Anda di halaman 1dari 13

Asma Bronkial

Stephania Sofia Inguliman


102011402
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
Email: stephaniainguliman@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Secara praktis, para ahli mendefinisikan asma sebagai penyakit paru dengan
karakteristik obstruktif saluran napas yang reversibel, inflamasi saluran napas dan
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Obstruksi
saluran napas menyebabkan batuk, sesak dan mengi. Penyempitan saluran napas pada asma
dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi
dapat pula terjadi mendadak sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat
obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, dipengaruhi oleh edema dinding
bronkus, produksi mucus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi
maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran
napas.1-2

SKENARIO IX

Tn A, usia 28 tahun dibawa keluarganya ke UGD RS UKRIDA karena sesak napas


sejak 12 jam sebelum masuk RS. Pasien tidak demam, batuk ada sejak 3 hari yang lalu, dahak
sulit keluar, jika keluar kental berwarna putih, tidak terdapat nyeri dada. Pasien mengatakan
sesaknya memang sering timbul 2 bulanan ini, namun tidak sesesak sekarang, sesak napasnya
biasa muncul pada malam hari. Pasien juga mengatakan lebih mudah sesak terutama saat
suasana dingin dan berdebu. Seingat pasien dalam 1 bulan terakhir dirinya sudah 4x sesak
saat dini hari. Menurut keluarga pasien biasa sesak-sesak yang dialami sebelumnya mereda
seiring waktu dengan pasien beristirahat. Pasien sebelumnya belum pernah berobat untuk
keluhan sesak napasnya. Riwayat merokok sejak usia 17 tahun.

1
PEMBAHASAN

I. Anamnesis

Anamnesis berasal dari kata Yunani yang berarti mengingat kembali. Anamnesis adalah
cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien
(Autoanamnesis) maupun pada orang lain seperti orang tua maupun kerabat dekat
(Alloanmnesis). 80% dari anamnesis digunakan untuk menegakkan diagnosa.3

Anamnesis bertujuan untuk:3

Mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai penyakit pasien,


Membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa penyakit yang sudah dapat
ditegakkan dengan anamnesa saja,
Menetapkan diagnosa banding,
Membantu menentukan penatalaksanaan selanjutnya.

Hal-hal yang ditanyakan saat anamnesa ialah:3

1. Identitas pasien : nama, tempat tanggal lahir, alamat, usia, pekerjaan, agama dan
pendidikan.
2. Keluhan utama
Menanyakan keluhan pasien yang menyebabkan pasien datang ke dokter. Pada skenario,
pasien mengeluhkan sesak napas sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada skenario disebutkan bahwa pasien mengalami sesak napas yang sering timbul 2
bulan terakhir dan muncul pada malam hari. Pasien lebih mudah sesak apabila suasana
dingin dan berdebu. Kurang lebih 1 bulan terakhir pasien sudah 4 kali sesak saat dini
hari. Tapi sesaknya mereda seiring pasien beristirahat. Pasien tidak demam tapi batuk
sejak 3 hari yang lalu. Dahaknya sulit keluar, jika ada dahak yang keluar warnanya putih
dan kental. Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita gejala-gejala seperti itu sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Menanyakan apakah ada anggota keluarganya yang menderita seperti gejala-gejala yang
pasien sampaikan seperti sesak napas atau batuk-batuk.

2
6. Kebiasaan
Menanyakan apakah pasien merokok, mengonsumsi alkohol, dan apakah ada alergi
terhadap debu atau sejenisnya. Pada skenario, diketahui pasien merokok sejak usia 17
tahun.

II. Pemeriksaan Fisik

Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan:1

1. Melihat keadaan umum.


Diketahui pasien tampak sakit sedang dan kesadarannya compos mentis.
2. TTV
Meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan suhu tubuh. Diketahui
tekanan darah 110/80 mmHg, nadinya 98 kali/menit, frekuensi pernapasan 28
kali/menit, dan suhunya 36 C.
3. Mata tidak anemis dan tidak ikterik, bibir tidak sianosis, kelenjar getah bening pada
leher tidak teraba membesar, ektremitas hangat, tidak ada oedema maupun clubbing.
4. Pemeriksaan fisik toraks paru
o Inspeksi : didapati retraksi interkostal, dalam keadaan statis maupun dinamis, paru
dalam keadaan simetris,
o Palpasi : paru simetris dan retraksi interkostal,
o Perkusi : sonor,
o Auskultasi : frekuensi nafas saat ekspirasi lebih panjang dari inspirasi, wheezing (+),
ronkhi (-), bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-).

III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dianjurkan:1

1. Rontgen
Ditandai dengan penyempitan dari bronkus atau bronkiolus yang paroksimal dan
reversibel. Kadang-kadang tidak ditemukan kelainan yang mencolok kecuali adanya
hiperaerasi kedua paru.
2. Spirometri
Untuk melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan

3
beta andregenik. Peningkatan VEPI sebanyak 12% atau ( 200 mL) menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau ( 200 mL) tidak berarti
bukan asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau
mendekati normal. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini menyebabkan pasien mudah
mendapatkan serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat
berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik.
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Uji ini dilakukan dengan uji
provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam
hipertonik, bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEPI sebesar 20% atau lebih
dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien
berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari
maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak
Ekspirasi) paling sedikit 10%.
4. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat khas untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada
bronkitis kronik.
5. Pemeriksaan darah lengkap
Didapatkan hemoglobin 13 g/dL, leukosit 9.000/uL, trombosit 155.000/uL dan
hematokrit 35 %.
6. Skin test
Test sensitifitas terhadap debu, bulu binatang atau makanan tertentu.
7. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopik. Pemeriksaan
IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya
kurang tidak dapat dipercaya.
8. Analisis gas darah
Pemeriksaan hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2<35 mmHg). Kemudian pada stadium yang lebih
berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

4
IV. Diagnosis Kerja

Asma Bronkiale

Merupakan suatu kelainan radang menahun dari saluran udara yang menyebabkan
episode berulang dari wheezing, sesak napas, rasa penuh di dada dan batuk.1,2,4

Asma diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu:1,4

1. Asma Atopik/Ekstrinsik
Asma atopik paling sering ditemukan, dimulai pada usia anak-anak yang
dilatarbelakangi oleh riwayat atopik dari keluarga. Reaksi hipersensitivitas tipe I Ig-E
mediat dengan kadar IgE atau reagen tinggi. Apabila dilakukan skin test akan
memberikan hasil positif (+) terhadap debu, polen, kutu binatang atau makanan.
Serangan sering didahului oleh rhinitis alergika, urtikaria atau eksem.
2. Asma Non-Atopik/Intrinsik
Asma intrinsic dicetuskan oleh rangsangan yang non spesifik seperti obat, infeksi
saluran napas atau stress dan aktivitas yang berlebihan. Skin test memberikan hasil
negatif (-) sedangkan kadar IgE normal.
3. Campuran
Asma atopik disertai dengan asma non atopik.

Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu:1

1. Infeksi virus saluran napas seperti influenza,


2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang,
3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi,
4. Kegiatan jasmani seperti lari,
5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi,
6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non steroid,
7. Lingkungan kerja : uap atau zat kimia,
8. Polusi udara karena asap rokok,
9. Pengawet makanan seperti sulfit,
10. Lain-lain misalnya menstruasi, kehamilan atau sinusitis.

5
V. Diagnosis Banding

1. Bronkiektasis
Merupakan dilatasi abnormal dari bronkus dan bronkiolus yang didahului oleh infeksi
menahun yang menimbulkan nekrosis diduga disebakan karena infeksi dan obtruksi.
Secara mikroskopik ditemukan sebukan sel radang akut atau kronis, deskuamasi epitel
yang bisa menyebabkan nekrosis dan ulkus, serta nekrosis yang meluas dan dapat
menyebabkan abses. Secara klinis pasien mengeluhkan demam, batuk menahun dan
paroksimal terutama pada saat perubahan posisi dari berbaring kemudian duduk atau
miring maupun terlentang. Sputum didapatkan kental dan berbau busuk kadang-kadang
mengandung darah. Ada juga dispnoe, ortopnoe, sianosis dan clubbing. Seringkali
asimptomatik, pasien akan datang dengan tiba-tiba ketika terjadi hemoptisis.1,2

2. Emfisema
Adalah pelebaran ruang udara yang abnormal dan permanen, disertai dengan destruksi
dari dindingnya. Seringkali menyertai bronkitis kronik. Faktor yang mempengaruhi
terjadinya emfisema antara lain rokok dan polusi udara. Pasien mengeluhkan sesak
napas dengan ekspirasi yang memanjang tanpa adanya wheezing, batuk yang menahun
dan pembesaran dada.1

3. Bronkitis kronik
Ialah bronkitis lama yang berulang selama 2-3 bulan, bisa sampai 1 tahun. Bronkitis
kronik bukan bentuk menahun dari bronchitis akut. Bronchitis kronik terutama
menyerang usia lebih dari 35 tahun. Diduga disebabkan oleh respon dari
trakeobronkitis terhadap substansi yang dihisap seperti asap rokok dan polusi udara.
Faktor predisposisi antara lain sinusitis, alergi, polusi udara, merokok, bronkiektasis,
TBC, asma atau kelainan kongenital seperti cystic fibrosis. Pasien mengeluhkan batuk-
batuk yang menahun dengan mengeluarkan dahak yang kental, banyak dan berwarna
putih dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 3 bulan dalam setahun dan
sedikitnya selama 2 tahun berturut-turut dan didapatkan ronki positif (+). Secara
makroskopik didapatkan mukosa bronkus hiperemik dan sembab dilapisi secret mucin
atau mukopurulen jika terjadi superinfeksi. Sedangkan secara mikroskopik ditemukan
mukosa bersebukan sel mononukleus dengan epitel yang hiperplasia, kelenjar mucin
submukosa bronkus dan trakea hipertrofi.1,4

6
VI. Gejala dan tanda klinis

Penderita asma bronkial menunjukkan tanda-tanda klinis seperti:1,2,4

1. Sesak napas dan rasa berat pada dada.


2. Batuk yang episodik dengan sputum yang mukoid, putih kadang-kadang purulen.
3. Dispnoe pada saat ekspirasi.
4. Adanya wheezing. Ada sebagian kecil pasien asma yang mengalami gejala hanya batuk
tanpa disertai mengi yang disebut cough variant asthma.
5. Asma alergik disertai dengan pilek atau bersin.
6. Status asmatikus. Serangan asma yang terus menerus atau serangan asma yang periodik
(hilang timbul). Umunya bersifat reversibel dan respon terhadap pengobatan.
7. Serangan terutama malam atau dini hari.
8. Sianosis, gelisah, keringat, takikardi saat terjadi serangan berat.

VII. Etiologi

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan
respons saluran napas yang berlebihan.

Asma bronkitis disebabkan karena:1,4

1. Obstruksi saluran udara yang intermiten dan reversibel,


2. Radang menahun dari bronkus yang disertai sebukan sel eosinofil,
3. Hiperaktivasi atau hiperiritabilitas bronkus yang menyebabkan terjadinya
bronkospasme terhadap berbagai rangsangan.

VIII. Epidemiologi

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien,
status atopik, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Di masa kanak-kanak ditemukan
prevalensi anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan yaitu 1,5:1. Namun pada masa
menjelang dewasa, perbandingan tersebut kurang lebih sama. Tetapi pada saat usia
menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Angka kejadian asma anak lebih
tinggi dari orang dewasa, tetapi ada juga laporan sebaliknya. Dalam tiga dekade terakhir,
terjadi peningkatan signifikan insiden asma di dunia Barat. Di Indonesia, prevalensi asma
berkisar antara 5-7%.1,2

7
IX. Patogenesis

Asma bronkial ialah inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan
hiperesponsif dan menimbulkan gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Inflamasi ditandai dengan adanya
kalor (panas secara vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi
plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan function laesa (fungsi
yang terganggu. Akhir-akhir ini syarat radang juga disertai dengan infiltrasi sel-sel radang.
Keadaan tersebut dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik alergik maupun
non-alergik. Dikenal ada 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan (inflamasi dan
hipersensitivitas) tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur
saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Precenting Cell=sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberi
instruksi melalui interleukin atau sitokon agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel
radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran nafas, infiltrasi sel-sel radang,
sekresi mucus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas
(HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf
autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN. Asma termasuk jenis hipersensitivitas
tipe I yaitu anafilaksis.1-2

Pada penderita asma ditemukan alergi berupa reaksi anafilaksis lokal bila berkontak
dengan antigen atau alergen seperti serbuk bunga rumput (grass ollen), bulu atau rambut
binatang, tungau yang terdapat di dalam debu rumah dan sebagainya. Kontak antigen dengan
IgE yang terikat pada sel mukosa saluran pernapasan dapat menimbulkan gejala dari asma.
Gejala urtikaria timbul karena kontak antara IgE di dalam kulit dengan antigen yang terdapat
di dalam makanan dan masuk peredaran darah melalui absorpsi usus. Peka atau tidaknya
seseorang terhadap suatu antigen dapat dicoba dengan penyuntikan antigen ke dalam kulit
(skin test). Bila orang itu peka, maka pengeluaran histamin akan menimbulkan reaksi
setempat berupa urtikaria dan kemerahan yang timbulnya cepat, mencapai maksimum setelah
30 menit dan kemudian menghilag dengan sendirinya.5

8
Yang membedakan penderita asma dengan orang normal ialah sifat saluran napasnya
yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin,
metakolin), dan fisik (kegiatan jasmani).1

Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang, antara lain:1

1. Inflamasi saluran napas


Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan
gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan
dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
2. Kerusakan epitel
Inflamasi akan mengakibatkan terjadinya kerusakan epitel. Pada penderita asma,
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-
ujung saraf autonom sering mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri
sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator.
Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah
terjadi.
3. Mekanisme neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan repons saraf parasimpatis.
4. Gangguan intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga juga
berperan dalam HSN.
5. Obstruksi saluran napas juga berpengaruh pada HSN.

Secara makroskopik didapatkan beberapa hal yaitu:

1. Paru sangat mengembang dan penuh udara,


2. Dapat dijumpai daerah atelektasis kecil,
3. Dapat dijumpai gumpalan lendir yang liat (mucus plug) di lumen bronkus dan
bronkiolus.

Sedangkan secara mikroskopik atau patologi anatomi ditemukan:

1. Penebalan membran basalis epitel bronkus,


2. Dinding bronkus edema dan bersebukan sel radang dengan banyak eosinofil dan mast
cell,

9
3. Hipertrofi kelenjar lendir submukosa,
4. Hipertrofi otot dinding bronkus.

X. Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF). Pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.1

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan
VEPI (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan
penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran napas terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil.
Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil didominasi gejala batuk dan sesak napas.1

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melewati daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma
sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar
kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga
PaCO2 menurun dan kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang
lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus yang tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja
otot-otot pernapasan bertambah besar serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan
produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang
berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang
kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran yang
baik, akibatnya memperburuk hiperkapnia.1

10
Dengan demikian, penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan:1,4

1. Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi,


2. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan
sirkulasi darah paru,
3. Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Hal-hal diatas akan menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis respiratorik pada
tahap lanjut.1

XI. Komplikasi

1. Cor pulmonale menahun


2. Pneumotoraks
3. Gagal napas
4. Bronkitis
5. Fraktur iga
6. Infeksi sekunder.1

XII. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan asma:1

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,


Mencegah eksaserbasi akut,
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,
Mengupayakan aktivitas normal (termasuk olahraga),
Menghindari efek samping obat,
Mencegah kematian karena asma.

Medika Mentosa
1. Golongan pengontrol (controller)1
Kortikosteroid sistemik,
Kortikosteroid inhalasi,
Sodium kromoglikat,
Metilsantin (aminofilin),

11
Agonis 2 kerja lama,
Antihistamin generasi 2 (antagonis H1).

2. Golongan pelega (reliever)1


Agonis 2 kerja singkat untuk melebarkan saluran napas. Seperti salbutamol,
terbutalin, fenoterol, atau prokaterol. Dapat diberikan secara inhalasi melalui
MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer.
Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis 2 pada serangan asma
yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.
Kortikosteroid sistemik tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi
secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan
asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat.
Anti kolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis 2 pada serangan asma.
Metilsantin (aminofilin) dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis
awal diikuti dengan dosis pemeliharaan.

Pengobatan serangan berat:1

o Perawatan dengan O2
o Kortikosteroid IV/IM
o Adrenalin 1/1000, 0,3 cc subkutan
o Aminofilin drips

Non Medika Mentosa

Mencegah ikatan alergen IgE:1,2,5

1. Menghindari alergen atau faktor pencetus seperti debu, polusi udara, bulu binatang
atau makanan.
2. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang
akan mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Namun efek
hiposensitisasi pada orang dewasa masih diragukan.

12
XIII. Prognosis

Asma akan mempunyai dampak terhadap pasien, keluarganya maupun masyarakat.


Sampai sejauh ini belum ada cara untuk menyembuhkan asma, namun dengan penatalaksaan
yang baik tujuan untuk dapat memperoleh kontrol asma yang baik pada sebagian besar kasus
asma dapat tercapai dengan baik.1

PENUTUP

Kesimpulan

Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus
yang berulang namun reversibel. Orang yang menderita asma memiliki ketidakmampuan
mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada saat
ekspirasi. Terapi untuk menghilangkan asma kitu sendiri belum ada, yang terpenting ialah
mnegontrol dan mengurangi gejala asma agar penderita merasa lebih nyaman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial dalam: SudoyoAW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk.


Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;2009.h404-13
2. Husain AN, Kumar V. Paru dalam: Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins dan cotran:
dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.h.742-8
3. Gleadle J. At a glance : anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.99
4. Solomon WR. Asma bronkial dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2012.h.177-89
5. Sujudi, Suharto, Soebandrio A. Hipersensitivitas dalam: Staf pengajar bagian
Mikrobilogi FKUI. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Tangerang:
Binarupa Aksara Publisher;h.117-18.

13

Anda mungkin juga menyukai