Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU, ARTIKEL TENTANG AGROEKOSISTEM DAN

PRODUKSI PRIMER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Tanaman

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Ir. Sumarsono, MS.

Disusun oleh:

Reeno Perfecta Gennio

23030115130083

PROGRAM STUDI S-1 AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
AGROEKOSISTEM

Pertanian dapat dianggap sebagai bentuk usaha dalam mengadakan suatu


ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi manusia,
dimana pada pelaksanaannya manusia mengalami beberapa kendala yang serius.
Agroekosistem merupakan inovasi untuk mengupayakan pertanian yang
tersistematis secara berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan manusia serta
dapat menangani berbagai permasalahan yang dapat memperburuk kondisi
ekologi di bumi. Tujuan penelitian mengenai agroekosistem untuk mengkaji
tingkat daya tahan ekologi, kemampuan, dan stabilitas secara keberlanjutan suatu
agroekosistem (Susanto dan Winata, 2001). Agroekosistem adalah sistem
interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik, sumber daya pedesaan dan
pertanain guna meningkatkan kelangsungan hidup penduduknya. Komponen
Agroekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Komponen biotiknya
dapat berupa produsen jasad-jasad hidup yang mampu menngkap energi matahari
untuk dibentuk sebagai suber energi, konsumen (herbivora, karnivora, dan
omnivora), dan dekomposer (mikrobia dan hewan pengurai). Komponen abiotik
terdiri dari air, udara serta gas penyusun atmosfer, suhu, tanah, cahaya matahari,
salinitas.
Untuk mempemudah dalam penganalisisannya agroekosistem digolongkan
dalam beberapa tipe yang dilihat dari berbagai aspek. Menurut jenis varietas
tanaman budidayanya agroekosistem digolongkan menjadi monokultur dan
polikultur. Berdasarkan kondisi lahannya agroekosistem digolongkan menjadi
lahan kering, lahan basah, gambut, dan rawa. Dilihat dari penggunaan lahannya
agroekosistem digolongkan menjadi perkebunan, persawahan, ladang,
agroforestri, kebun/pekarangan campuran. Pengamatan dapat dilakukan untuk
mempermudah penelitian mengenai perkembangan agroekosistem dangan
delineasi zona agroekosistem yang biasanya didasarkan pada aspek fisiografi, ikli,
dan jenis tanaman (Rusna, 2008)
Agroekosistem kini mulai menarik perhatian masyarakat umum, hal
tersebut dikarenakan permasalahan yang timbul dalam lingkup agroekosistem
yang mengancam pemenuhan kebutuhan manusia. Permasalahan umum
agroekosistem antara lain degradasi lahan, kerusakan tubuh tanah, perubahan
iklim dan lainnya. Contoh nyata pada keberlanjutan/tradisi masyarakat membakar
bagian tanaman sisa panen. Keberlangsungan agroekosistem secara langsung
dipengaruhi oleh perubahan iklim yang kini mulai menimbulkan masalah utama,
akibat dari memburuknya kondisi bumi dan perubahan iklim.
Pemupukan yang melebihi kebutuhan tanah dapat menyebabkan tanah
menjadi asam yang dapat menurunkan produksi tanaman. Pupuk yang larut ke
sungai dapat menjadi polusi pencemar, dimana dapat menyebabkan ganggang
serta tumbuhan sungai menjadi berkembang biak pesat dan mengakibatkan hewan
di sungai tersebut kekurangan oksigen. Semakin sempitnya lahan pertanian dan
ketergantungan para petani dalam menggunakan pestisida, pupuk anorganik serta
varietas unggul juga menjadi masalah utama agroekosistem dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi manusia. Untuk menentukan arah perkembangan
agroekosistem secara baik, aspek resistensi hama dan resugensi hama serta
ledakan populasi hama sekunder perlu ikut dipertimbangkan. Arah pengendalian
hama adalah menciptakan infrastruktur ekologi yang seimbang dalam
agroekosistem dengan melengkapi sumber energi yang diperlukan, seperti
makanan bagi musuh alami, mangsa atau inang alternatif bagi musuh alami, dan
perlindungan dari cuaca yang merugikan (Karmawati, 2010).

Karmawati, E. 2010 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete


berdasarkan ekologi: strategi dan implementasi. Pengembangan Inovasi
Pertanian 3 (2) : 102-119.

Rusna, I. W. 2008. Karakteristik zone agroekosistem dan kesesuaian lahan di


lereng selatan gunung batukaru kabupaten tabanan. 1 (8): 1-16.

Winata, A. Dan A. Susanto. 2001. Pendekatan agroekosistem dalam upaya


optimasi pemanfaatan lahan daerah surut (sraw down area) waduk. Laporan
penelitian Universitas Terbuka.
PRODUKSI PRIMER

Dalam suatu ekosistem terdapat produsen yang merupakan tumbuhan hijau atau
mahluk hidup autotrof. Produsen memiliki peran penting karena dapat
mengkonversi cahaya matahari sebagai sumber energi untuk pemenuhan
kebutuhannya dan aliran kebutuhan sumber energi bagi lingkungannya.
Produktivitas primer adalah pengubahan energi cahaya oleh produsen atau
autotrof yang disimpan atau ditambat dalam waktu tertentu guna keberlangsungan
aliran energi pada suatu ekosistem. Produktivitas primer suatu ekosistem
hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari jumlah autotrof
fotosintetik yg terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman
tegakan (standing crop biomass). Menurut Campbell (2002), produktivitas primer
menunjukan jumlah energi cahaya yang diubah menjadi energi kima oleh autotrof
suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu.
Produktivitas primer digolongkan menjadi produktivitas primer kasar
(GPP) yang merupakan hasil asimilasi total energi dan produktivitas primer bersih
(NPP) yang merupakan penyimpanan energi di dalam jaringan tubuh tumbuhan.
Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh
organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme
tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organik
dalam respirasinya. Net Primary productivity (NPP) dapat dihitung dengan
mengurangkan jumlah gross primary productivity (GPP) dengan energi yang
digunakan untuk berespirasi. Menurut Brown et al. (2011), GPP dapat dihitung
dengan menjumlahkan NPP, respirasi tanaman dan total fluktuasi karbon yang
terjadi dibawah tanah.
Proses-proses dasar produktivitas merupakan faktor penentu yan
mempengaruhi produksi primer. Proses fotosintesis memanfaatkan sekitar 1-5%
keseluruan energi untuk mengubah energi kimia menjadi panas. Gula yang
dihasilkan dalam fotosintesis dapat dimanfaatkan dalam proses respirasi untuk
menghasilkan ATP dan dapat dikonpersi menjadi senyawa organik lain seperti
lignin, selulosa, lemak, dan protein. Estimasi potensi produktivitas primer
maksimum dapat diperoleh dari efisiensi potensial fotosintetis. Proses respirasi
umumnya menggunakan 10-75% dari keseluruhan karbohidrat yang tersedia,
bergantung dari jenis tanamannya.
Faktor lingkungan juga menjadi komponen utama dalam proses dasar
produktivitas. Faktor lingkungan dibagi menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi struktur dan komposisi komunitas, jenis dan
usia tumbuhan, serta peneduhan. Faktor eksternal cahaya, karbohidrat, air, nutrisi,
suhu, dan tanah.
Metode penentuan produktivitas primer dapat dilakukan dengan metode
penuaian, metode penentuan oksigen, metode penentuan karbondioksida, metode
radioaktif, dan metode penentuan klorofil. Pengukurannya dapat dilakukan
dengan beberapa metode seperti metode biomassa, metode penandaan dan
metode metabolisme. Penelitian produktivitas di Indonesia umumnya
menggunakan metode penandaan. Produktivitas yang diperoleh dari hasil
pengukuran ini bisa lebih kecil dari produktivitas yang sebenarnya karena tidak
memperhitungkan kehilangan seresah, pengaruh grazing hewan-hewan herbivore
yang memakan tumbuhan. Beberapa peneliti membagi biomassa atau
produktivitas menurut letaknya terhadap substrat yaitu biomassa di atas substrat
(meliputi batang, helaian dan pelepah daun) dan biomassa di bawah substrat
meliputi akar, dan rhizome (Gelong, 2016).

Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi (terjemahan), Edisi


kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Gelong, E. S. 2016. Diversitas dan biomassa epifit pada lamun Enhalus acoroides
pada berbagai gradien eutrofikasi di kepulauan spermonde. Skripsi
Universitas Hasanuddin Makasar.

Brown, H. E. et al. 2011. Soil C/N influences the carbon flux and partitioning in
control and fertilized mini-plots of pinus radiata in New Zeland. Cienc. Inv.
Agr. Scielo. 2 (32) :277-289.

Anda mungkin juga menyukai