Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadits adalah kegiatan

Takhrij al-Hadits (selanjutnya cukup disebut takhrij). Kegiatan ini sangat penting,

karena tanpa kegiatan ini terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat

hadis yang akan diteliti. Kegiatan penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari

segi matan sangat penting. Upaya penelitian terhadap hadis-hadis yang tertuang dalam

beberapa kitab hadits merupakan sebuah keharusan. Karena kitab-kitab hadits yang

disusun oleh para mukharrij-nya masing-masing memuat riwayat hadits baik sanad-

nya maupun mata-nya. Artinya, para mukharrij bersikap terbuka dengan

mempersilahkan para ahli yang berminat untuk meneliti semua hadits yag terhimpun

dalam kitab hadits yang mereka susun.

Kegiatan penelitian hadits berlandaskan pada signifikansi hadits sebagai

sumber otoritatif kedua setelah al-Quran menempati posisi yang sangat urgen.

Otoritas Nabi Muhammad saw. Di luar al-Quran tak terbantahkan dan mendapat

justifikasi dari wahyu. Secara tekstual, beliau merupakan aplikas al-Quran yang

pragmatis. Dalam beberapa literature dikatakan bahwa hadits berasal dari sumber

yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada bentuk dan tingkat ontensitasnya, bukan

pada substansinya. Maka dari itu, wahyu dikategorikan sebagai wahyu ghairu

mathlu.

Hadits Nabi, baik dalam tataran ucapan , perbuatan dan taqrir Nabi, telah

tertuang dalam berbagai kitab dan telah disebarluaskan dikalangan masyarakat luas.

Dampak dari hal tersebut adalah munculnya berbagai bentuk pemahaman dari

masyarakat tentang kandungan sebuah hadits. Pemahaman tersebut terlepas dari

pengetahuan tentang kualitas sanad dan matan hadits yang bersangkutan.

1
Berangkat dari tema kajian dan uraian di atas, maka persoalan yang akan

dikaji pada makalah ini yaitu pengertian takhrij hadits, urgensi dari kegiatan takhrij

al-Hadits, pengenalan kitab-kitab terkait dan penggunaannya, dan praktik takhrij al-

Hadits.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana pengertian takhrij al-Hadits?

2. Bagaiamana urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadits?

3. Bagaimana pengenalan kitab-kitab terkait penggunaannya?

4. Bagaimana praktik takhrij al-Hadits?

C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui pengertian takhrij al-Hadits.

2. Untuk mengetahui urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadits.

3. Untuk mengetahui pengenalan kitab-kitab terkait penggunaannya.

4. Untuk mengetahui praktik takhrij al-Hadits.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrij Al-Hadits

Dalam melakukan penelitian hadits, langkah awal yang harus di lakukan

seorang peneliti adalah melakukan kegiatan takhrij al-hadits. Kata takhrij secara

etimologi berarti: 1) Al-istimbat (hal mengeluarkan); 2) Al-Tadrib (hal melatih atau

pembiasaan); dan 3) Al-Tawjih (hal menghadapkan). Apabila dikaitkan dengan kata

al-hadits, tentunya dapat dimaknakan mengeluarkan hadits. Artinya, mengutip hadits

dari kitab-kitab hadits atau membacakan hadits tertentu dari kitab hadits tertentu

kepada seseorang.

Pengertian takhrij secara etimologi dan yang biasa dipakai oleh ulama hadits

cukup bervariasi diantaranya:

1. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para

periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan

metode periwayatan yang mereka tempuh.

2. Ulama hadits mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh

para guru hadits, atau berbagai kitab, atau lainnya yang susunannya

dikemukan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya

atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun

kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.

3. Menunjukkan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya

dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh para mekharrijnya langsung

(yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadits yang mereka

riwayatkan).

3
4. Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya,

yakni kitab-kitab hadits yang didalamnya disertakan metode periwayatannya

dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya

dan kualitas haditsnya.

5. Menentukan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli,

yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap

dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian,

dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan (Ahmad, 2011).

Menurut Mahmud ath-Thahhan :

Artinya:

Takhrij adalah penunjukkan kedudukan hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana

hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, dengan menjelaskan

martabatnya ketika diperlukan

Pengertian yang dikemukakan pada poin pertama merupakan salah satu

kegiatan yang telah dilakaukan oleh para periwayat hadits yang menghimpun hadits

ke dalam kitab hadits yang mereka susun masing-masing, misalnya imam Al-Bukhari

dengan kitab sahih-nya, imam Muslim dengan sahihnya, dan Abu Dawud dengan

kitab sunan-nya.

Pengertian al-Takhrij yang dikemukakan pada butir kedua telah dilakukan oleh

banyak ulama hadits, misalnya oleh imam al-Baihaqi, yang telah banyak

mengambil hadits dari kitab al- sunan yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Basri al-

Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.

Pengertian al-Takhrij pada poin ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab

himpunan hadits, misalnya Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Dalam

4
melakukan pengutipan hadits pada karya tulis ilmiah, mestinya diikuti pengertian al-

Takhrij pada butir ketiga tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan

sumber. Dengan demikian, hadits yang dikutip dengan tidak hanya matannya saja,

tetapi minimal juga nama mukharrijnya dan nama periwayat pertama (sahabat nabi)

yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan.

Pengertian al-Takhrij yang dikemukakan pada poin keempat digunakan oleh

ulama hadits untuk menjelaskan berbagai hadits yang termuat dikitab tertentu,

misalnya kitab Inya Ultim al-Din karya imam al-Ghazali, yang dalam penjelasannya

itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadits dan kualitasnya masing-masing.

Adapun pengertian al-Takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan

penelitian hadits lebih lanjut dan dalam pembahasan makalah ini ialah pengertian

yang dikemukakan pada butir kelima. Berangkat dari pengertian itu, maka yang

dimaksud dengan takhrij al-hadits dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian

hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan yang

didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadits yang

bersangkutan. Berbicara tentang takhrij sebagaimana beberapa defenisi diatas

tentunya sangat erat kaitannya dengan penelitian hadits baik penelitian awal maupun

penelitian lanjutan. Penelitian hadits pada masa awal telah dilakukan oleh para ulama

salaf yang kemudian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadits.

Penyebutan sekian banyak hadits yang disertai sanadnya dan keterangan kualitasnya

adalah merupakan hasil penelitian ulama salaf. Kemudian ulama khalaf

berkesempatan pula untuk mencari hasil yang belum dikoidifikasikan sebagai

pelengkap atau takhrij atau meneliti kembali (back research) hasil takhrij mereka atau

bagian-bagian yang belum selesai dianalisis mereka.

5
B. Urgensi dari Kegiatan Takhrij al-Hadits

Kegiatan takhrij al-Hadits sangat urgen bagi seorang peneliti hadits asal-usul

riwayat hadits yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadits itu

dan ada tidaknya korroborasi (sahid atau mutabih) dalam sanad bagi hadits yang

ditelitinya hanya dapat diketahui melalui kegiatan takhrij akl-hadits. Dengan

demikian, minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-

hadits dalam pelaksanaan kegiatan hadits yaitu:

1. Untuk mengetahui asal-usul hadits yang akan diteliti

Kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu, untuk mengetahui

bagaimana asal-usul hadits yang akan diteliti itu. Kualitas dan status suatu

hadits akan sangat sulit diteliti jika tidak diketahui asal usulnya lebih dahulu.

Demikian pula susunan sanad dan matan menurut sumber pengambilannya.

Penelitian sebuah hadits akan sulit terlaksana dengan akurat dan cermat, tanpa

diketahui susunan sanad dan matannya secara benar

2. Untuk mengetahui seluruh riwayat hadits yang akan diteliti.

Kegiatan takhrij perlu dilakukan untuk mengetahui seluruh riwayat

hadits yang akan diteliti. Bisa jadi hadits yang akan diteliti memiliki lebih dari

satu sanad. Dari sanad yang lebih dari satu itu mungkin salah satunya

berkualitas dhaif, sedangkan yang lainnya berkualitas sahih. Seluruh riwayat

hadits yang akan diteliti, harus terlebih dahulu diketahui, agar sanad yang

berkualitas dhaif dan berkualitas sahih dapat ditentukan.

3. Untuk mengetahui ada tidaknya sahid dan mutabi

Salah satu bagian dari kegiatan penelitian hadits adalah menentukan ada

tidaknya sahid atau mutabi. Kedua hal ini bertujuan untuk mengetahui adanya

periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang diteliti. Dukungan

6
(corroboration) itu dapat menpengaruhi kualitas sanad yang menjadi objek

penelitian. Sebuah sanad yang lemah pada tingkat sahabat, dapat menjadi kuat

bila ada dukungan pada sanad yang lain. Dalam penelitian sebuah sahabat,

sahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang

sedang diteliti. Demikian pula mutabi yang memiliki sanad yang kuat, maka

sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh

mutabu tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki sahid atau

mutabi maka seluruh sanad hadits itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrij

al-hadits harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan ini, tidak dapat

diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadits yang sedang diteliti.

Sedangkan manfaat dari takhrij hadits diantaranya adalah:

1. Mengetahui referensi beberapa buku hadits. Dengan takhrij seseorang

dapat mengetahui siapa perawi suatu hadits yang diteliti dan didalam kitab

hadits apa saja hadits tersebut didapatkan.

2. Menghimpun sejumlah sanad hadits. Dengan takhrij seseorang dapat

menemukan sebuah hadits yang akan diteliti disebuah atau beberapa induk

hadits. Misalnya terkadang dibeberapa tempat didalam kitab al-Bukhari

saja, atau didalam kitab-kitab lain. Dengan demikian ia akan menghimpun

sejumlah sanad.

3. Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang

terputus (munqathi) dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam

mengingat hadits serta kejujuran dalam pewayatan.

4. Mengetahui status suatu hadits. Terkadang ditemukan sanad atau suatu

hadits dhaif, tetapi melalui sanad lain hukumnya sahih.

7
5. Meningkatkan suatu hadits yang dhaif menjadi hasan li ghayirihi karena

adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualiutasnya.

6. Mengetahui bagaimana para imam hadits menilai suatu khualitas hadits

dan bagaimana kritikan yang di sampaikan.

7. Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan

matan suatu hadits.

8. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pencampuran

riwayat.

9. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.hal ini karena

kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar.

Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.

10. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam

satu sanad.

11. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam

satu sanad.

12. Takhrij dapat menghilangkan suatu syadz (kesensirian riwayat yang

mengalahi riwayat tsiqah) yang terdapat dalam suatu hadits melalui

perbandingan suatu riwayat.

13. Takhrij dapat membedakan hadits yang muadraj (yang mengalami

penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.

14. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami

oleh seorang perawi.

15. Takhrij dapat dibedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan

mana (pengertian) saja.

8
16. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh

seorang perawi.

17. Takhrij dapat membedakan proses tempat dan aktu timbulnya suatu

hadits.

18. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits. Diantara hadits-

hadits ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang

melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka asbab al-wurud

dalam hadish tersebut akan dapat diketahui dengan jelas

19. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan

melalui perbandingan perbandingan sanad yang ada (Khon, 2009).

C. Pengenalan Kitab-Kitab Terkait dan Penggunaannya

Ketika mereka takhrij hadits tidak memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan

takhrij hadis ini. adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Hidayatul bari ila tartibi ahadisil bukhori.

Penyusun kitab ini adalah Abdul Rahman Ambar al-Misri at-Tahtawi.

Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadits-hadits yang termuat dalam

sokhikh Bukhori. lafadz hadits disusun menurut aturan huruf abjad arab,

namun hadits-hadits yang dikemukakan secara berulang dalam sokhikh

Bukhori tidak dimuat secara berulang dalam kamus diatas. Dengan demikian,

perbadaan lafalz dalam matan hadits riwayat al-bukhori tidak dapat diketahui

melalui kamus tersebut.

2. Mujam al-fadzi wala siyyama al-garibu minha atau fahras litartibi ahaditsi

muslim.

9
Kitab tersebut merupakan salah satu juz ke-5 dari kitab shohih Muslim

yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke-5 ini merupakan kamus

terhadap juz ke 1-4 yang berisi:

a. Daftar urutan judul kitab, nomor hadits dan juz yang memuatnya.

b. Daftar nama para sahabat nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat

dalam shohih Muslim.

c. Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut

abjad serta menerangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh

Bukhori bila kebetulan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhori.

3. Miftahus shohihain.

Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustofa al-Tauqiyah.

kitab ini dapat digunakan untuk mencari haditshadits yang diriwayatkan

oleh Muslim, akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah

hadits-hadits yang berupa sabda saja. Hadits tersebut disusun menurut abjad

dari awal lafadz matan hadits.

4. Al-buqhyatu fi tarfibi ahadits al-hiyah

Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin al-Sayyid Muhammad

bin Sayyid Sidding al-Qomari. Kitab hadits tersebut memuat dan

menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang disusun oleh

Abu Nuaim al-Asbuni (W.340 H) yang berjudul hilyatul wathbaqoful auliyai

asfiyani. Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab miftahut tartibi li ahaditsi

tarikhil khotib yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin

Sayyid as-Shidding al-Qomari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits

yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin

10
Subit bin Ahmad al-Baqhdadi yang dikenal dengan al-Khotib al-Bugdadiw

(W. 436 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdadi yang terdiri dari 4 jilid.

5. Al-Jumius Shogir

Kitab ini disusun oleh imam Jalaluddin Abdurrahman Assayuthi (W 91

H) kitab kamus ini memuat hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab

himpunan hadits karya imam Assayuthi juga, yakni al-Jamu aljawami hadits

yang dimuat dalam jamius shogir disusun berdasarkan huruf abjad dari awal

lafadz matan hadits, sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara

lengkap dan ada juga yang ditulis sebagian saja, namun telah mengandung

pengertian yang cukup, kitab hadits disebut juga menyebutkan nama-nama

sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan lengkap dengan

nama mukharrijnya (periwayat hadits yang menghimpun hadits dalam

kitabnya), selain itu hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya

menurut penelitian yang dilakukan oleh imam Assayuthi dan disetujui

olehnya.

6. Al-Mujam Almufahras li alfadz al-hadits

Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara

anggota tim yang paling aktif dalam proses penyusunan ini adalah Dr. Arnold

John Wensink (W 939 M), seorang profesor bahasa semit termasuk bahasa

arab di universitas Leidm, Belanda. Kitab ini dimaksudkan untuk mencari

hadits yang berdasarkan petunjuk lafadz matan hadits, berbagai lafadz yang

disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada ditengah dan bagian-

bagian lain dari matan hadits. Dengan demikian, kitab Mujam mampu

memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadits selama

sebagian lafadz dari matan hadits yang dicarinya itu telah diketahuinya. Kitab

11
Mujam itu terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-

hadits yang terdapat didalam sembilam kitab hadits; sahih al-Bukhari, sahih

Muslim, sunan Abu Daud, Suann at-Tarmidzi, sunan AnnasaI, Sunan Ibnu

Majah, Sunan Addarimi, Muwatha malik dan musnad imam Ahmad

(Ranuwijaya, 1996).

D. Praktik Takhrij Al-Hadits

Untuk mengetahui sejarah jelah sebuah hadits beserta sumber-sumbernya, ada

beberapa metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh mereka yang akan

menelusurinya. Metode-metode ini diupayakan oleh para ulama dengan maksud

mempermudah mencari hadits Nabi. Para ulama telah banyak mengkodifikasi hadits-

hadits dengan mengaturnya dalam susunan yang berbeda satu dengan yang lainnya,

sekalipun semuanya menyebutkan ahli hadits yang meriwayatkannya. Perbedaan cara-

cara mengumpulkan inilah yang akhirnya menimbulkan ilmu takhrij.

1. Takhrij Menurut Lafal Pertama Hadits

Metode ini dipakai berdasarkan lafal pertama matan hadits. Dengan

kata lain, metode ini mengkodifikasi hadits-hadits yang lafal pertamanya

sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah. Bagi yang menggunakan

metode ini, suatu keharusan baginya untuk mengetahui dengan pasti lafal-

lafal pertama hadits-hadits yang akan dicarinya. Kemudian ia melihat

huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode

ini, demikian pula dengan huruf kedua dan seterusnya.

Kelebihan dari metode ini adalah memungkinkan bagi penggunanya

dengan cepat menemukan hadits yang dimaksud. Sedangkan

kekurangannya adalah apabila terdapat kelainan lafal pertama pada sebuah

hadits akan berakibat sulit menemukan hadits.

12
Jenis kitab yang menggunakan metode ini dibagi dalam tiga jenis: 1)

Al-Masyhurat ala alsinat al-nas, seperti: a) Al-Maqasid al-Hasanah fi

Bayanin Katsirin al-Hadits al-Mashurahala Alsinah al-Nas karya

Muhammad bin Abdurrahman al-Skhawi (902 H); b) Kasyt al-Khafa wa

Muzii al-Ilbas amma Isythara min al-hadis al-Alsinah al-Nas karya ismail

bin Muhammad al-Ajluuni (1162 H). 2) Al-Kitab allati ruttibat al-hadits

fiha ala tartib huruf al-Mujam, jenis kitab ini seperti al-Jami al-Shagi min

hadis al-Basyir al-Nazir karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-

Suyuthi (911 H). 3) Al-Mafatih atau al-Fahrasat, seperti Miftah Al-

Sahihain karya al-Taukidi.

Dalam kegiatan takhrij metode yang pertama, kitab yang paling banyak

digunakan oleh para penelitihadits adalah al-jami al-Shagir min hadits al-

Basyir al-Nazir, karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-

Suyuthi (911 H). sistematika penulisan atau penenmpatan hadits-hadits

dalam kitab al-Jami al-Shagir min Hadis diatur menurut urutan-urutan

huruf hijaiyah agar mencarinya lebih mudah. Dimulai dengan hadits yang

huruf pertamanya Alif, Ba, ta dan seterusnya. Hadits-hadits yang dimulai

dengan hamzah atau lainnya begitu pula diurutkan dengan huruf keduanya

sesuai urutan huruf-huruf hijaiyah. Seperti hadits-hadits yang dimulai

dengan hrurf ba, huruf berikutnya adalah ba dengan alif, ba dengan ba,

ba dengan ta dan seterusnya.

Penyusunan kitab ini tidak menuliskan secara lengkap dari keterangan

tentang kualitas sebuah hadits. Ia mempersingkatnya dengan lambang atau

kode tertentu.

13
Selain itu, penyusunan kitab ini juga menulis secara ringkas nama-

nama kitab terdapatnya hadits yang disusun. Kode-kode yang dipakai oleh

penyusunan kitab ini tercantum dalam muqaddimah-nya.

Dalam men-Takhrij suatu hadis melalui kitab ini semestinya seorang

pemakai jasa kamus hadis ini harus mengetahui terlebih dahulu lafal

pertama matan hadits tersebut dengan pasti lalu mencarinya dalam babnya.

Hadis yang dimulai dengan huruf ba dicari pada bab huruf ba, kemudian

mencari huruf keduanya secara berurutan dan seterusnya dengan cara yang

sama.

2. Takhrij Melalui Kata-kata dalam Matan Hadits

Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalam matan

hadits, baik itu berupa isim atau fiil. Huruf-huruf tidak digunakan dalam

metode ini, hadis-hadis yang dicantumkan hanyalah bagian hadis. Para

penyusun kitab metode ini menitikberatkan peletakan hadis-hadisnya

menurut lafal-lafal yang asing. Semakin asing (Ghasib) suatu kata, maka

pencarian hadits akan semakin mudah dan efisien.

Keistimewaan metode ini adalah, pertama, mempercepat pencarian

hadits; kedua, para penyusun kitab-kitab takhrij metode ini membatasi

hadits-hadits dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama

kitab, juz, bab dan halaman; ketiga, memungkinkan pencarian hadis

melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.

Sedangkan kekurangan metode ini adalah pertama, keharusan bagi

penggunanya untuk menguasai bahasa arab beserta perangkat ilmunya

yang memadai. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan seperti

kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya; kedua, metode ini tidak

14
menyebutkan perawi dari kalangan sahabat; dan ketiga, terkadang suatu

hadits tidak dapat didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang

mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.

Kitab yang terkenal untuk metode ini adalah al-Mujam al-Mufahras Li

Alfaz al-Hadis al-Nabawi yang disusun oleh seorang orientalis A.J.

Wensink yang merujuk pada Sembilan kitab induk hadis ( al-Kutub al-

Tisah) yaitu: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tarmudzi, Sunan

Abu Daud, Sunan al-NasaI, Sunan Ibnu Majah, sunan al-Darimy,

Muwaththa Imam MAlik, dan Musnad Imam Ahmad.

3. Takhrij melalui Perawi Hadis Pertama

Metode ini digunakan ketika nama sahabat disebut pada sebuah hadis

yang hendak di takhrij. Apabila nama sahabat tidak disebut pada hadits

dan tidak mungkin mengetahuinya, metode ini tidak dapat digunakan. Jika

nama sahabat disebut pada hadits atau kita mengetahuinya dengan jalan

tertentu, maka kita dapat menggunakan metode ini.

Kelebihan dari metode ini adalah, pertama, metode ini memperpendek

masa proses takhrij dengan diperkenalkannya; kedua, memberikan

kesempatan untuk melakukan per-sanad. Sedangkan kekurangannya

adalah, pertama, metode ini tidak dapat digunakan dengan baik tanpa

mengetahui terlebih dahulu perawi pertama hadis yang kita maksud;

kedua, adanya kesulitan mencari hadits diantara yang tertera dibawah

setiap perawi pertamanya. Hal ini karena penyusunan hadis didasarkan

perawi-perawinya yang menyulitkan.

15
Untuk metode ini diperlukan tiga jenis kitab yaitu kitab Musnad, kitab

Mujam dan kitab Athraf. Metode ini jarang dipakai oleh para peneliti

hadits dalam kegiatan takhrij.

4. Takhrij Menurut Tema Hadits

Metode takhrij ini bersandar pada pengenalan tema hadits, setelah kita

menentukan hadis yang akan kita takhrij, maka langkah selanjutnya ialah

menyimpulkan tema hadis tersebut. Dasar dari metode ini ialah

pengetahuan tema hadis. Ketidaktahuan tema hadis akan menyulitkan

proses takhrij.

Olehnya itu, metode ini hanya dapat digunakan oleh orang yang

mempunyai ketajaman ilmu (dzaug Ilm) yang memungkinkan menentukan

atau mendapatkan topic hadits, atau menentukan letaknya jika hadits

tersebut mempunyai kandungan yang lebih luas dan banyak bergelut dan

mengamati kitab-kitab hadits.

Keistimewaan dari metode ini adalah: pertama, metode ini tidak

membutuhkan pengetahuan di luar hadis. Yang dibutuhkan dalam metode

ini adalah pengetahuan akan kandungan hadits; kedua, metode ini

mendidik ketajaman pemahaman hadis pada diri peneliti; ketiga, metode

ini memperkenalkan kepada peneliti maksud hadis yang sedang dicarinya

hadis-hadis yang senada dengannya. Sedangkan kekurangan dari metode

ini adalah; pertama terkadang kandungan hadis sulit disimpulkan oleh

seorang peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya. Kedua,

terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman

penyusun kitab.

16
Metode ini memerlukan kitab penunjang seperti, Miftah Kunuz al-

Sunnah, karangan al-Muttaqy al-Hindy, Kitab al-Jawami, kitab al-

Mustakhrajat wa al-Mustadrakat ala al-Jawami, kitab al-Majami dan kitab

al-Zawaid. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab yang bab dan topiknya

umumnya berkenaan dengan hal ihwal agama. Kitab-kitab yang paling

terkenal dengan masalah ini adalah al-Sunan, al-Mushannafat, al-

Muwathaat dan al-Mustakhrajat ala al-Sunan. Kemudian ada kitab khusus

yang menyangkut bab-bab agama atau salah satu aspeknya. Diantara kitab

ini adalah al-Ajzaa, al-Targhib wa al-Tarhib, al-Ahkam dan lain-lain.

Metode ini jarang dipakai oleh para peneliti hadits dalam kegiatan takhrij.

5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis

Metode ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan

upaya para ulama yang telah menyusun kumpulan hadis-hadis berdasarkan

status hadis, jenis kitab ini sangat membantu dalam proses pencarian

hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits audisi, hadits mutawatir dan

lain-lain.

Dengan kata lain, maksud dari metode ini ialah memperhatikan hal

ihwal hadis dan sifat-sifatnya yang terdapat pada matan hadits atau sanad-

nya. Jika pada matan hadits terdapat gejala-gejala palsu, maka cara yang

paling singkat untuk mengetahui takhrij-nya adalah melihat kitab-kitab

al-Maudhuat. Jika hadits itu adalah hadits Qudsi, maka sumber tercepat

untuk mencarinya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-

hadis qudsi misalnya kitab al-Azhar al-Mutanasir fi al-Akhbar al-

Mutawatirah karangan Suyuti.

17
Sedangkan pada sanad hadits, jika terdapat ayah yang meriwayatkan

hadits dari putranya, maka sumber terdapat untuk men-takhrij-nya adalah

kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-hadits yang diriwayatkan

bapak dari anak-anaknya seperti kitab riwayat al-Abai AN-al-AbnaI

karangan al-Khotib al-Baghdadi. Demikian pula jika sanad itu berangkai

atau mursal.

Kelebihan yang dimiliki oleh metode ini adalah mempermudah proses

takhrij. Hal ini memungkinkan karena sebagian besar hadits-hadits yang

dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat sedikit,

sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit. Sedangkan

kakurangan dari metode ini ialah cakupannya sangat terbatas.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Yang dimaksud dengan takhrij al-hadits adalah penelusuran atau pencarian hadits pada

berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan di dalam sumber itu

dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.

2. Adapun urgensi dari metode takhrij al-Hadits adalah:

a. Untuk mengetahui asal-usul hadits yang akan diteliti.

b. Untuk mengetahui seluruh riwayat hadits yang akan diteliti.

c. Untuk mengetahui ada tidaknya hadits yang syahid dan mutabi

3. Ada enam kitab yang dibutuhkan dalam mentakhrij al-hadits, yaitu:

a. HIdayatul bari ila Alhadisil Bukhori

b. Mujam Al-Fadzi wala siyyama Al-Garibu Minha

c. Miftahus Shohihain

d. Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadits Al-Hisyah

e. Al-Jamius Shogir

f. Al-Mujam Almufahras li Alfadz al-Hadits

4. Metode-metode takhrij dalam penelitian hadits adalah:

a. Takhrij menurut lafal pertama hadis

b. Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis

c. Takhrij menurut perawi terakhir

d. Takhrij menurut tema hadis

e. Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, La Ode Ismail dan Abustani Ilyas. 2011. Pengantar Ilmu Hadis.
Makassar: Zadahaniva Publishing

Khon, Abdur Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah

Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadits. Jakarata: Gaya Media Pratama.

20

Anda mungkin juga menyukai