai besar/Balai

kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik pengobatan serta Dokter

praktek Mandiri (DPM).

- Pengobatan untuk TB tampa penyulit dilaksanakan di FKTP Pengobatan TB

dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat dilaksanakan di FKTP akan

5
dilakukan di FKPTL dengan mekanisme rujuk balik apabila factor penyulit

telah dapat ditangani.

- Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan

kemitraan diantara sector pemerintah, non pemerintah, swasta dan

masyarakat dalam wujud Gerakan Tepadu Nasional Pengendalian TB

(Gerdunas TB).

- Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan

ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.

- Obat anti tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara

cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistic yang efektif demi

menjamin ketersediaan.

- Ketersediaan tenaga yang komponen dalam jumlah yang memadai untuk

meningkatkan dan mempertahankan kinerja program

- Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin da

kelompok rentan lainnya terhadap TB

- Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga dan pekerjaan.

- Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target stategi global

pengendalian TB. (Kemenkes RI, 2014)

2.5.2 VISI dan MISI Tuberkulosis

a. VISI

Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkendalian

b. MISI

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat

madani dalam pengendalian TB

6
2. Menjamin ketersedian pelayanan TB yang palipurna, merata, bermutu dan

keadalian

3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB

4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik

2.5.3 Tujuan dan Target

a. Tujuan

Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka

pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat.

b. Target

Merujuk pada target Pencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RP JMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2010-

2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk

dari 235 menjadi 224, presntase kasus TB paru (BTA positif) yang ditemukan

dari 73% menjadi 90% dan presentasi kasus baru TB paru (BTA positif) yang

disembuhkan dari 85 % menjadi 88 %. Keberhasilan yang dicapai pada

RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya. Pada

tahun 2015-2019 target program pengendaliaan TB akan disesuaikan dengan

target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target global TB

Strategi pasca 2015 dan target SDGs (Subtainable Development Goals).

Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan

insiden TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2 % per tahun menjadi 3-4

% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5 % pertahun.

Diharapkan pada tahun 2020 indonesia bisa mencapai target penurunan

7
insiden sebesar 20 % dan angka mortalitas 25 % dari angka insidensi tahun

2015.

2.5.4 Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan

masyarakat miskin serta rentan lainnya.

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat,

perusahan dan swasta melalui pendekatan pelayanan TB terpadu

pemerintah dan swasta dan menjamin kepatuha terhadap standar

internasional penatalaksanaan TB (International Standards TB Care)

4. Memperdayakan masyarakat dan pasien TB

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen

program pengendalian TB

6. Memberikan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategi.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019

merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa

pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang

lebih besar.

2.5.5 Kegiatan

a. Tatalaksana TB Paripurna

- Promosi Tuberkulosis

- Pencegahan Tuberkulosis

8
- Penemuan pasien Tuberkulosis

- Pengobatan pasien Tuberkulosis

- Rehabilitas pasien Tuberkulosis

b. Manajemen Program TB

- Perancanaan program pengendalian Tuberkulosis

- Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis

- Pengelolaan logistic program pengendalian Tuberkulosis

- Promosi program pengendalian Tuberkulosis

c. Pengendalian TB Komprehensif

- Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis

- Public-Private Mix Tuberkulosis

- Kelompok rentan pasien Diabetes Militus, ibu hamil, gizi buru

- Kolaborasi TB denga HIV

- TB Anak

- Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB

- Pendekatan praktis kesehatan paru (PAL)

- Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO)

- Penelitian Tuberkulosis

(Kemenkes RI, 2014)

2.6 Diagnosis

a. TB Paru Dewasa

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

9
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang

lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada

penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker

paru, dan lain-lain.

Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB paru

pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan

bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan

mikroskopis langsung, biakan, dan tes cepat. Apabila pemeriksaan bakteriologis

hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya foto

thorax) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB.

Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah

pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan non kuinolon) yang

tidak memberikan perbaikan klinis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan

pemeriksaan serologis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran

yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis

ataupun underdiagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan

pemeriksaan uji tuberkulin.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam

dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

10
- S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

- P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

- S (sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi.

Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan

contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif (Kemenkes RI, 2014).

Skala Pembacaan BTA International Union Against TB and Lung Diseases

(IUALTD) :

- Negatif (0) : BTA tidak diketemukan dalam 100-300 lapang pandang

- Sconty () BTA antara 1-9 batang pada 100 lapangan pandang, dilaporkan

jumlah yang diketemukan saja (tulis sconty)

- Positif 1 (1+) : 10-99 BTA/100 lapangan pandang

- Positif-2 (2+) : 1-10 BTA/lp diamati 50 lp

- Positif-3 (3+) : >10 BTA/satu lapangan pandang diamati 20 lp

(Werdhani, 2009).

Rontgen dada (thorax photo) sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru.

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru, tetapi bisa juga mengenai

lobus bawah (bagian inferior). Pada awal penyakit, lesi merupakan sarang-sarang

pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan

batas tidak tegas. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula

11
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila

terdapat fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis.

Gambar 2.1. Alur diagnosis TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan /

bukti : hasil tes HIV (+) atau terduga TB resisten obat) (Kemenkes RI, 2014)

12
b. TB ekstra paru

Diagnosis TB ekstra paru berdasarkan gejala dan keluhan pada organ yang

terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura

(pleuritis), pemebesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta

deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis, bakteriologis, dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari

organ tubuh yang terkena. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga

ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai untuk menemukan kemungkinan

adanya TB paru (Kemenkes RI, 2014).

c. TB pada Anak

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang

terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau

biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada

anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.

Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana

diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat

Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi

untuk penegakan diagnosis TB.

Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi dahak

atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas

tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang

13
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis

perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan

atau kuman TB.

Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik

dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang

tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem

skoring (Kemenkes RI, 2014).

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat

untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan

sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi

TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang

dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12

tahun 92%, 2 4 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari

persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji

tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin,

namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan

uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,

disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).

Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan

diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

- Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada

infeksi Mycobacterium tuberculosis.

14
- Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa

karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau

pasca vaksinasi BCG.

- Pembengkakan (Indurasi) : 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang

atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (Werdhani, 2009).

2.7 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakan atau menetapkan seseorang

sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan

survailan penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe

penyakit dengan maksud:

- Pencatatan dan pelaporan pasien dengan tepat

- Penetapan paduan pengobatan yang tepat

- Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalia TB

- Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis

dan riwayat da pengobatan

- Analisis kohort hasil pengobatan

- Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik

dalam maupun antar kabupaten, provinsi, nasonal dan global.

Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis

mendukung TB.

a. Definisi Pasien TB

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis adalah

seorang pasien TB yang dikelompokan berdasarkan hasil pemeriksaan contoh uji

15
iologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostic,

cepat yang direkomendasikan oleh kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

- Pasien TB paru BTA positif

- Pasien TB paru hasil bukan M.tb positif

- Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

- Pasien TB ekstra paru terkonfrimasi secara bakteriologis baik dengan BTA

biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

- TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Pasien TB terdiagnosis secara klinis:

Adanya pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara

bakteriologis tetapi diagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan

untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

- Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto thoraks

mendukung TB

- Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratorium dan

histopatologi tanpa konfrimasi bakteriologis

- TB anak yang terdiagnosis dengan sistim scoring.

b. Klasifikasi pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas, pasien

juga diklasifikasi menurut:

16
- Klasifikasi berdasarka lokasi anatomi dari penyakit:

1. Tuberkulosis paru:

TB yang terjadi pada perenkim ataua jaringa paru. Milir TB dianggap

sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadinitis TB

dirongga dada atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

mendukung TB paru dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang

menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,

diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru:

TB yang terjadi pada organ selain paru misalnya pleura, kelenjar limfe,

abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis

ekstra paru ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan penemuan M.tb

- Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1. Pasien baru TB adalah pasien yang belum mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (<

dari 28 dosis).

2. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih(> dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklarifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

TB terakhir yaitu:

Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis

17
Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah

diobati dan dinyataka gagal pada pengobatan terakhir.

Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah

pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat).

Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

- Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Penggelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

dari M.tb terhadap OAT dan dapat berupa:

Mono resisten (TB MR): Resisten terhadap salah satu jenis OAT lini

pertama saja

Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini

pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

Multi Drug Resisten (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan

Rofampisin (R) secara bersamaan.

Extensiv Drug Resistenb (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga

resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal

adalah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisn dan

Amikasin)

Rsisten Rifampisin (TB PR): resisten terhadapt rifampisin dengan atau

resisten terhadap OAT lain yang terdetksi menggunakan metode genotip

atau tes cepat atau metod fenotip (konvesiona).

- Klasifikasi berdasarkan Status HIV (Kemenkes RI, 2014)

18
2.8 Pengobatan Pasien TB

a. Tujuan Pengobatan TB adalah:

- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas dan kualitas hidup

- Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

- Mencegah terjadinya kekambuhan TB

- Menurunkan penularan TB

- Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

b. Prinsip Pengobatan TB

Obat Anti Tuberculosis adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.

Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dan kuman TB. Pengobatan adekuat harus memenuhi

prinsip:

- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resisten

- Diberikan dalam dosis tepat

- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas

Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

c. Tahapan Pengobatan TB

Pengobatan TB harus meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan

dengan maksud:

- Tahap Awal: Pengobata diberikan setiap hari. Paduan pengobatan tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada

19
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuma

yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.

Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan selama 2

bulan. pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya

penyulit daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2

minggu.

- Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting

untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

kuman resisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

Tabel 2.1 OAT lini pertama

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakteriasidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisdal Flu syndrome, gangguan gastrointensisinal, urine berwarna
merah, gangguan fungsi hati, trombositopenia, demam,
skinrash, sesak nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan keseimbangan fusngsi
hati, gout atritis
Steptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan
pendengaran, renjatan anafilkasis, anemia, agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E) Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer

Tabel 2.2 Kisaran Dosis OAT lini pertama bagi pasien Dewasa

OAT Dosis
Harian 3x/minggu
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari (mg)
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Steptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)

20
Catatan: pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau

pasien dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi

dosis >500 mg/hari. Beberapa buku rujukan mengajurkan penurunan

dosis mejadi 10 mg/kg/BB/hari

Tabel 2.3 OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

Jenis Sifat Efek Samping


Golongan 1: OAT lini pertama oral
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
Etambutol (E) Bakterisidal keseimbangan fusngsi hati, gout atritis
Golongan 2: OAT suntikan
Kanamycin (Km) Bakterisidal Km, Am, Cm memberikan efek pada
Amikasin (Am) Bakterisidal gangguan Streptomisin
Cepreomycin (Cm) Bakterisidal
Golongan 3: Fluorokuinolon
Levofloksasin (Lfx) Bakterisidal Mual, muntah, diare, pusing, sulit tidur,
Moksifloksasin (Mfx) Bakterisidal rupture tendon (jarang)
Golongan 4: OAT lini kedua oral
Para-aminosalicylin acid (PAS) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, pembekuan darah,
hipotiroidisme yang reversible
Cycloserine (Cs) Bakterisidal Gangguan sistem saraf pusat, sulit
konsentrasi dan lemah, depresi bunuh
diri, psikosis dll
Gangguan gastrointestinal, anoreksia,
Ethinamide (Etio) Bakterisidal gangguan fungsi hati, jerawat, rambut
rontok, ginekomasti, impotensi dll
Golongan 5: obat yang masih belum
jelas manfaatnya dalam pengobatan
TB resisten obat.

d. Paduan OAT yang digunakan oleh program (sesuai rekomendasi WHO dan

ISTC).

Paduan OAT yang digunakan oelh program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah:

- Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3.

- Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)5/(HR)3E3

- Kategori Anak : 2 (HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

21
- Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia

terdiri dari OAT line ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,

Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini 1 yaitu

pirazinamid dan etambutol.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2

atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan

pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien

yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT-KDT

sebelumnys.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi

dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini

dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk

memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)

pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)

masa pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT

mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

22
- Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping

- Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya

resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

- Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi

sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

e. Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukannya

Kategori-1 : 2(HRZE) / 4 (HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

- Pasien TB paru terdiagnosis klinis

- Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE) / 4 (HR)3

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama
hari RHZE (150/75/400/275) 16 minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet KDT 2 tablet KDT
38-54 kg 3 tablet KDT 3 tablet KDT
55-70 kg 4 tablet KDT 4 tablet KDT
71 kg 5 tablet KDT 5 tablet KDT

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2(HRZE) / 4 H3R3

Dosis per hari/kali


Jumlah hari/
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet
kali menelan
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol @
obat
@300mgr @450 mgr @ 500mgr 250 mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

23
Kategori-2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati

sebelumnya (pengobatan ulang):

- Pasien kambuh

- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya

- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 2.6 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu


Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
Inj
38-54 kg 3 tab 4KDt + 750 mg Streptomisin 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
Inj
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
Streptomisin Inj
71 kg 5 tab 4 KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT ( > do 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
Streptomisin Inj maks)

f. Pemantauan Kemajuan dan hasil Pengobatan TB

- Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan

dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis

dalam membantu kemajuan pengobatan. LED tidak digunakan untuk memantau

kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh

uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2

contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya

positif hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

24
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai

pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positf

merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.

Setelah pengobatan tahap awal tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang

dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien

harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila

tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif pemeriksaan

ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke-5. Apabila hasilnya negatif

pengobatan dilanjutkan hingga seluruh proses pengobatan selesai dan dilakukan

pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

- Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk

memantau kemajuan hasil pengobatan

1. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif

Pada pasien baru maupun pengobatan ulang segera diberikan dosis

pengobatan tahap lanjutan

Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan

ke 5 dan Akhir pengobatan)

2. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori-1:

Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur

Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).

Lakaukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT

25
tahap lanjutan 1 bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak tetap positif

lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat

Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat lanjutkan

pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5

(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5)

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan

OAT Kategori 2

Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur

Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR

Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat

Rujukan TB MDR

Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk

ke RS Pusat Rujukan TB MDR segera diberikan dosis OAT tahap

lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak

kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5)

3. Pada bulan ke 5 atau lebih

Baik pada pengobatan, pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil

pemeriksaan ulang dahak negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh

dosis pengobatan selesai diberikan

Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan

dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB

MDDR

26
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat

Rujukan TB MDR

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan padua OAT kategori1)

pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum

bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat

Rujukan TB MDR berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal

Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan

paduan OAT kategori 2) pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh

karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau

dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR berikan penjelasan, pengetahuan

dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi)

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopik

dapat dilihat pada tabel dibawah ini

27
Tabel 2.7 Pemeriksaan Dahak Ulang Untuk Pemeriksaan Hasil Pengobatan

Bulan Pengobatan
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasien (====) (====) (----) (-----) (-----) (-----)
Baru BTA X (X) X X
positif Bila hasil Bila hasil BTA Bila hasil Bila hasil
2(HRZE) BTA positif positif* BTA BTA
/4(HR)3 periksa lanjutkan positif** positif**
kembali pengobatan dan dinyatakan dinyatakan
pada bulan periksa kembali gagal gagal
ke 3 pada bulan ke 5
Pasien baru (====) (====) (----) (-----) (-----) (-----)
BTA X (X) X X
negatif Bila hasil Bila hasil BTA Bila hasil Bila hasil
2(HRZE)/4 BTA positif positif* BTA BTA
(HR)3 periksa lanjutkan positif** positif**
kembali pengobatan dan dinyatakan dinyatakan
pada bulan periksa kembali gagal gagal
ke 3 pada bulan ke 5
Pasien (====) (====) (----) (-----) (-----) (-----) (-----) (-----)
pengobatan X X X
ulang BTA Bila hasil BTA Bila hasil Bila hasil
positif positif* BTA BTA
2(HRZE)S/ lanjutkan positif** positif**
(HRZE) pengobatan dan dinyatakan dinyataka
/5(HR)3E3 periksa kembali gagal n gagal
pada bulan ke 5

Keterangan

(====) : pengobatan tahap awal

(-----) : pengobatan tahap lanjutan

X : pemeriksaan dahak ulang apda minggu terakhir pengobatan untuk

memantau hasil pengobatan

(X) : pemeriksaan ulang dahak pada bulan ini dilakukan hanya apabila

pemeriksaan pada tahap awal hasilnya BTA (+)

* : Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan jika hasilnya

menunjukkan ada resistensi pasien dinyatakan GAGAL rujuk ke faskes

rujukan TB resisten obat

28
**: Pasien dinyatakan gagal lakukan pemeriksaan biakan dana uji kepekaan,

jika hasil menunjukkan resistensi rujuk ke faskes rujukan TB resisten obat

g. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan
- Dilakukan pelacakan pasien - Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus
berobat
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi
Tindakan pada pasien yang putus berobata antara 1-2 bulan
Tindakan Pertama Tindakan Kedua
- Lacak Pasien Bila hasilnya Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai
- Diskusikan BTA negatif atau seluruh dosis pengobatan terpenuhi
dengan pasien pada awal
untuk mencari pengobatan
faktor penyebab adalah pasien TB
putus obat ekstra paru
- Periksa dahak Bila salah satu Total dosis Lanjutkan pengobatan dosis
SPS dan atau lebih hasil pengobatan yang tersisa sampai seluruh
melanjutkan BTA positif sebelumnya 5 dosis pengobatan terpenuhi
pengobatan bulan
sementara Total dosis -kategori 1
menunggu pengobatan 1. lakukan pemeriksaan tes
hasilnya sebelumnya 5 cepat
bulan 2. berikan kategori 2 mulai
dari awal
-kategori 2
Lakukan pemeriksaan tes
cepat atau dirujuk ke RS
pusat rujukan TB MDR
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow up)
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh
dokter tergantung pada kondisi klinis pasien
- Lacak Pasien
apabila :
- Diskusikan Bila hasil BTA
1. sudah ada perbaikan nyata hentikan pengobatan
dengan pasien negatif atau pada
dan pasien tetap di observasi. Bila kemudian
untuk mencari awal pengobatan
terjadi perburukam klinis pasien diminta untuk
faktor penyebab adalah pasien TB
periksa kembali atau
putus obat ekstra paru
2. belum ada perbaikan nyata lanjutkan
- Periksa dahak
pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
SPS dan atau tes
pengobatan terpenuhi
cepat
Kategori 1
- Hentikan
Bila salah satu Dosis pengobatan Berikan pengobatan kat.1
pengobatan
atau lebih hasil sebelumnya <1 bulan mulai dari awal
sementara
BTA positif dan Dosis pengobatan Berikan pengobatan kat.2
menunggu
tidak ada bukti sebelumnya >1 bulan mulai dari awal
hasilnya
resistensi Kategori 2
Dosis pengobatan Berikan pengobatan kat.2

29
sebelumnya <1 bulan mulai dari awal
Dosis pengobatan Dirujuk ke layanan
sebelumnya >1 bulan spesialistik untuk
pemeriksaan lebih lanjut
Bila salah satu Kategori 1 maupun kategori 2 dirujuk ke RS pusat
atau lebih hasil rujukan TB MDR
BTA positif dan
ada bukti
resistensi

Keterangan :

* : Lanjutkan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi

dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah menyelesaikan

dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP

** : Sementara menunggu hasil uji kepekaan pasien dapat diberikan

pengobatan paduan OAT kategori 2

*** : Sementara menunggu hasil uji kepekaan pasien tidak diberikan

pengobatan paduan OAT

h. Hasil Pengobatan Pasien TB

Hasil Pengobatan Definisi


Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis akhir pengobatan menjadi negatif dan pada
salah satu pemeriksaan sebelumnya
Pengobatan Lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada
bukkti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan
Putus Berobat (loss Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang

30
to follow up) pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus
atau lebih
Tidak Dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria pasien ini
adalah pasien pindah (transsfer out) ke kabupaten/kota
lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan

i. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Dorectly Observed Treatment)

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku kedokteran ini akan

menyembuhkan sebagian besar pasien TB paru tanpa memicu munculnya kuman

resisten obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa

pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara

pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Minum Obat) agar

mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian obat sebaiknya

disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan. Pasien bisa

memilih datang ke fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang

berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat

diberikan secara rawat jalan

1. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal dipercaya dan disetujui baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien selain itu harus disegani dan dihormati oleh

pasien

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien

c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela

d. Bersedia dilatih dan selalu mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien

31
2. Siapa yang menjadi PMO

Sebaiknay PMO adalah petugas kesehatan misalnya, bidan di desa,

perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada

petugas kesehatan yang memungkinkan. PMO dapat berasal dari kader

kesehatan, guru, anggoata PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau

anggota keluarga

3. Tugas seorang PMO

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien. TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksaan

diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. (Kemenkes RI, 2014)

2.9 Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Salah satu resiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan

kesehatan adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi.

Akibatnya pasien tersebut belum semoat dengan segera diperlakukan sesuai

kaidah PPI TB yang tepat.

PPI TB pada kondisi/siituasi khusus adalah pelaksaan pengendalian infeksi

pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat

tempat mengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya rutan/lapas skrining TB

harus dilakukan pada saat WBP baru dan kontak sekamar

32
a. Pengendalian Manajerial

Pihak manajerial adalah pimpinan pelayanan fasilitas pelayanan kesehatan,

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, dan Kabupaten/Kota dan/atau atasan dari

institusi terkait Komitmen kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif

berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi :

- Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB

- Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan,

dan surveilans

- Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

- Memastikan desain dan pesrsyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai

PPI TB

- Menyediakan sumber daya untuk tatalaksananya program PPI TB (tenaga,

anggaran, sarana, dan prasarana) yang dibutuhkan

- Monitoring dan Evaluasi

- Melakukan kajian di uni terkait penularan TB

- Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi mesyarakat terkait

PPI

b. Pengendalian administratif

Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kumam

M. Tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung, dan lingkungan

dengan menyediakan, mendisemiinasikan dan memantau pelaksanaan standar

prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini mencakup:

- Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya. Pisahkan secara aman. Obati

secara tepat)

33
- Penyuluhan pasien mengenai etika batuk

- Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuagan dahak

yang benar

- Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE

- Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB

Pengendalian administratif lebih, mengutamakan strategi TEMPO yaitu

penjaringan diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat

mengurangi penularan TB secara efektif.

Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk

diterapkan. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko

penularan kasus TB dan Resisten Obat yang belum teridentifikasi

Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB resisten Obat yang tidak

terdiagnosis dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien

dengan gejala batuk.

Langkah-langkah strategi TEMPO sebagai berikut :

1. Temukan pasien secepatnya

Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk

mengidentifikasi terduga TB mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk

ke laboratorium

2. Pisahkan secara aman

Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien batuk ketempat khusus

dengan area ventilasi yang baik yang terpisah dari pasien lain serta diberikan

masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat pasien yang batuk harus

didahulukan dalam antrian

34
3. Obati secara tepat

Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB

kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis segera diobati

sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

c. Pengendalian lingkungan

Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan

menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan

mengurangi/menurunkan kader percik renik di udara. Upaya pengendalian

dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow)

dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.

Sistem ventilasi ada 2 jenis yaitu ventilasi alamiah, dan vetilasi mekanik,

ada juga yang memakai ventilasi campuran.

Pemilihan jenis sistem ventilasi ini tergantung pada jenis fasilitas dan

keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes

berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim cuaca, peraturan,

bangunan, budaya, dana, dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan

monitoring dan pemeliharaan secara periodik

d. Pengendalian dengan alat pelindung diri

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat

pelayanan sangat penting untuk menurunkan resiko terpajan, sebab kadar percik

renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan

Petugas kesehatan menggunakan resiprator dan menggunakan masker

bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat pada saat

melakukan prosedur yang beresiko tinggi, misalnya bronkoskopi, induksi sputum,

35
intubasi, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu respirator

ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada apsien atau saat

menghadapi pasien tersangkat MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada

bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu

menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk

melindungi lingkungan sekitar dari droplet.

Respirator partiulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 merupakan

masker khusus efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran

<5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan

penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran.

Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih

mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan

dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali. Sebelum

memakai masker ini perlu melakukan fit test. (Kemenkes RI, 2014)

36
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Data Penyakit Tuberkulosis Paru

3.1.1 Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi penderita Tuberkulosis Paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan jenis kelamin disajikan dalam bentuk tabel dan diagram di

bawah ini:

Tabel 3.1 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Kelamin


Tahun 2015 Tahun 2016
No. Jenis Kelamin
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Laki-laki 9 56% 6 40%
2. Perempuan 7 44% 9 60%
Jumlah 16 100% 15 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Jenis Kelamin
10 9 9

8 7
6
6
Laki-laki
4 Perempuan

0
2015 2016

Gambar 3.1
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan Tabel 3.1 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasakan jenis kelamin di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di

37
Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita yang terdiri dari 9

penderita laki-laki (56%) dan 7 penderita perempuan (44%). Sedangkan pada

tahun 2016 sebanyak 15 penderita yang terdiri dari 6 penderita laki-laki (40%)

dan 9 penderita perempuan (60%).

3.1.2 Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Usia

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan usia disajikan dalam bentuk tabel dan diagram di bawah ini:

Tabel 3.2 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Usia


Tahun 2015 Tahun 2016
No. Usia
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. < 20 tahun 0 0% 2 13%
2. 21 - 30 tahun 2 12,5% 2 13%
3. 31 - 40 tahun 4 25% 3 20%
4. 41 - 50 tahun 3 18,75% 2 13%
5. 51 - 60 tahun 6 37,5% 4 28%
6. 61 70 tahun 1 6,25% 2 13%
7. 71 80 tahun 0 0% 0 0%
8. > 80 tahun 0 0% 0 0%
Jumlah 16 100% 15 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Usia
7 < 20 tahun
6
6 21-30 tahun
5 31-40 tahun
4 4
4 41-50 tahun
3 3
3 51-60 tahun
2 2 2 2 2
2
1 61-70 tahun
1
0 0 0 0 0 71-80 tahun
0
> 80 tahun
2015 2016

Gambar 3.2
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Usia

38
Berdasarkan Tabel 3.2 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasarkan usia di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas

Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita dengan usia terbanyak

berkisar antara usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 6 penderita (37,5%), usia

terendah adalah rentang usia 61 - 70 yaitu sebanyak 1 penderita (6,25%) dan tidak

didapatkan kasus pada usia < 20 tahun, 71 80 tahun, dan > 80 tahun. Sedangkan

pada tahun 2016 sebanyak 15 penderita dengan usia terbanyak berkisar antara usia

51-60 tahun yaitu sebanyak 4 penderita (28%) dan usia terendah adalah usia <20

tahun, usia 21-30 tahun, usia 41-50 tahun, dan usia 61-70 tahun yaitu masing-

masing sebanyak 2 penderita (13%), dan tidak didapatkan kasus pada usia 71 80

tahun, dan > 80 tahun.

3.1.3 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kelurahan

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan kelurahan tempat tinggal penderita disajikan dalam bentuk

tabel dan diagram di bawah ini:

Tabel 3.3 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kelurahan


Tahun 2015 Tahun 2016
No. Kelurahan
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Pesantren 1 6,25% 2 13%
2. Bangsal 1 6,25% 1 7%
3. Banaran 2 12,5% 4 27%
4. Betet 4 25% 2 13%
5. Blabak 3 18,75% 6 40%
6. Lain-lain 5 31,25% 0 0%
Jumlah 16 100% 15 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

39
Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Jenis Kelamin
Pesantren
8 Bangsal
6
6 5 Banaran
4 4 Betet
4 3
2 2 2 Blabak
2 1 1 1 Lain-lain
0
0
2015 2016

Gambar 3.3
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Kelurahan Tempat Tinggal

Berdasarkan Tabel 3.3 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasakan kelurahan tempat tinggal penderita di atas didapatkan penderita

tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16

penderita. Kelurahan dengan jumlah penderita tuberkulosis paru terbanyak adalah

kelurahan lain-lain yaitu sebanyak 5 penderita (31,25%), sementara di wilayah

kerja puskesmas Pesantren 1 terbanyak adalah kelurahan Betet yaitu sebanyak

masing-masing 4 penderita (25%) serta kelurahan dengan jumlah penderita

tuberkulosis paling sedikit adalah kelurahan Pesantren dan Bangsal yaitu

sebanyak 1 penderita (6,25%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 15

penderita. Kelurahan dengan jumlah penderita tuberkulosis paru terbanyak adalah

kelurahan Blabak yaitu 6 penderita (40%), kelurahan dengan jumlah penderita

tuberkulosis paling sedikit adalah kelurahan Bangsal yaitu sebanyak 1 penderita

(7%) dan tidak di temukan kasus di kelurahan lain-lain.

40
3.1.4 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Rujukan

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan adanya rujukan penderita disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram di bawah ini:

Tabel 3.4 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Rujukan


Tahun 2015 Tahun 2016
No. Rujukan
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Rujukan 4 25% 2 13%
2. Bukan Rujukan 12 75% 13 87%
Jumlah 16 100% 15 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Rujukan
15 12 13 Rujukan

10
4
5 2 Bukan
0 Rujukan
2015 2016

Gambar 3.4
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Rujukan

Berdasarkan Tabel 3.4 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasakan rujukan di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas

Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita. Penderita dengan rujukan

sebanyak 4 penderita (25%) dan penderita bukan rujukan sebanyak 12 penderita

(75%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 15 penderita. Penderita dengan

rujukan sebanyak 2 penderita (13%) dan penderita bukan rujukan sebanyak 13

penderita (87%).

41
3.1.5 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Per Bulan (Mulai Pengobatan)

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 per bulan (mulai pengobatan) disajikan dalam bentuk tabel dan diagram

di bawah ini.

Tabel 3.5 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Per Bulan (Mulai Pengobatan)
Tahun 2015 Tahun 2016
No. Rujukan
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Januari 6 37,5% 1 6,25%
2. Februari 1 6,25% 1 6,25%
3. Maret 0 0% 0 0%
4. April 1 6,25% 1 6,25%
5. Mei 1 6,25% 1 6,25%
6. Juni 0 0% 0 0%
7. Juli 0 0% 1 6,25%
8. Agustus 0 0% 0 0%
9. September 2 12,5% 3 18,75%
10. Oktober 3 18,75% 4 25%
11. November 2 12,5% 1 6,25%
12. Desember 0 0% 3 18,75%
Jumlah 16 100% 16 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Per Bulan (Mulai Pengobatan)
Januari
7 Februari
6
6 Maret
Jumlah Penderita

5 April
4
4 Mei
3 3 3 Juni
3
2 2 Juli
2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 Agustus
1 September
0 0
0 Oktober
2015 2016 November
Bulan Desember

Gambar 3.5
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Per Bulan (Mulai Pengobatan)

42
Berdasarkan Tabel 3.5 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru per

bulan di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1

pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita. Penderita paling banyak pada bulan

Januari yaitu sebanyak 6 penderita (37,5%) dan paling sedikit pada bulan

Februari, April dan Mei yaitu masing-masing sebanyak 1 penderita (6,25%) serta

tidak di dapatkan kasus pada bulan Maret, Juni, Juli, Agustus dan Desember.

Penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2016 sebanyak

16 penderita yang memulai pengobatan di tahun 2016 termasuk salah satu

penderita diantaranya memulai kategori 1 dan 2 di tahun yang sama. Penderita

paling banyak pada bulan Oktober yaitu sebanyak 4 penderita (25%) dan paling

sedikit pada bulan Januari, Februari, April, Mei, Juli dan November yaitu

sebanyak 1 penderita (6,25%) serta tidak didapatkan kasus pada bulan Maret,

Juni, dan Agustus.

3.1.6 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Tipe Pasien

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan tipe pasien disajikan dalam bentuk tabel dan diagram di

bawah ini.

Tabel 3.6 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Tipe Pasien


Tahun 2015 Tahun 2016
No. Tipe Pasien
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Kasus baru 15 93,75% 11 68,75%
2. Kambuh 1 6,25% 2 12,5%
3. Default 0 0% 0 0%
4. Failure 0 0% 1 6,25%
5. Transfer In 0 0% 2 12,5%
6. Lain-lain 0 0% 0 0%
Jumlah 16 100% 16 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

43
Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Tipe Pasien
16 15
14 Kasus Baru
12 11 Kambuh
10 Default
8 Failure
6 Transfer In
4 Lain-lain
2 2
2 1 1
0 0 0 0 0 0
0
2015 2016

Gambar 3.6
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Tipe Pasien

Berdasarkan Tabel 3.6 Distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasarkan tipe pasien pada tahun 2015 penderita tuberkulosis paru di Puskesmas

Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita yaitu kasus baru sebanyak 15

penderita (93,75%) dan kambuh sebanyak 1 penderita (6,25%). Sedangkan

penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2016 sebanyak

15 penderita, salah satu di antaranya mendapatkan 2 kategori tipe pasien dan

mengakibatkan penambahan data menjadi 16 tipe pasien yaitu terdapat kasus baru

sebanyak 11 penderita (68,75%), kambuh dan pindah masing-masing sebanyak 2

penderita (12,5%) dan failure sebanyak 1 penderita (6,25%).

3.1.7 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan kategori pengobatan penderita disajikan dalam bentuk tabel

dan diagram di bawah ini.

44
Tabel 3.7 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan
Tahun 2015 Tahun 2016
No. Kategori Pengobatan
Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Kategori 1 15 93,75% 13 81,25%
2. Kategori 2 1 6,25% 3 18,75%
Jumlah 16 100% 16 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Kategori Pengobatan
20 Kategori 1
15
15 13 Kategori 2

10

5 3
1
0
2015 2016

Gambar 3.7
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Kategori Pengobatan

Berdasarkan tabel 3.7 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasakan kategori pengobatan di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di

Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita. Penderita paling

banyak dengan pengobatan kategori 1 sebanyak 15 penderita (93,75%) dan paling

sedikit dengan pengobatan kategori 2 sebanyak 1 penderita (6,25%). Sedangkan

pada tahun 2016 sebanyak 15 penderita. Namun terdapat satu pasien memiliki 2

kategori di tahun 2016 dan mengakibatkan penambahan jumlah data menjadi 16

untuk jumlah pengobatan kategori 1 dan 2. Penderita paling banyak dengan

pengobatan kategori 1 sebanyak 13 penderita (81,25%) dan paling sedikit dengan

pengobatan kategori 2 sebanyak 3 penderita (18,75%).

45
3.1.8 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan BTA Pertama

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

dan 2016 berdasarkan pemeriksaan BTA pertama penderita disajikan dalam

bentuk tabel dan diagram di bawah ini:

Tabel 3.8 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Pemeriksaan BTA


Pertama
Pemeriksaan BTA Tahun 2015 Tahun 2016
No.
pertama Jumlah Presentase Jumlah Presentase
1. Negatif 1 6,25% 4 27%
2. Positif 1 3 18,75% 4 27%
3. Positif 2 4 25% 0 0%
4. Positif 3 8 50% 7 46%
5. Tidak diperiksakan 0 0% 0 0%
Jumlah 16 100% 15 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015 dan 2016

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan BTA Pertama
Negatif
10
8
8 7 Positif 1
6
4 4 4 Positif 2
4 3
Positif 3
2 1
0 0 0
0 Tidak
2015 2016 diperiksakan

Gambar 3.8
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Pemeriksaan BTA Pertama

Berdasarkan Tabel 3.8 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasarkan pemeriksaan BTA pertama di atas didapatkan penderita tuberkulosis

paru di Puskesmas Pesantren 1 pada tahun 2015 sebanyak 16 penderita. Penderita

paling banyak dengan BTA +3 sebanyak 8 penderita (50%), paling sedikit adalah

yang negatif sebanyak 1 penderita (6,25%) dan tidak di dapatkan kasus yang tidak

di periksakan. Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 15 penderita. Penderita

46
paling banyak dengan BTA +3 sebanyak 7 penderita (46%), paling sedikit adalah

yang negatif dan positif 1 masing-masing sebanyak 4 penderita (27%), serta tidak

di dapatkan kasus dengan BTA +2 dan yang tidak di periksakan. BTA tidak

diperiksakan merupakan rujukan dari rumah sakit / dokter spesialis paru dan pada

data tidak ditemukan.

3.1.9 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Konversi BTA

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

berdasarkan konversi BTA disajikan dalam bentuk tabel dan diagram di bawah

ini:

Tabel 3.9 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Konversi BTA


No. Konversi BTA Jumlah Presentase
1. Konversi 12 75%
2. Tetap / Masih positif 3 13%
3. Tidak diperiksakan 1 7%
Jumlah 16 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Konversi BTA
7%
13%

Konversi
Tetap / Masih positif
Tidak Diperiksa

75%

Gambar 3.9
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Konversi BTA

Berdasarkan tabel 3.9 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasarkan konversi BTA didapatkan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas

47
Pesantren 1 selama tahun 2015 sebanyak 16 penderita. Penderita dengan konversi

BTA sebanyak 12 penderita (75%), penderita yang BTA tetap atau tetap positif

sebanyak 3 penderita (13%), kemudian yang tidak diperiksa sebanyak 1 penderita

(7%) dikarenakan pasien meninggal.

3.1.10 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Hasil Pengobatan

Distribusi penderita tuberkulosis paru Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015

berdasarkan hasil pengobatan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram di bawah

ini:

Tabel 3.10 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Hasil Pengobatan


No. Hasil Pengobatan Jumlah Presentase
1. Sembuh 12 75%
2. Pengobatan Lengkap 1 6,25%
3. Default 0 0%
4. Gagal 2 12,5%
5. Meninggal 1 6,25%
Jumlah 16 100%
Sumber : Data Puskesmas Pesantren 1, 2015

Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru


Berdasarkan Hasil Pengobatan
6,25%
12,5%
Sembuh
6,25%
Pengobatan Lengkap
Default
Gagal

75% Meninggal

Gambar 3.10
Diagram Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru
Berdasarkan Hasil Pengobatan

Berdasarkan tabel 3.10 distribusi penderita penyakit tuberkulosis paru

berdasarkan hasil pengobatan di atas didapatkan penderita tuberkulosis paru di

48
Puskesmas Pesantren 1 selama tahun 2015 sebanyak 16 dengan hasil terbanyak

adalah pasien pengobatan sembuh sebanyak 12 penderita (75%), pasien

pengobatan gagal sebanyak 2 penderita (12,5%) kemudian penderita yang paling

sedikit adalah pasien pengobatan lengkap dan meninggal masing-masing

sebanyak 1 penderita (6,25%) dan default tidak di dapatkan data.

3.2 Indikator Penanggulangan Tuberkulosis

3.2.1 Angka Penjaringan Suspek TB

Angka penjaringan suspek TB merupakan jumlah suspek yang diperiksa

dahaknya diantara 100.000 penduduk. Angka ini digunakan untuk mengetahui

upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan

kecenderungannya dari waktu ke waktu (Kemenkes RI, 2014).

(+) =

(+)

100.000

107
2015 = 27.296 = 29
100.000

107
2016 = 27.331 = 29
100.000

Perkiraan jumlah pasien TB BTA (+) pada tahun 2015 sebanyak 29 orang

per 27.296 penduduk, dan pada tahun 2016 sebanyak 29 orang per 27.331

penduduk. Hasil tersebut akan di kalikan dengan 10 untuk mengetahui angka

suspek TB dimana 1 orang dalam perkiraan pasien TB BTA (+) memegang 10

orang suspek (Dinkes Kediri, 2016) yaitu :

Angka penjaringan suspek TB =

Tahun 2015 = 29 x 10 suspek = 290 suspek dalam 27.296 penduduk

Tahun 2016 = 29 x 10 suspek = 290 suspek dalam 27.331 penduduk

49
3.2.2 Proporsi Pasien TB BTA Positif di Antara Suspek

Persentase penderita BTA (+) yg ditemukan diantara semua suspek yg

diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan

sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek (Kemenkes

RI, 2014). Angka ini sekitar 5-15%.


= 100%

15
2015 = 100% = 14%
107
11
2016 = 100% = 9%
119

Angka proporsi pasien TB BTA positif di antara suspek pada tahun 2015

dan 2016 berada di antara 5-15% berarti mutu dari proses penemuan sampai

diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek baik. Pada

Puskesmas Pesantren 1, pengobatan pada pasien tuberkulosis paru tidak hanya

yang diperiksakan sputum BTA (+), namun juga ada pasien rujukan yang

didiagnosis secara radiologis atau pasien pindahan atau pasien yang kambuh

dengan sputum BTA negatif.

3.2.3 Proporsi Pasien TB Baru BTA Positif di Antara Semua Pasien TB Paru

Tercatat/Diobati

Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang

menular di antara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati. Angka minimal

65% (Kemenkes RI, 2014).

( + )
= 100%

16
2015 = 100% = 100%
16

50
13
2016 = 100 = 81%
16

Pada tahun 2015 dan 2016 angka melebihi batas minimal. Ini menandakan

bahwa mutu diagnosis TB paru di Puskesmas Pesantren 1 sudah cukup baik.

3.2.4 Case Notification Rate (CNR)

Angka yang menunjukkan jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan

tercatat di antara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Apabila

dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecendrungan penemuan kasus dari

tahun ke tahun tersebut. (Kemenkes RI, 2014). CNR dianggap baik jika melebihi

target minimal yaitu 90%. Sesuai dengan Rencana Aksi Daerah Jawa Timur,

angka untuk CNR kota Kediri adalah tahun 2015 yaitu 174 per 100.000 penduduk

dan tahun 2016 yaitu 179 per 100.000 penduduk. (Dinkes Kediri, 2016)


=
100.000

174
2015 = 27.296 = 47
100.000

179
2016 = 27.331 = 49
100.000

Jumlah pasien TB paru yang di laporkan pada tahun 2015 sebanyak 16

orang atau sebesar 34% dan pada tahun 2016 sebanyak 15 orang atau sebesar

31%. Sehingga angka Case Notification Rate (CNR) yang di peroleh pada tahun

2015 dan 2016 masih jauh di bawah target yaitu > 90%. Angka CNR tersebut

menunjukkan kurangnya penemuan kasus TB paru di puskesmas Pesantren I.

3.2.5 Angka Konversi

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang

mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan

tahap awal. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan

51
dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan

dengan benar. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% (Kemenkes RI,

2014).


= 100%

12
2015 = 100% = 75%
16

Angka konversi tersebut berada di bawah angka minimal yang harus

dicapai. Bila angka konversi masih rendah perlu diperhatikan antara lain masalah

keteraturan minum obat, tidak optimalnya fungsi petugas/PMO dan masalah di

laboratorium.

3.2.6 Angka Kesembuhan

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru

TB paru BTA positif yang sembuh setelah masa pengobatan, di antara pasien baru

TB paru BTA positif yang tercatat. Angka minimal yang harus dicapai adalah

85% (Kemenkes RI, 2014).


= 100%

12
2015 = 100% = 75%
16

Angka kesembuhan tersebut berada di bawah angka minimal yang harus

dicapai. Hal ini menjelaskan kualitas dan efektivitas. Pada Puskesmas Pesantren 1

angka kesembuhan ini disebabkan terdapat satu pasien tidak diperiksakan karena

meninggal dan terdapat pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif dari awal

pengobatan sampai akhir pengobatan sehingga disebut pengobatan lengkap, serta

52
masih banyaknya pasien yang tidak minum obat secara rutin sehingga angka

kesembuhan masih di bawah minimal.

3.2.7 Angka Keberhasilan Pengobatan

Angka keberhasilan pengobatan merupakan penjumlahan dari angka

kesembuhan dan pengobatan lengkap dari pasien baru TB paru BTA positif.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%, dengan angka kesembuhan

mendekati 90% (Kemenkes RI, 2014).

( + )
= 100%

13
2015 = 100% = 81,25%
16

Angka keberhasilan pengobatan tersebut berada di bawah angka minimal

yang harus dicapai yang menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan

tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1 kurang. Hal ini dapat terjadi

dikarenakan terdapat beberapa pasien yang tidak minum obat secara rutin

sehingga angka keberhasilan pengobatan masih di bawah minimal.

3.2.8 Error Rate

Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium

yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/sediaan yang dilakukan

oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah diuji silang (cross check) oleh BLK

atau laboratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan

slide secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa utama (Kemenkes RI,

2014). Di Puskesmas Pesantren 1 tidak di dapatkan data mengenai kesalahan

laboraturium karena di puskesmas Pesantren 1 belum mampu untuk membuat

53
sediaan yang akan di baca, namun hanya mampu membuat sediaan sementara

yang nantinya akan di kirimkan ke BLK atau laboraturium rujukan lain.

3.3 Intervensi yang Dilakukan Puskesmas Pesantren 1

Puskesmas Pesantren 1 memiliki beberapa program dalam menangani kasus

penyakit tuberkulosis paru pada wilayah kerjanya. Program penanganan

tuberkulosis paru di puskesmas ini dipegang oleh salah satu staf puskesmas

bidang tuberkulosis yang memegang poli TB dan pemegang program TB,

kemudian nantinya bekerja sama dengan program promosi kesehatan. Program

penanganan penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Pesantren 1 antara lain

adalah:

1. Penemuan penderita suspek TB paru dengan bantuan kader, yaitu dengan

mengarahkan warga yang mengalami batuk lebih dari 2 minggu untuk

diperiksakan ke puskesmas, serta warga yang memilik keluarga penderita

tuberkulosis paru.

2. Pemeriksaan kontak TB paru serumah dengan memeriksakan lab BTA

pada keluarga kontak TB paru.

3. Pengobatan TB paru DOTS kategori 1 dan kategori 2

4. Pelacakan TB mangkir yaitu pengawasan minum obat dengan home visite

ke penderita yang tidak kontrol rutin dan tidak mengambil obat

3.4 Faktor-faktor Determinan Penyakit Tuberkulosis Paru.

Hendrick L. Blum mengemukakan model tentang sistem pada kesehatan

masyarakat. Menurut Hendrick L. Blum ada 4 faktor yang berperan dalam

menentukan tingkat atau derajat kesehatan suatu masyarakat. Faktor-faktor

54
tersebut ialah perilaku, psikososiobiologi/genetik, lingkungan, dan pelayanan

kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas

Pesantren 1 Kota Kediri tahun 2015 dijabarkan dalam 4 faktor determinan

menurut Hendrick L. Blum sebagai berikut :

3.4.1 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap derajat

kesehatan masyarakat. Yang termasuk kedalam lingkungan ini adalah :

1. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik dapat berupa keadaan tanah (pegunungan, rawa,

subur atau tidak subur), keadaan air (bersih, kotor, mudah atau sulit

didapat), keadaan cuaca (seperti panas, dingin, lembab, atau kering), dan

lain sebagainya.

Keadaan lingkungan fisik di wilayah kerja Puskesmas Pesantren 1

merupakan area persawahan dan perkebunan yang semuanya termasuk

kategori daerah dataran rendah, keadaan air bersih dan mudah didapat,

serta keadaan cuaca yang cukup hangat dengan suhu rata-rata 25oC per

hari nya, dengan kelembaban relatif 90-91%. Kuman Mycobacterium

tuberculosis ini dapat hidup di suhu kamar selama beberapa jam, terutama

di tempat yang lembab. Kuman TB juga lebih mudah mati jika terkena

sinar matahari dengan sinar ultraviolet namun intesitas cahaya matahari di

kota Kediri kurang karena musim yang tidak menentu.

Wilayah kerja Puskesmas Pesantren 1 juga berada di dekat jalan

besar yang dilalui bus dan truk besar sehingga asap kendaraan cukup

55
banyak. Tuberkulosis paru lebih menular pada lingkungan dengan banyak

asap.

2. Lingkungan biologis

Adanya hewan atau makhluk hidup lainnya yang berguna serta

yang merugikan manusia. Yang berguna misalnya ternak, dan yang

merugikan misalnya bakteri, virus, cacing parasit, dan lain-lain.

Adanya tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi manusia berupa

bahan pangan, sedangkan yang merugikan dapat berbentuk jamur

penyebab penyakit, dan lain-lain.

Pada penyakit tuberkulosis paru tidak berhubungan dengan

lingkungan biologis.

3. Lingkungan sosial budaya

Lingkungan sosial budaya dapat berupa :

Tingkat pendidikan

Adat istiadat dan kepercayaan seperti tahayul, dan pantangan-

pantangan yang tidak sesuai dengan kesehatan.

Adanya lembaga-lembaga masyarakat yang dapat menjadi wadah

kerjasama.

Upacara-upacara

Struktur politik kenegaraan

Tingkat pendidikan mempengaruhi penularan tuberkulosis paru,

karena semakin tinggi pendidikan, masyarakat lebih mengetahui tentang

penyakit tuberkulosis paru, sehingga masyarakat paham untuk mencegah

penularan tuberkulosis paru. Sedangkan penduduk di wilayah puskesmas

56
pesantren I rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga

pengetahuan tentang TB paru dimasyarakat masih kurang.

4. Lingkungan ekonomi

Yang termasuk dalam lingkungan ekonomi antara lain adalah :

Struktur ekonomi

Status ekonomi

Status ekonomi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pesantren

1 cukup bervariasi dari yang menengah ke atas hingga yang menengah ke

bawah. Diketahui bahwa keadaan ekonomi yang rendah akan

mempengaruhi lingkungan fisik rumah, status gizi keluarga, tingkat

pendidikan dan perilaku yang mempengaruhi terhadap penularan

tuberkulosis paru.

3.4.2 Faktor Perilaku

Perilaku merupakan faktor kedua terbesar yang mempengaruhi tingkat

kesehatan masyarakat. Perilaku adalah suatu aktifitas manusia baik yang dapat

diamati secara langsung maupun tidak. Perilaku adalah hasil dari segala macam

pengalaman dan interaksi manusia dan lingkungan (pusat PKM depkes RI, 1992).

Perilaku masyarakat Pesantren 1 sangat menentukan adanya peningkatan

jumlah kasus tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis pada Puskesmas Pesantren 1

masih sedikit penemuannya, karena masih banyaknya anggapan bahwa batuk

kronis adalah hal yang biasa dan tidak berbahaya. Pasien penderita tuberkulosis

didaerah kerja wilayah Pesantren 1 masih kurang kesadaran nya untuk melakukan

pengobatan Tuberkulosis selama 6 bulan, sehingga mengalami Multi Drug

57
Resistant, dan dapat menularkan kepada masyarakat Pesantren 1 yang masih

sehat. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah kasus tuberkulosis.

Selain itu, kesadaran keluarga kontak TB untuk memeriksakan sputum BTA

masih kurang, karena diketahui bahwa penularan TB paru melalui droplet

terutama jika pasien TB batuk atau meludah. Semakin tinggi BTA (+), maka

semakin infeksius dan mudah menular. Perilaku merokok juga mempengaruhi

penularan tuberkulosis paru. Asap rokok baik pasif maupun aktif dapat lebih

mempermudah penularan tuberkulosis paru.

3.4.3 Faktor Pelayanan Kesehatan

Menurut H.L.Blum pelayanan kesehatan merupakan urutan ketiga yang

mempengaruhi derajat kesehatan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan

adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam

suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, kelompok, dan

ataupun masyarakat.

Yang termasuk dalam faktor pelayanan kesehatan adalah :

Sistem pelayanan kesehatan

Kemudahan masyarakat untuk dapat menjangkau pelayanan kesehatan

Sesuai dengan kebutuhan pemakai jasa pelayanan

Sesuai dengan prinsip ilmu dan teknologi kedokteran

Puskesmas Pesantren 1 memenuhi semua faktor pelayanan kesehatan.

Sistem pelayanan kesehatan untuk para pasien dengan gejala yang mengarah ke

tuberkulosis paru seperti batuk lama atau batuk lebih dari 2 minggu dapat

diarahkan ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan BTA, apabila ditemukan

58
hasil BTA + dapat dilakukan pengobatan sesuai dengan kategori, baik kategori 1

(pasien baru) maupun kategori 2 (pasien putus obat atau relaps). Puskesmas juga

melayani pemeriksaan BTA untuk pemeriksaan follow up. Puskesmas juga

terletak di daerah yang mudah dijangkau oleh masyarakat baik dengan

menggunakan roda dua maupun dengan roda empat karena letaknya yang berada

di tengah kota. Penderita yang memiliki kartu Jamkesda, Askes, Jamkesmas/KIS,

KTP/KK dapat di layani secara gratis tanpa di pungut biaya. Puskesmas Pesantren

1 dalam mendiagnosis serta mengobati kasus Tuberkulosis telah berdasarkan pada

prinsip ilmu kedokteran.

3.4.4 Faktor Psikososiobiologi/Genetik

Ilmu genetika membuktikan bahwa kondisi makhluk hidup ditentukan oleh

keadaan gen orang tuanya. Adanya kelainan atau kecacatan pada gen orang tua

akan mengakibatkan timbulnya kelainan/penyakit yang bersifat bawaan pada

keturunannya.

Pada penyakit Tuberkulosis tidak disebabkan oleh kelainan genetik, namun

murni karena adanya infeksi bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis yang

menginvasi saluran respiratorik pada manusia.

3.5 Upaya Pencegahan

Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan tiga tingkatan

pencegahan (Three Level of Prevention), yaitu sebagai berikut:

1. Primary Level of Prevention

Primary level of prevention merupakan suatu tindakan pencegahan

sebelum timbulnya penyakit. Upaya pencegahan penyakit tuberkulosis

59
paru dapat dilakukan dengan promosi kesehatan (Promotion of Health).

Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti :

a. Penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis

b. Penyuluhan tentang penularan penyakit tuberkulosis

c. Penyuluhan tentang deteksi dini adanya penyakit tuberkulosis

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan membuat program-

program yang berhubungan dengan faktor-faktor penyakit tuberkulosis,

seperti :

a. Pemberian masker gratis di lingkungan puskesmas

b. Pemberian genteng kaca untuk rumah yang kurang ventilasi/cahaya

matahari

2. Secondary Level of Prevention

Secondary level of prevention merupakan upaya pencegahan

penyakit setelah timbul sakit. Upaya ini ditujukan agar penyakit tidak

bertambah parah dan mencegah komplikasi. Upaya ini dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

a. Early Case Detection And Prompt Treatment

Upaya ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan sputum BTA pada

pasien-pasien yang mengalami batuk >2 minggu, bila BTA +, maka

dapat dimulai pengobatan OAT sesuai dengan kategori. Apabila pasien

rujukan rumah sakit/dokter tetap diperiksakan sputum BTA agar dapat

mengevaluasi kesembuhan pasien. Pemberian OAT ini juga diberikan

selama 6 bulan dengan kontrol rutin sesuai dengan kategori pengobatan

masing-masing.

60
b. Pembatasan Kecacatan (Disability Limitation)

Upaya ini dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang

tepat, dan teratur selama 6 bulan sesuai dengan kategori obat, hal ini

juga dapat didukung dengan adanya PMO (Pengawas Minum Obat) dari

pihak-pihak keluarga penderita tuberkulosis paru untuk mencegah

adanya komplikasi dari tuberkulosis serta resistensi kuman

tuberkulosis. Selain itu, terdapat program lacak TB mangkir yaitu

petugas puskesmas melakukan home visite kepada penderita yang tidak

kontrol atau mengambil obat.

3. Tertiary Level of Prevention

Upaya pencegahan yang terakhir adalah mengembalikan fungsi

fisik, psikologis dan sosial dalam proses penyembuhan suatu penyakit. Hal

ini dapat dilakukan konseling kepada penderita dan keluarga penderita.

Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan tahap-tahap pengobatan

hingga tuntas, karena pengobatan cukup lama dan harus rutin. Keluarga

juga diberikan arahan untuk mengawasi minum obat penderita, serta untuk

tidak menghindari penderita (karena penyakit menular).

61
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari data didapatkan penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pesantren 1

periode 2015 sebanyak 16 penderita dan tahun 2016 sebanyak 15 penderita.

Berdasarkan indikator penanggulangan tuberkulosis, angka penjaringan

suspek TB tahun 2015 sebesar 290 per 27.296 penduduk dan di tahun 2016

sebesar 290 per 27.331 penduduk.

Proporsi pasien BTA positif di antara suspek pada tahun 2015 sebesar 14%

dan tahun 2016 sebesar 9%.

Proporsi pasien TB baru BTA positif di antara semua pasien TB paru

tercatat/diobati melebihi batas minimal yaitu pada tahun 2015 sebesar 100% dan

tahun 2016 sebesar 81%.

Sedangkan angka notifikasi TB paru tahun 2015 dan 2016 masih dibawah

angka target minimal yaitu pada tahun 2015 sebesar 34% dan pada tahun 2016

sebesar 31%.

Untuk angka konversi juga masih di bawah angka minimal yaitu pada tahun

2015 sebesar 75%.

Angka kesembuhan pada tahun 2015 juga di bawah angka minimal yaitu

sebesar 75%

Angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2015 masih di bawah angka

minimal yaitu sebesar 81,25%.

62
Error Rate di Puskesmas Pesantren 1 tidak dapat diteliti dikarenakan

puskesmas belum mampu untuk membuat sediaan untuk dibaca sehingga sediaan

yang telah di buat sementara akan di kirimkan ke BLK atau laboratorium rujukan

lain.

Dari hasil data sekunder diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa kasus

Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Pesantren 1 masih perlu mendapat

banyak perhatian karena indikator penanggulangan TB Paru di Puskesmas

Pesantren 1 pun masih banyak yang belum tercapai sesuai target indikator.

Untuk itu perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi sesuai

dengan L.Blum, yang mana dilihat dari faktor psikobiogenetik, faktor lingkungan,

faktor perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan, sehingga nantinya bisa

memberikan intervensi atau upaya penangangan masalah TB Paru secara primer,

sekunder dan tersier.

4.2 Saran

4.2.1 Dinas Kesehatan Kota

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota untuk lebih memperhatikan

pencapaian tujuan program penemuan, penanganan dan pencegahan terhadap

penyakit Tuberkulosis.

4.2.2 Puskesmas Pesantren 1

Diharapkan kepada pihak Puskesmas Pesantren 1 khususnya bagian

pelaksanaan promosi kesehatan serta program kesehatan Tuberkulosis untuk

mengupayakan penemuan kasus Tuberkulosis, mulai dari menemukan penderita

yang mempunyai hasil BTA + serta melaksanakan tatalaksana sesuai dengan

program TB DOTS.

63
Diharapkan tenaga kesehatan Puskesmas Pesantren 1 dapat melakukan

upaya-upaya promosi agar pasien patuh dan rajin dalam mengambil regimen obat

sesuai kategori pengobatan serta meminumnya sesuai anjuran.

Diharapkan juga untuk melakukan pelatihan dan penambahan fasilitas guna

menunjang sarana laboratorium pembuatan sediaan hapusan sputum dan

pemeriksaan mandiri di Puskesmas Pesantren 1.

4.2.3 Peneliti

1. Diharapkan peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi belum tercapainya beberapa indikator

penanggulangan TB Paru di masing-masing kelurahan wilayah kerja

puskesmas Pesantren I

2. Diharapkan peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai

penurunan dan peningkatan distribusi penderita TB paru berdasarkan jenis

kelamin, usia, kelurahan, mulai bulan pengobatan, tipe pasien, kategori

pengobatan, konversi BTA dan hasil pengobatan di masing-masing

kelurahan wilayah kerja puskesmas Pesantren I.

64
DAFTAR PUSTAKA

Data Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2016

Data Pasien Tuberkulosis Puskesmas Pesantren 1 tahun 2015 dan 2016

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :


Kemenkes RI. Sumber http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-
tbnasional2014.pdf di akses pada tanggal 9 Maret 2017

Werdhani, Retno A. 2009. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klafisikasi Tuberkulosis.


Jakarta. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan
Keluarga FKUI

World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report. Available from :


http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ diakses pada tanggal 9
Maret 2017

65

Anda mungkin juga menyukai