Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Pernapasan secara harafiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju

ke sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel ke udara bebas. Pemakaian oksigen dan

karbon dioksida diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh.

Saluran napas yang membawa oksigen ke paru paru adalah hidung, faring, laring,

trakea, bronks dan bronkilus.1

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak selalu di pandang mudah.

Kesulitan terbesar yang paling sering ditemukan adalah bila jalan nafas tidak dapat

diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas normal adalah kunci penting

dalam latihan penanganan pasien.2

Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-8% memiliki anatomi jalan nafas

yang sulit, dari jumlah ini sebagian kasus pasien tidak dapat di intubasi dengan baik.

Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam hingga kerusakan otak hingga

kematian. Salah satu usaha mutlak yang harus dilakukan adalah menjaga berjalannya

fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh berarti akibat proses

pembedahan.

Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan napas

adalah bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan napas, keterlambatan

memberikan pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya keterampilan. 2

1
Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita

tidak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya,

stroke, radang otak), trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala,

keracunan). Tetapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya tetap sama.2

Berdasarkan hal itu, maka pada kasus ini, akan dibahas mengenai pengelolaan jalan

nafas pada pasien tumor subglotis yang penting diketahui bagaimana manajemen

airway saat dilakukannya operasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumor Kelenjar Saliva


Pada kasus ini diagnosis pasien ialah tumor subglotis dengan diferensial
diagnosis ranula/papiloma. Tumor subglotis merupakan contoh dari beberapa
penyakit mulut yang melibatkan glandula saliva. Kelenjar saliva merupakan suatu
kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam mempertahankan kesehatan
jaringan mulut. Kelenjar saliva mensekresi saliva ke dalam rongga mulut. Saliva
terdiri dari cairan encer yang mengandung enzim dan cairan kental yang
mengandung mukus. Menurut struktur anatomis dan letaknya, kelenjar saliva
dapat dibagi dalam dua kelompok besar yairu kelenjar saliva mayor dan kelenjar
saliva minor. Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan saliva yang berbeda-
beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan ini dapat berupa
rangsangan mekanis (mastikasi), kimiawi (manis, asam, asin dan pahit), neural,
psikis (emosi dan stress), dan rangsangan sakit. Besarnya sekresi saliva normal
yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter per hari.
a. Anatomi
Glandula saliva terbagi dua, yaitu glandula saliva mayor dan glandula saliva
minor. Glandula saliva mayor terdiri dari:1,2
1. Glandula parotis
Merupakan glandula terbesar yang letaknya pada permukaan otot masseter
yang berada di belakang ramus mandibula, di anterior dan inferior telinga.
Glandula parotis menghasilkan hanya 25% dari volume total saliva yang
sebagian besar merupakan cairan serous.
2. Glandula submandibula
Merupakan glandula terbesar kedua setelah glandula parotis. Letaknya di
bagian medial sudut bawah mandibula. Glandula submandibula

3
menghasilkan 60-65% dari volume total saliva di rongga mulut, yang
merupakan campuran cairan serus dan mukus.
3. Glandula sublingual
Glandula yang letaknya pada fossa sublingual, yaitu dasar mulut bagian
anterior. Merupakan glandula saliva mayor yang terkecil yang menghasilkan
10% dari volume total saliva di rongga mulut dimana sekresinya didominasi
oleh cairan mukus. Perdarahan glandula sublingualis berasal dari arteri
sublingualis cabang arteri lingualis.
Anatomi:
- Kelenjar ini terletak antara dasar mulut dan muskulus mylohyoid
merupakan suatu kelenjar kecil diantara kelenjarkelenjar mayor lainnya.
- Duktus utama yang membantu sekresi disebut duktus Bhartolin yang
terletak berdekatan dengan duktus mandibular dan duktus Rivinus yang
berjumlah 8-20 buah.
- Kelenjar ini tidak memiliki kapsul yang dapat melindunginya.
Histologi:
- Kelenjar sublingualis adalah kelenjar tubuloasinosa dan kelenjar tubulosa
kompleks. Pada manusia kelenjar ini adalah kelenjar campur meskipun
terutama kelenjar mukosa karena itu disebut seromukosa. Sel-sel serosa
yang sedikit hampir seluruhnya ikut membentuk demilune. Duktus
interkalaris dan duktus striata jaringan terlihat.
- Kapsula jaringan ikat tidak berkembang baik, tetapi kelenjar ini lobular
halus biasanya terdapat 10-12 saluran luar yaitu duktus sublingualis, yang
bermuara kesepanjang lipatan mukosa yaitu plika sublingualis, masing-
masing mempunyai muara sendiri. Saluran keluar yang lebih besar yaitu
duktus sublingualis mayor bartholin bermuara pada karunkula
sublingualis bersama-sama dengan duktus wharton, kadang-kadang
keduanya menjadi satu.

4
Fisiologi:
- Kelenjar sublingualis menghasilkan sekret yang mukous dan
konsistensinya kental.
- Saliva pada manusia terdiri atas 5% sekresi kelenjar sublingualis
Sedangkan glandula saliva minor terdiri dari 1000 kelenjar yang tersebar
pada lapisan mukosa rongga mulut, terutama di mukosa pipi, palatum, baik
palatum durum maupun palatum molle, mukosa lingual, mukosa bibir, dan juga
terdapat di uvula, dasar mulut, bagian posterior lidah, dasar atau ventral lidah,
daerah sekitar retromolar, daerah peritonsillar, dan sistem lakrimal. Glandula
saliva minor terutama menghasilkan cairan mukus, kecuali pada glandula Von
Ebners (glandula yang berada pada papilla circumvalata lidah) menghasilkan
sekret mucous. Kebanyakan tumor kelenjar liur berasal dari kelenjar parotis
(70%). Selanjutnya berasal dari kelenjar submandibula (8%) dan kelenjar liur
minor (22%). Meskipun demikian 75% tumor kelenjar parotis adalah jinak,
sedangkan 50% tumor kelenjar submandibula dan 80% tumor kelenjar minor
merupakan tumor ganas.

5
b. Etiologi
Sebagian besar tumor pada kelenjar saliva terjadi pada kelenjar parotis, dimana
75% - 85% dari seluruh tumor berasal dari parotis dan 80% dari tumor ini adalah
adenoma pleomorphic jinak (benign pleomorphic adenomas)2
Paparan radiasi merupakan factor risiko untuk terjadinya tumor kelenjar liur
khususnya karsinoma mukoepidermoid. Tumor warthin memiliki hubugan yang kuat
dengan merokok, walaupun tumor jinak ini lebih sering ditemukan pada pria, ternyata
insidennya meningkat pada wanita yang merokok, pekerjaan terutama penata rambut,
nutrisi, genetic, dan factor lingkungan seperti paparan serbuk gergaji, pestisida, dan
bahan kimia untuk industry kulit.3
Epstein-Barr virus mungkin merupakan salah satu faktor pemicu timbulnya
tumor limfoepitelial kelenar liur. kelainan genetik, misalnya monosomi dan
polisomi sedang diteliti sebagai faktor timbulnya tumor kelenjar liur.4

6
c. Gejala Klinik
Gambaran klinis ditentukan oleh lokasi tumor. Mayoritas tumor muncul di
parotis (90%), dan mayoritas diantaranya benigna (80%). Umumnya tumor
kelenjar parotis muncul sebagai masa noduler kenyal di pre-aurikula dekat
sudut mandibula. Tumor ini tumbuh lambat, betahun-tahun tanpa keluhan
kecuali kosmetik. Sekitar 10% tumor muncul di bawah plane n.fasialis dalam
lobus profunda, selebihnya adalah di lobus superfisialis (mayoritas di pool
bawah). Umumnya sulit menentukan apakah muncul dari lateral dari nervus.
Sekitar 1 % tumor muncul dari asesorius, anterior dari kelenjar parotis dekat
dengan duktus Stensons. Tumor yang berasal dari retromandibula dari lobus
profunda adalah jarang dan ditandai oleh adanya tonjolan di soft palate atau
pharing atau kombinasi dengan masa eksterna terkadang muncul sebagai
pembesaran difus dan mengisi bagian retromandibular.5
Neoplasma parotis yang kecil sulit membedakan jinak atau ganas namun
diagnosis ganas semakin jelas bila terdapat parese/paralisis p.fasialis,
pembesaran kelenjar getah bening atau infiltrasi ke kulit. paralisis nervus
fasialis tidak pernah terjadi pada benign mixed tumor. Secara klinis kita dapat
membedakan neoplasma ganas dan neoplasma jinak berdasarkan beberapa
keadaan sebagai berikut:4,5
Pertumbuhan tumor ganas relatif lebih cepat dari yang jinak
Rasa nyeri ditemukan pada sebagian neoplasma ganas, namun nyeri juga
dapat ditemukan pada lesi benigna (parotitis, Wegner granolumatous,
Sjogrens syndrome)
Neoplasma ganas umumnya terfiksir karena ada infiltrasi ke jaringan sekitar
Kelumpuhan nervusVII ditemukan pada sebagian tumor ganas akibat
infiltrasi tumor ke nervus, pada tumor jinak tidak ada kelumpuhan saraf
Konsistensi padat keras pada yang ganas pada yang jinak kenyal kadang-

7
kadang kistik
Dapat ditemukan metastasis regional atau metastasis jauh pada yang ganas,
jinak tentunya tidak ada metastasis
Tumor parotis jinak lebih berbatas tegas dibanding tumor ganas
Metastasis tumor di parotis dari karsinoma sel skuamous atau Melanoma
maligna di scalp atau forehead adalah penting untuk diagnosa banding. Tumor
di kelenjar submandibula baik jinak maupun ganas umumnya muncul sebagai
masa tumor yang disertai nyeri ringan di segj tiga submandibula. Palpasi
bimanual dapat mengkonfirmasi lokasi tumor dikelenjar submandibular dan
membetJakannya dengan kelenjar getah bening yang membesar. Paralisis
nervus jarang ada. Kulit terkadang terinfiltrasi pada lesi stadium lanjut. Masa
tumor umumnya terfiksir ke mandibula kecuali ukuran tumor sangat kecil.
Hilangnya mobilitas dapat terjadi pada lesi jinak maupun ganas.
Tumor di kelenjar sublingual secara klinis serupa dengan karsinoma sel
squamous dasar mulut. Tampilannya berupa masa tumor di submukosa yang
teraba oleh lidah. Terdapat perasaan tidak nyaman ringan terutama pada
stadium dini.
Tumor pada kelenjar liur minor minor paling sering terjadi di rongga mulut
dan oropharing (90% kasus) sisanya di rongga hidung, sinus paranasal, dan
nasopharing. Mayoritas tumor yang berasal dari kelenjarliur minor adalah
maligna. Palatum merupakan tempat tersering dari tumor di rongga mulut.
Keluhan umumnya berupa painless mass, namun nyeri, parastesia, disphagia,

gangguan fungsi bicara, dan otalgia terkadang ada. Tumor pada kelenjar liur
minor tipikal sebagai benjolan dibawah mukosa yang intact, ulserasi adalah
jarang terjadi. Lesi jinak biasanya mobil kecuali lokasi di palatum atau alveolar
ridge. Lesi di lidah, trigonum retromolar, dan dasar mulut lebih cenderung
ganas dibanding palatum.
Metastasis ke kelenjar getah bening ditemukan pada 26% kanker kelenjar

8
liur mayor dan pada 21% kanker di kelenjar fer minor, pembesaran ini
umumnya terlihat saat pertama penderita datang berobat. Metastasis ke kelenjar
getah bening ini sering terjadi pada tumor grading tinggi dan jarang pada
grading rendah atau adenoid cystic carcinoma.

d. Penatalaksanaan Bedah
Tumor Kelenjar Parotis
Pembedahan merupakan terapi utama untuk semua tumor parotis. Ada
beberapa jenis pembedahan parotis yaitu : parotidektomi superfisial.
parotidektomi total dan parotidektomi radikai (extended). Dikenal kenal
beberapa jenis insisi kulit, yang biasa dtpakai adalah insisi Blair, insisi Bailey
dan insisi Y. Konfirmasi diagnosis definif dilakukan saat operasi dengan potong
beku dari spesimen parotidektomi. Jika jinak cukup superfisial. kalau ganas
dilanjutkan dengan parotidektomi total. Eksisi pleomorphic adenoma harus
dilakukan dengan hati-hati untuk mengangkat jaringan jaringan sehat disekitar
tumor, menghindari rupture pseudocapsul dan spillage tumor, untuk
mengurangi risiko rekurrensi.
Untuk tumor jinak, parotidektomi superfisial dan adalah untuk diagnosis
dan kuratif. Tumor maligna dari kelenjar liur memeriukan terapi pembedahan
dan radiasi. kecuali neoplasma grading rendah (missal: low grade
mucoepidermoid carcinoma dan low grade adenocarcinoma), yang diterapi
dengan pembedahan saja. Superfisial parotidektomi (partial, lateral)
diindikasikan untuk lesi jinak di lobus superfisial. Enukleasi tumor tidak
dianjurkan karena sering terjadi residif (48%). Parotidektomi superfisial adalah
pangangkatan tumor beserta jaringan parotis dengan preservasi n.fasialis.
Untuk tumor parotis ganas, neoplasma di lobus profundus dan tumor
jinak yang residif, parotidektomi total adalah terapi pilihan. Parotidektomi total
adalah pengangkatan tumor beserta seluruh kelenjar parotis dengan preservasi
n. fasialis. Adakalanya ekstensi tumor demikian luasnya sehingga n.fasilais dan

9
jaringan di sekitamya seperti kulit dan otot harus diangkat, tindakan ini
dinamakan parotidektomi radikal. Tumor parotis dengan ekstensi lokal (kulit
atau saluran teinga luar) terkadang memeriukan mastoidektomi (untuk untuk
melacak nervus bagian proksimal) dan mengangkat bagian lateral dari tulang

Gambar . Insisi Blairs modifikasi (kiri) dan insisi Y

Pengorbanan nevus fasialis hanya diindikasikan bila makroskopis

nervus telah terinfiltrasi. Nervus fasialis yang makroskopis terinfiltrasi,

pengangkatanya harus sampai bebas tumor. Tindakan ini, khususnya dilakukan

pada adenoid cystic carcinoma, yang merupakan neurotropic tumor. Nervus

fasialis yang diangkai harus segera di rekonstruksi dengan interpositional nerve

grafting (menggunakan nervus sural dari tungkai, nervus cutaneus antebrachii

medial dari lengan atau nervus auricularis magnus) atau graft nervus XII ke n.

VII.

Tumor ganas dengan kelenjar getah bening klinis tidak teraba (NO) saat

10
operasi parotidektomi diambil samping kelenjar getah bening subdigastrikus

dan diperiksa potong beku jika positif mengandung metastasis dilakukan

diseksi leher radikal, jika negatif operasi cukup total parotidektomi saja. Tumor

ganas parotis yang disertai metastasis regional ke kelenjar getah bening leher

(N positif) dilakukan total parotidektomi disertai diseksi leher radikal. Apabila

disertai reseksi mandibula operasi dinamakan Operasi Commando (Combined

Mandibulectomy and Radical Neck Dissection Operation).1

Tumor kelejar submandibula.


Untuk tumor jinak, eksisi kelenjar submandibula adalah untuk diagnosis

dan kuratif tentunya dengan konfirmasi potong beku. Bila hasil potong beku

jinak operasi selesai, jika ganas dilajutkan diseksi submandibula (Eksisi

struktur limfatik level I) dan dilakukan potong beku. Jika kelenjar getah bening

mengandung metastasis dilanjutkan dengan radical neck dissection. Rangkaian

tindakan tersebut dilakukan bila klinis tidak ada pembesaran kelenjar getah

bening leher (NO). Jika tidak ada tulang yang teriibat dengan NO dilakukan

extended supraomohyoid dissection termasuk pengangkatan bed kelenjar, otot

dan saraf disekitarnya, jika kelenjar getah bening klinis teraba dilakukan diseksi

leher modifikasi. Diseksi leher dilakukan bila terdapat pembesaran kelenjar

getah bening yang teraba secara klinis (N positif). Jika ada infiltrasi mandibula

dilakukan composite resection (mandibulektomi dan diseksi leher satu

11
kesatuan). Seperti pada tumor parotis, pengangkatan nervus hipoglosus dan

nervus lingualis hanya dilakukan jika makroskopis telah terinfiltrasi tumor dan

ekstensi lokal ke jaringan sekitar (misal: dasar mulut, lidah) membutuhkan

eksisi lebih radikal.2,3

Tumor kelenjar sublingual dan kelenjar liur minor


Terapinya adalah eksisi dengan sayatan 1 cm dari tepi tumor. Untuk

tumor yang letaknya dekat dengan tulang misalnya palatum durum dan

ginggiva, eksisi luas dilakukan beserta reseksi tulang dibawahnya. Batas

sayatan harus dikonfirmasi dengan potong beku pada pasien dengan adenoid

cystic carcinoma k arena tumor inj cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar.

Indiksai diseksi dan radiasi adjuvant adalah sama dengan kelenjar liur mayor

lainnya.

Kanker kelenjar liur yang tidak resectable atau metastasis jauh. Pasien

dengan tumor primer atau rekurren yang unresectable, terdapat metastasis jauh

atau ada problem medikal yang tidak memungkinkan operasi dapat diberikan

terapi paliadf dengan radiasi konvesional. Radiasi dengan neutron merupakan

pilihan lain yang dianjurkan. Cisplatin, doxorubicin dan 5-FU merupakan agent

aktif yang dapat digunakan pada pada kanker stadium lanjut atau ada metastasis

jauh, walaupun umumnya respon rendah. Reseksi terkadang dilakukan pada

kasus yang selektif dengan adenoid cystic carcinoma yang memiliki metastasis

12
soliter di paru.

B. Anatomi Jalan Napas


Hubungan jalan napas dengan dunia luar melalui 2 jalan :
Hidung (menuju nasofaring).
Mulut (menuju orofaring).
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju
esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglottis menuju ke trakea. Laring
terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglottis dan sepasang aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme.3
Persyarafan
1. N. Trigeminus (V), mempersarafi mukosa hidung, palatum (N. Oftalmika),
daerah maksila (N.Maksilaris), lidah dan daerah mandibula (N. Mandibularis).
2. N. Fasialis (VII), mempersarafi palatum.
3. N. Glossofaringeus (IX), mempersarafi lidah, faring, palatum molle dan tonsil.
4. N.Vagus (X), mempersarafi daerah sekitar epiglottis dan pita suara.3

C. Obatruksi Jalan Napas


Obstruksi jalan napas dapat terjadi secara total maupun parsial. Keadaan ini
sering terjadi dan harus cepat di ketahui dan dikoreksi misalnya dengan triple
airway maneuver, pemasangan alat. Obstruksi jalan dapat disebabkan karena
spasme laring saat anesthesia ringan dan merangsang nyeri atau rangsangan oleh
sekret

D. Patofisiologi
Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan
anestesi, penderita trauma kepala atau oleh karena suatu penyakit, maka akan

13
terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot lidah dan sphingter cardia akibatnya bial
posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutup
orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan napas. Sphingter cardia yang
relaks, menyebabkan isi lambung mengalir kembali ke orofaring (regurgitasi). Hal
ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan napas oleh aspirat yang padat
dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada keadaan ini pada umumnya
refleks batuk sudah menutup atau hilang.
Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang,
perdarahan, lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat menimbulakan
masalah/sumbatan jalan napas. Patah tulang mandibula bilateral dapat
menyebabkan lidah kehilangan penyanggga sehingga penderita sulit untuk
menelan dan bila berbaring lidah akan jatuh menutup jalan napas walaupun pasien
dalam keadaaan sadar. Pada keadaan seperti ini posisi penderita paling enak adalah
duduk agak membungkuk. Trauma tajam pada leher dapat menimbulkan
perdarahan dan hematoma yang dapat menggeser posisi jalan napas. Pendesakan
oleh hematoma dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dan menyulitkan pada
waktu intubasi endotracheal. Apabila tidak memungkinkan dilakukan intubasi
endotracheal, harus segera dilakukan krikotiroidotomi atau tracheostomi. Trauma
tumpul pada leher juga dapat menyebabkan edema dan kerusakan pada laring dan
trakhea yang dapat menyumbat jalan napas.
Obstruksi jalan napas dapat terjadi secara total mapun partial, keadaan ini
sering terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara,
misalnya maneuver triple jalan napas (Triple airway maneuver), pemasangan alat
jalan napas sungkup faring (Pharyngeal airway), pemasangan alat jalan sungkup
laring (Laryngeal airway), pemasangan pipa tracheal (Endotracheal tube).
Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring saat anesthesia ringan dan
mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.6,7

14
E. Tanda-Tanda dan Tatalaksana Obstruksi Jalan Napas
Pada keadaaan penderita yang masih bernapas, mengenali ada tidaknya
sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara Lihat (look), Dengar (listen), dan
Raba (feel).7,8
Lihat (Look)
Melakukan penilaian pada pergerakan dada dan perut waktu bernapas,
normalnya pada posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas
dinding-dinding perut bergerak keatas dan waktu ekspirasi dinding dada turun
dinding perut juga turun. Pada sumbatan jalan napas total atau partial berat, waktu
inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik, sedangkan
waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak napas ini disebut see saw atau rocking
respiration.
Melihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran.
Agitasi memberi kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena
sumbatan jalan napas, sedangkan penurunan kesadaran memberikan kesan adanya
hiperkabia yang mungkin disebabkan oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan
napas.
Adanya retraksi sela iga, supraklavikular atau subkostal merupakan tanda
tambahan adanya sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat dikuku atau bibir
menunjukan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada
penderita perlu dilihat adanya deformitas daerah maksilofasial atau leher serta
adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi dan muntahan yang dapat menymbat
jalan napas.

Dengar (Listen)
Pemeriksaan suara napas menunjukan ada tidaknya suara tambahan. Adanya
suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan napas partial. Suara napas
tambahan dapat berupa dengkuran (snowring), kumuran (gurgling), atau siulan
(crowing/stridor). Snowring disebabkan oleh lidah yang menutup orofaring,

15
Gurgling disebabkan karena adanya sekret, darah atau muntahan dan
Stridor/crowing disebabkan adanya penyempitan jalan napas oleh karena spasme,
edema, atau pendesakan. Suara bicara penderita yang normal menunjukan tidak
ada sumbatan jalan napas sedangkan suara yang parau menunjukan adanya
masalah didaerah laring.

Raba (Feel)
Meraba hawa ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada
tidaknya getaran dileher waktu bernapas. Adanya getaran dileher menunjukan
sumbatan partial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah adanya
fraktur didaerah maksilofasial dan bagaimana posisi trakhea penderita.

F. Pengelolaan Jalan Napas7,9


Penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat, tepat
dan cermat untuk mencegah terjadinya hipoksemia.
Tindakan ditujukan untuk membuka dan menjaga jalan napas tetap terbuka
dan waspada terhadap keadaan klinis yang menyumbat atau potensial akan
menyumbat jalan napas. Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran
maka lidah akan jatuh ke belakang menyumbat hipofaring atau epiglottis jatuh
kebelakang menutup rima glottis. Pada keadaan seperti ini, pembebasan jalan
napas dilakukan tanpa alat maupun dilakukan dengan menggunakan jalan napas
buatan. Membuka jalan napas tanpa alay dilakukan dengan cara Head Tilt, Chin
Lift, dan Jaw Thrust. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk mengatasi
sumbatan jalan napas karena lidah adalah jalan napas orofaringeal atau
nasofaringeal.
Pada penderita trauma, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membuka
jalan napas, dapat menyebabkan atau memperburuk cedera cervical. Oleh karena
itu pada penderita trauma dengan dugaan trauma cervical cara yang dianjurkan

16
hanya Jaw Thrust dengan imobilisasi kepala dan leher secara manual atau
memakai Neck Collar.

Tatalaksana Jalan Napas dengan Manual / Tanpa Alat


Head Tilt &Chin Lift
Cara melakukan metodeHead-tilt & chin-lift yaitu : 3,4
Letakkan telapak tangan Anda di dahi korban dan letakkan jari-jari tangan
anda yang lain dibawah dagu korban.
Kemudian tekan dahi ke bawah sambil angkat dagu keatas sehingga
kepala korban mendongak keatas dan mulut korban terbuka.
Empat jari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang ibu jari diatas
dagu, kemudian secara hati- hati dagu diangkat kedepan. Bila perlu ibu
jari dipergunakan untuk membuka mulut/ bibir atau dikaitkan pada gigi
seri bagian bawah untuk mengangkat rahang bawah. Manuver chin lift ini
tidak boleh menyebabkan posisi kepala hiperekstensi.

Jaw Thrust
Mendorong angulus mandibula kanan dan kii ke depan dengan jari jari
kedua tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas,
kedua ibu membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua
pipi penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.
Tindakan Jaw Thrust, Membuka mulut dan Head Tilt disebut Triple
Airway Maneuver.

17
Chin Lift, Head Tilt, and Jaw Thrust

Tatalaksana Jalan Napas dengan Alat


Oro-Pharyngeal Airway
Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah
tidak jatuh menutup hipofaring. Ukuran harus tepat yaitu dari tengah mulut
sampai ke angulus mandibula atau tepi mulut sampai ke tragus. Bila
kekecilan malah akan mendorong lidah kebelakang hingga makin
menyumbat.
Alat ini berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet
lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma
mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.6,8

18
Naso-Pharyngeal Airway
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan
menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita. Pada
waktu memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah
yang ada di rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan
lebih kecil kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan napas
oropharyngeal.
Alat ini berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang
ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih
keras untuk mencegah kalau penderita menggigit lubang tetap paten,
sehingga aliran udara tetap terjamin. Alat ini juga dipasang bersama pipa
trachea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut ari
gigitan pasien.

19
Laryngeal Mask Airway
Laryngeal Mask Airway atau sungkup laring ialah alat jalan napas berbentuk
sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok
yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trachea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.3

20
Jalan Napas Defenitif
Jalan napas defenitif adalah pipa jalan napas yang dilengkapi dengan
balon (Cuff) yang dapat dikembangkan yang dapat dipasang ditrakhea. Tujuan
pemasangan jalan napas defenitif untuk mempertahankan jalan napas,
pemberian ventilasi, oksigensasi dan pencegahan aspirasi.
Terdapat 2 macam jalan napas defenitif :
Intubasi Endotrakheal
Surgical Airway
o Krikotiroidotomi
o Trakheostomi
Beberapa keadaan klinik yang memerlukan jalan napas defenitif antara
lain apneu, tidak mampu mempertahankan jalan napas dengan cara-cara yang
lain, pencegahan aspirasi darah atau muntahan, ancaman terjadinya sumbatan
jalan napas (contoh : trauma inhalasi, status konvulsi, trauma maksilofasial,
trauma/cedera kepala tertutup dengan GCS kurang dari 8, tidak berhasil
memperoleh oksigenasi yang adekuat dengan menggunakan masker.2
Intubasi Endotrakheal
Intubasi endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam
trachea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trachea antara pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut :
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Kesulitan Intubasi antara lain sebagai berikut :

21
o Leher pendek berotot
o Mandibula menonjol
o Maksila/gigi depan menonjol
o Uvula tidak terlihat (mallampati 3 atau 4)
o Gerak sendi temporo-mandibular terbatas.
o Gerak vertebra servikal terbatas.
Komplikasi selama dilakukan intubasi :
o Trauma gigi-geligi
o Laserasi bibir, gusi, laring
o Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardia)
o Intubasi bronkus
o Intubasi esophagus
o Aspirasi
o Spasme bronkus
Komplikasi setelah ekstubasi :
o Spasme laring
o Aspirasi
o Gangguan fonasi
o Edema glottis-subglotis
o Infeksi laring, faring dan trachea.

22
23
24
Surgical Airway
Prosedur ini dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi
endotrakheal yang dapat berupa :
o Krikotiroidotomi (penusukan needle canula) ke trahkea kearah distal pada
membrane krikotiroidea. Cara ini disebut jet insufflations untuk
memberikan oksigen dengan cepat.
o Krikotiroidotomi dengan pembedahan, dilakukan insisi pada membrane
krikotiroidea dan kemudian dimasukan kanula trakheostomi atau pipa
endotracheal.

25
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Nn. E
No. RM : 418531
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 40 kg
Agama : Islam
Alamat : Ds Bulagidum, Dusun II, Buol
Tanggal Masuk : 14 Agustus 2015

B. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : Benjolan dibawah lidah
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RSU.anutapura dengan keluhan benjolan dibawah lidah
yang semakin hari semakin membesar. Benjolan timbul tidak diketahui
persis kapan, namun pasien sadar ketika benjolan sudah menimbulkan rasa
yang tidak nyaman. Benjolan tersebut awalnya tidak menimbulkan
keluhan namun lama kelamaan benjolan tersebut terasa mengganggu
karena mengganjal dibawah lidah. Pasien sempat memeriksakan diri ke
Puskesmas yang berada di buol yang kemudian memberikan rujukan
untuk ke Rumah Sakit Anutapura. Demam (-), Mual dan muntah (-),
pusing dan sakit kepala (-). BAB baik. BAK lancar
3. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada.
4. Riwayat alergi : Tidak ada.
5. Riwayat penyakit dahulu: Tidak ada

26
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Vital Sign
- TD : 110/80 mmHg
- Nadi : 92 x/menit
- RR : 21 x/menit
- Suhu : 36,7 C

2. Pemeriksaan Kepala
- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
refleks cahaya +/+, pupil isokor diameter
3 mm
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
- Mulut : sianosis (-) bibir kering (+), pembesaran
tonsil (-), skor Mallampati 1
3. Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-)

Tiroid : Tidak ada kelainan

Skor mallampati : Mallampati 1

4. Pemeriksaan Dada
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi :
Bentuk : simetris
Retraksi : Tidak ada

27
Palpasi : Vokal Fremitus kanan sama
dengan kiri
Perkusi : Sonor kiri : kanan
Auskultasi :
Suara Napas Dasar : vesikuler +/+
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi :
Suara dasar : S1 dan S2 murni, regular
Bising : tidak ada

5. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk Datar
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Bunyi : timpani
Asites : (-)
Palpasi : Nyeri tekan : nyeri tekan epigastrium (+)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba

6. Ekstremitas : akral hangat, edem tidak ada, turgor melambat.

7. Genitalia : tidak tampak pembesaran pada genital

28
STATUS LOKALIS

Regio : Subglotis

Inspeksi: Massa (+), Tidak berbenjol - benjol, berbentuk bulat, uk: 3x2 Cm

Palpasi : Mobile (+), nyeri tekan (-), perabaan hangat (-).

DIAGNOSIS KERJA

PS ASA I

Prediksi : Tidak ada kesulitan intubasi

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
10 Agustus 2015
Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,00 L: 14-18, P: 12-16 g/dl
Leukosit 10.00 4.000-12.000 /mm3
Eritrosit 4,17 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 38,0 L: 40-46 P: 35-47 %
Trombosit 256.000 150.000-450.000 /mm3
Masa Pendarahan 230 1-4 Menit
Masa Pembekuan 730 4-12 Menit

29
10 Agustus 2015
Foto Thorax PA
- Corakan bronchovaskuler dalam batas normal
- Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
- Cor: dalam batas normal
- Dinus dan diagfragma baik
- Tulang-tulang intake

Kesan: Tidak tampak kelainan radiologi pada foto thoraks ini

E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI


- Status fisik ASA I
- Acc. Anestesi

PENATALAKSANAAN

Preoperatif : Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah

dilakukan induksi General Anesthesia menggunakan sevofluran. Intubasi

endotracheal dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube setelah itu

dilakukan pemasangan Guedel, kemudian dilakukan Injeksi propofol sebagai

anestesi intravena.

Pembedahan : Eksisi Tumor Subglotis

TINDAK LANJUT

Perawatan luka operasi di ruangan.

30
F. LAPORAN ANESTESI PASIEN
a) Diagnosis pra-bedah : Tumor Subglotis
b) Diagnosis post-bedah : Post Eksisi Tumor Subglotis
c) Jenis pembedahan : Eksisi/Ekstirpasi
Persiapan anestesi : informed consent
Jenis anestesi : General Anasthesia
(Intubasi Endotrakheal)
Teknik anestesi : Intubasi Semi Closed ETT No.6,5
Cuff (+)
Anestesi dengan : Sevofluran
Premedikasi anestesi : Midazolam 2 mg
Phetidin 30 mg
Medikasi : Propofol 100 mg
Pemeliharaan anestesi : O2 4 L/menit
Respirasi : Spontan
Status Fisik : ASA I
Pemeriksaan Fisik : Kesan Normal
Induksi mulai : 11.00 WITA
Operasi mulai : 11.10 WITA
Lama operasi : 30 menit
Input durante operasi (RL) : 1000 cc

31
Tekanan darah dan frekuensi nadi

Pukul (WITA) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)

11.00 110/80 110

11.05 100/70 90

11.10 100/70 100

11.15 100/60 100

11.20 100/50 95

11.25 120/80 80

11.30 120/70 80

11.35 110/80 100

11.40 110/70 110

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Salah satu manajemen untuk menangani Tumor kelenjar saliva dalam hal ini
tumor subglotis adalah dengan cara pembedahan. Dimana pada saat melakukan
pembedahan atau tindakan dibutuhkan manajemen airway untuk dapat mencegah
adanya sumbatan jalan nafas yang disebabkan oleh perdarahan akibat pembedahan.
Pasien yang akan dilakukan anestesi dan pembedahan dinilai status fisiknya
berdasarkan kriteria American Society of Anestesiologist ( ASA ) sebagai berikut:
a. Klas I Pasien tanpa gangguan organik,fisiologik maupun psikiatrik
b. Klas II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang yang harus
diobatidengan pembedahan maupun olehproses patofisiologis
c. Klas III Pasien dengan gangguan sistemik berat apapun penyebabnya
d. Klas IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa
yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan
e. Klas V Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup kecil
Dari penilaian status fisik berdasarkan ASA, maka pasien dalam kasus ini
tergolong dalam ASA klas I karena pasien tanpa gangguan organik, fisiologik
maupun psikiatrik Pada kasus ini, dilakukan teknik general anastesi dengan intubasi
endotrakeal. Berdasarkan kepustakaan, indikasi dari dilakukannya intubasi trakeal
adalah:
- Mengontrol jalan napas
- Menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi jangka
panjang
- Meminimalkan risiko aspirasi
- Proteksi terhadap pasien dengan keadan gawat atau pasien dengan refleks
akibat sumbatan yang terjadi
- Trakeostomi
- Pasien dengan resiko mudah timbul laringospasme

33
- Dapat pula dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi atau tindakan
intraoral
Sehubungan dengan manajemen jalan nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat dan penyakit lain dapat menghalangi akses jalan napas.
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi, terutama gigi
ompong dan gigi seri yang menonjol.
Penilaian kesulitan intubasi dapat dilakukan dengan beberapa metode sebagai
berikut :
a. Mallampati Score
Mallampati I : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar faring
bilateral.
Mallampati II : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula
Mallampati III : nampak palatum durum dan palatum Molle
Mallampati IV : nampak hanya palatum durum

b. Penilaian membuka mulut


Membuka mulut dengan 3 jari
Jarak hipomental 3 jari. 3jari antara ujung rahang dan dagu bawah
2 jari antara thyroid notch dan dasar mandibula
1 jari subluksasi anterior rahang bawah

c. Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology ( STOP)


S = Skull (hidrocephalus dan mikrocehpalus )
T =Teeth (buck, gigi ompong, gigi seri menonjol, makro & mikro mandibula
)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek, edema sekitar kepala & leher )
P = Pathologi (kraniofacial abnormal & syndromes: Treacher Collins,
Goldenhars)

34
Faktor resiko lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
- Lidah besar
- Gerakan sendi tempro-mandibular terbatas
- Mandibula menonjol
- Gigi ompong
- Maksilla atau gigi depan menonjol
- Mobilitas leher terbatas
- Tumor dan kista
- Trauma
- Benda asing jalan napas
- Sindrom kongenital seperti pada klippell-fell
- Penyakit endokrinopaty seperti acromegali, struma,
- Kurangnya keterampilan, pengalam atau terburu-buru
Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan pre operasi, didapatkan skoring
mallapati I. Dari pemeriksaan tidak terdapat masalah pada gigi ataupun mulut yang
menjadi penyulit pada pemasangan intubasi. Pada pasien ini, saat dilakukan intubasi,
tidak ditemukan adanya kesulitan.
Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah dilakukan induksi
General Anesthesia menggunakan sevofluran. Sevofluran sebagai anastetik inhalasi.
Pemilihan intubasi endotrakheal dimaksudkan sebagai pemasangan jalan napas secara
definitif, Tujuan pemasangan jalan napas defenitif untuk mempertahankan jalan
napas, pemberian ventilasi, oksigensasi dan pencegahan aspirasi.
Pada endotrakeal intubasi digunakan alat berupa laringoskop dan pipa
endotrakeal ETT memiliki berbagai ukuran dan digunakan ukuran berdasarkan usia
pasien. ETT terbuat dari material silicon PVC. Jenis ETT ada yang dapat ditekuk dan
yang tidak mudah tertekuk( non kinking ). Pada wanita dewasa biasa digunakan ETT
ukuran 7,0 sedangkan pada pria dewasa biasanya 7,5.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Intubasi
endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam trachea melalui

35
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trachea antara
pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut :
Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
napas, dan lain-lainnya.
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Pada pasien ini indikasi pemasangan intubasi endotrakheal yaitu untuk menjaga
patensi jalan napas, mempermudah ventilasi dan oksigenasi sesuai dengan
referensi yang ada.
Pemasangan Guedel atau yang lebih dikenal dengan Oro-Pharyngeal Airway
yaitu untuk mencegah dan menahan lidah agar tidak jatuh menutup hipofaring selama
dilakukan operasi.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan intubasi endotrakeal yaitu
sebagai berikut :
a. Komplikasi tindakan laringskop dan intubasi
- Malposisi berupa intbasi esofagus dan endobrokial serta malposisi laringeal
cuff
- Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa
mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal
- Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intrakranial meningkat
- Malfungsi tuba berupa perforasi cuff

b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal


- Malposisi berupa ekstubasi yang terjai sendiri, intubasi ke endotrakeal dan
malposis laringeal cuff

36
- Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan laserasi mukosa serta ekskoriasi kulit
- Malfungsi tuba berupa obstruksi

Pada saat operasi berakhir, pasien memsauki prosedur pemulihan yaitu


pengembalian fungsi respirasi pasien dari respirasi terkontrol menjadi respirasi
spontan. Adapun syarat untuk dilakukan ekstubasi yaitu :

- Pasien dalam keadaan sadar.


- Tidak ada insufisiensi nafas
- Tidak ada gangguan sirkulasi ( Tekanan darah stabil )
- Mampu bergerak bila diperintah
- Kekuatan otot telah pulih
- PaO2 diatas 80 mmHg
Pada pasien kasus ini, dilakukan ekstubasi saat pasien telah sadar penuh dan
dan memenuhi syarat ekstubasi diatas.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyatno, Pasaribu ET. Bedah onkologi : diagnostic dan terapi. Jakarta : Sagung
Seto ; 2009. P:121-147
2. Amerogen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih Bahasa
Rafiah Abyono. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. 1988
3. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 7 th. Jakarta: EGC. 1994
4. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala. Perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya: FK UNAIR; 2002.p.8-36
5. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer. NEJM 2001;
345:1890-900
6. Oedono T., 2002, Airway Obstruction, Emergency Case Respiratory, Gadjah Mada
University ; Yogyakarta
7. Wiryoatmodjo K., 2000, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional : Jakarta
8. Latief dkk, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta
9. Dobson M., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.

38

Anda mungkin juga menyukai