Anda di halaman 1dari 5

Dr. Polin L. R.

Pospos

Pelaksanaan Otonomi Daerah Tidak Seperti Yang


Diharapkan
Manfaat yang diperoleh daerah dari pelaksanaan otonomi daerah tentu tidak hanya dibatasi pada
makin besarnya kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah lokal dan makin besarnya
pembagian kekayaan negara untuk pemerintah lokal. Salah satu keuntungan yang harusnya
diperoleh adalah perbaikan kualitas pendidikan dengan adanya otonomi pendidikan. Daerah bisa
lebih berkonsentrasi mengembangkan berbagai keunggulan daerahnya untuk dirumuskan dalam
kebijakan pendidikannya. Sayangya, wacana tentang otonomi pendidikan atau manfaat otonomi
daerah dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan di daerah jarang sekali mendapat
perhatian publik. Perdebatan tentang otonomi daerah hanya berkisar pada perebutan kekuasaan
antara pusat dan daerah. Selain itu, tidak produktifnya perdebatan tentang otonomi ini juga
berbuntut pada tidak efektifnya pelaksanaannya dalam semua aspek termasuk dalam bidang
pendidikan. Perspektif baru kali ini akan mencoba berbicara mengenai persoalan otonomi ini
dengan titik berat pada manfaatnya buat pengembangan pendidikan di daerah. Tapi tidak seperti
perbincangan lain yang selalu mengemukakan pikiran-pikiran Jakarta, maka kali ini kami
mengundang seorang pengelola lembaga pendidikan di Medan yaitu Dr. Polin Pospos. Beliau
adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Atmatera di Medan, Sumatera Utara. Dengan beliau
kita akan berbicara tentang pelaksanaan otonomi daerah dan implikasinya terhadap pelaksanaan
pendidikan di daerah. Pak Polin adalah seorang yang kritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah
di Sumatera Utara. Pemandu Perspektif Baru kali ini Ruddy Gobel.

Pak Polin sebagai orang yang berkecimpung sehari-hari di Sumatra Utara, bagaimana
bapak melihat pelaksanaan otonomi daerah secara umum?

Barangkali kita sepakat bahwa pada awalnya kita menaruh harapan yang sangat besar tentang
otonomi daerah karena kita berasumsi keterpurukan ekonomi kita termasuk bidang-bidang yang
lainnya itu adalah disebabkan oleh sistem pemerintahan yang sangat sentralistrik. Sehingga
secara sangat sederhana kita mengasumsikan kalau sistemnya dirubah dari sentralistik menjadi
desentralistik lalu semuanya menjadi lancar. Kemudian juga kita berpikir pada waktu itu sistem
pemerintahaan yang otoriter kalau diganti demokratis maka semua juga akan lancar. Ternyata
asumsi demikian di lapangan tidak terjadi. Justru kita banyak mengalami kekecewaan. Saya pikir
dalam pelaksanaan otonomi daerah karena yang kita bayangkan sebelumnya adalah perbaikan
ternyata yang muncul itu justru banyak hal-hal yang memperumit situasi. Katakanlah bahwa
setiap kabupaten dan kota itu misalnya sangat mementingkan daerah sendiri atau ego
kedaerahannya sangat tinggi, tidak adanya lagi kontrol yang begitu efektif dari propinsi ke
daerah sehinga mereka masing-masing menjalankan kebijakan sendiri-sendiri di berbagai bidang
seperti bidang ekonomi, bidang pembangunan sosial masyarakat dan lain-lain. Dengan perkataan
lain kita melihat sampai saat ini setelah UU No. 22 dijalankan sejak 1 Januari 2001 kita tidak
melihat banyak perubahan seperti yang diharapkan semula, termasuk bidang pendidikan.

Jadi bisa dikatakan untuk saat ini kita belum bisa memperoleh manfaat nyata dari
pelaksanaan otonomi daerah. Kemudian yang paling penting disini seperti yang di katakan
bapak adalah timbulnya berbagai pertentangan kepentingan antara pemerintah lokal
propinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota. Kalau melihat proses ini dan melihat
kondisi yang terjadi, apakah ada harapan pelaksanaan otonomi daerah mengalami
perbaikan?

Jadi banyak kalangan yang berpendapat bahwa sebenarnya penyerahan hak keotonomian dari
pusat langsung ke tingkat kabupaten dan kota itu terlalu cepat. Karena peran propinsi menjadi
sangat tidak signitifkan. Namun demikian kita serahkan kepada para politisi dan para pengamat
politik, bagaimana sebenarnya ke depan, apakah UU No. 22 memang perlu direvisi. Banyak
orang mengatakan perlu. Tapi terserah karena itu keputusan politik. Namun demikian dalam
karangka UU yang mungkin dilakukan oleh para gubernur adalah mencoba mengkoordinasikan
atau menjalankan fungsi kordinasi dan pengawasan sebab itu diamanatkan dalam UU No. 22.
Sayangnya barangkali para gubernur merasa bahwa kewenangan yang mengkoordinasi dan
kewenangan mengawasi itu barangkali dianggap tidak cukup sehingga kelihatanya menurut saya
para gubernur itu membiarkan saja para bupati dan walikota melakukan kebijakannya sendiri-
sendiri, terlepas daripada keterkaitan dengan kabupaten dan kota yang lainnya.

Penyebab apa yang paling penting dalam terhambatnya proses pelaksanaan otonomi
daerah itu sehingga kalau diperbaiki penyebab itulah yang harus menjadi prioritas
utama?

Satu hal yang saya lihat dan saya pikir sangat menganggu adalah mengenai pemekaran. Di
Sumatra Utara sendiri sebagai sampel misalnya ada beberapa kabupaten seperti Kabupaten
Asahan ada kelompok yang ingin memekarkan diri yaitu Kabupaten Batu Bara. Lalu Nias yang
tadinya satu kabupaten, sekarang akan menjadi Nias Selatan dan Nias Utara. Bahkan di tingkat
propinsi juga sudah terjadi. Barangkali kita semua sudah mendengar adanya keinginan kelompok
masyarakat untuk membentuk propinsi Tapanuli, propinsi Sumatra Timur, dan propinsi lainnya.
Sehingga propinsi Sumatra Utara sendiri nanti tidak ada lagi. Sejarahnya hilang begitu saja. Nah
ini menyebabkan baik eksekutif maupun legislasif terus terbebani atau pemikiran mereka
terpusat pada hal-hal seperti ini. Akibatnya mereka tidak punya kesempatan lagi untuk
memikirkan kebijakan berupa perda-perda yang sebenarnya perlu untuk memperlancar jalannya
perekonomian, perda-perda menyangkut public service. Hal yang kedua barangkali akibat
keinginan-keinginan pemekaran ini saya kira bukanlah iklim yang kondusif bagi para investor
mungkin mereka tidak begitu mengerti arti pemekaran tapi kalau sekiranya mereka mengerti ini
berarti secara politis pemerintahan sudah menunjukan adanya tanda-tanda ketidakstabilan. Kalau
sudah begini bagaimana investor akan invetasi di sini.

Otonomi daerah ternyata memberikan dampak yang bukan positif justru malah tidak
produktif. Salah satu yang dikatakan Pak Polin, betapa pemerintah daerah lebih banyak
berpikir pada persoalan-persoalan yang sifatnya tidak produktif misalnya persoalan
pemekaraan wilayah. Hal itu menyebabkan fungsi mereka sebagai regulator dalam
pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi tidak terlaksana dengan baik sehingga service
mereka kepada publik justru mengalami penurunan. Ini salah satu inti persoalan tapi
barangkali ada persoalan lain yang lebih kritis. Kira-kira apa pak?

Persoalan lain sebenarnya kalau kita bicara di bidang ekonomi. Jadi sebagaimana kita ketahui
bukan hanya di Sumatra Utara, saya pikir di banyak daerah kabupaten dan kota di seluruh di
Indonesia dengan sistem keuangan daerah, khususnya yang diatur dalam UU No. 25/1999
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah itu sebenarnya setiap daerah mendapatkan dana
alokasi umum (DAU). Kalau DAU tidak cukup maka setiap daerah harus mencari sumber
penghasilan sendiri yang disebut PAD. Saya tidak tahu apakah rumusnya itu memang sudah
baku, tapi saya yakin sudah dipikirkan baik-baik oleh Bappenas. Tetapi kelihatannya di lapangan
bahwa DAU yang diterima oleh kabupaten dan kota termasuk propinsi secara umum itu hanya
cukup untuk membayar gaji. Sehingga untuk belanja pembangunan terpaksa sangat tergantung
kepada kemampuan daerah untuk menghasilkan PAD sendiri. Kalau kemampuan daerah untuk
mendapatkan PAD kecil maka kecillah anggaran untuk pembangunan. Kalau PAD besar, maka
besarlah dana pembangunan tersebut. Sekarang disini masalahnya selama empat tahun terakhir
ini infrastruktur ekonomi sudah sangat parah. Di Sumatra Utara sendiri masalahnya jalan, listrik,
dan air serta masalah vital lainnya untuk kegiatan ekonomi itu sudah keadaannya parah. Kalau
masalah ini hanya diandalkan kepada PAD barangkali akan sangat sulit karena itu saya pikir
suara di daerah adalah untuk menghimbau pemerintah pusat agar memikirkan masalah ini. Saya
tidak ingin mengatakan supaya rumus DAU itu direvisi tapi kenyataan di lapangan demikian.
Jalan-jalan dan semua prasarana dan sarana ekonomi sebenarnya bentuk dari public service,
kalau ini tidak jalan juga barangkali dan inilah mungkin salah satu penyebab yang membuat
banyak kelompok-kelompok di masyarakat ingin memekarkan diri. Karena persepsi mereka
kalau saya jadi kabupaten baru maka saya punya DAU baru, barangkali nanti ada sedikit PAD
sehingga daerah saya bisa lebih maju dibandingkan kalau saya tetap menjadi bagian kabupaten
ini misalnya. Sehingga pemikiran kesana itu saya pikir pemikiran yang sudah sangat salah.
Karena sebenarnya otonomi daerah tidak diarahkan kesana tapi inilah ekses-ekses by product
dari otonomi daerah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya namun sudah menjadi
kenyataan yang harus kita pikirkan ke depan bagaimana menyelesaikannya.

Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah punya kesempatan lebih baik untuk
memberikan insentif kepada pengusaha agar berinvestasi di daerah. Orang tidak hanya
berinvenstasi terpusat di Jawa tapi juga akan bergerak keluar dari Jawa. Itu benefit
otonomi daerah memberikan kesempatan berusaha bagi pengusaha daerah. Apakah hal
itu ada dampak positifnya selama ini?

Pada tataran teoritis memang otonomi daerah memberikan perluasan daripada kekuasaan
pemerintah daerah untuk mengatur diri sendiri. Termasuk mengundang investor ke daerah.
Tetapi hal ini menurut saya belum terwujud sama sekali. Saya tidak tahu untuk daerah lain tapi
untuk Sumatra Utara, saya bisa berkata bahwa kesempatan otonomi daerah untuk mengundang
investor asing ke daerah kelihatannya belum terwujud. Oleh karena berbagai hal, pertama tentu
masalah makro imej dari bangsa ini belum begitu baik. Kemudian aspek-aspek ekonomi makro
secara nasional juga belum menunjukan suatu keadaan yang bisa mendukung investasi daerah.
Tapi ada persoalan daerah sendiri, misalnya mengenai PAD. Banyak pengusaha yang mengeluh
bahwa lahirnya perda-perda baru berisi retribusi atau pun pajak-pajak daerah baru ini sebenarnya
sangat memberatkan para pengusaha atau mereka yang ingin berusaha di daerah. Lalu yang
kedua adalah biaya ekonomi tinggi atau pungutan liar atau premanisme. Saya bertanya kepada
teman pengusaha, pungutan-pungutan liar ini mencapai 30% dari total cost mereka. Sayangnya
tidak ada perhatian serius terhadap masalah ini sedangkan ini di lapangan menjadi suatu yang
faktual yang dihadapi pengusaha dan sangat mengganggu.

Menarik sekali bagaimana munculnya ekonomi biaya tinggi seperti misalnya pungutan liar
dan premanisme. Dibandingkan sebelum pelaksanaan otonomi daerah dengan setelah
pelaksanaan otonomi daerah, apakah hal ini mengalami peningkatan?

Memang mengalami peningkatan karena jumlah penganggur makin banyak setelah krisis
ekonomi. Maka salah satu kesempatan bagi mereka-mereka itu adalah terjun ke aktifitas-aktifitas
seperti itu. Mudah dan gampang, tidak memerlukan keterampilan hanya barangkali saya
memerlukan untuk masuk kelompok ini maka legitimate-lah. Lalu dia menjadi yang ditakuti dan
disegani oleh yang diperas itu. Jadi memang prosentasenya meningkat. Contoh seorang teman di
Medan mengatakan bahwa dia punya sebuah proyek yang memperkerjakan seorang insinyur
yang gajinya sebulan hanya Rp 1.500.000. Untuk uang premanisme dia bayar hampir Rp 2 juta.
Jadi luar biasa.

Manfaat pelaksanaan otonomi daerah untuk pengembangan pendidikan itu idealnya


seperti apa?

Jadi masalah pendidikan sama dengan masalah kesehatan. Jadi itu basic needs dari masyarakat.
Sayangnya kita memang belum mampu berbuat banyak untuk kedua basic needs tersebut,
terutama bidang pendidikan. Terbukti pada besarnya anggaran yang dialokasikan oleh APBN
atau APBD kepada pendidikan. Memang masalah pendidikan masalah yang tidak mudah dan
kompleks. Sehingga saya berpikir masalah pendidikan tidaklah akan terselesaikan kalau kita
hanya mengharapkan bahwa kewenangan itu didelegasikan dari pusat ke daerah lalu masalah
pendididikan selesai. Saya pikir tidak segampang itu. Memang dengan adanya otonomi daerah,
kewenangan daerah untuk mengelola diri sendiri termasuk mengelola bidang pendidikan itu jelas
menjadi lebih besar. Tetapi saya sendiri melihat di Sumatra Utara kecuali barangkali beberapa
peraturan atau urusan Menteri UU tentang pendidikan tinggi yang memberi banyak kebebasan
misalnya tidak perlu ujian negara, boleh membuat ijasah sendiri, tidak perlu lagi ada akreditasi
segala macam. Ini merupakan suatu kebebasan yang tadinya kita tidak miliki. tetapi kita jangan
lupa bahwa pendidikan kita ini suatu jenjang. Untuk sampai ke perguruan tinggi kita harus dari
taman kanak-kanak, SD, SMP, dan SMU. Saya belum melihat adanya suatu reformasi atau
kegiatan atau kebijakan yang bernafaskan otonomi daerah. Khususnya yang menyangkut
pendidikan di bawah perguruan tinggi saya pikir kita harus menangani persoalannya. Tidak
hanya di hilir tapi kita harus mulai dari hulu. Kenapa saya katakan demikian karena di hampir
semua daerah di Indonesia masalah kekurangan guru suatu masalah pokok. Kemudian kualifikasi
guru itu juga masalah. Lalu kelengkapan alat belajar mengajar di ruangan, alat peraga,
laboratorium itu juga suatu masalah. Tentu masalah kurikulum juga dan jangan kita lupakan
salah satu yang memperihatikan kita saat ini adalah masuknya narkotika. Bukan hanya di
kampus tetapi juga masuk SMP dan SMU. Jadi masalahnya sangat kompleks. Jadi jangan kita
berharap bahwa dengan otonomi daerah ini harus selesai. Saya berpendapat barangkali kita
pikirkan kembali apakah dengan mengotonomikan pendidikan lalu masalah selesai ataukah tidak
lebih baik kalau kembali dipegang oleh pusat tetapi dengan satu paradigma pendidikan yang
baru.

Ujung tombak pengelolaan pendidikan di daerah itu dengan munculnya dinas-dinas


pendidikan kemudian kepala dinasnya diberi eselon yang cukup tinggi. Tapi kalau melihat
kondisi sekarang ini apakah peran dari dinas ini cukup efektif dan kemudian apakah kita
perlu semacam lembaga lain atau barangkali yang lebih independen dan lebih berbasis
pada masyarakat untuk menunjang pelaksanaan otonomi pendidikan?

Ini satu lagi yang ada kaitannya dengan otonomi daerah. Jadi dinas pendidikan nasional di
tingkat propinsi ada, kemudian dinas yang sama di tingkat kabupaten kota ada juga. Pada
kenyataannya kordinasi atau hubungan kerja antara dua dinas yang berbeda tingkat ini boleh
dikatakan hampir tidak ada lagi. Jadi sebagai contoh misalnya dinas pendidikan tingkat propinsi
punya dana, mungkin dari pusat kemudian dia ingin memberi bantuan kepada dinas pendidikan
di tingkat kabupaten kota. Mereka ini tidak ada koordinasi dan tidak ada hubungan kerja yang
rutin, maka si dinas propinsi ini tidak tahu proyek pendidikan apa yang perlu dibantu. Demikian
juga sebaliknya, dinas di kabupaten juga kekurangan uang tapi karena tidak tahu bahwa dinas
propinsi punya uang akhirnya proyek yang sudah direncanakan karena tidak ada uang menjadi
tidak terlaksana. Hal-hal seperti ini terjadi. Saya pikir memang koordinasi yang masih dalam
kewenangan gubernur sesuai amanat UU No. 22 memang harus diperkuat oleh para gubernur.
Memang dinas di propinsi bukan lagi atasan langsung dari dinas kabupaten berarti betul
demikian bunyi UU tersebut. Tapi barangkali fungsi koordinasi dan fungsi pengawasan mungkin
bisa kerjasama dalam bentuk-bentuk yang lebih informal.

http://www.perspektifbaru.com/wawancara/330
Kelembagaan Perangkat Daerah Perlu Ditinjau

Yogyakarta-Mediasi Online. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku


Buwono X menyatakan bahwa kelembagaan perangkat daerah perlu ditinjau untuk
mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

"Berdasarkan hasil evaluasi dan kajian yang dilakukan, sampai saat ini masih terdapat beberapa
permasalahan pada organisasi sekrerariat daerah dan sekretariat DPRD," katanya dalam pidato
pengantar dalam rapat paripurna DPRD di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, permasalahan itu di antaranya berupa duplikasi tugas, relevansi nomenklatur,
kelebihan beban tugas dan keseimbangan beban kerja, serta kedekatan dalam proses kerja dan
perumpunan yang belum sesuai pada beberapa unit kerja.

"Oleh karena itu, penataan organisasi perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Penataan organisasi yang dimaksud adalah sekretariat daerah merupakan unsur staf yang pada
hakikatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi," katanya.

Koordinasi itu meliputi perumusan kebijakan, pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga
teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pelaporan,
pelayanan adeministratif, dan melakukan urusan teknis.

Ia mengatakan, sekretariat daerah juga harus melaksanakan fungsi penyusunan peraturan


perundang-undangan, organisasi dan tata laksana, hubungan masyarakat, protokol, dan fungsi
pemerintahan umum lainnya, terutama yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga
teknis, seperti penanganan urusan kerja sama dan perbatasan.

"Berdasarkan hasil evaluasi kelembagaan, seperti inspektorat, lembaga teknis, dan Satpol PP
masih terdapat adanya ketidaksesuaian antara nomenklatur dengan tugas dan fungsi, termasuk
ketidakseimbangan beban kerja antarunit organisasi dan belum terwadahinya tugas dan fungsi
sebagai amanat dari peraturan perundang-undangan yang baru," katanya. (Ant)

Anda mungkin juga menyukai