Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hipertensi atau tekanan darah tinggi masih menjadi masalah pada hampir
semua golongan masyarakat baik di Indonesia maupun diseluruh dunia. Di
seluruh dunia, peningkatan tekanan darah diperkirakan menyebabkan 7,5 juta
kematian, sekitar 12,8% dari total kematian di seluruh dunia. Di Indonesia,
prevalensi masyarakat yang terkena hipertensi berkisar antara 6-15% dari total
penduduk1.
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik
sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor. Menurut
Kaplan, hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan, dan pusat-
pusat regulasi hemodinamik. Jika disederhanakan hipertensi adalah interaksi
cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR)1.
Masalahnya ialah berapa mmHg tekanan darah itu dapat disebut normal,
sehingga bila tekanan darah diatas nilai kesepakatan normal tersebut, maka ia
dikatakan sebagai hipertensi (tekanan darah tinggi)1. Sebagaimana diketahui
hipertensi adalah penyebab kematian nomor satu di dunia, disusul merokok lalu
dislipidemia, hipertensi juga merupakan fator risiko independen. Sebab terlibat
dalam proses terjadinya mortalitas dan morbiditas dari kejadian penyakit
kardiovaskular (PKV). Jadi, hipertensi bukanlah suatu penanda risiko tapi
memang benar-benar suatu faktor risiko yang independen2.
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda sebab ada faktor-faktor genetik,ras,regional,sosial budaya yang juga
menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan meningkat bersama
dengan bertambahnya umur. Hasil analisa The third National Health and
Nutricion Examination survey (NHANES III) blood pressure data, hipertensi
dapat dibagi menjadi 2 kategori : 26% pada umur muda ( umur <50 tahun),

1
terutama pada laki-laki (63%), 74% pada populasi tua (umur >50 tahun),
utamanya pada wanita (58%) 2.
Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga makin
meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%.
Obesitas, sindroma metabolik, kenaikan berat badan adalah faktor resiko
independen untuk kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alkohol, merokok, stres
kehidupan sehari-hari, kurang olahraga juga berperan dalam kontribusi kejadian
hipertensi1. Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka
sebelum umur 55 tahun resiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar 4 kali
dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak didapatkan hipertensi2.
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu-waktu bisa jatuh ke
dalam keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi
berlanjut menjadi krisis hipertensi dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70
tahun. Namun, krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan
darah normal tanpa penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan teratur
dapat mencegah insiden krisis hipertensi maupun komplikasi lainnya menjadi
kurang dari 1%.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah


Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vascular perifer (peripheral vascular resistance).
Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi
sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik
vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer
ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas pembuluh darah dan
viskositas darah. Semua parameter tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: system saraf simpatis dan parasimpatis, system rennin-
angiotensin-aldosteron (SRAA) dan faktor local berupa bahan-bahan vasoaktif
yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.
Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas
miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis justru
kebalikannya yaitu bersifat defresif. Apabila terangsang, maka akan menurunkan
tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung. RAAS juga bersifat
presif karena dapat memicu pengeluaran angiotensin II yang memiliki efek
vasokonstriksi pembuluh darah dan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan
natrum di ginjal sehingga meningkatkan volume darah.
Sel endotel pembuluh darah juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hipertensi. Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan
vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan
A2 dan angiotensin II local. Sebagian lagi bersifat vasodilator seperti
endothelium-derived relaxing factor (EDRF), yang dikenal juga sebagai nitrit
oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu jantung terutama atrium kanan
memproduksi hormone yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP)

3
yang cenderung bersifat diuretic, natriuretik dan vasodilator yang cenderung
menurunkan tekanan darah. 2

2.2 Definisi
Hipertensi atau yang dikenal dengan tekanan darah tinggi adalah
meningkatnya tekanan darah sistolik 140 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik 90 mmHg.1

2.3.Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi
usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga

4
bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik
dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun.
Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam
dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan
pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien
hipertensi.

Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari
negara maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun ke 1999-2000, insiden hipertensi pada
orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang
hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun
1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi.

2.4 Etiologi
Beberapa etiologi dari hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu4 :
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intrseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan
risiko, seperti obesitas, alkohol dan merokok
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan
lain-lain.

5
2.5 Patogenesis
Ada 4 faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi4 :

1. Peran volume intravaskular


Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan
darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR (total peripheral
resistance) apakah dalam posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan
NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam keluar
bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengekskresi NaCl
ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O
sehingga volume intravascular meningkat.
2. Peran kendali saraf autoimun
Persarafan autonom ada 2 macam, yang pertama ialah saraf simpatis, yang
mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral (termasuk ginjal) melalui
neurotransmitter : katekolamin, epinefrin, maupun dopamin.
Sedangkan saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi saraf
simpatis.
3. Peran renin angiotensin aldosteron (RAA)
Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan
angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan
dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa
apparat juxta glomerulus ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah menjadi
angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin converting enzim).
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit yang
berlanjut terus menerus sepanjang umur. Hipertensi dimulai dengan disfungsi
endotel, lalu berlanjut menjadi disfungsi vaskular yang berakhir dengan TOD
(target organ damage). Dimana disfungsi endotel merupakan sindroma klinis
yang langsung berhubungan dengan peningkatan kejadian kardiovaskular.
Progresivitas sindrom aterosklerotik ini dimulai dengan faktor risiko yang
tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin berubah,
6
hipertensi makin meningkat serta dinding pembuluh darah makin menebal
yang berakhir dengan kejadian kardiovaskular.

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin


tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi
perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila
terdapat gejala maka biasanya bersifat non-spesifik, misalnya sakit kepala atau
pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat, mengakibatkan
kematian karena payah jantung, infark miokard, stroke, atau gagal ginjal. Namun
deteksi dini dan perawatan hipetensi yang efektif dapat menurunkan jumlah
morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan tekanan darah secara
teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi.
Mekanisme bagaimana hipertensi menimbulkan kelumpuhan dan kematian
berkaitan langsung dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri; sehingga beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah
jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi dan
payah jantung. Jantung semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis
koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen miokardium
berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat
hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan
menyebabkan angina atau infark miokardium. Sekitar separuh kematian akibat
hipertensi disebabkan oleh infark miokardium atau gagal jantung5.

2.6 Diagnosis
Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi
adalah the silent killer. Secara sistematik anamnesa dapat dilaksanakan sebagai
berikut :
7
ANAMNESIS
Anammesis meliputi1 :
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
- Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat-obat analgesik dan obat/bahan lain
- Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, dan palpitasi
3. Faktor-faktor resiko
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
- Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
- Kebiasaan merokok
- Pola makan
- Kegemukan, intensitas olahraga
4. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan dan defisit
sensosris atau motoris
- Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal
tinggi lebih dari 2 bantal
- Ginjal : haus, poliuris, nocturia, hematuri, hipertensi disertai kulit pucat
anemis
- Arteri perifer : extremitas dingin
5. Pengobatan hipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, lingkungan

8
Pemeriksaan Fisis

a. Memeriksa tekanan darah


Pengukuran rutin di kamar periksa
- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5 menit,
kaki di lantai dan lengan setinggi jantung
- Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa: panjang
12-13, lebar 35 cm)
- Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti tepat diatas
arteri brachialis)
- Lakukan pengukuran sistolik dan diastolic dengan menggunakan
suara Korotkoff fase I dan V
- Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh diulang
kalau pemeriksaan pertama dan kedua bedanya terlalu jauh.
Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM)
- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic
- Hipertensi office atau white coat
- Hipertensi sekunder
- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan
antihipertensi
b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta kemungkinan
hipertensi sekunder
Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran
tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah <
160/100 mmHg.

9
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL
serum, trigliserida serum)
Elektrolit (kalium)
Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)
Asam urat (serum)
Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)
Elektrokardiografi (EKG)
Beberapa anjuran test lainnya seperti:
Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti
adanya LVH
Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
Foto thorax.

10
2.7 Klasifikasi

Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi menurut WHO-ISH, ESH-ESC, JNC 7


Tekanan Darah Sistolik Tekanan
Darah Diastolik
Klasifikasi tekanan WHO- ESH- JNC-7 WHO- ESH- JNC-
darah ISH ESC ISH ESC 7
Optimal < 120 < 120 < 80 < 80
Normal < 130 120- < 120 < 85 80-84 < 80
129
Tinggi-normal 130-139 130- 85-89 85-89
139
Hipertensi kelas 1 140-159 140- 90-99 90-99
(ringan) 159
Hipertensi kelas 2 160-179 160- 100-109 100-109
(sedang)
179
Hipertensi kelas 3 180 180 110 110
(berat)
Pre-hipertensi 120-139 80-
89
Tahap 1 140-159 90-
99
Tahap 2 160 100

2.8 Penatalaksanaan
Managemen Hipertensi JNC 8

1. Rekomendasi 1
Pada usia 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan tekanan
darah (TD) pada systolic blood pressure (SBP) 150 mmHg, atau diastolic

11
blood pressure (DBP) 90 mmHg dan diturunkan sampai SBP 150 mmHg
dan DBP 90 mmHg. (Rekomendasi Kuat-Grade A)
2. Corollary Recommendation
Pada populasi umum usia 60 tahun, jika terapi farmakologi ternyata
menurunkan tekanan darah SBP lebih rendah dari target (SBP 140 mmHg)
dan terapi dapat ditoleransi tanpa ada efek samping yang menganggu maka
terapi tidak perlu penyusuaian ( Pendapat Ahli-Grade E)
3. Rekomendasi 2
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurunkan TD pada DBP 90 mmHg dan diturunkan sampai tekanan DBP
90 mmHg. (untuk usia 30-59 tahun, Rekomendasi Kuat- Grade A; untuk
usia 18-29 tahun, pendapat ahli-Grade E)
4. Rekomendasi 3
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurukan TD pada SBP 140 mmHg dan diturunkan sampai tekanan SBP <
140 mmHg. (Pendapat Ahli-Grade E)
5. Rekomendasi 4
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan Chronic Kidney Disease (CKD),
inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau
DBP 90 mmHg dan target menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP
< 90 mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
6. Rekomendasi 5
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan diabetes, inisiasi terapi
farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau DBP 90
mmHg dan target menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP < 90
mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
7. Rekomendasi 6
Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk dengan penyakit diabetes, inisiasi
terapi farmakologi harus mencakup, diuretik tipe thiazide, calcium channel
blocker (CCB), angiostensin-converting enzym inhibitor (ACEI) atau
angiostensin receptor blocker (ARB). (Rekomendasi : Sedang-Grade B)
12
8. Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes, initiasi
terapi farmakologi antihipertensi harus mencakup diuretik tipe thiazide,
calcium channel blocker (CCB) (Untuk orang kulit hitam rekomendasi
sedang-grade B; untuk orang kulit hitam dengan diabetes rekomendasi lemah
grade C)
9. Rekomendasi 8
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan CKD, inisiasi terapi farmakologi
antihipertensi harus mencakup obat ACEI atau ARB untuk meningkatkan
fungsi ginjal (Rekomendasi Sedang-Grade B)
10. Rekomendasi 9
Tujuan objektif dari terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah sesuai target terapi. Jika tekanan darah tidak
dapat mencapai target terapi yang diinginkan dalam waktu 1 bulan terapi
tekanan darah, dapat dilakukan peningkatan dosis obat atau menambah
golongan obat kedua dari salah satu golongan obat pada rekomendasi 6
(diuretik tipe thiazide, CCB, ACEI atau ARB). Dokter harus terus menilai
perkembangan TD dan menyesuaikan regimen obat antihipertensi sampai TD
yang diinginkan dapat dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan pengunaan 2 jenis golongan obat antihipertensi, dapat dilakukan
penambahan dan titrasi obat ke 3 dari daftar yang telah tersedia. Jangan
pernah mengunakan obat ACEI dan ARB secara bersamaan pada 1 orang
pasien. Jika target tekanan darah tetap tidak dapat dicapai mengunakan terapi
obat pada rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi obat atau membutuhkan
lebih dari 3 jenis obat, maka obat dari golongan antihipertensi lainnya dapat
digunakan. Rujukan ke spesialis perlu dilakukan jika pasien tidak dapat
mencapai target tekanan darah mengunakan strategi yang di atas atau perlu
dilakukan managemen komplikasi pada pasien.

13
Dosis Obat Hipertensi JNC 8
Inisial Dosis Target Jumlah
Obat Antihipertensi
Dosis Harian, mg RCT, mg Obat / Hari
ACE inhibitors
1. Captopril 50 150-200 2
2. Enalapril 5 20 1-2
3. Lisinopril 10 40 1
Angiostensi receptor blockers (ARB)
1. Eprosartan 400 600-800 1-2
2. Candesartan 4 12-32 1
3. Losartan 50 100 1-2
4. Valsartan 40-80 160-320 1

5. Irbesartan 75 300 1
-Blockers
1. Atenolol 25-50 100 1
2. Metoprolol 50 100-200 1-2
Calcium Channel Blockers
1. Amlodipine 2,5 10 1
2. Diltiazem extended 120-180 360 1
release
3. Nitredipine 10 20 1-2
Thiazide-type diuretics
1. Bendroflumethiazide 5 10 1
2. Chlorthalidone 12,5 12,5-25 1
3. Hydrochlorothiazide 12,5-25 25-100 1-2
4. Indapamide 1,25 1,25-2,5 1

14
15
16
2.9 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan Khusus
2.9.1 Kelainan jantung dan pembuluh darah :

Penyakit jantung dan pembuluh darah yang disertai hipertensi yang


perlu diperhatikan adalah penyakit jantung iskemik (angina pektoris, infark
miokard), gagal jantung dan penyakit pembuluh darah perifer.

a. Penyakit Jantung Iskemik :


Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang
paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien
hipertensi dengan angina pektoris stabil obat pilihan pertama b bloker
(BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB). Pada pasien
dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil atau infark
miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan BB dan ACEI dan
kemudian dapat ditambahkan antihipertensi lain bila diperlukan. Pada
pasien pasca infark miokard, ACEI, BB dan antagonis aldosteron
terbukti sangat mengungtungkan tanpa melupakan penata laksanaan lipid
profil yang intensif dan penggunaan aspirin.

b. Gagal Jantung :
Gagal jantung dalam bentuk disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik
terutama disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung iskemik.
Sehingga penatalaksanaan hipertensi dan profil lipid yang agresif
merupakan upaya pencegahan terjadinya gagal jantung. Pada pasien
asimtomatik dengan terbukti disfungsi ventrikel rekomendasinya adalah
ACEI dan BB . Pada pasien simtomatik dengan disfungsi ventrikel tau
penyakit jantung end stage direkoendasikan untuk menggunakan
ACEI, BB dan ARB bersama dengan pemberian diuretik loop.
Pada situasi seperti ini pengontrolan tekanan darah sangat penting untuk
mencegah terjadinya progresifitas menjadi disfungsi ventrikel kiri.

17
c. Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Arteri Perifer (PAP) :
REKOMENDASI :
KELAS I :
Pemberian antihipertensi pada PAP ekstremitas inferior dengan tujuan
untuk mencapai target tekanan darah < 140/90 mmHg (untuk non-
diabetes) atau target tekanan darah < 130/80 mmHg(untuk diabetes). BB
merupakan agen antihipertensi yang efektif dan TIDAK merupakan
kontraindikasi untuk pasien hipertensi dengan PAP.

KELAS IIa :
Penggunaan ACEI pada pasien simtomatik PAP ekstremitas bawah
beralasan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.

KELAS IIb :
Penggunaan ACEI pada pasien asimtomatik PAP ekstremitas bawah
dapat dipertimbangkan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.
Antihipertensi dapat menurunkan perfusi tungkai bawah dan berpotensi
mengeksaserbasi simtom klaudikasio ataupun iskemia tungkai kronis.
Kemungkinan tersebut harus diperhatikan saat memberikan
antihipertensi. Namun sebagian besar pasien dapat mentoleransi terapi
antihipertensi tanpa memperburuk simtom PAP dan penanggulangan
sesuai pedoman diperlukan untuk tujuan menurunkan risiko kejadian
kardivaskular.

2.9.2 Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal


Bila ada gangguan fungsi ginjal, maka haruslah dipastikan dahulu
apakah hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal hipertensi lama,
hipertensi primer) ataupun gangguan/penyakit ginjalnya yang
menimbulkan hipertensi. Masalah ini lebih bersifat diagnostik, karena
penanggulangan hipertensi pada umumnya sama, kecuali pada hipertensi

18
sekunder (renovaskular,hiperaldosteronism primer) dimana
penanggulangan hipertensi banyak dipengaruhi etiologi penyakit.

1. Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal :


a Pada keadaan ini penting diketahui derajat gangguan fungsi ginjal
(CCT, creatinin) dan derajat proteiuria.
b Pada CCT < 25 mL/men diuretik golongan thiazid (kecuali
metolazon) tidak efektif.
c Pemakaian golongan ACEI/ARB perlu memperhatikan penurunan
fungsi ginjal dan kadar kalium.
d Pemakaian golongan BB dan CCB relatif aman.
2. Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:
a Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan
penurunan asupan garam/diuretik golongan furosemide/dialisis.
b Penyakit ginjal renovaskular baik stenosis arteri renalis maupun
aterosklerosis renal dapat ditanggulangi secara intervensi
(stenting/operasi) ataupun medikal (pemakaian ACEI dan ARB
tidak dianjurkan bila diperlukan terapi obat. Aldosteronism primer
(baik karena adenoma maupun hiperplasia kelenjar adrenal) dapat
ditanggulangi secara medikal (dengan obat antialdosteron) ataupun
intervensi.
c Disamping hipertensi, derajat proteinuri ikut menentukan progresi
fungsi ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara
maksimal dengan pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non
dihidropiridin.

Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal:

1. Tekanan darah diturunkan sampai < 130/80 mmHg (untuk


mencegah progresi gangguan fungsi ginjal).
2. Bila ada proteinuria dipakai ACEI/ARB (sepanjang tak ada
kontraindikasi).
19
3. Bila proteinuria > 1g/24 jam tekanan darah diusahakan lebih
rendah ( 125/75 mmHg).

4. Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjal pada pemakaian


ACEI/ARB (kreatinin tidak boleh naik > 20%) dan kadar kalium
(hiperkalemia).

2.9.3 Penanggulangan Hipertensi pada Usia Lanjut

Hipertensi pada usia lanjut mempunyai prevalensi yang tinggi, pada usia
diatas 65 tahun didapatkan antara 60-80%. Selain itu prevalensi gagal jantung dan
stroke juga tinggi, keduanya merupakan komplikasi hipertensi. Oleh karena itu,
penanggulangan hipertensi amat penting dalam mengurangi morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular pada usia lanjut.

Sekitar 60% hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi sistolik terisolasi
(isolated systolic hypertension) dimana terdapat kenaikan tekanan darah sistolik
disertai penurunan tekanan darah diastolik. Selisih dari tekanan darah sistolik dan
tekanan darah diastolik disebut sebagai tekanan nadi (pulse pressure), terbukti
sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas yang uruk. Peningkatan tekanan darah
sistolik disebabkan terutama oleh kekakuan arteri atau berkurangnya elastisitas
aorta. Penanggulangan hipertensi pada usia lanjut amat bermanfaat dan telah
terbukti dapat mengurangi kejadian komplikasi kardiovaskular. Pengobatan
dimulai bila :

a TD sistolik 160 mmHg bila kondisi dan harapan hidup baik.


b TD sistolik 140 bila disertai DM atau merokok atau disertai faktor risiko
lainnya.Oleh karena pasien usia lanjut sudah mengalami penurunan fungsi
organ, kekauan arteri, penurunan fungsi baroreseptor dan respons
simpatik, serta autoregulasi serebral, pengobatan harus secara bertahap dan
hati-hati (start slow, go slow) hindarkan emakaian obat yang dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik.

20
Seperti halnya pada usia muda, penanggulangan hipertensi pada usia lanjut
dimulai dengan perubahan gaya hidup. Diet rendah garam, termasuk menghindari
makanan yang diawetkan dan penurunan berat pada obesitas, terbukti dapat
mengendalikan tekanan darah. Pemberian obat dilakukan apabila penurunan tidak
mencapai target. Kejadian komplikasi hipotensi ortostatik sering terjadi, sehingga
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mengenai kemungkinan adanya hal ini
sebelum obat ini.

Obat yang dipakai pada usia lanjut sama seperti yang dipergunakan pada
usia yang lebih muda. Untuk menghindari komplikasi pengobatan, maka dosis
awal dianjurkan separuh dosis biasa, kemudian dapat dinaikkan secara bertahap,
sesuai dengan respons pengobatan dengan mempertimbangkan kemungkian efek
samping obat. Obat-obat yang biasa dipakai meliputi diuretik (HCT) 12,5 mg,
terbukti mencegah komplikasi terjadinya penyakit jantung kongestif.
Keuntungannya murah dan dapat mencegah kehilangan kalsium tulang. Obat lain
seperti golongan ACEI, CCB kerja panjang dan obat-obat lainnya dapat
dipergunakan. Kombinasi 2 atau lebih obat dianjurkan untuk memperoleh efek
pengobatan yang optimal.

Target pengobatan harus mempertimbangkan efek samping, terutama


kejadian hipotensi ortostatik. Umumnya tekanan darah sistolik diturunkan sampai
< 140 mmHg. Target untuk tekanan darah diastolik sekitar 85-90 mmHg. Pada
hipertensi sistolik penurunan sampai tekanan darah diastolik 65 mmHg atau
kurang dapat mengakibatkan peningkatan kejadian stroke. Oleh karena itu
sebaiknya penurunan tekanan darah tidak sampai 65 mmHg.

2.9.4 Penanggulangan Hipertensi pada Diabetes


Indikasi pengobatan : Bila tekanan darah sistolik 130 mmHg dan /atau
tekanan darah diastolic 180 mmHg

21
Sasaran (target penurunan) tekanan darah :
- Tekanan darah < 130/80 mmHg.
- Bila disertai proteinuria 1g/24 jam : 125/75 mmHg.
Pengelolaan :
- Non Farmakologis :
Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat badan,
meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta
mengurangi konsumsi garam.
- Farmakologis :
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi :
Pengaruh terhadap profil lipid
Pengaruh terhadap metabolisme glukosa
Pengaruh terhadap resistensi insulin
Pengaruh terhadap huipoglikemia terselubung.
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan :
*ACEI
*ARB
*Beta-bloker
* Diuretik dosis rendah
* Alfa bloker
* CCB golongan non-dihidropiridin.

Pada diabetes dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan darah diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan
gaya hidup sampai 3 bulan. Bial gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi
farmakologis. Diabetisis dengan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 90 mmHg, disamping perubahan gaya hidup, dapat diberikan
terapi farmakologis secara langsung. Diberikan terapi kombinasi apabila target
terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi

22
2.10 Krisis hipertensi
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh
tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien
hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi
Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu:
Hipertensi darurat (emergency hypertension) dimana selain tekanan darah yang
sangat tinggi terdapat kelainan / kerusakan target orgn yang bersifat progresif,
sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam)
agar dapat mencegah / membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension) dimana terdapat tekanan darah
yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/ kerusakan organ target yang
progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat
(dalam hitungan jam sampai hari).
Pengobatan hipertensi urgensi cukup dengan obat oral yang bekerja cepat
sehingga menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam. Pengobatan hipertensi
darurat memerlukan obat yang segera menurunkan tekanan darah dalam menit-
jam sehingga umumnya bersifat parenteral.

Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia


Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian Khusus
Nifedipin Diulang 15 5-15 menit 4-6 jam Gangguan
5-10 mg menit coroner
Captopril Diulang per 15-30 menit 6-8 jam Stenosis a.renalis
12,2-25 mg jam
Klonidin Diulang per 30-60 menit 8-16 jam Mulut kering,
75-150 mg jam ngantuk
Propranolol Diulang per 15-30 menit 3-6 jam Bronkokonstriksi,
10-40 mg jam blok jantung

23
Obat hipertensi parenteral yang dipakai di Indonesia
Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian
Khusus
Klonidin iv 6 amp per 30-60 menit 24 jam Ensefalopati
150 ug 250cc dengan
Glukosa 5% gangguan
microdrip coroner
Nitrogliserin 10-50 ug/cc 2-5 menit 5-10 menit
iv per 500cc
Nikardipin iv 0,5- 6 ug 1-5 menit 15-30 menit
75-150 mg /kg/menit
Diltiazem iv 5-15 ug 15-30 menit
/kg/menit
lalu sama 1-
5
ug/kg/menit
Nitroprusid 0,25 Langsung 2-3 menit
iv ug/kg/menit

2.11 Pencegahan
Modifikasi gaya hidup cukup efektif dapat menurunkan kardiovaskular
dengan biaya yang sedikit dan risiko minimal. Pencegahan ini tetap dianjurkan
meski harus disertai obat antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan
dosis obat. Langkah-langkah yang dianjurkan adalah sebagai berikut 7 :
a Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (Indeks massa tubuh 27)
b Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)
c Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat
d Mengurangi asupan natrium
e Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam

24
f makanan.

2.12 Komplikasi 4
Stroke
Dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke otak yang diperdarahi
berkurang.
Infark miokard
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus
yang menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi
kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak
dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebankan infark.
Gagal ginjal
Dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya membran glomerulus, aliran
darah ke unit fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang sering dijumpai
pada hipertensi kronis.

2.13 Prognosis
Hipertensi adalah the disease cardiovaskular continuum yang
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target
organ (TOD). Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap kenaikan
sistolik/diastolik 20/10 mmHg resiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular akan meningkat 2 kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati
meningkatkan 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke,
25% kematian PJK, 50% kematian kongestif jantung, 25% kematian
25
premature, serta menjadi penyebab tersering untuk penyakit ginjal kronis dan
penyebab gagal ginjal terminal.
Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti
penurunan stroke 35%-40%, infark miokard 40%-45%, dan lebih dari 50%
gagal jantung. Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium I ( TD
>140-159 mmHg dan atau 90-99 mmHg), dengan faktor kardiovaskular
tambahan, bila berhasil mencapai penurunan TD sistolik 12 mmHg yang
dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah 1 kematian dari 11
penderita yang telah diobati. Namun, belum ada studi terhadap hasil terapi
pada penderita tekanan darah pre hipertensi.1

26
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik 140 mmHg dan


atau tekanan darah diastolik 90 mmHg secara persisten. Penyebab
terseringhipertensidibagi menjadi dua golongan, yaitu : Hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi
idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus dan Hipertensi sekunder atau hipertensi
renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Tatalaksana hipertensi yakni menggunakan
obat-obatan anti hipertensi dan perubahan gaya hidup. Pencegahan dari hipertensi
dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup seperti : menurunkan berat badan,
meningkatkan aktivitas fisik, berhenti merokok, serta mengurangi asupan lemak
jenuh dan kolesterol dalam makanan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. 2015. Pendekatan Klinis
Hipertensi. Jakarta : Interna Publishing, h : 2261

2 Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Kardiovaskular. 2015. Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskular
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_
penyakit_kardiovaskular_2015.pdf

3 Madhur, Meena, dkk 2016 Hypertension. MEDSCAPE. (online).(


http://emedicine.medscape.com/article/241381), ( diakses Desember 2016).

4 Elizabeth, Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Hipertensi. Jakarta :


EGC, h : 487

5 Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit : EGC, h : 582-583

6 Muhadi. 2016. Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia

7 Kapita Selekta Kedokteran. Jilid Ketiga. 2001. Hipertensi. FK UI : Media


Aesculapius, h : 518

28

Anda mungkin juga menyukai