Anda di halaman 1dari 36

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengetahuan

2.1.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007:139).

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidup, telinga, dan

sebagainya) (Notoatmodjo, 2010:50).

Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk

mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun

tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan

terhadap suatu obyek tertentu (Mubarak, 2007).

Pengetahuan adalah pengenalan akan sesuatu, atau apa yang akan

dipelajari (Budiman, 2011:4).

2.1.2. Jenis Pengetahuan

Jenis pengetahuan terbagi menjadi 2 yaitu (Budiman, 2013:4) :

2.1.2.1. Pengetahuan Implisit

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam

bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata,

seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan seseorang

biasanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis ataupun lisan.

6
7

Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak

disadari.

2.1.2.2. Pengetahuan Eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan

atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.

Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang berhubungan

dengan kesehatan.

2.1.3. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan (Notoatmodjo, 2007:40) .

2.1.3.1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2.1.3.2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.


8

2.1.3.3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

2.1.3.4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

2.1.3.5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.

2.1.3.6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

berdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.


9

2.1.4. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Budiman (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahaun

adalah sebagai berikut.

2.1.4.1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun nonformal),

berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap

dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan penelitian. Pendidikan mempengaruhi proses

belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk

menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung

untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang

didapat tentang kesehatan.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan

seseorang dengan pendidikan tinggi, orang tersebut akan semakin luas

pengetahuannya. Namun, perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan

rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan

pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat

diperoleh pada pendidikan nonformal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu

objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek

inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.

Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui maka akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.


10

2.1.4.2. Informasi atau media massa

Informasi pada hakikatnya dikarenakan sifatnya yang tidak dapat

diuraikan (intangible), sedangakan informasi tersebut dapat dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia

sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi. Informasi mencakup dara, teks,

gambar, suara, kode, program komputer, dan basis data.

Informasi yang diperoleh baik dari penelitian formal maupun nonformal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berkembangnya

teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa yang dapat

mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentan inovasi baru. Sebagai sarana

kmunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,

majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini

dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya,

media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut.

2.1.4.3. Sosial, budaya, dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-rang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang akan

bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang

juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan
11

tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

2.1.4.4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan

tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang

akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

2.1.4.5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memcahkan masalah yang dihadapi masa lalu.

Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan akan memberikan

pengetahuan dan keterampilan profesional, serta dapat mengembangkan

kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan

menalar secara ilmiah dan etika yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang

kerjanya.

2.1.4.6. Usia

Usia mempegaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembangnya pula daya tangkap dan pola

pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia

madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan

sosial, serta labih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya

menyesuaikan diri menuju usia tua.


12

2.1.5. Cara Memperoleh Pengetahuan

Cara memperoleh pengetahuan menurut Imron (2010), adalah sebagai

berikut:

2.1.5.1. Konvensional atau tradisional atau disebut dengan cara non ilmiah

Cara-cara konvensional atau tradisional ini digunakan orang pada saat

sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan ilmu pengetahuan

secara sistematik dengan berdasarkan ilmu logika.

2.1.5.2. Pengalaman pribadi (Auto Experience)

Pepatah lama mengatakan bahwa. Pengalaman adalah guru yang

terbaik. Hal ini tidak dapat disangkal kebenarannya. Berbagai pengalaman

seseorang tentang sesuatu hal, hal akan menjadi sangat berguna bagi orang lain.

2.1.5.3. Belajar dari kesalahan (Trial and error)

Cara ini digunakan semenjak belum diketemukannya cara dan metode

untuk menggali pengetahuan secara sistemik dan berdasarkan logika. Namun cara

ini pula sampai sekarang tetap masih digunakan dalam memperoleh pengetahuan

baru, khusunya pada aspek tertentu.

2.1.5.4. Kekuasaan atau otoritas (Authority)

Pemegang otoritas atau kekuasaan pada aspek tertentu sangat dominan

untuk mempengaruhi komunitas masyarakat tertentu, tanpa penalaran dan bukti-

bukti dengan fakta yang mendukung. Para pemegang otoritas, apakah itu seorang

pemimpin dalam pemerintahan, tokoh agama, tokoh adat maupun ahli ilmu

pengetahuan, maka pada prinsipnya mereka mempunyai suatu mekanisme yang

hampir sama atau bahkan sama menemukan suatu ilmu pengetahuan.


13

2.1.5.5. Melalui logika atau pikiran (To mind)

Cara berfikir yang dilakukan dengan melahirkan sebuah pernyataan-

pernyataan, untuk kemudian dicari hubungannya sehingga dapat ditarik suatu

kesimpulan. Suatu pernyataan yang bersifat khusus untuk disimpulkan kedalam

suatu generalisasi dinamakan induksi. Sebaliknya jika pernyataan-pernyataan

umum untuk menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus dinamakan deduksi.

2.1.5.6. Melalui jalur ilmiah

Cara-cara yang lebih modern dilakukan untuk memperoleh suatu

pengetahuan, ternyata akan lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara-cara semacam

ini kemudian dikenal denga istilah metode penelitian ilmiah atau diperpendek

menjadi metodologi penelitian. Pengambilan suatu kesimpulan diperoleh dengan

cara melakukan observasi langsung, kemudian mencatat semua fakta dari objek

yang diamati tersebut.

2.1.6. Cara Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara dan

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau

kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan

(Notoatmojdo, 2007).

Untuk mengukur pengetahuan menggunakan rumus:

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Sp
N= x 100%
Sm
14

Keterangan : N = Nilai pengetahuan

Sp = skor yang didapat

Sm = skor tertinggi maksimum

Berdasarkan hasil perhitungan, kemudian hasilnya di interprestasikan

dalam beberapa kategori menurut Nursalam (2009) yaitu:

1) Kategori baik : bila diperoleh skor 76%-100%

2) Kategori cukup : bila diperoleh skor 56%-75%

3) Kategori kurang : bila diperoleh skor <56%.

2.2. Konsep Orang Tua

2.2.1. Peran Orang Tua

Peran adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang

berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu. Setiap anggota

keluarga mempunyai peran masing-masing. Ayah sebagai pemimpin keluarga,

mencari nafkah, pendidik, pelindung/pengayom, dan pemberi rasa aman kepada

anggota keluarga. Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-

anak, pelindung keluarga, dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga.

Anak berpean sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik,

mental, sosial, dan spiritual (Zaidin Ali, 2009:10).

Untuk menghindarkan gangguan tumbuh kembang pada anak selama

dirawat di rumah sakit dewasa ini, orang tua pasien diizinkan menunggui anaknya

supaya pasien merasa terlindungi dan tidak ketakutan. Adanya orang tua di

samping anak untuk menunggunya juga dapat mintai tolong untuk hal-hal

tertentu. Misalnya membujuk anaknya jika perlu mendapatkan pengobatan dengan


15

suntikan atau perlu pemeriksaan lainnya seperti darah, rontgen, atau lainnya.

Perawat perlu menginformasikan kepada ibu agar memberitahu perawat dengan

segera bila ia melihat anak kedinginan, kesakitan, atau gelisah, dengan demikian

akan menimbulkan reaksi positif dari orang tuanya (Ngastiyah, 2005:18).

2.2.2. Peran Orang Tua Dalam Hospitalisasi

Berkaitan dengan perawatan anak di rumah sakit menurut Canam, 1993

(dalam Supartini, 2004) membuktikan bahwa tugas yang dijalankan keluarga

secara adaptif. Dalam perawatan anak di Rumah Sakit sangat mempengaruhi

dalam pencapaian tujuan perawatan anak.

Tugas tersebut adalah:

2.2.2.1. Menerima kondisi anak

Tugas ini dapat dijalankan dengan cara mencari arti dari kondisi sakit

anaknya dan menggembangkan koping yang konstruktif, untuk itu praktek dalam

menjalankan agama atau ibadah sangat bermanfaat untuk menggembangkan

koping yang konstruktif.

2.2.2.2. Mengelola kondisi anak

Hal yang positif yang dilakukan adalah dengan cara membina hubungan

yang positif dengan kesehatan sehingga dapat menggunakan sumber yang ada

pada meraka dan dapat memahami kondisi anak dengan baik. Orang tua perlu

disosialisasikan dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada.

2.2.2.3. Memenuhi kebutuhan perkembangan anak

Keluarga dapat menjalankan tugas ini dengan cara membantu

menurunkan dampak negatif dari kondisi anak, mengasuh anak sebagaimana

biasanya dan memperlakukan anak seperti anak lain yang ada di rumah.
16

2.2.2.4. Memenuhi kebutuhan perkembangan kelurga

Hal ini dapat dicapai dengan mempertahankan hubungan antara untuk

menggembangkan kondisi anak di rumah sakit dan di rumah walaupun waktu

tertentu anak di rumah sakit menjadi prioritas utama.

2.2.2.5. Menghadapi stressor dengan positif

Keluarga harus mencegah adanya penumpukan stress pada keluarga

dengan menggembangkan koping yang positif, yaitu ke arah pemecahan masalah.

Hal yang dapat dilakukan adalah dengan klarifikasi masalah dan tugas yang dapat

dikelola, dan dapat menurunkan reaksi emosi. Untuk itu penting sekali adanya

keyakinan spiritual keluarga yang menguatkan harapan dana keyakinan untuk

memecahkan setiap masalah secara positif.

2.2.2.6. Membantu anggota keluarga untuk mengelola perasaan yang ada

Orang tua harus belajar untuk mengelola perasaan anggotanya. Cara yang

dapat dilakukan adalah mengidentifikasi dan mengekresikan perasaan, mencari

dukungan positif apabila ada kelompok orang tua yang mempunyai masalah

kesehatan anak yang sama hal ini sangat membantu sebagai tempat berbagai

perasaan dan pengalaman.

2.2.2.7. Mendidik anggota keluarga yang lain tentang anak yang sedang sakit

Orang tua harus memiliki pemahaman yang tepat tentang kondisi anak

sehingga dapat memberi pengertian pada anggota keluarga yang lain tentang

kondisi anaknya yang sedang sakit dan harus memiliki koping yang positif. jawab

pertanyaan anak sesuai kepastiannya untuk mengerti, tetapi harus jujur dan buat

diskusi dengan keluarga tentang masalah yang berhubungan.


17

2.2.2.8. Menggembang sistem dukungan sosial

Upaya ini dapat dilakukan dengan cara membuat jaringan kerja sama

dengan anggota keluarga yang lain, kerabat atau kawan. Dan menggunakan

jaringan kerja sama sebagai sumber pemecahan masalah (Supartini, 2004:186).

2.2.3. Perubahan Peran Keluarga (Orang Tua)

Selain dampak perpisahan terhadap peran keluarga, kehilangan peran

orang tua, sibling, dan peran peran keturunan dapat mempengaruhi setiap anggota

keluarga dengan cara yang berbeda. Salah satu reaksi orang tua yang paling

banyak terjadi adalah perhatian khusus dan intensif terhadap anak yang sedang

sakit. Anak-anak yang biasanya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak

adil dan menginterpretasikan sikap orang tua terhadap mereka sebagai penolakan.

Meskipun respons-respons, semacam itu biasanya tidak disadari dan tidak

diinginkan, hal tersebut dapat menimbulkan beban pada anak yang sedang sakit.

Misalnya, anak yang sedang sakit merasa harus menjalani peran sakit untuk

memenuhi harapan orang tua, terutama anak-anak yang memiliki kemampuan

fisik yang terbatas dan baru saja memperoleh kembali status kesehatannya (Wong,

2008:765).

2.3. Konsep Dukungan Keluarga (Orang Tua)

2.3.1. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik

moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan

kegiatan (Sarwono, 2003:67).


18

Dukungan keluarga adalah nasihat, sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap penderita sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem

pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang

yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan

jika diperlukan (Friedman, 2001:79).

2.3.2. Jenis-Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Kaplan (1976 dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa

keluarga memiliki 4 jenis dukungan, yaitu:

2.3.2.1. Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator informasi

tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah.

Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor

karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang

khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,

saran, petunjuk dan peberian informasi.

2.3.2.2. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator

identitas anggota keluarga, diantaranya: memberikan support, pengakuan,

penghargaan dan perhatian.

2.3.2.3. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan

konkrit diantaranya: bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi,

tenagadan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi


19

atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa

masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang

yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.

2.3.2.4. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari

dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai keingintahuan

orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan

yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan

mendengarkan serta didengarkan.

2.4. Konsep Anak

2.4.1. Definisi Anak

Anak menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang

perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun)

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi lain menyebutkan bahwa

anak adalah individu yang masih bergantung pada pada orang dewasa (Supartini,

2004). Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa

pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/

toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga

remaja (11-18 tahun) (Hidayat, 2009:6).

2.4.2. Anak Usia Toddler

Anak usia toddler adalah anak yang berusia 1 sampai 3 tahun (Wong,

2005). Pada usia ini, pertumbuhan fisik anak relatif lebih lambat dibandingkan
20

dengan masa bayi, tetapi perkembangan motoriknya berjalan lebih cepat. Anak

sering mengalami penurunan nafsu makan sehingga tampak langsing dan berotot

disertai anak mulai belajar berjalan. Pada mulanya, anak berdiri tegak dan kaku,

kemudian berjalan dengan berpegangan. Sekitar usia enam belas bulan, anak

mulai belajar berlari dan menaiki tangga, tetapi masih kelihatan kaku. Oleh karena

itu, anak perlu diawasi, karena dalam beraktivitas anak tidak dapat

memperhatikan bahaya.

Petumbuhan dan perkembangan pada tahun kedua pada anak akan

mengalami beberapa perlambatan dan pertumbuhan fisik, di mana pada tahun

kedua anak akan mengalami kenaikan berat badan sekitar 1,5-2,5 kg dan panjang

badan 6-10 cm, kemudian pertumbuhan otak juga akan mengalami perlambatan

yaitu kenaikan lingkar kepala hanya 2 cm, untuk pertumbuhan gigi terdapat

tambahan 8 buah gigi susu termasuk gigi geraham pertama, dan gigi taring

sehingga seluruhnya berjumlah 14-16 buah (Hidayat, 2009 hal. 25). Pada usia 2

tahun, pertumbuhan fisik berat badan sudah mencapai 4x berat badan lahir dan

tinggi badan sudah mencapai 50 persen tinggi badan orang dewasa. Menginjak

usia tiga tahun, rata-rata berat badan naik menjadi 2-3 kg/tahun, tinggi badan naik

6-8 cm/tahun, dan lingkar kepala menjadi sekitar 50 cm (Hidayat, 2012:31).

2.4.3. Teori-teori Perkembangan Anak

2.4.3.1. Perkembangan Kognitif (Piaget)

Perkembangan kognitif pada anak menurut Piaget membagi dengan

empat tahap, diantaranya tahap sensori motor, tahap praoperasional, tahap

konkret, dan tahap formal operasional.


21

1) Tahap sensori motor (umur 0-2 tahun) dengan perkembangan kemampuan

sebagai berikut anak mempunyai kemampuan dalam mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi dengan cara melihat, mendengar, menyentuh, dan

aktivitas motorik. Semua gerakan pada masa ini akan diarahkan kemulut

dengan merasakan keingintahuan sesuatu dari apa yang dilihat, didengar,

disentuh, dan lain-lain. Gerakan fisik tersebut menunjukkan sifat egosentris

dari pikiran anak.

2) Tahap praoperasional (umur 2-7 tahun) dengan perkembangan kemampuan

sebagai berikut anak belum mampu mengoperasionalisasikan apa yang

dipikirkan melalui tindakan dalam pikiran anak, perkembangan anak masih

bersifat egosentrik, seperti dalam penelitian Piaget anak selalu menunjukkan

egosentrik seperti anak akan memilih sesuatu atau ukuran yang besar walaupun

isi sedikit. Masa ini sifat pikiran bersifat transduktif menggangap semuanya

sama, seperti seorang pria dikeluarga adalah ayah maka semua pria adalah

ayah, pikiran yang kedua adalah pikiran animisme selalu memperhatikan

adanya benda mati, seperti apabila anak terbentur benda mati maka anak akan

memukulnya kearah benda tersebut.

3) Tahap konkret (7-11 tahun) dengan perkembangan kemampuan sebagai berikut

anak sudah memandang realistis dari dunianya dan mempunyai anggapan yang

sama dengan orang lain, sifat egosentrik sudah mulai hilang sebab anak

mempunyai pengertian tentang keterbatasan diri sendiri, sifat pikiran sudah

mempunyai dua pandangan atau disebut reversibilitas merupakan cara

memandang dari arah berlawanan (kebalikan), sifat realistik tersebut belum

sampai ke dalam pikiran dalam membuat suatu konsep atau hipotesis.


22

4) Formal operasional (lebih dari 11 tahun) dengan perkembangan kemampuan

sebagai berikut perkembangan anak pada masa ini sudah terjadi dalam

perkembangan pikiran dengan membentuk gambaran mental dan mampu

menyelesaikan aktivitas dalam pikiran, mampu menduga dan memperkirakan

dengan pikiran yang abstrak.

2.4.3.2. Perkembangan Psikosexual Anak (Freud)

Pada perkembangan psikoseksual anak pertama kali ditemukan oleh

Sigmund Freud yang merupakan proses dalam perkembangan anak dengan

pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang dapat menimbulkan

dorongan untuk mencari rangsangan dan kesenangan secara umum untuk

menjadikan diri anak menjadi orang dewasa. Dalam perkembangan psikoseksual

anak dapat melalui tahapan sebagai berikut :

1) Tahap oral terjadi pada umur 0-1 tahun dengan perkembangan sebagai berikut

kepuasan dan kesenangan, kenikmatan dapat melalui dengan cara menghisap,

menggigit, mengunyah atau bersuara, ketergantungan sangat tinggi dan selalu

minta dilindungi untuk mendapatkan rasa aman. Masalah yang diperoleh pada

tahap ini adalah masalah menyapih dan makan.

2) Tahap anal terjadi pada umur 1-3 tahun dengan perkembangan sebagai berikut

kepuasan pada fase ini adalah pada pengeluaran tinja, anak akan menunjukkan

keakuanya dan sikapnya sangat narsistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri

dan sangat egoistik, mulai mempelajari struktur tubuhnya. Pada fase ini tugas

yang dapat dilaksanakan anak adalah latihan kebersihan. Masalah yang dapat

diperoleh pada tahap ini adalah bersifat obsesif atau gangguan pikiran,
23

pandangan sempit, introvet dan dapat bersikap ekstrovet impulsif yaitu

dorongan membuka diri, tidak rapi, kurang pengendalian diri.

3) Tahap oedipal/phalik terjadi pada umur 3-5 tahun dengan perkembangan

sebagai berikut kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu

meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka

pada lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari pada ayahnya

demikian sebaliknya anak perempuan senang pada ayahnya.

4) Tahap laten terjadi pada umur 5-12 tahun dengan perkembangan sebagai

berikut kepuasan anak mulai terintegrasi, anak masuk dalam masa pubertas dan

berhadapan langsung pada tuntutan sosial seperti suka hubungan dengan

kelompoknya atau sebaya, dorongan libido mulai mereda.

5) Tahap genital terjadi pada umur lebih dari 12 tahun dengan perkembangan

sebagai berikut kepuasan anak pada fase ini akan kembali bangkit dan

mengarah pada perasaan cinta yang matang terhadap lawan jenis.

2.4.3.3. Perkembangan Psikososial Anak (Erikson)

Merupakan perkembangan anak yang ditinjau dari aspek psikososial,

perkembangan ini dikemukakan oleh Erikson bahwa anak dalam

perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan untuk mencapai

kematangan kepribadian anak perkembangan psikososial anak dapat meliputi :

1) Tahap percaya dan tidak percaya terjadi pada umur 0-1 tahun (bayi) dengan

perkembangan sebagai berikut tahap ini bayi sudah terbentuk rasa percaya

kepada seseorang baik orang tua maupun orang yang mengasuhnya ataupun

juga perawat yang merawatnya, kegagalan pada tahap ini apabila terjadi
24

kesalahan dalam mengasuh atau merawat maka akan dapat timbul rasa tidak

percaya.

2) Tahap kemandirian, rasa malu, dan ragu terjadi pada umur 1-3 tahun (toddler)

dengan perkembangan sebagai berikut anak sudah mulai mencoba dalam

mandiri dalam tugas tumbuh kembang seperti dalam motorik dan bahasa, anak

sudah mulai latihan jalan sendiri, berbicara dan pada tahap ini pula anak akan

merasakan malu apabila orang tua terlalu melindungi atau tidak memberikan

kemandirian atau kebebasan anak dan menuntut tinggi harapan anak.

3) Tahap inisiatif, rasa bersalah terjadi pada umur 4-6 tahun (prasekolah) dengan

perkembangan sebagai berikut anak akan memulai inisiatif dalam belajar

mencari pengalaman baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan

apabila pada tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tumbuh perasaan

bersalah pada diri anak.

4) Tahap rajin dan rendah hati terjadi pada umur 6-12 tahun (sekolah) dengan

perkembangan sebagai berikut anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu

yang diinginkan atau prestasinya sehingga anak pada usia ini adalah rajin

dalam melakukan sesuatu akan tetapi apabila harapan anak pada anak ini tidak

tercapai kemungkinan besar anak akan merasakan rendah diri.

5) Tahap identitas dan kebingungan peran terjadi pada masa adolesence dengan

perkembangan sebagai berikut terjadi perubahan dalam diri anak khususnya

dalam fisik dan kematangan usia, perubahan hormonal, akan menunjukkan

identitas dirinya seperti siapa saya kemudian apabila kondisi tidak sesuai

dengan suasana hati maka dapat kemungkinan menyebabkan terjadi

kebingungan dalam peran.


25

6) Tahap keintiman dan pemisahan terjadi pada masa dewasa muda dengan

perkembangan sebagai berikut anak mencoba melalukan hubungan dengan

sebaya atau kelompok masyarakat dalam kehidupan sosial untuk menjalin

keakraban dan apabila anak tidak mampu bergabung atau membina hubungan

dengan orang lain maka kemungkinan dapat memisahkan diri dari anggota atau

kelompok orang.

7) Tahap generasi dan penghentian terjadi pada masa dewasa pertengahan dengan

perkembangan sebagai berikut seseorang ingin mencoba memperhatikan

generasi berikutnya dalam kegiatan aktivitas di masyarakat dan selalu

melibatkannya dan keinginannya membuat dunia menerimanya, apabila tahap

ini terjadi kegagalan maka akan terjadi penghentian dalam kegiatan atau

aktivitasnya.

8) Tahap integritas dan keputusasaan terjadi pada masa dewasa lanjut dengan

perkembangan sebagai berikut seseorang memikirkan tugas-tugas dalam

mengakhiri kehidupan, perasaan putus asa akan mudah timbul karena

kegagalan pada dirinya untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan.

2.4.3.4. Perkembangan Psikomoral Anak (Kohlberg)

Perkembangan psikomoral ini dikemukakan oleh Kohlberg dalam

memandang tumbuh kembang anak yang ditinjau segi moralitas anak dalam

menghadapi kehidupan. Tahapan psikomoral menurut Kohlberg dapat meliputi :

1) Tahap orientasi hukum kepatuhan pada tingkat pemikiran pra konvensional

mempunyai perkembangan sebagai berikut anak peka terhadap peraturan yang

berlatar budaya, menghindari hukuman dan patuh pada hukum, bukan atas

dasar norma pada peraturan moral yang mendasarinya.


26

2) Tahap orientasi relativitas dan instrumental pada tingkat pemikiran pra

konvensional mempunyai perkembangan sebagai berikut segala tindakan yang

dilakukan hanya untuk memuaskan individu akan tetapi juga kadang-kadang

untuk orang lain kesetiaan, penghargaan, kebijakan diambil untuk

diperhitungkan.

3) Tahap orientasi masuk kelompok (hubungan dengan orang lain) pada tingkat

pemikiran konvensional mempunyai perkembangan sebagai berikut bertingkah

laku yang dapat menyenangkan dan diterima orang lain.

4) Tahap orientasi hukum dan ketertiban pada tingkat pemikiran konvensional

mempunyai perkembangan sebagai berikut membuat keputusan yang benar

berarti mengerjakan tugas, berorientasi kepada otoritas yang sudah pasti dan

usaha untuk memelihara ketertiban sosial.

5) Tahap orientasi kontrak sosial tingkat pemikiran post kontroversial otonom/

berprinsip mempunyai perkembangan sebagai berikut mementingkan

kegunaannya, berprinsip tindakan yang benar adalah tindakan yang dimengerti

dari segala hak individu yang umum dan disetujui oleh seluruh masyarakat,

adanya kesadaran yang jelas bahwa nilai dan pandangan pribadi adalah relatif

menekankan bahwa hukum yang bisa diambil atas dasar rasional.

6) Tahap orientasi azas etika universal pada tingkat pemikiran post kontroversial

otonom/ berprinsip mempunyai perkembangan sebagai berikut keputusan yang

diambil berdasarkan suasana hati, prinsip dan etika yang dipilih sendiri,

berpedoman kepada peraturan-peraturan yang umum di masyarakat (Hidayat,

2009:28-31).
27

2.4.4. Peran Perawat Diruang Perawatan Anak

Ada beberapa peran perawat dalam melaksanakan keperawatan di ruang

anak rumah sakit, tetapi berikut ini hanya akan dikemukakan beberapa saja yang

berhubungan langsung dengan anak seperti :

2.4.4.1. Peran perawat sebagai pengganti ibu yang memenuhi kebutuhan pasien

selama dirawat. Misalnya, perawata memberikan iar susu ibu (ASI) pada

bayi, menyuapi, memandikan, dan sebagainya. Hal itu juga dilakukan

pada anak yang lebih besar yang masih memerlukan bantuan ibu.

2.4.4.2. Peran pendidik. Terutama pendidikan mengenai kesehatan anak baik

kepada pasien langsung atau kepada orang orang tuanya, karena hal itu

dapat memengaruhi tumbuh kembang anak. Pendidikan tersebut dapat

diberikan pada waktu ketika mengambil suhu atau waktu sedang bermain

ketika perawat juga ikut bermain. Sikap ini menunjukkan kedekatan

perawat dengan pasien dan dapat menghilangkan rasa takut pada perawat

(Ngastiyah, 2005:15).

2.4.5. Perawatan Anak Di Rumah Sakit

Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan

stres, baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan rumah sakit itu sendiri

merupakan penyebab stres dan kecemasan pada anak. Pada anak yang dirawat di

rumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti

mengatasi suatu perpisahan, penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya,

penyesuaian dengan banyak orang yang mengurusinya, dan kerapkali harus


28

berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit serta pengalaman

mengikuti terapi yang menyakitkan (Supartini, 2004:190).

2.5. Konsep Hospitalisasi

2.5.1. Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan keadaan dimana orang sakit berada pada

lingkungan rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dalam perawatan atau

pengobatan sehingga dapat mengatasi atau meringankan penyakitnya (Wong,

2008:754).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang mengharuskan anak untuk

tinggal dirumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan yang sampai

pemulangan kembali ke rumah (Supartini, 2004:186).

2.5.2. Stresor dan Reaksi Anak Akibat Hospitalisasi

Penyakit dan hospitalisasi yang sering kali menjadi krisis pertama yang

harus dihadapi anak. Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal, sangat rentan

terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stres akibat perubahan dari

keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan. Dan anak memiliki jumlah

mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stresor (kejadian-kejadian

yang menimbulkan stres). Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi

oleh usia perkembangan mereka; pengalaman mereka sebelumnya dengan

penyakit, perpisahan, atau hospitalisasi; keterampilan koping yang mereka miliki

dan dapatkan; keparahan diagnosis; dan sistem pendukung yang ada. Stresor

utama dari hospitalisasi antara lain adalah (Wong, 2008:754-758) :

2.5.2.1. Cemas akibat perpisahan


29

Stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia prasekolah, terutama

untuk anak-anak yang berusia 6 sampai 30 bulan, adalah kecemasan akibat

perpisahan, disebut juga depresi anaklitik. Perilaku utama sebagai respons

terhadap stresor ini adalah :

1) Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan

orang tua. Mereka menangis dan berteriak memanggil orang tua mereka,

menolak perhatian dari orang lain, dan kedukaan mereka tidak dapat

ditenangkan.

2) Fase putus asa, tangisan berhenti, dan muncul depresi. Anak tersebut menjadi

kurang begitu aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap makanan, dan

menarik diri dari orang lain.

3) Fase pelepasan, disebut juga penyangkalan. Pada tahap ini secara superfisial

tampak bahwa anak akhirnya menyesuaikan diri terhadap kehilangan. Anak

tersebut menjadi lebih tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan orang

lain, dan tampak membentuk hubungan baru. Akan tetapi, perilaku ini

merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan tanda-tanda

kesenangan.

2.5.2.2. Kehilangan kendali

Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat hospitalisasi

adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan. Kurangnya kendali akan

meningkatkan persepsi ancaman dan dapat memengaruhi keterampilan koping

anak-anak. Banyak situasi rumah sakit yang menurunkan jumlah kendali yang

dirasakan anak. Meskipun stimulus sensorik yang biasanya berkurang, namun

stimulus rumah sakit lainnya seperti cahaya, suara, dan bau dapat berlebihan.
30

Tanpa pemahaman tentang jenis lingkungan kondusif untuk pertumbuhan anak

yang optimal, pengalaman rumah sakit dapat menjadi hal yang memperlambat

perkembangan dan yang lebih buruk membatasinya secara permanen. Karena

kebutuhan anak-anak sangat bervariasi yang bergantung pada usia mereka maka

area utama mengenai kehilangan kendali dalam hal pembatasan fisik, perubahan

rutinitas atau ritual, dan ketergantungan didiskusikan berdasarkan setiap

kelompok usia.

2.5.2.3. Cedera tubuh dan nyeri

Takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi di antara anak-anak.

Konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam, orang dewasa yang mengalami

lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut

terhadap nyeri di masa dewasa dan cenderung menghindari perawatan medis.

Dalam merawat anak, perawat harus menghormati kekhawatiran anak terhadap

cedera tubuh dan reaksi terhadap nyeri sesuai dengan periode perkembangannya.

2.5.3. Efek Hospitalisasi Pada Anak

Anak-anak dapat bereaksi terhadap stres hospitalisasi sebelum mereka

masuk, selama hospitalisasi, dan setelah pemulangan. Konsep sakit yang dimiliki

anak bahkan lebih penting dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam

memperkirakan tingkat kecemasan sebelum hospitalisasi. Hal ini bisa saja

dipengaruhi oleh durasi kondisi dan/atau sebelum hospitalisasi, bisa juga tidak.

Oleh karena itu, perawat tidak boleh terlalu berlebihan memperkirakan konsep

sakit anak dengan pengalaman medis sebelumnya (Wong 2008:763).

2.5.4. Keuntungan Hospitalisasi


31

Meskipun hospitalisasi dapat dan biasanya menimbulkan stres bagi anak-

anak, tetapi hospitalisasi juga dapat bermanfaat. Manfaat yang paling nyata adalah

pulih dari sakit, tetapi hospitalisasi juga dapat memberi kesempatan pada anak-

anak untuk mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan koping

mereka. Lingkungan rumah sakit dapat memberikan pengalaman sosialisasi yang

baru bagi anak yang dapat memperluas hubungan interpersonal mereka. Manfaat

psikologis perlu dipertimbangkan dan dimaksimalkan selama hospitalisasi (Wong,

2008:764).

2.5.5. Stresor dan Reaksi Keluarga Terhadap Anak yang Di Hospitalisasi

Krisis penyakit dan hospitalisasi pada masa anak-anak mempengaruhi

setiap anggota keluarga inti. Reaksi orang tua terhadap penyakit anak mereka

bergantung pada keberagaman faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Hampir semua orang tua berespons terhadap penyakit dan hospitalisasi

anak mereka dengan reaksi yang luar biasa konsisten. Pada awalnya orang tua

dapat bereaksi dengan tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-

tiba dan serius. Setelah realisasi penyakit, orang tua bereaksi dengan marah dan

merasa bersalah atau kedua-duanya. Mereka dapat menyalahkan diri mereka

sendiri atas penyakit anak tersebut atau marah pada orang lain karena beberapa

kesalahan. Bahkan pada kondisi penyakit anak yang paling ringan sekalipun,

orang tua dapat mempertanyakan kelayakan diri mereka sendiri sebagai pemberi

perawatan dan membahas kembali segala tindakan atau kelalaian yang dapat

mencegah atau menyebabkan penyakit tersebut.

Takut, cemas, dan frustasi merupakan perasaan yang banyak diungkapkan

oleh orang tua. Takut dan cemas dapat berkaitan dengan keseriusan penyakit dan
32

jenis prosedur medis yang dilakukan. Sering kali kecemasan yang paling besar

berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan frustasi

sering berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur dan

pengobatan, ketidaktahuan tentang aturan dan peraturan rumah sakit, rasa tidak

diterima oleh petugas, atau takut mengajukan pertanyaan.

Orang tua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat depresi.

Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut sudah berlalu, seperti setelah

pemulangan atau pemulihan yang sempurna. Ibu sering mengungkapkan perasaan

kelelahan fisik dan mental setelah semua anggota keluarga beradaptasi dengan

krisis. Orang tua dapat juga merasa khawatir dan merindukan anak-anak mereka

yang lain, yang mungkin ditinggalkan dalam perawatan keluarga, teman, atau

tetangga. Alasan lain untuk cemas dan depresi berkaitan dengan kekhawatiran

akan masa depan anak, termasuk dampak negatif dari hospitalisasi dan beban

keuangan akibat hospitalisasi tersebut (Wong, 2008:764).

2.6. Konsep Kecemasan

2.6.1. Definisi Kecemasan

Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari

seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang

tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan

perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya (Kusumawati, 2011:60).

Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena

ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (sumber sering kali

tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), suatu perasaan takut akan terjadi

sesuatu yang disebabkan oleh antisipasi bahaya. Hal ini merupakan sinyal yang
33

menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya yang akan datang dan

memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi ancaman (Fitria, 2013:7).

2.6.2. Kecemasan Pada Anak

Anak dapat menampilkan perilaku kecemasan perpisahan dengan menolak

makan, sulit tidur, diam-diam menangis, memukul anak lain atau menolak

bekerjasama selama aktivitas perawatan (Wong, 2008). Penyakit dan hospitalisasi

sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak. Anak-anak, terutama

selama tahun-tahun awal, sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi

karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan,

dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan

stresor (kejadia-kejadian yang menimbulkan stres). Stresor utama dari

hospitalisasi antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan

nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia

perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit,

perpisahan, atau hospitalisasi, keterampilan koping yang mereka miliki dan

dapatkan, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada.

2.6.3. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kecemasan

Faktor presipitasi munculnya kecemasan menurut Stuart dan Laraia (2005)

adalah ancaman terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap terhadap sistem

diri. Ancaman terhadap integritas berhubungan dengan ketidakmampuan

fisiologik atau ketidakmampuan pemenuhan aktivitas sehari-hari dan merasa

kehilngan kontrol. Sedangkan ancaman terhadap sistem diri berhubungan dengan

ancaman terhadap identitas, harga diri dan integrasi fungsi sosial. Faktor-faktor
34

yang bisa mempengaruhi kecemasan pada anak selama hospitalisasi antara lain

adalah usia, jenis kelamin, lama dirawat, dan pengalaman dirawat (Wong, 2008).

Usia anak yang lebih muda mempunyai penguasaan ego yang belum

matang dan belum mampu menyelesaikan masalah sehingga mudah mengalami

kecemasan. Anak yang lebih tua mempunyai penguasaan ego yang lebih matang

sehingga mudah menyelesaikan masalah dan lebih realistis (Stuart & Laraia,

2005).

Jenis kelamin bisa mempengaruhi kecemasan. Dibandingkan dengan anak

laki-laki, anak perempuan memiliki kecenderungan mudah mengalami

kecemasan. Perempuan lebih cemas dibandingkan dengan laki-laki karena laki-

laki lebih aktif, eksploratif dan perempuan lebih sensitif (Purwandari, 2009).

Lama hari dirawat bisa mempengaruhi kecemasan anak. Studi yang

dilakukan oleh purwandari (2009) dengan melakukan pengukuran kecemasan

pada waktu 12 jam setelah anak masuk rumah sakit, 12 jam sebelum keluar rumah

sakit dan 10 hari setelah keluar dari rumah sakit, menunjukkan bahwa lama

dirawat mempengaruhi kecemasan anak.

Pengalaman dirawat sebelumnya bisa berpengaruh terhadap kecemasan.

Anak yang mengalami pengalaman hospitalisasi akan memiliki tingkat kecemasan

yang lebih kecil dan kecemasan menurun setelah keluar dari rumah sakit. Pada

anak yang memiliki pengalaman hospitalisasi memiliki tingkat kecemasan yang

lebih tinggi dan menetap setelah keluar dari rumah sakit (Stuble, 2008).

Sementara itu, menurut Coyne (2006), paparan anak dengan pengalaman

hospitalisasi sebelumnya tidak menurunkan kecemasan hospitalisasi.


35

2.6.4. Tingkat Kecemasan

Tingkat ansietas menurut Stuart dan Sundeen (2007) adalah sebagai

berikut :

2.6.4.1. Ansietas ringan

Tingkat ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-

hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan

persepsinya. Ansietas memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreativitas.

2.6.4.2. Ansietas sedang

Tingkat sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

2.6.4.3. Ansietas berat

Tingkat berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik, dan tidak dapat

berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.

Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada

suatu area lain.

2.6.4.4. Tingkat panik

Tingkat ini berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror.

Rincian terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi


36

peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan

orang lain, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran rasional (Fitria,

2013:8).

2.6.5. Pengukuran Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut

alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala

HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya

symptoms pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS

terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan.

Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor (skala likert) antara 0 (Nol

Present) sampai dengan 4 (severe).

Skala HARS menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) penilaian

kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi (Hidayat, 2004) :

1) Perasaan cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.

2) Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri

dan takut pada binatang besar.

4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

pulas dan mimpi buruk.

5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobby,

sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.


37

7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak

stabil dan kedutan otot.

8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan

pucat serta merasa lemah.

9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan

detak jantung hilang sekejap.

10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik

napas panjang dan merasa napas pendek.

11) Gejala gastroentestinal : sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual

dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di

perut.

12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing.

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma

berdiri, pusing, atau sakit kepala.

14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengerutkan dahi

atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori :

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = satu dari gejala yang ada

2 = sedang separuh dari gejala yang ada

3 = berat lebih dari separuh gejala yang ada

4 = sangat berat semua gejala ada


38

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item

1-14 dengan hasil :

1. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.

2. Skor 7-14 = kecemasan ringan.

3. Skor 15-27 = kecemasan sedang.

4. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.


39

2.7. Penelitian Terkait

2.7.1. Zulfah Riza (2012)

Judul :

Dukungan Keluarga dalam Hospitalisasi Anak Prasekolah di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Tahun 2012

Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang digunakan
Jumlah sampel Keberadaan keluarga sangatlah Hasil penelitian Desain dalam penelitian
sebanyak 50 penting bagi anak. menunjukkan bahwa kategori ini adalah deskriptif.
responden. Dukungan keluarga dapat dukungan yang paling banyak Menggunakan teknik
mempengaruhi kehidupan dan diberikan keluarga dalam
total sampling.
kesehatan anak. Hal ini hospitalisasi anak usia prasekolah
dapat telihat bila dukungan adalah dukungan penilaian.
keluarga sangat baik maka Dukungan keluarga secara
pertumbuhan dan keseluruhan diperoleh hasil
perkembangan anak relatif mayoritas dukungan keluarga
stabil, tetapi bila dukungan dikatakan baik yaitu 46 responden
pada anak kurang baik, (92%). Kemudian untuk dukungan
maka anak akan mengalami keluarga yang cukup berjumlah 4
hambatan pada dirinya dan responden (8%) dan tidak ada
dapat menggangu keluarga yang memberikan
psikologis anak. dukungan yang buruk.

Tabel 2.1. Penelitian terkait Dukungan Keluarga dalam Hospitalisasi Anak Prasekolah di Rumah Sakit Umum Daerah
Langsa Tahun 2012 39
40

2.8. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat di

komunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar

veriabel, baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti (Nursalam, 2009).

Hospitalisasi :
1. Cemas akibat perpisahan
Faktor yang mempengaruhi
1) Fase protes
pengetahuan :
2) Fase putus asa
Pendidikan, Informasi (media
3) Fase Pelepasan
massa, sosial, budaya), ekonomi,
2. Kehilangan kendali
lingkungan, pengalaman, usia
3. Cedera tubuh dan nyeri

Variabel Independent Variabel Dependent

Tingkat pengetahuan orang tua Tingkat kecemasan anak usia


tentang dukungan dalam
perawatan anak sakit : toddler yang mengalami
1. Dukungan informasional hospitalisasi :
2. Dukungan penilaian 1. Tidak ada kecemasan
3. Dukungan instrumental 2. Kecemasan ringan
4. Dukungan emosional 3. Kecemasana sedang
4. Kecemasan berat
Tingkat Pengetahuan :
1. Tahu (know)
2. Memahami
(comprehension)
3. Aplikasi (aplication)

Keterangan :
= Diteliti
= Berpengaruh
= Berhubungan
= Tidak diteliti

Bagan 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua


Tentang Dukungan Dalam Perawatan Anak Sakit Dengan Tingkat
Kecemasan Anak Usia Toddler Yang Mengalami Hospitalisasi Di
Ruang Rawat Inap F
41

2.9. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang

kebenarannya harus diuji secara empiris antar dua variabel. Variabel tersebut

adalah variabel bebas, yakni variabel penyebab, serta variabel terikat yakni

variabel akibat (Supriyanto, S. 2011:90).

Hipotesis kerja (H1) merupakan suatu rumusan hipotesis dengan tujuan

untuk membuat ramalan tentang peristiwa yang terjadi bila suatu gejala muncul

(Hidayat, 2008:40).

Hipotesis nol atau hipotesis statistik (H0) adalah hipotesis yang

menyatakan hubungan yang definitif dan tepat di antara dua variabel. Secara

umum hipotesis nol diungkapkan sebagai tidak terdapatnya hubungan (signifikan)

antara dua variabel atau tidak adanya perbedaan signifikan antara kelompok yang

satu dengan kelompok yang lainnya (Hidayat, 2008: 41).

Hipotesis alternatif (Ha) menyatakan adanya hubungan antara dua variabel

atau lebih, bisa juga menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada

kelompok yang berbeda (Hidayat, 2008:41).

Rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H1 : Ada Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Dukungan

Dalam Perawatan Anak Sakit Dengan Tingkat Kecemasan Anak Usia

Toddler Yang Mengalami Hospitalisasi Di Ruang Rawat Inap F BLUD

RS dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Anda mungkin juga menyukai