Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan kekuatan, berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan paper ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF Paru RSUD dr.Pirngadi Medan.

Penyusunan paper ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan
terima kasih kepada para dokter dan staf yang telah membantu dan membimbing
selama proses pendidikan di SMF Paru ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penulisan paper ceramah ini


masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk
memperbaiki kesalahan dan untuk menambah ilmu pengetahuan agar paper yang
dihasilkan berkualitas.

Medan, 17 Maret 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi ..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang ............................................................................................1

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi dan Etiologi ............................................................................2

2.2. Epidemiologi ........................................................................................2

2.3. Klasifikasi .............................................................................................3

2.4. Patogenesis ...........................................................................................5

2.5. Cara Penularan......................................................................................6

2.6. Diagnosis...............................................................................................7

2.6.1. Gejala Klinis..............................................................................7

2.6.2. Pemeriksaan Fisik......................................................................8

2.6.3. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis..............................................8

2.6.4. Pemeriksaan Bactec...................................................................9

2.6.5. Pemeriksaan Radiologis...........................................................10

2.7. Penatalaksanaan...................................................................................10

2.8. Pencegahan..........................................................................................17

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.................................................................................................18

RUJUKAN 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosa dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang tidak efektif untuk
penyakit yang aktif, biasa terjadi penyakit yang kronik dan berakhir dengan
kematian.1

Mycobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk


dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian
3 juta orang per tahun. Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari
kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan
95% penderita TB berada di negara-negara berkembang.3

Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka


kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan kedua
di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus
meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap
dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan


menyajikan masalah ini dalam bentuk sebuah laporan kasus agar dapat menjadi
bahan masukan kepada diri penulis dan kita semua dapat mendiagnosis serta
memberikan terapi yang tepat pada penderita tuberkulosis.

1
BAB II
ISI

2.1 Definisi dan Etiologi

TB paru adalah infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium Tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan
adanya reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sumber penularan umumnya
adalah penderita Tb yang dahaknya mengandung Basil Tahan Asam(BTA).

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit


melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar
0,3 - 0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids
yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel
bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan
bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam.

2.2 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency . Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di
dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.
Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182
kasus per 100.000 penduduk.

2
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberculosis pada tahun
2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)


tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan
penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil
laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun,
2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah
perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15
- 49 tahun. Pada tahun 2004, WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul
115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap
100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke-3 di dunia
untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

2.3 Klasifikasi

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)


a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif


dan biakan positif

3
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif.

Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita


a. Kasus baru
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif
kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
e. Kasus Gagal

4
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung

2.4 Patogenesis

A. Tubekulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang
pneumonia, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :

5
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,


garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

B. Tuberkulosis Post Primer


Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian
setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil.

2.5 Cara Penularan

Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui


airborne infection, sehingga menyebabkan terjadinya infeksi primer yang
akan berlajut pada penyebaran bronkogen, penyebaran limfogen, dan
penyebaran hematogen. TB dapat menginfeksi hampir di seluruh organ tubuh
seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain. Paru-paru merupakan organ tubuh yang paling sering
terkena penyakit TB ini.4

Penyebaran akan berhenti jika jumlah kuman yang masuk sedikit dan
telah terbentuk daya tahan tubuh yang spesifik. Cara penularan TB paru
melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa dan su,mber penularan TB adalah
seesorang dengan BTA positif.4

6
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko penularan penyakit TB paru
antara lain:4
a umur dan jenis kelamin.
b Individu yang kontak dengan klien TB aktif.
c Individu imunosupresif (lansia, pasien dengan kanker, individu dengan terapi
kortikosteroid, individu yang terinfeksi HIV, individu dengan diabetes
militus).
d Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain-lain.
e Individu yang tinggal di institusi (misal: fasilitas perawatan jangka panjang,
institusi psikiatrik, penjara).
f Individu yang tinggal di perumahan yang padat, kumuh dan sanitasi yang
buruk.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Gejala Klinis

a) Gejala sistemik/umum
1. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

3. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan


malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b) Gejala khusus
1. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-
paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
2. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.

7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung


luas dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis
dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya
apeks paru.

Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal


fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau
adanya ronkhi terutama di apeks paru.

Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi


trakea kesisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas
amporik pada cavitas atautanda adanya penebalan pleura.

2.6.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,


menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS)9.

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu


pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan
dengan Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana
pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan)8.

8
Tabel 2.1 Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis)(7)

JUMLAH BTA INTERPRETASI


Tidak ditemukan BTA dalam Negatif
100 lapang pandang
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 Di tulis dalam jumlah kuman
lapang pandang yang
Ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA + (1+)
dalam 100 lapang pandang
Ditemukan 1-10 BTA dalam ++ (2+)
1 lapang pandang
Ditemukan >10 BTA dalam +++ (3+)
1 lapang pandang

Interpretasi hasil pemeriksaan BTA :


a. Bila 3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali negatif : BTA +
b. Bila 1 kali positif, 2 kali negatif : ulangi BTA 3 kali
c. Bila 1 kali positif, dua kali negatif : BTA +
d. Bila 3 kali negatif : BTA

2.6.4 Pemeriksaan Bactec

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah


metode radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam
lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth
indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah
dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)10.

2.6.5 Pemeriksaan radiologis

9
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain
atas indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus
dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu
dilakukan foto toraks bila9:
a. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
b. Hemoptisis berulang atau berat
c. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif 11:


a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas dan segmen superior lobus bawah paru.
b. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan
atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi Pleura

Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif 11:


a. Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
dan atau segmen superior lobus bawah.
b. Kalsifikasi.

c. Penebalan pleura.

2.7 Penatalaksanaan

Obat yang digunakan dalam pengobatan TB paru adalah sebagai berikut:


1. Isoniazid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 %
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang, Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 10 mg/kg BB. Memiliki efek samping hepatotoksik.5

10
2. Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Dosis 10mg/kg BB diberikan sama
untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. Efek
samping anoreksia, mual, nyeri perut, hepatotoksik, anemia hemolitik, urin
berwarna merah.5
3. Pirazinamid ( Z )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 35 mg/kg BB. Efek samping nyeri sendi, hepatotoksik, anoreksia,
nausea, gastritis. 5
4. Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari
sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. 5
5. Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15
mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten s3 kali seminggu
digunakan dosis 30 mg/kg/BB. Efek samping hepatotoksik, penurunan
visus. 5

Prinsip pengobatan pasien TB adalah sebagai berikut:

1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular

11
dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif
menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif. 5

2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namum dalam jangka waktu yang lebih lama.

WHO dan IUATLD ( Internatioal Union Against Tuberculosis and


lung Disease ) me-rekomendasikan paduan OAT Standar, yaitu : 5

Kategori 1:
- 2HRZE / 4 H3R3
- 2HRZE / 4 HR

- 2HrZE / 6 HE

Kategori 2:
- 2HRZES / HRZE /5H3R3E3
- 2HRZES / HRZE / 5HRE

Kategori 3:
- 2HRZ / 4H3R3
- 2 HRZ / 4 HR
- 2HRZ / 6 HE

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia tahun 2007


menggunakan paduan OAT

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

12
Di samping kedua kategori ini, disediakan panduan OAT sisipan:
HRZE dan OAT anak: 2HRZ/4HR. 5

Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk


paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori
anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien. 5

Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. 5

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk


memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan. 5

Paduan OAT dan peruntukannya

1. Kategori-1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. TB paru BTA positif

b. TB paru BTA negatif foto toraks positif

c. TB ekstra paru

13
Tabel 2.2 Dosis paduan OAT KDT kategori-1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali seminggu


Berat
selama 56 hari RHZE selama 16 minggu RH
badan
(150/75/400/275) (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2.3 Dosis paduan OAT Kombipak kategori-1: 2HRZE/4H3R3

Dosis per hari/kali Dosis per hari/kali


menelan obat Tahap menelan obat Tahap
Jenis obat
Intensif 2 bulan, 56 Lanjutan 4 bulan, 48
hari hari

Tablet Isoniasid @
300mg 1 2

14
Kaplet Rifampisin @
450mg 1 1

Tablet Pirazinamid @
500mg 3

Tablet Etambutol @
250mg 3

2. Kategori-2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:

a. Pasien kambuh (relaps)

b. Pasien gagal (failure)

c. Pasien putus obat (default)

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT KDT kategori-2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

tahap intensif tiap tahap sisipan tiap tahap lanjutan 3 kali


berat
hari RHZE hari RHZE seminggu RH
badan
(150/75/400/275)+S (150/75/400/275) (150/150)+E(400)
(kg)
selama 56 hari selama 28 hari selama 20 minggu

2 tab 4 KDT +
2 tab 2 KDT + 2 tab
500mg Streptomisin 2 tab 4 KDT
Etambutol
30-37 inj.

15
3 tab 4 KDT +
3 tab 2 KDT + 3 tab
750mg Streptomisin 3 tab 4 KDT
Etambutol
38-54 inj.

4 tab 4 KDT +
4 tab 2 KDT + 4 tab
1000mg 4 tab 4 KDT
Etambutol
55-70 Streptomisin inj.

5 tab 4 KDT +
5 tab 2 KDT + 5 tab
1000mg Streptomisn 5 tab 4 KDT
Etambutol
71 inj

Tabel 2.5 Dosis paduan OAT Kombipak kategori-2:


2HRZES/HRZE/5H3R3E3

tahap intensif tahap sisipan tahap lanjutan 3


tiap hari selama tiap hari selama kali seminggu
jenis obat
2 bulan (56 1 bulan (28 selama 4 bulan
hari/kali) hari/kali) (60 hari/kali)

tablet Isoniazid
1 1 2
@300mg

kaplet Rifampisin
1 1 1
@450mg

tablet
Pirazinamid 3 3
@500mg

tablet Etambutol 3 3 1

16
@250mg

tablet Etambutol
2
@400mg

Streptomisin inj 0,75g

Catatan:

pasien berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah


500mg tanpa memperhatikan berat badan.
perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml=250mg)
OAT sisipan yang diberikan pada tahap sisipan paduan kategori-2 juga
diberikan pada kategori-1 jika pada akhir pengobatan intensif masih tetap
ditemukan BTA positif.

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida


seperti Kanamisin dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih
rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan
risiko terjadinya resistensi pada OAT lapis kedua.

2.8 Pencegahan

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran


penyakit ini adalah sebagai berikut:

1. Imunisasi BCG pada bayi.

2. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang
bergizi

17
3. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.

5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.

6. Tidur dan istirahat yang cukup

7. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur


dan ruangan lainnya.

8. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau
tissu.

9. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi


lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

10. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang


disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang
ditularkan melalui droplet yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi. TB paru merupakan penyakit infeksi paru yang dapat
disembuhkan dengan terapi yang benar dan adekuat serta dengan lama pengobatan
minimal enam bulan.

18
RUJUKAN

1. Daniel, T.M. 1999. Tuberkulosis.Dalam : Asdie,


A.H., (editor edisi bahasa indonesia). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. edisi 13 (hal 799-808). EGC, Jakarta-Indonesia.

2. Anonim. 2009. Situasi Epidemiologi TB Indonesia.


(http://www.tbcindonesia.or.id. Diakses 6 April 2012.)

3. Amin, Z., A. Bahar. 2007. Tuberkulosis Paru.


Dalam: Sudoyo, A.W, dkk (editor). Ilmu Penyakit Dalam (hal. 988-993).
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, Indonesia.

4. Puspita, Dessy Rindra. 2015. Hubungan Dukungan


Keluarga Dalam Perawatan Kesehatan Anggota Keluarga Dengan Perilaku

19
Pencegahan Penularan Oleh Klien Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas
Patrang Kabupaten Jember. Tesis tidak diterbitkan. Malang.

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011.


Tuberkulosis Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan di Indonesia.

6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB), Jakarta.

7. Depkes RI. 2001. Pedoman Umum Promosi


Penanggulangan Tuberculosis, Jakarta , 2001

20

Anda mungkin juga menyukai