Anda di halaman 1dari 11

NO.

8 penyakit yang di tanggung bpjs


FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
A. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama adalah:
1. Rawat Jalan Tingkat Pertama
a. Puskesmas atau yang setara;
b. praktik dokter;
c. praktik dokter gigi;

d. klinik Pratama atau yang setara termasuk fasilitas


kesehatan tingkat pertama milik TNI/POLRI;dan
e. Rumah sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
2. Rawat Inap Tingkat Pertama
Fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan fasilitas rawat
inap.

B. Cakupan Pelayanan
1. Rawat Jalan Tingkat Pertama
a. administrasi pelayanan, meliputi biaya administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat, penyediaan dan
pemberian surat rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan
untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di fasilitas
kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan promotif preventif, meliputi:
1) kegiatan penyuluhan kesehatan perorangan;
Penyuluhan kesehatan perorangan meliputi
paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku
hidup bersih dan sehat.
2) imunisasi dasar;
Pelayanan imunisasi dasar meliputi Baccile Calmett Guerin
(BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPTHB),
Polio, dan Campak.

3) keluarga berencana;
a) Pelayanan keluarga berencana meliputi konseling,
kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi bekerja
sama dengan lembaga yang membidangi keluarga
berencana.
b) Penyediaan dan distribusi vaksin dan alat kontrasepsi
dasar menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
dan/atau pemerintah daerah.
c) BPJS Kesehatan hanya membiayai jasa pelayanan
pemberian vaksin dan alat kontrasepsi dasar yang
sudah termasuk dalam kapitasi, kecuali

untuk jasa pelayanan pemasangan IUD/Implan dan


Suntik di daerah perifer.
4) skrining kesehatan
a) Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara
perorangan dan selektif.
b) Pelayanan skrining kesehatan ditujukan untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak
lanjutan dari risiko penyakit tertentu, meliputi:
1) diabetes mellitus tipe 2;
2) hipertensi;
3) kanker leher rahim;
4) kanker payudara; dan
5) penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri.
c) Pelayanan skrining kesehatan penyakit diabetes
mellitus tipe 2 dan hipertensi dimulai dengan
analisis riwayat kesehatan, yang dilakukan
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
d) Jika Peserta teridentifikasi mempunyai risiko penyakit
diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi berdasarkan
riwayat kesehatan, akan dilakukan penegakan diagnosa
melalui pemeriksaan penunjang diagnostik tertentu dan
kemudian akan diberikan pengobatan sesuai dengan
indikasi medis.
e) Pelayanan skrining kesehatan untuk penyakit kanker
leher rahim dan kanker payudara dilakukan sesuai
dengan indikasi medis.
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non
operatif;
e. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pertama;

g. pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui dan bayi ;


h. upaya penyembuhan terhadap efek samping
kontrasepsi termasuk penanganan komplikasi KB
paska persalinan;
i. rehabilitasi medik dasar.
2. Pelayanan Gigi
a. administrasi pelayanan, meliputi biaya administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat, penyediaan dan
pemberian surat rujukan ke fasilitas kesehatan
lanjutan untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di
fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
c. premedikasi
d. kegawatdaruratan oro-dental
e. pencabutan gigi sulung (topikal, infiltrasi)
f. pencabutan gigi permanen tanpa penyulit
g. obat pasca ekstraksi
h. tumpatan komposit/GIC
i. skeling gigi (1x dalam setahun)
3. Rawat Inap Tingkat Pertama
Cakupan pelayanan rawat inap tingkat pertama sesuai dengan
cakupan pelayanan rawat jalan tingkat pertama dengan tambahan
akomodasi bagi pasien sesuai indikasi medis.
4. Pelayanan darah sesuai indikasi medis Pelayanan transfusi darah
di fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat dilakukan pada
kasus:
a. Kegawatdaruratan maternal dalam proses persalinan
b. Kegawatdaruratan lain untuk kepentingan keselamatan
pasien
c. Penyakit thalasemia, hemofili dan penyakit lain setelah
mendapat rekomendasi dari dokter Fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan

FASILITAS KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN

A. Fasilitas Kesehatan
Pelayanan rawat jalan dan rawat inap dapat dilakukan di:
1. klinik utama atau yang setara;
2. rumah sakit umum; dan
3. rumah sakit khusus.
Baik milik pemerintah maupun swasta yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan

B. Cakupan Pelayanan
1. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
a. administrasi pelayanan; meliputi biaya administrasi pendaftaran
peserta untuk berobat, penerbitan surat eligilibitas peserta,
termasuk pembuatan kartu pasien.
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan sub spesialis

c. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis;


d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e. pelayanan alat kesehatan;
f. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis;
g. rehabilitasi medis;
h. pelayanan darah;
i. pelayanan kedokteran forensik klinik meliputi pembuatan visum et
repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan
forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik; dan
j. pelayanan jenazah terbatas hanya bagi peserta meninggal
dunia pasca rawat inap di Fasilitas Kesehatan yang bekerja
sama dengan BPJS tempat pasien dirawat berupa pemulasaran
jenazah dan tidak termasuk peti mati
2. Rawat Inap Tingkat Lanjutan
Cakupan pelayanan rawat inap tingkat
lanjutan adalah sesuai dengan seluruh cakupan pelayanan di RJTL
dengan tambahan akomodasi yaitu perawatan inap non intensif
dan perawatan inap intensif dengan hak kelas perawatan
sebagaimana berikut:
a. ruang perawatan kelas III bagi:
1) Peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan
2) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja yang membayar iuran untuk Manfaat
pelayanan di ruang perawatan kelas III.
b. ruang perawatan kelas II bagi:
1) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II
beserta anggota keluarganya;
2) Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara
Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II
beserta anggota keluarganya;
3) Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang
setara Pegawai

Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II


beserta anggota keluarganya;
4) Peserta Pekerja Penerima Upah dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan gaji atau
upah sampai dengan 1,5 (satu koma lima) kali
penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin
dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya;
dan
5) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja yang membayar iuran untuk Manfaat
pelayanan di ruang perawatan kelas II.
c. ruang perawatan kelas I bagi:
1) Pejabat Negara dan anggota keluarganya;
2) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai
negeri sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV
beserta anggota keluarganya;
3) Anggota TNI dan penerima pensiun

Nomor 3
Kepesertaan BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan
Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI).

A. Kepesertaan PBI (Perpres No 101 Tahun 2011)

a. Kriteria Peserta PBI

Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong


fakir miskin dan orang tidak mampu.
Kriteria Fakir Miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh
menteri di bidang sosial setelah berkoordinasi dengan menteri
dan /atau pimpinan lembaga terkait
Kriteria Fakir Miskin dan Orang tidak mampu sebagaimana
dimaksud menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan
pendataan
Data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang telah
diverifikasi dan divalidasi sebagaimana dimaksud, sebelum
ditetapkan sebagai data terpadu oleh Menteri di bidang sosial,
dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan
dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri dirinci menurut
provinsi dan kabupaten/kota.
Data terpadu sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi
penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan.
Data terpadu sebagaimana dimaksud, disampaikan oleh
Menteri di bidang sosial kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
dan DJSN
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan mendaftarkan jumlah nasional PBI Jaminan
Kesehatan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS
Kesehatan
Penetapan jumlah PBI Jaminan Kesehatan pada tahun 2014
dilakukan dengan menggunakan hasil Pendataaan Program
Perlindungan Sosial tahun 2011.
Jumlah peserta PBI Jaminan Kesehatan yang didaftarkan ke BPJS
Kesehatan sejumlah 86,4 juta jiwa.
b. Perubahan Data Peserta PBI
Penghapusan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang
tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena tidak lagi
memenuhi keriteria
Penambahan data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu untuk
dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi
kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud
diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri di bidang sosial
Perubahan data ditetapkan oleh Menteri di bidang sosial
setelah berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan dan Menteri
dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan
Kesehatan sebagaimana dimaksud dilakukan setiap 6 (enam)
bulan dalam tahun anggaran berjalan.
Penduduk yang sudah tidak menjadi Fakir Miskin dan sudah
mampu, wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan dengan
membayar Iuran.

B. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI)

Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana yang


dimaksud merupakan peserta yang tidak tergolong fakir
miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas (sesuai
Perpres No 12 Tahun 2013):

1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas:


a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota TNI;
c. Anggota Polri;
d. Pejabat Negara;
e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f. Pegawai swasta; dan
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f
yang menerima Upah.

2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas


pekerja di luar hubungan kerja dan pekerja mandiri.

3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya, terdiri atas :


a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima pensiun;
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan; dan
f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar iuran.

Penerima Pensiun sebagaimana yang dimaksud terdiri atas:


a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d. Penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana yang dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun

Pekerja sebagaimana yang dimaksud termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat
6 (enam) bulan

Jamingan Kesehatan bagi Pekerja warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri diatur dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Anggota keluarga sebagaimana dimaksud meliputi:


a. Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria:
1. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
2. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yag masih
melanjutkan pendidikan formal

Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain.
Nomor 1

Sistem Pembiayaan Kesehatan Indonesia


Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1. Fee for Service ( Out of Pocket )
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana
pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK).
PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang
diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem pembiayaan
kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health Organization di tahun 2006
sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih bergantung pada sistem, Fee for Service dan
hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan
sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan
(PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan
berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya
ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar pula
imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara
tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk
mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2. Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak
asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa
system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system).
Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK
menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per
periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang
dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di
muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah
satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka
untuk memperoleh pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat
pertama sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan mutu terjaga
dan biaya terjangkau.
Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system
kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang
dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu
dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini,
jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi
pemasukan bagi PPK.
Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinyaunderutilization dimana
dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam system ini,
maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan, terdapat kelebihan
system ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien (captive market), mendapat kepastian
dana di tiap awal periode waktu tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya
multidrug dan multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kea rah preventif dan
promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai
lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran
berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Namun, mengapa hal ini belum
dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia? Tentu saja masih ada hambatan dan tantangan,
salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi
seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak
memilah peserta asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan
bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan,
dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai
resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang
mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam
pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.
Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus
bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang
dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat
terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sumber: World Health Organization 2009
JPKM

Anda mungkin juga menyukai