Anda di halaman 1dari 5

Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri laut yang bersifat halofil (habitatnya ada pada

lingkungan dengan kondisi garam yang tinggi).[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Bakteri ini pertama kali diisolasi dari Shirasu, sarden muda yang dikeringkan kurang sempurna,
karena terjadi wabah keracunan makanan di Jepang pada tahun 1950. Setelah penelitian lebih
lanjut, ditemukan bahwa hampir setengah kasus keracunan makanan hingga timbul
penyakit gastroenteritis yang terjadi di Jepang merupakan akibat dari bakteri ini. Hal ini
dipengaruhi pola konsumsi dan budaya masyarakat Jepang yang terbiasa untuk mengonsumsi
hidangan laut dalam keadaan mentah atau setengah matang, sehingga bakteri ini masih dapat
tumbuh. Bakteri ini sangat banyak ditemukan di perairan Jepang pada musim panas. Kasus
keracunan makanan lainnya dilaporkan berasal dari luar Jepang pada tahun 1971 di Pantai
Timur wilayah Amerika Serikat. Kasus bakteri patogen untuk makanan laut mulai terungkap dan
diketahui penyebabnya adalah bakteri ini.[2]

Karakteristik[sunting | sunting sumber]


Bakteri ini dapat diisolasi dari perairan dekat pesisir dengan suhu di atas 15 C. Organisme ini
dapat dideteksi pada sedimen dengan suhu di bawah 15 C. Bakteri ini berasosiasi
dengan zooplankton yang akan naik ke permukaan pada suhu hangat. Sebagian
besar strain bakteri ini menunjukkan aktivitas hemolisis tipe bila ditumbuhkan pada agar darah
khusus, yaitu Wagatsuma agar.[2]

Gejala dan tanda


Gastroenteritis biasanya disertai dengan diare dan muntah,[5] atau, meskipun tidak terlalu
banyak terjadi, hanya disertai dengan salah satu gejala tersebut.[1] Kejang perut juga bisa
timbul.[1] Tanda-tanda dan gejala biasanya muncul 1272 jam setelah terjangkit agen
penginfeksi.[6] Bila disebabkan oleh virus, kondisi ini biasanya membaik dalam satu
minggu.[5] Beberapa gejala yang diakibatkan oleh virus juga mungkin diasosiasikan dengan
demam, letih, sakit kepala, dan nyeri otot.[5] Jika tinja mengandung darah, lebih kecil
kemungkinannya disebabkan oleh virus [5] dan lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh
bakteri.[7] Beberapa infeksi bakteri juga bisa diasosiasikan dengan nyeri perut akut dan
mungkin bertahan selama beberapa minggu.[7]

Anak-anak yang terinfeksi rotavirus biasanya sembuh total dalam tiga sampai delapan hari.[8]
Akan tetapi, di negara-negara miskin, perawatan untuk infeksi akut seringkali sulit
didapatkan sehingga biasanya diare terus-menerus terjadi.[9] Dehidrasi merupakan komplikasi
umum dari diare,[10] dan pasien anak dengan tingkat dehidrasi parah bisa mengalami
pengisian kembali pembuluh kapiler berkepanjangan, turgor kulit yang buruk, dan
pernapasan abnormal.[11] Infeksi berulang biasanya ditemukan di tempat-tempat dengan
sanitasi buruk, dan malagizi,[6] yang dapat menghambat pertumbuhan, dan keterlambatan
kognitif jangka panjang.[12]

Artritis reaktif terjadi pada 1% dari kelompok yang terinfeksi spesies Campylobacter , dan
0,1% mengalami sindrom Guillain-Barre.[7] Sindrom uremik-hemolitik (HUS) dapat terjadi
karena infeksi spesies Escherichia coli atau Shigella yang mengeluarkan racun Shiga,
sehingga mengakibatkan jumlah trombosit yang rendah, fungsi buruk ginjal, dan jumlah sel
darah merah yang rendah (karena kerusakannya).[13] Anak-anak lebih cenderung mengalami
HUS dibandingkan orang dewasa.[12] Beberapa infeksi virus mungkin mengakibatkan kejang
infantil jinak.[1]
Penularan

Penularan dapat terjadi melalui konsumsi air yang terkontaminasi, atau ketika sekelompok
orang menggunakan benda pribadi mereka bersama-sama.[6] Di wilayah yang memiliki
musim hujan dan musim kemarau, kualitas air biasanya memburuk selama musim hujan, dan
ini berhubungan dengan saat terjadinya wabah.[6] Di negara-negara dengan beberapa musim,
infeksi lebih banyak terjadi pada musim dingin.[12] Pemberian susu untuk bayi menggunakan
botol yang tidak disterilisasikan dengan benar adalah penyebab terbesar dalam skala global.[6]
Tingkat penularan juga berhubungan dengan kebersihan yang buruk, terutama pada kalangan
anak-anak,[5] di perumahan padat,[24] dan pada kelompok yang pernah mengalami gizi
buruk.[12] Setelah mengembangkan toleransi terhadap penyakit ini, orang dewasa dapat
menjadi pembawa organisme tertentu tanpa menunjukkan tanda atau gejala, dan mereka
berperan sebagai reservoir alami dari penularan.[12] Beberapa agen (seperti Shigella) hanya
muncul pada primata, sedangkan yang lainnya dapat muncul pada berbagai jenis binatang
(seperti Giardia).[12]

Non-infeksi

Ada beberapa penyebab non-infeksi peradangan saluran pencernaan.[1] Beberapa penyebab


yang lebih umum meliputi obat-obatan (seperti NSAID), makanan tertentu seperti laktosa
(bagi mereka yang tidak bisa mengonsumsi laktosa), dan gluten (bagi mereka dengan
penyakit seliak).Penyakit Crohn juga merupakan sumber non-infeksi gastroenteritis (yang
seringkali akut).[1] Penyakit yang disebabkan oleh racun juga mungkin terjadi. Beberapa
kondisi yang diakibatkan oleh makanan dikaitkan dengan mual, muntah, dan diare termasuk:
keracunan ciguatera karena konsumsi ikan pemangsa yang terkontaminasi, scombroid yang
diasosiasikan dengan konsumsi jenis ikan tertentu yang telah basi, keracunan tetrodotoksin
karena konsumsi antara lain ikan buntal, dan botulisme yang biasanya disebabkan oleh
makanan diawetkan secara tidak benar.[25]

Patofisiologi
Gastroenteritis diartikan sebagai muntah-muntah atau diare yang disebabkan oleh infeksi di
usus kecil atau usus besar.[12] Perubahan di usus kecil biasanya bukan peradangan, sedangkan
di usus besar merupakan peradangan.[12] Jumlah patogen yang dapat menyebabkan infeksi
bervariasi dari satu (untuk Cryptosporidium) sampai 108 (untuk Vibrio cholerae).[12]

Diagnosis
Gastroenteritis biasanya didiagnosis secara klinis, berdasarkan tanda-tanda dan gejala yang
dialami seorang pasien.[5] Tidak ada perbedaan dalam penanganan kondisi apa pun
penyebabnya, sehingga menentukan penyebab penyakit ini tidak diperlukan.[6] Akan tetapi,
kultur tinja harus dilakukan pada mereka yang tinjanya mengandung darah, mereka yang
mungkin keracunan makanan, dan mereka yang baru bepergian ke negara berkembang.[16] Uji
diagnostik juga dapat dilakukan untuk observasi.[5] Karena hipoglikemia terjadi pada sekira
10% bayi dan anak kecil, pengukuran glukosa serum pada populasi ini sangat dianjurkan.[11]
Elektrolit dan fungsi ginjal juga harus diperiksa ketika muncul kekhawatiran terhadap
terjadinya dehidrasi akut.[16]
Dehidrasi

Penentuan apakah seseorang mengalami dehidrasi atau tidak adalah bagian penting dari
penilaian. Dehidrasi secara umum dibagi menjadi kasus ringan (35%), sedang (69%), dan
berat (10%).[1] Pada anak-anak, tanda paling akurat dari dehidrasi sedang atau berat adalah
pengisian kembali pembuluh kapiler yang berkepanjangan, turgor kulit yang buruk, dan
pernapasan yang tidak normal.[11][26] Penemuan lain yang berguna(jika dikombinasikan)
termasuk mata cekung, aktivitas yang berkurang, kurangnya air mata, dan mulut kering.[1]
Urin yang normal dan konsumsi cairan oral dapat memastikan kondisi ini.[11] Uji
laboratorium memberikan lebih sedikit manfaat klinis dalam penentuan tingkat dehidrasi.[1]

Diagnosis diferensial

Penyebab potensial lain dari tanda dan gejala yang sama seperti pada gastroenteritis yang
perlu dikesampingkan meliputi usus buntu,volvulus, penyakit usus inflamatori, infeksi
saluran kencing, dan diabetes melitus.[16] Insufisiensi pankreas, sindrom usus pendek,
penyakit Whipple, penyakit seliak, dan penyalahgunaan pencahar juga harus
dipertimbangkan.[27] Diagnosis diferensial agak rumit bila seseorang hanya menunjukkan
gejala muntah atau diare (alih-alih keduanya).[1]

Usus buntu dan muntah, sakit perut, dan beberapa kali diare terjadi pada hampir 33% kasus.[1]
Ini bertolak belakang dengan diare yang sering yang umum terjadi pada gastroenteritis.[1]
Infeksi paru-paru atau saluran kencing pada anak-anak juga dapat menjadi penyebab muntah
atau diare.[1] Ketoasidosis diabetik (DKA) klasik muncul dengan sakit perut, mual, dan
muntah, tapi tanpa diare.[1] Salah satu studi menemukan bahwa 17% dari anak-anak dengan
DKA mulanya didiagnosis mengalami gastroenteritis.[1]

Pencegahan

Persentase uji rotavirus dengan hasil positif, per minggu pengamatan, Amerika Serikat, Juli 2000
Juni 2009.

Gaya hidup

Pasokan air yang tidak terkontaminasi dan mudah didapat serta penerapan sanitasi yang baik
menjadi hal penting untuk mengurangi tingkat infeksi dan gastroenteritis yang berarti dari
segi klinis.[12] Langkah-langkah pribadi (seperti mencuci tangan) diketahui dapat mengurangi
tingkat insidensi dan prevalensi gastroenteritis baik di negara berkembang maupun di negara
maju hingga sebesar 30%.[11] Gel berbahan dasar alkohol mungkin juga efektif.[11] Menyusui
itu penting, terutama di tempat-tempat dengan kebersihan yang buruk, begitu juga dengan
meningkatkan kebersihan secara umum.[6] ASI mengurangi frekuensi dan durasi infeksi.[1]
Menghindari makanan atau minuman yang terkontaminasi juga efektif.[28]
Vaksinasi

Karena efektivitas dan keamanannya, pada tahun 2009 World Health Organization
merekomendasikan agar vaksin rotavirus diberikan kepada semua anak di seluruh
dunia.[14][29] Dua vaksin rotavirus sudah tersedia untuk dapat dibeli dan beberapa lainnya
sedang dikembangkan.[29] Di Afrika dan Asia vaksin ini mengurangi penyakit akut pada
bayi[29] dan negara-negara yang telah mengadakan program imunisasi nasional telah melihat
adanya penurunan jumlah dan tingkat keparahan penyakit ini.[30][31] Vaksin ini juga dapat
mencegah menyebarnya penyakit ini pada anak yang tidak divaksin dengan cara mengurangi
jumlah infeksi yang beredar.[32] Sejak tahun 2000, penerapan program vaksin rotavirus di
Amerika Serikat telah mengurangi jumlah kasus diare hingga 80 persen.[33][34][35] Dosis vaksin
pertama harus diberikan kepada bayi berusia antara 6 sampai 15 minggu.[14] Vaksin kolera
oral diketahui dapat bekerja secara efektif hingga 5060% selama lebih dari 2 tahun.[36]

Manajemen
Gastroenteritis secara umum merupakan penyakit akut dan terbatas yang tidak selalu
memerlukan pengobatan.[10] Pengobatan yang disukai untuk mereka yang mengalami
dehidrasi ringan hingga sedang yakni dengan terapi rehidrasi oral (ORT).[13] Akan tetapi
metoclopramide dan/atau ondansetron dapat bermanfaat pada sekelompok pasien anak,[37]
dan butylscopolamine berguna untuk mengobati sakit perut.[38]

Rehidrasi

Penanganan utama untuk gastroenteritis pada anak-anak maupun orang dewasa adalah
dengan rehidrasi. Ini sebaiknya dilakukan melalui terapi rehidrasi oral, walaupun pemberian
infus mungkin diperlukan bila tingkat kesadaraan berkurang atau pada dehidrasi berat.[39][40]
Produk terapi pengganti terapi oral yang dibuat dengan karbohidrat kompleks (yakni yang
terbuat dari gandum atau beras) terkadang lebih baik dibandingkan dengan yang berbasis gula
sederhana.[41] Minuman dengan kandungan gula sederhana yang sangat tinggi, seperti
minuman ringan dan jus buah, tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak di bawah 5
tahun karena dapat memperparah diare.[10] Air putih dapat digunakan bila persiapan ORT
yang lebih spesifik dan efektif tidak tersedia atau tidak disukai karena rasanya yang tidak
enak.[10] Nasogaster tube dapat digunakan oleh anak kecil untuk memasukkan cairan apabila
diperlukan.[16]

Makanan

Bayi yang mengonsumi ASI dianjurkan untuk tetap disusui seperti biasa, dan bayi yang diberi
susu formula melanjutkan konsumsi formulanya sesaat setelah rehidrasi dengan ORT.[42]
Formula bebas laktosa atau pengurangan laktosa biasanya tidak diperlukan.[42] Anak-anak
harus melanjutkan makanannya seperti biasa selama diare namun harus menghindari
makanan yang banyak mengandung gula sederhana.[42] Diet BRAT diet (pisang, nasi, saus
apel, roti panggang dan teh) tidak direkomendasikan lagi, karena tidak mengandung gizi yang
cukup dan tidak memiliki manfaat dibandingkan dengan pemberian makanan seperti biasa.[42]
Beberapa probiotik terbukti bermanfaat untuk mengurangi lamanya penyakit dan frekuensi
buang air besar.[43] Probiotik juga mungkin berguna dalam mencegah dan mengobati diare
terkait antibiotik.[44] Produk susu fermentasi (seperti yogurt) juga bermanfaat.[45] Suplemen
seng tampaknya efektif dalam mengobati dan mencegah diare pada kalangan anak-anak di
negara berkembang.[46]

Antimuntah

Obat antimuntah mungkin berguna untuk menangani muntah pada anak-anak. Ondansetron
memiliki beberapa kegunaan, dimana satu dosisnya diasosiasikan dengan berkurangnya
kebutuhan atas cairan infus, berkurangnya kemungkinan rawat inap, dan berkurangnya
muntah.[47][48][49] Metoclopramid juga mungkin berguna.[49] Akan tetapi, penggunaan
ondansetron mungkin berhubungan dengan meningkatnya frekuensi perawatan kembali di
rumah sakit pada pasien anak-anak.[50] Persiapan infus untuk ondansetron dapat diberikan
secara oral bila diperlukan berdasarkan penilaian klinis.[51]Dimenhydrinate, walaupun
mengurangi muntah, tampaknya tidak mempunyai manfaat klinis yang berarti.[1]

Antibiotik

Antibiotik biasanya tidak digunakan untuk gastroenteritis, meskipun terkadang dianjurkan


jika gejalanya termasuk berat[52] atau jika penyebab bakteri rentannya terisolasi atau masih
sebatas kecurigaan.[53] Bila antibiotik akan diberikan, makrolid (seperti azitromisin) lebih
diutamakan dibandingkan dengan fluoroquinolone karena tingginya tingkat kekebalan
terhadap fluoroquinolone.[7] Kolitis pseudomembranosa, yang biasanya disebabkan oleh
penggunaan antibiotik, ditangani dengan menghentikan agen penyebab dan mengobatinya
dengan metronidazol atau vankomisin.[54] Bakteri dan protozoa yang dapat diobati termasuk
spesies Shigella[55] Salmonella typhi,[56] dan Giardia.[23] Pada penyakit yang disebabkan oleh
spesies Giardia atau Entamoeba histolytica, pengobatan tinidazol lebih disarankan dan lebih
baik dibandingkan metronidazol.[23][57] World Health Organization (WHO) menganjurkan
penggunaan antibiotik pada anak kecil yang mengalami diare berdarah dan demam.[1]

Agen antimotilitas

Obat antimotilitas mempunyai risiko yang secara teori dapat menyebabkan komplikasi, dan
meskipun pengalaman klinis menunjukkan ini tidak mungkin terjadi,[27] obat ini tidak
disarankan bagi orang yang mengalami diare berdarah atau diare yang disertai demam.[58]
Loperamid, sebuah analog opioid, umumnya digunakan untuk pengobatan gejala diare.[59]
Akan tetapi loperamide tidak dianjurkan untuk digunakan pada anak-anak, karena mungkin
dapat menimbulkan sawar darah otak imatur dan menyebabkan toksisitas. Bismut subsalisilat,
kompleks tidak larut dari bismut trivalen dan salisilat, dapat digunakan pada kasus ringan
sampai sedang,[27] tetapi toksisitas salisilat dapat terjadi berdasarkan teori yang ada.[1]

Anda mungkin juga menyukai