Anda di halaman 1dari 8

Etika Distribusi

Pertanyaan, untuk siapa kita melakukan kegiatan produksi ? juga berimplikasi pada
pertanyaan: untuk siapa kita akan menahan sebagian barang dan jasa ?. Tak dapat dipungiri,
berbagai prinsip keadilan ekonomi memandang problem distribusi secara berbeda. Kohesi dan
stabilitas masyarakat sangat tergantung pada harmoni pandangan-pandangan individu tentang
masalah-masalah sosial utama. Tujuan utama dari bab ini adalah memeberikan penjelasan
mengenai skema distribusi dan bagaimana memperlakukan mereka yang kurang beruntung.
A. Al-Dulah: Objek dan Basis
Distribusi adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melakukan pemindahan atau transfer
sesuatu. Argumen pentingnya aktivitas distribusi diungkapkan dalam al-Quran dengan istilah
Dullah yang artinya peredaran. Yakni Q.S. al-Hasr 59:7.
Apa saja harta yang diberikan Allah yang diberikan kepada Rosul yang berasal dari penduduk-
penduduk kota, adalah Rosul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu
stabil, supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.
1. Pertukaran
Menurut prinsip pertukaran, seorang diberikan hak untuk mengambil dari pendapatan
bagian atau proporsi sesuai dengan kontribusi yang telah diberikannya. Kita dapat
melihat bahwa pertukaran sebagai basis bagi distribusi mempunyai landasan yang
kokoh dalam prinsip sejauh dikaitkan dengan balasan terhadap usaha yang telah
diupayakan. Pelanggaran atas kriteria ini dapat diapandang sebagai indikasi
ketidakadilan. Orang yang telah melakukan kontribusi melalui jasa atau kerja yang
dilakukannya, maka ia berhak untuk memperoleh atau menerima imbalan atau upah
atas jasa tersebut.
2. Kebutuhan
Menurut prinsip kebutuhan, sangat mungkin bagi seorang untuk mengambil dari
pendapatan atau bagaikan sesuai dengan kebutuhannya tanpa memandang apa yang
telah ia konstribusikannya. Jadi, ia yang mempunyai keluarga akan memperoleh bagian
lebih dari daripada yang masih sendiri meskipun kerja mereka sama. Mereka yang tidak
memiliki kemampuan dan ketrampilan memperoleh sesuatu walaupun tidak
memberikan kontribusikan apa pun.

3. Kekuasaan
Menurut prinsip kekuasaan / kemampuan, seorang yang mempunyai kekuasaan atau
nilai lebih memperoleh lebih juga. Prinsip ini bisa mencangkup kecakapan, baik dalam
intelektualitas maupun ketrampilan hidup. Karena modal kemampuan inilah seorang
dapat menghasilkan keutamaan yang berbeda pula.
4. Sistem sosial dan nilai etis
Kriteria lain yang diapdosi oleh masyarakat dan tidak termasuk dalam kriteria diatas,
dapat dilihat pada basis sistem nilai sosial dan prakteknya atau atas nilai-nilai etik
masyarakat. Beberapa contoh distribusi atas dasar nilai-nilai dan prakteknya alah
mengalokasikan dalam masyarakat sebagian pendapatan nasional untuk para pegawai,
mengalokasikan dana pada otoritas publik untuk merelasiakan kepentingan-
kepentingan publik, dan lain-lain.
B. Distribusi Input Produksi
Skema distribusi perlu didefinisikan melalui perumusan sejumlah ukuran dan kebijkan
distribusi yang dipandu oleh aturan-aturan Syariah dengan seluruh implikasi ekonomi
dari ukuran-ukuran tersebut. Beberapa ukuran yang berkenaan dengan distribusi para
produksi atas sumber daya atau kekayaan alam dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Prinsip kemitraan
Prinsip kemitraan atau partisipasi dalam kepemilikan sumber daya alam milik
publik sebagaiaman dinyatakan al-Quran, tidak dibahas dalam prinsip keadilan
kontemporer manapun. Prinsip berbasis sumber daya pun sesungguhnya tidak
membahas masalah ini. Prinsip ini ayan mengatakan bahwa setiap orang berawal
dengan sumber daya yang sama, tetapi boleh jadi akan berakhir dengan
kesehjahteraan ekonomi yang berbeda sebagai akibat pilihan-pilihan mereka
sendiri. Namun, prinsip ini jelas ditolak karena tidak sesuai dengan kenyataan
alamiah bahwa setiap orang memandang berbeda sejak awal, dan akan berakhir
dengan perbedaan juga.
2. Larangan atas Pemagaran
Pemagaran secara langsung bertentangan dengan prinsip kemitraan atas manfaat
kekayaan alam dari tanah yang tidak bertuan. Jadi, larangan atas pemagaran pada
hakikatnya adalah menegaskan kembali prinsip kemitraan tersebut. Kebijakan
ekonomi berupa larangan pemegaran dan kemitraan menjadi nyata ketika kita
memperhatikan ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh para penyewa gurem di
Inggris sebagai akibat pemagaran. Ini membawa pada lahirnta gerakan pemagaran
oleh para tuan tanah untuk menumpuk kebutuhan hidup dalam jumlah besar dan
merampas hak-hak penyewa gurem untuk meningkatkan kebutuhan hidup yang
kurang beruntung. Semua ini pada gilirannya membawa pada penderitaan hidup
para penyewa gurem, terusir dari tanah mereka dan melahirkan beberapa
pemberontak.
3. Menghidupkan tanah tidak reproduktif
Tanah yang tidak bertuan dap atau tidak digunakan oleh dan untuk kemaslahatan
publik disebut tanah mati, dan karenanya diijinkan untuk mengihidupkannya
kembali melalui penanaman dan budidaya. Tanah mati adalah tanah yang tidak
produktif. Ini tdaiak berarti bahwa tanah tersebut tidak diperbaiki, atau tidak ada
kemungkinan untuk dihidupkan kembali. Dengan kata lain, upaya menghidupkan
kembali tanah mati itu membutuhkan biaya dan usaha tertentu sehingga menjadi
produktif. Untuk menghidarkan tanah yang tidak produktif, di sini berlaku
mekanisme iqta, yaitu meminjamkan kepemilikan atau mengambil hak atas tanah
oleh penguasa terhadap individu. Dalam pengambilan hak, diperlukan suatu
perjanjian untuk mengekploitasi atau lisensi yang diberikan negara kepada negara
atau korporasi.
4. Regulasi barang tambang
Istilah maadin (barang-barang tambang) merujuk pada seluruh unsur yang diambil
dari tanah kecuali tanah lempung, seperti emas, perak, bijih besi, batu bara dan
sebagianya Regulasi barang tambang memiliki pengaruh kuat dan langsung atas
distribusi , yang bervariasi dari kewajiban kemitraan semua penduduk dalam
pemanfaannya dalam situasi tertentu hingga kebolehan kepemilikan individu dalam
situasi lain dengan menekankan pajak yang berapa zakat dan fay.
C. Distribusi Output Produksi
Distribusi output produksi berkaitan dengan pendpatan dan kekayaan. Distribusi adalah
masalah yang paling luas dan tajam kontroversinya dan hingga kini masih menjadi
problem di berbagai negara demokratis modern. Karena ini menyangkut bagaimana
kesejahteraan ekonomi penduduk sangat tergantung pada cara dimana pendapatan dan
kekayaan total suatu negara didistribusikan kepada seluruh warganya. Skema distribusi
pendapatan dan kekayaan menurut kerangka al-Quran, sebagaimana akan dijelaskan
berikut ini.
1. Menghadiahkan surplus pemanfaatan modal.
Studi secara cermat atas al-Quran menyatakan bahwa prinsip memberikan surplus
tidak terbatas pada sumber daya alam terbukan namun juga mencangkup
pemanfaatan modal produksi secara umum. Pemanfaatan modal produksi itu bisa
berupa alat-alat domestik atau perabot rumah tangga seperti alat-alat untuk
memasak, instrumen profesional seperti palu,gergaji, dan menyumbangkan manfaat
binatang atau hewan. Contoh donasi manfaat ini bisa dilihat meminjamkan binatang
untuk tunggangan dan angkutan.
2. Sistem warisan kekayaan
Warisan mendistribusikan dan mentransfer kekayaan dari orang yang meninggal
kepada anggota keluarganya yang berhak tanpa memandang apakah kontribusi atau
tidak atas kekayaan orang meninggal. Di sisi lain, warisan menunjukkan bahwa
kepemilikan harta seorang pada gilirannya harus berakhir bersamaan dengan
meninggalnya si pemilik dan sesudah itu kekayaannya sepenuhnya menjadi hak
mereka yang ditinggalkan.
3. Zakat
Sebagai pilar ketiga dalam rukun islam, zakat merupakan suatu kriteria kedalian
distributif segan dampak sangat luas. Pada hakikatnya zakat adalah sejumlah
ketetapan/ukuran yang manfaat dan keuntungannya mempunyai beberapa
karakteristik ekonomis. Zakat mencerminkan tanggung jawab dan fungsi sosial dari
kekayaan untuk membantu mereka yang kurang beruntung.
4. Wakaf
Wakaf merupakan suatu mekanisme transfer kekayaan dari kepemilikan sosial-
kolektif dan kepentingan bersama. Pemanfaatan wakaf adalah untuk mendanai,
fungsi sosial dan ekonomi yang penting seperti pendidikan, kesehatan dan
keamanan sosial, serta pemabangunan masjid. Wakaf terbukti berhasili dalam
membawa perubahan mendalam dalam kesejahteraan dan kebutuhan hidup. Dengan
cara ini, al-Quran membuktikan kontribusi dan efektivitas sektor-sektor sukarela
dalam skema distribusi kekayaan dan pendapatan demi kepentingan masyarakat
luas.
D. Distribusi pendukung
Ada beberapa dasar-dasar al-Quran yang secara tidak langsung menyebutkan tetapi
memiliki dampak distributif yang cukup penting.
1. Riba
Setidaknya ada dua hal penting yang dapat dijadikan prinsip, yakni pinjaman
konsumtif berbunga akan memberi peluang bagi arang kaya untuk mengekploitasi
orang lemah dan miskin yang membutuhkan. Prinisp ini membantu untuk
meredistribusi pendapatan sesuai dengan ketulusan orang kaya. Kedua dalam kasus
pinjaman produktif berbunga, yang terpenting bagi peminjam adalah kepastian
tentang pengembalian modal dengan bunga pinjaman yang telah ditentukan.
2. Pelarangan Penimbunan Harta
al-Quran melarang menimbun harta karena perilaku demikian membuat distribusi
terhambat dan terjadinya kelangkaan yang dapat melahirkan inflasi.
3. Larangan Monopoli
Larangan monopoli karena dapat menimbulkan ketidakseimbangan pasokan barang
dan jasa membuka peluang permainan harga demi kepentingan dan keuntungan
ekonomi produsen atau distributor tertentu dan pada saat melahirkan kesenjangan
yang semakin lebar dan luas.
Etika konsumsi
A. Preferensi : Antara Kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan dalam ilmu ekonomi merujuk pada keinginan-keinginan manusia aditambah
dengan kehendak dan kekuasaan untuk memenuhinya. Kebutuhan yang efektif adalah
kebutuhan yang dapat dipenuhi. Kebetuhan dan pemenuhannya merupakan persoalan
utama dalam perjuangan ekonomi manusia. Keinginan manusia pada dasarnya tidak
terbatas. Secara praktis tidak ada akhir bagi keinginan tersebut. Al-Quan menecegah
penggunaan secara berlebihan dan bros melalui perbedaan antara yang perlu dan tidak
perlu dengan membagi semua jenis bara dan jasa kategori meliputi kebutuhan,
kelengkapan, dan kesenangan.
1. Kebutuhan (Daruriyyat)
Daruriyyat sering digunakan untuk merujuk pada semua barang dan jasa yang
memenuhi sesuatu kebutuhan primer atau mengurangi kesukaran dan dengan demikian
menjadikan satu perbedaan nyata dalam kesejahteraan manusia. Kebutuhan primer itu
meliputi pangan, sandang dan papan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka
mengancam kelangsungan hidup atau survival manusia di muka bumi.
Al-Shabiti menyebutkan hal-hal yang sifatnya daruriyyat adalah
a. Menjaga agama.
b. Menjaga jiwa.
c. Menjaga akal sehat.
d. Menjaga harta.
e. Menjaga keturunan.
Dalam melakukan aktivitas ekonomi yang cukup untuk menjaga lima darurat tersebut.
2. Kelengkapan (Hajiyyat)
Hajiyyat adalah ungkapan yang dipergunakan untuk semua barang dan jasa yang tidak
mungkin diklasifikasikan secara tegas ke dalam kelengkapan, dan beberapa
fleksibilitas sangat dikehendaki dalam mendefinisikan kategori ini. Dalam kategori ini
dalam ilmu ekonomi biasa disebut dengan kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder
ini merupakan kelengkapan yang berada di selintas kebutuhan pokok dan berfaedah
serta melengkapi daruriyyat. Berbagai kerajinana, aktivitas ekonomi dan industri
sekaligus produk dan jasanya termasuk dalam kategori kebutuhan sekunder.
3. Kesenangan (Tahsiniyyat)
Kategori ini berkait dengan kesenangan. Bahwa kesenangan, kenikmatan, dan
perhiasan di dunia ini diperbolehkan. Inilah yang disebut sebagai kategori tahsaniyyat,
yakni termasuk yang digunakan untuk semua barang dan jasa yang dikehendaki untuk
memperindah atau menghiasi kebutuhan dan kelengkapan pada umunya dan
bersifat kontemporer, degan menghindarkan dari keadaan yang dipandang rendah oleh
akal sehat. Jenis-jenis barang kesenangan ini biasa disebut tertiary goods. Misalnya,
mempergunkan perhiasan, memakai pakaian bagus, dan mengemudikan kendaraan
dengan model terbaru. Semua ini diperkenakan sepanjang tidak berlebih-lebihan dan
bakhil atau kikir, namun mengambil jalan tengah.

B. Batas Perilaku Konsumen


1. Melampaui batas maksimal : isra, tabdhir, dan taraf/batar
Mengonsumsi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup hukunta dasarnya adalah mubah,
sehingga ada batasan yang menetapkan ketidakbolehan sebagaimana tersebut dalam al-
Quran. Melamapui batasan maksimal dalam konsumsi,menurut al-Quran, disebut
melalui empat kata kunci utama , yakni isra, tabdhir, dan taraf/batar. Pembahasan yang
diupayakan untuk memahamim batasan-batasan itu.
1. Indikator berlebihan (israf)
Israf adalah melampui batas dalam setiap tindakan manusia, dapat berupa tindakan
melapui kecederaan dalam konsumsi dari apa yang yang dihalalkan oleh Allah, dan
membelanjakan bukan untuk ketaatan pada Allah baik dalam kuantitas kecil maupun
besar, dan membelanjakan bukan untuk haknya. Tindakan berlebih-lebihan dapat
menunjukkan beberapa indikator dari israf yakni, mengonsumsi segala sesuatu yang
diinginkan, mengonsumsi lebih dari apa yang dibutuhkan, dan mengonsumsi lebih dari
sepertiga penghasilan.
2. Indikator pemborosan (tabdhir)
Batasan kedua adalah tabdhir (pemborosan). Tabdir meliputi segala hal berserakan
dan merusak, rusaknya harta dan infak karena berlebih-lebihan termasuk
membelanjakn harta dalam kemaksiatan. Nilai keadilan di dalam larangan atas perilaku
pemoborosan terletak pada: Pembuangan secara sia-sia manfaat atau utilisasi harta
sementara masih banyak orang membutuhkannya.Jika suatu barang dimiliki seorang
dalam jumlah melebihi apa yang dibutuhkan, pada saat yang sama ada orang
kekurangan, maka jumlah lebih itu menjadi pemborosan apabili utilisasinya tidak
dimaksimalkan dengan cara meminjamkan atau memberikannya secara cuma-cuma.
3. Indikator bermewah-mewahan (taraf/batar)
Batasan yang ketiga adalah taraf atau batar, keduanya memilki makan serupa, yakni
pola konsumsi batas yang dibutuhkan secara wajar. Larangan atas konsumsi
bermewah-mewahan terletak pada: Pertama, perilaku taraf/batar cenderung
memperlihatkan kekayaan kepada orang lain secara mencolok, semata-mata untuk
memenuhi tuntutan gaya hidup. Kedua, tidak memiliki kesempatan berinfak sebagai
akibat hartanya lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi memenuhi kebutuhan dan
keinginan.
2. Melampaui Batas Minimal: Kikir (Qatr) dan Bakhil (Bukhl)
Membelanjakan dan memanfaatkan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
disamping tidak diperkenankan melampaui batasan maksimal, juga sebaliknya dialarang
melampaui batasan maksimal. Artinya, perilaku konsumsi tidak diperkenakan terlalu
minimalis, dibawah standar kehidupan yang layak dan wajar menurut ukuran yang berlaku
umum. Karena itu, perilaku konsumsi yang kikir dan bakhil perlu dihindarkan.Perilaku
kikir tidak mencerminkan dilihat dari tiga sisi. Pertama, pemenuhan kebutuhan dan
keinginan individu kurang layak sedangkan kekayaan yang dimiliki cukup untuk
menutupinya, dan kikir mengabaikan pentingnya memelihara kualitas keluar dan
keturunan. Kedua, kikir atau bakhil tidak mendorong aktivitas konsumsi dan produksi,
karena tingkat konsumsi yang terlalu rendah dengan sendirinya berpengaruh pas tingkat
produksi. Ketiga, kikir tidak memotivasi diri dan orang lain untuk berbuat ihsan terhadap
sesamanya, karena hartanya tidak memberikan manfaat lebih besar bagi baik diri sendiri
maupun orang lain.
C. Tauhid
1. Tauhid
Dalam perspektif islam, kegiatan ekonomi dilakukan dalam rangka beribadah kepada
Allah Azza Wa Jalla, sehingga senantiasa berada dalam hukum Allah. Karena itu, orang
mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-Nya dan memuaskan
dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah yang diciptakan (Allah) untuk umat
manusia. Nilai ini adalah implementasi dari firman Allah mengenai tujuan penciptaan
manusia.
Adapun dalam pandangan kapitaslime, konsumsi merupakan fungsi dari keinginan
nafsu, harga barang, dan pendapatan, tanpa memedulikan dimensi spiritual,
kepentingan orang lain, dan tanggung jawab atas segala perilakunya, sehingga pada
ekonomi konvensional manusia diartikan sebagai individu yang yang memilki siat
homo economicus.
1. Adil
Pemanfaatan atas karunia Allah harus dilakukan secara adil dengan Syariah,
sehingga di samping mendapatkan keuntungan materiil, ia juga sekalugus merasakn
kepuasan spiritual. Al-Qur;an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik
untuk hal-hal yang bersifat materiil maupun spiritual untuk menjamin adanya
kehidupan yang berimbang antara kehidupan dumi dan akhirat. Oleh karenanya,
dalam Islam konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata,
namun juga untuk kepentingan di Jalan.
2. Kehendak Bebas (Free Will)
Alam semesta milik Allah yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya
dan kesempurnaan dan kesempurnaan atas makhluk-mahluk-Nya. Manusia diberi
kekuasaan untuk mengambil kekuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai
dengan kemauannya atas barang-barang ciptaan Allah. Atas segala karunia yang
diberikan Allah, manusia dapat berkendak bebas, namun kebebasan ini tidaklah
berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab
akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Allah. Sehinga kebebasan
dalam melakukan aktivitas haruslah tetap memilki batasan agar tidak menzalimi
pihak lain. Hla inilah yang tidak terdapat dalam ekonomi konvensional, sehingga
terjadi kebebasasan yang dapat mengakibatkan pihak lain menjadi menderita.
3. Amanah
Manusia merupakan khalifah atau pengemban amanah Allah. Manusia diberi
kekuasaan untuk melakukan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil
keuntungan dan manfaat sebanyk-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal
melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan
mempertanggung jawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseringan alam,
masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggunga jawab sebagi
seorang Muslim bukan hanya kepada Allah namun juga kepada lingkugan. Karena
itulah manusia tidak boleh semena-mena mengeksplorasi dan mengekploitasi
semua dan semaunya tanpa memperhatikan keberlangsungan ekosistem dan nilai-
nilai ekonomis jangka panjang. Jika ekonomi konvensional, baru mengenal istilah
corporate social responbility, makan ekonomi Islam telah mengenalnya sejak lama.
4. Halal
Dalam kerangka acuan islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah
barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta
menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual.
Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat
digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam
Islam bahkan dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsi hukumnya
terlarang.
5. Sederhana
Islam sangat melarang pernuatan yang melampaui batas (israf), termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewahan), yaitu memebuang-buang
harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya
memperturutkan nafsu semata. Allah sangat menegcam setiap perbuatan yang
melampaui batas.

Anda mungkin juga menyukai