Anda di halaman 1dari 12

1.

Gangguan somatoform
a. Definisi

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, gangguan


somatoform diganti dengan gangguan gejala somatic (somatic symptom disorder) dengan
definisi sekelompok gejala penyakit dan/atau perhatian berlebihan terhadap penyakit medis
gejala yang timbul tanpa sebab yang jelas[1].

Dalam versi terbaru dari International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems, istilah gangguan somatoform masih dipakai dan difenisikan sebagai
suatu kategori dari gangguan kejiwaan yang dicirikan dengan adanya gejala fisik yang
menyugestikan suatu kondisi medis tetapi tidak dapat dijelaskan dengan jelas dengan
alasan medis apapun[2].

Menurut Sadock dan Sadock, gejala fisik ini tidak dapat dijelaskan dengan baik dan
memiliki kaitan dengan peningkatan kunjungan medis, tes medis yang tidak diperlukan,
dan prosedur yang dapat menyebabkan komplikasi iatrogenic[3]. Ciri utama dari penyakit
ini adalah pasien dibayangi oleh pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak proporsional
dan berlebihan yang berpusat pada sensasi somatik yang dirasakan.

b. Epidemiologi

Dalam suatu studi yang dilakukan oleh WHO di sembilan negara, hanya sepertiga dari
seluruh kasus yang memiliki penyakit yang dapat didokumentasikan dan setidaknya
sepertiga kasus memiliki diagnosis gangguan mental . Pada penelitian terpisah di Eropa,
gejala somatis merupakan salah satu masalah kejiwaan utama. Pada penelitian di Jerman,
misalnya, mendapatkan setidaknya 20% populasi pernah menderita satu penyakit idiopatik.
Di Swiss, angka tersebut lebih tinggi, yaitu 80% populasi.

Faktor risiko untuk somatisasi meliputi:

Seks perempuan
Lebih sedikit tahun pendidikan
Status etnis minoritas
Status sosioekonomi rendah
c. Etiologi

Menurut Sadock dan Sadock, penyebab gangguan gejala somatik dapat dibagi kedalam tiga
model biopsikososial, antara lain (1)Kerentanan genetik dan biologis; (2)Pengaruh
lingkungan; dan (3)Elemen psikologi dan perilaku[2]. Ketiga faktor ini kemudian dapat
bertemu dalam suatu jalur umum dari somatic presentation. Proses kompleks ini
diperankan oleh kerentanan biologis (peningkatan sensitivitas terhadap rasa sakit,
ketajaman proprioseptif), pengalaman traumatik pada masa awal pertumbuhan (kekerasan,
pelecehan, kekurangan), faktor yang dipelajari (perhatian yang didapat pada saat sakit),
dan faktor psikologis dapat menyebakan perkembangan karakter dan gagal
berkembangnya kemampuan mengekspresikan perasaan beremosi.

(1) Kerentanan genetik dan biologis

Beberapa, tetapi tidak semua, penelitian mengindikasikan adanya pola familial dari
gangguan somatisasi . Perlu diketahui, predisposisi ini dapat memiliki kaitan terhadap
kecendrungan stress dan bukan murni gangguan somatisasi[4]. Beberapa studi bahkan
menemukan

(2) Faktor Lingkungan


Penyakit ini umumnya timbul pada individu dengan kondisi sosioekonomi yang
rendah, pasien pada negara berkembang, dan pasien dengan ras tertentu. Variasi
dari gejala yang timbul pada kasus umumnya merupakan hasil dari interaksi antara
faktor-faktor lingkungan dan kebudayaan dari pasien.
(3) Faktor Psikologis
Pasien dengan kepribadian seperti sugestibilitas, perilaku dramatis, dan flamboyan
memiliki hubungan erat dengan histeria (Histrionic personality). Alexithymia
(ketidakmampuan untuk memproses dan menyampaikan emosi secara normal) juga
memiliki kecendrungan terkena gangguan somatisasi.
d. Faktor Resiko
Faktor resiko dari gangguan somatisasi antara lain :
Seks perempuan
Lebih sedikit tahun pendidikan
Status etnis minoritas
Status sosioekonomi rendah
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama pada somatisasi adalah adanya sejarah kronik dari gejala fisik
yang tidak dapat dijelaskan. Manifestasi fisiknya dapat berupa berbagai hal{5}, seperti
Gejala nyeri, termasuk sakit kepala, sakit punggung, disuria, nyeri sendi, nyeri
menyebar, dan nyeri ekstremitas
Gejala gastrointestinal, termasuk mual, muntah, sakit perut, kembung, dan diare.
Gejala kardiopulmoner, termasuk nyeri dada, pusing, sesak napas, dan palpitasi
Gejala pseudoneurologis, termasuk pingsan, pseudoseizures, amnesia, kelemahan
otot, disfagia, penglihatan ganda atau kabur, sulit berjalan, sulit buang air kecil,
tuli, dan serak atau aphonia.
Gejala organ reproduksi, termasuk dispareunia, dismenore, dan sensasi terbakar
pada organ kelamin

Selain itu, pasien dengan somatisasi umumnya memiliki komorbiditas dengan ansietas
dan depresi. Dalam suatu penelitian terhadap 300 pasien dengan gangguan somatisasi,
[6]
58% dari pasien memiliki komorbiditas dengan ansietas dan depresi . Studi lain
dengan 10.000 pasien pada tingkat pelayanan primer menemukan bahwa pasien dengan
somatisasi enam kali lipat lebih mungkin memiliki manifestasi ansietas atau depresi
(30 banding 5) [7].

Selain ansietas dan depresi, gangguan kepribadian juga memiliki hubungan erat dengan
somatisasi. Kepribadian seperti avoidance, paranoia, self-defeating, dan obsessive-
compulsive memiliki kemungkinan lebih tinggi terkena somatisasi.
f. Patogenesis
Patofisiologi dari gangguan somatisasi belum diketahui dengan jelas. Gangguan
somatisasi diduga berhubungan dengan peningkatan kewaspadaan sensasi tubuh yang
pada awalnya normal atau heightened awareness.
Heightened awareness mungkin berhubungan dengan bias kognitif yang
mengintepretasikan gejala psikis sebagai suatu indikasi keluhan penyakit tertentu.
Autonomic arousal atau tanda dan gejala yang timbul yang dimediasi oleh sistem saraf
otonom mungkin meningkat pada pasien dengan gangguan somatisasi.
Autonomic arousal mungkin juga berhubungan dengan efek-efek fisiologis pada
komponen endogen nonadregenik, misalnya seperti takikardia atau hipermotilitas
lambung. Autonomic arousal yang tinggi mungkin juga dapat menginduksi tegangan
otot dan nyeri yang berhubungan dengan hiperaktivitas otot, sama seperti saat
mengalami muscle tension headaches.
Beberapa studi mengenai gambaran radiologi otak menunjukkan bahwa ada
hubungannya diantara satu atau lebih gejala-gejala somatisasi, dengan pengurangan
volume amigdala dan pengurangan konektivitas diantara amigdala dan regio otak yang
berfungsi sebagai pusat kontrol dan fungsi motorik.
Sebuah jurnal membahas patofisiologi gangguan somatisasi dari segi
psikoneuroimunologi, yang membahas bagaimana fungsi otak bisa memodulasi
aktivitas sistem imun dan mediator yang diproduksi oleh sistem imun yang berefek
terhadap otak.
Mekanisme yang mungkin berhubungan antara keluhan pasien dengan proses inflamasi
adalah adanya aktivasi dari sistem imun oleh suatu pathogen-associated molecular
patterns yang menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi lokal.
Sitokin pro-inflamasi diproduksi di perifer oleh sel imun sebagai respon terhadap
pathogen-associated molecular patterns or sinyal yang berbahaya, seperti protein heat
shock yang diproduksi oleh sel mati. Sitokin pro-inflamasi tersebut menginduksi
diproduksinya sitokin pro-inflamasi yang sama di dalam otak.
Sitokin pro-inflamasi otak bereaksi pada beberapa area otak dan menginduksi gejala-
gejala yang bersifat non-spesifik, seperti letih, mood yang depresi, dan gangguan
kognitif. Produksi dan reaksi sitokin pro-inflamasi tersebut, baik di perifer maupun di
CNS, diatur oleh jumlah molekul yang berlawanan seperti sitokin anti-inflamasi,
hormon steroid (glukokortikoid), dan neuropeptida seperti -melanotropin (-MSH)
and vasopressin (AVP).
g. Algoritma Penegakan Diagnosis

Diagnosis dari DSM-V terhadap gangguan somatik dapat dilihat pada table dibawah.

Tabel 1. Kriteria Diagostik Gangguan Somatisasi. Sumber : DSM-V

Keterangan :

1. Kriteria A : Pasien harus memiliki manifestasi dari satu atau lebih gejala. Gejala
tersebut antara lain: (1)Terlalu khawatir tentang kesehatan mereka, melihat gejala
fisik mereka sebagai terlalu mengancam, dan takut akan keseriusan medis dari
gejala mereka.(2) Masalah kesehatan sering menjadi prinsip pengorganisasian bagi
individu hidup, mendominasi semua masalah lainnya.(3) Kualitas hidup bisa sangat
terganggu, dan kelainan ini dapat menyebabkan tingkat pemanfaatan medis yang
tinggi.
2. Kriteria B : Setidaknya satu dari tiga kriteria diatas
3. Kriteria C : Setidaknya satu gejala dalam waktu minimal enam bulan. Gejal dapat
berubah-ubah (symptom migration)
h. Tata Laksana
1. Farmakologi
Berdasarkan studi yang adekuat terhadap gangguan somatisasi, terapi farmako
nampak tidak memberikan efek yang signifikan terhadap gangguan ini. Namun
apabila dokter akan memberikan resep untuk gangguan ini bisa diberikan citalopram
(SSRi) dan paliperidone (antidepressant). Untuk gangguan somatisasi yang disertai
ansietas bisa diberikan terapi tambahan benzodiazepin short-term sebagai terapi anti-
ansietas.

2. Non Farmakologi
i. Pelajari gejala pada pasien secara serius untuk menghilangkan bukti adanya
gangguan fisik yang berasal dari penyakit non-psikiatrik.
ii. Lakukan psikoterapi cognitive-behavioral.
iii. Melakukan edukasi kepada pasien untuk menghindari gejala kecemasan dan
masalah psikis lainnya yang bisa memperberat gangguan.
iv. Melakukan edukasi kepada pasien untuk tidak membatasi aktivitas dan fungsi
sosialnya di dalam masyarakat meskipun mengalami keluhan fisik.
v. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar tidak terfokus pada gejala fisik
pasien dan ikut serta membantu memperbaiki aspek psikososial pasien.
vi. Memastikan pasien bahwa gangguan ini tidak bersifat merusak ataupun
mengundang mortalitas/morbiditas, serta membuat pasien percaya bahwa
gangguan ini ada dan dapat diobati dengan baik.
vii. Terapi non farmako terbukti sebagai terapi terbaik yang bisa memberikan
perbaikan signifikan pada gangguan jenis ini, jangan sampai pasien bergantung
pada obat-obatan karena memiliki fungsi withdrawal apabila dihentikan.
viii. Surat konsultasi Smith. Sebuah studi yang lakukan oleh Richard Smith dan
rekannya di University of Arkansas for Medical Science menunjukkan efektivitas
intervensi yang agak sederhana.Hal terdiri dari "surat konsultasi" singkat yang
ditujukan untuk perawatan primer dokter memberi mereka "do's and don'ts" tentang
manifestasi klinik pada pasien dengan gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan Surat
tersebut mendesak dokter untuk melihat ini pasien selama janji terjadwal secara
teratur, melakukan pemeriksaan fisik singkat yang berfokus pada area
ketidaknyamanan pada setiap kunjungan, dan menghindari prosedur diagnostik
yang tidak perlu, perawatan invasif, dan rawat inap, hindari menggunakan
pernyataan seperti "semu gejala di tubuh anda hanya ada dalam pikiran anda ", dan
secara singkat mengizinkan / mendorong pasien untuk berbicara tentang" stressor".
Meski pasien tidak menunjukkan perubahan yang sangat signifikan, kapasitas
fungsional mereka meningkat secara signifikan dan terjadi penurunan biaya yang
signifikan.
i. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik pada penyakit ini. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan umumnya dilakukaan untuk menyingkirkan kemungkinan
pada pasien yang memiliki kemungkinan kecil untuk terdiagnosis penyakit.
Tes kejiwaan (misalnya, Minnesota Multiphasic Personality Inventory) atau tes
neuropsikologis sangat membantu untuk mengidentifikasi penyakit kejiwaan seperti
depresi pada pasien yang mengalami ketidakpastian diagnostik setelah wawancara
klinis. Selain itu, pengujian psikologi dapat membantu menilai kekuatan pasien,
menentukan perawatan mana yang ditunjukkan, dan memantau dampak pengobatan
dari waktu ke waktu
j. Prognosis
Gangguan somatisasi yang tidak diobati biasanya akan menjadi kondisi kronis,
meskipun beberapa gejala dapat hilang timbul dalam beberapa waktu. Penderita dapat
mengalami masalah sosial serius karena mereka sulit untuk bekerja dan bersosialisasi.
Berdasarkan penelitian, sepertiga kasus gangguan somatisasi akan mengalami
perbaikan secara signifikan. Prognosis yang baik juga berhubungan dengan status
ekonomi yang tinggi, pengobatan yang tepat, onset gejala yang tiba-tiba, tidak adanya
gangguan kepribadian, serta tidak adanya kondisi nonpsikis yang menyertai. Pada
anak-anak, gangguan ini akan membaik seiring dengan perkembangan mereka.
k. Edukasi
Seseorang yang memiliki masalah psikiatrik diharapkan mampu menjelakan
keluhannya kepada seorang psikiater sebagai bentuk ekspresi emosionalnya. Psikiater
lalu membantu untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan terlibatnya
faktor psikologis terhadap keluhan pasien saat ini.
a) Melakukan edukasi kepada pasien untuk menghindari gejala kecemasan dan
masalah psikis lainnya yang bisa memperberat gangguan.
b) Melakukan edukasi kepada pasien untuk tidak membatasi aktivitas dan
fungsi sosialnya di dalam masyarakat meskipun mengalami keluhan fisik.
c) Memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar tidak terfokus pada gejala
fisik pasien dan ikut serta membantu memperbaiki aspek psikososial pasien.
l. Pencegahan
Intervensi psikologis dan konseling dibutuhkan untuk mencegah terjadinya gangguan
somatisasi pada orang-orang dengan kecenderungan menderita gangguan ini.
m. Diagnosis banding

Karena gejala somatisasi merupakan persimpangan antara penyakit psikis dn fisik, maka
banyak penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding penyakit ini. Akan tetapi, seiring
bertambahnya jumlah gejala, semakin besar kemungkinan pasien mengalami somatisasi,
bukan penyakit medis.

Faktor-faktor ini dapat membantu menentukan apakah pasien mengalami somatisasi atau
tidak :

Gejalanya komorbid dengan gangguan kejiwaan utama seperti depresi atau panik
Gejalanya sangat mengikuti peristiwa traumatis.
Gejalanya menyebabkan "kepuasan" psikologis atau "keuntungan sekunder."
Gejalanya mewakili sifat kepribadian yang dapat diprediksi (coping mekanisme).
Gejala menjadi persisten, bergabung dengan konglomerasi gejala lainnya, dan
menyampaikan sikap seperti terlalu sering menggunakan layanan medis dan
ketidakpuasan dengan perawatan medis.
Diagnosis banding yang lain adalah[8][9][10] :

Depresi - Somatisasi sering terjadi pada depresi, dan dokter harus mempertimbangkan
depresi dan dysthymia utama bila ada somatisasi. Dalam sebuah penelitian multisenter
internasional, 69 persen dari mereka dengan gangguan depresi utama hanya dengan gejala
somatik, dan 50 persen memiliki beberapa gejala yang tidak dapat dijelaskan

Kelainan panik - Serangan panik disertai dengan berbagai gejala somatik, antara lain
termasuk palpitasi, takikardia, nyeri dada, berkeringat, tremulousness, sesak napas, sensasi
mencekik, tersedak, sakit perut atau mual, diare, pusing, ringan, parestesi (mati rasa atau
kesemutan), menggigil, dan kemerahan. Serangan panik didiagnosis saat pasien memiliki
periode ketakutan yang berbeda dengan empat atau lebih gejala berkembang secara tiba-
tiba dan mencapai puncak dalam waktu 10 menit.

Kelainan penggunaan zat - Banyak gejala keracunan zat dan penarikan juga terjadi pada
somatisasi. Hal ini termasuk kelemahan, kelelahan, sakit kepala, mual, nyeri dada, muntah,
ataksia, tremor, penglihatan kabur, dan fasikulasi.

Sindrom etiologi yang tidak jelas - Pasien mungkin memiliki berbagai sindrom termasuk
fibromyalgia, sindrom kelelahan kronis, gangguan dysphoric pramenstruasi, gangguan
sendi temporomandibular, dan intoleransi lingkungan idiopatik (multiple chemical
sensitivity) yang menggabungkan banyak gejala yang tidak dapat dijelaskan.

Kondisi medis non-psikiatris Gangguan somatisasi spat tumpang tindih dengan banyak
kondisi medis. Diagnosis gangguan somatisasi lebih mungkin terjadi jika gejala melibatkan
beberapa sistem organ, dan ada onset awal dan kronik karena tidak adanya tanda fisik,
kelainan struktural, dan kelainan laboratorium. Kondisi medis dengan gejala samar dan
nyeri episodik atau menyebar yang mungkin membingungkan dengan gangguan somatisasi
meliputi multiple sclerosis, lupus eritematosus sistemik, porfiria intermiten akut, dan
hemochromatosis.
Hipokondriasis adalah diagnosis eksklusi, dan harus didiagnosis hanya setelah
mempertimbangkan kondisi neurologis seperti multiple sclerosis atau myasthenia gravis,
kondisi endokrin seperti tiroid atau penyakit paratiroid, penyakit yang mempengaruhi
sistem tubuh multipel seperti lupus eritematosus sistemik, dan keganasan okultisme.

n. SKDI

4A: Dokter mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.

2. Depresi
A. Definisi
Depresi merupakan gangguan jiwa dengan karakteristik penurunan mood yang persisten atau
hilangnya ketertarikan terhadap suatu aktivitas, menyebabkan munculnya masalah yang
signifikan pada kehidupan sehari-hari.

B. Etiologi
Insiden keparahan penyakitnya meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah
jumlah keseluruhan kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun, dan komplikasi
terjadi hampir 50% di usia tua. Depresi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Faktor genetik
b) Gangguan neurotransmitter
c) Faktor psikososial
C. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari gangguan depresi major/unipolar belum ditemukan secara jelas.
Bukti terkini menunjukan interaksi kompleks antara ketersediaan neurotransmiter dan regulasi
reseptor dan sensitivitas yang mendasari gejala afektif.
Percobaan klinis dan preklinis menunjukkan gangguan pada aktivitas serotonin sistem saraf
pusat (5-HT) sebagai faktor yang signifikan. Neurotransmiter lain yang ikut berpengaruh antara
lain norepinefrin (NE), dopamin (DA), glutamat, dan brain-derived neurotrophic factor
(BDNF). Bagaimanapun, obat-obatan yang menyebabkan kenaikan akut pada neurotransmiter,
seperti kokain atau amfetamin, tidak terlalu berpengaruh dibandignkan antidepresan. Peran
aktivitas 5-HT dalam patofisiologi dari gangguan depresi major berasal dari efektifitas
terapeutik dari selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs).
Lesi vaskular juga diduga ikut berkontribusi dalam depresi dengan menganggu jaringan neural
yang terlibat dalam regulasi emosi, secara partikular dalam jalur frontostriatal yang
berhubungan dengan korteks prefrontal dorsolateral, korteks orbitofrontal, cingulatum anterior
dan posterior. Komponen lain seperti sirkuit limbik, secara khusus hipokampus dan amigdala,
juga diduga berpengaruh dalam depresi.

D. Algoritma Penegakan Diagnosis


Kriteria diagnostik depresi berdasarkan DSM-V:
1. Terdapat lima atau lebih gejala berikut, paling sedikit dalam dua minggu, dan
memperlihatkan terjadinya perubahan fungsi. Paling sedikit satu dari gejala ini harus ada,
yaitu (1) afek depresi atau (2) hilangnya minat atau rasa senang. Tidak boleh memasukkan
gejala yang jelas-jelas disebabkan oleh kondisi medis umum atau halusinasi atau waham
yang tidak serasi dengan mood.
a) Mood depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan
baik oleh laporan subjektif (misalnya, rasa sedih atau hampa), atau yang dapat diobservasi
oleh orang lain (misalnya, terlihat menangis). Pada anak-anak atau remaja, mood bisa
bersifat iritabel.
b) Berkurangnya minat atau rasa senang yang sangat jelas pada semua, atau hampir semua
aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (yang diindikasikan oleh laporan subjektif
atau diobservasi oleh orang lain).
c) Penurunan berat badan yang bermakna ketika tidak sedang diit atau peningkatan berat
badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan) atau penurunan
atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
d) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diobservasi oleh orang lain,
tidak hanya perasaan subjektif tentang adanya kegelisahan atau perasaan menjadi
lamban).
f) Letih atau tidak bertenaga hampir setiap hari.
g) Rasa tidak berharga atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak pantas atau sesuai
(mungkin bertaraf waham) hampir setiap hari (tidak hanya rasa bersalah karena berada
dalam keadaan sakit).
h) Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, ragu-ragu, hampir setiap hari
(baik dilaporkan secara subjektif atau dapat diobservasi oleh orang lain).
i) Berulangnya pemikiran tentang kematian (tidak hanya takut mati), berulangnya ide-ide
bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau tindakan-tindakan bunuh diri atau rencana spesifik
untuk melakukan bunuh diri.
2. Gejala-gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau terjadinya
hendaya sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3. Episode depresi tidak berhubungan dengan efek psikologis dari kondisi medis lain.
4. Gejala yang terjadi tidak dapat dijelaskan dengan gangguan skizoafektif, skizofrenia,
schizophreniform disorder, gangguan delusi, dan gangguan psikotik lainnya.
5. Tidak ada episode manik ataupun hipomanik.

Anda mungkin juga menyukai